You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Luka Bakar

2.1.1 Pengertian Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi

(misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi) atau suhu yang sangat

rendah (Moenadjat, 2009:1). Luka bakar adalah luka yang dapat timbul akibat

kulit terpajan suhu tinggi, syok listrik, atau bahan kimia (Corwin, 2001). Luka

bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh

melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik (Smeltzer & Bare, 2002:1912)

2.1.2 Patofisiologi Luka Bakar

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh.

Panas dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Kulit

akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan

tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas

(Smeltzer & Bare, 2002). Kedalaman luka bakar mempengaruhi kerusakan

integritas kulit dan kematian sel. Semakin dalam dan luas jaringan yang rusak,

semakin berat kondisi luka bakar dan semakin jelek prognosisnya (Moenadjat,

2009:19). Agen cedera akan menyebabkan denaturasi protein sel. Sebagian sel

akan mengalami nekrosis traumatik. Kehilangan ikatan kolagen juga terjadi

bersama proses denaturasi sehingga timbul gradien tekanan osmotik dan

8
9

hidrostatik yang abnormal. Hal ini akan menyebabkan perpindahan cairan

intravaskuler ke unit intersitisial. Cedera sel memicu pelepasan mediator inflamasi

yang turut menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler secara lokal. Namun

pada luka bakar yang berat, mediator inflamasi akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler secara sistemik (Kowalak, 2011:618).

Hipovolemia yang timbul berbeda dengan hipovolemia yang disebabkan oleh

perdarahan. Sel darah merah dan sel lainnya tetap di dalam intravaskuler. Hanya

cairan yang meninggalkan unit intravaskuler sehingga terjadi hemokonsentrasi.

Hemokonsentrasi dan hipovolemia menyebabkan sirkulasi terganggu. Perfusi sel

tidak terselenggara dengan baik. Kondisi ini dikenal dengan syok hipovolemia

(Moenadjat, 2009:63).

Respon tubuh akibat gangguan perfusi meliputi respon sistemik. Respon

Kardiovaskuler; curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan

pada volume darah terjadi. Curah jantung menurun maka tekanan darah menurun.

Sebagai respon, sistem saraf simpatik akan melepaskan katekolamin yang

meningkatkan resistensi perifer dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya

vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung. Resusitasi

cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya tekanan darah

dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung membaik (Smeltzer &

Bare, 2002:1913)

Respon pulmonal, paru yang merupakan organ sistem pernafasan yang

menyelenggarakan pertukaran karbondioksida dengan oksigen mengadakan

kompensasi dengan peningkatan frekuensi pernafasan. Dengan mekanisme


10

kompensasi ini, timbul hiperventilasi yang memiliki dampak terhadap

keseimbangan asam-basa dan metabolisme secara keseluruhan

(Moenadjat, 2009 : 65).

Respon renalis, penurunan sirkulasi renal menyebabkan iskemia ginjal.

Manifestasi awal yang tampak akibat kondisi iskemia ini adalah penurunan

ekskresi urin mulai dari oliguria sampai dengan anuria. Hipoksia parenkim ginjal

merupakan stimulasi dilepaskannya renin dan angiotensin oleh sel-sel

juxtaglomerulusrenalis yang merangsang Anti Diuretic Hormone (ADH) dan

kelenjar anak ginjal memproduksi hormon kortisol dan glukagon. Rangkaian

selanjutnya adalah rangsangan pada hipofisis posterior untuk melepaskan Adeno

Cortico Tropic Hormone (ACTH) yang merupakan stimulan bagi sistem saraf

parasimpatik dan ortosimpatik dalam teori berkembangnya stres metabolisme.

Bila tidak segera ditangani, terjadi akut tubular nekrosis dan berlanjut dengan

acute renal failure (Moenadjat, 2009:69).

Respon gastrointestinal, terganggunya sirkulasi splangnikus, terjadi perubahan

degeneratif bersifat akut pada organ-organ yang diperdarahi antara lain saluran

cerna bagian atas. Gangguan perfusi menyebabkan terjadinya iskemia mukosa

saluran cerna yang mengakibatkan integritasnya terganggu (disrupsimukosa).

Dengan terjadinya disrupsi mukosa, lamina muskularis mukosa dan kapiler

submukosa terpapar pada lumen. Kerapuhan dinding pembuluh kapiler

menyebabkan pecahnya kapiler lambung. Perdarahan dapat terjadi sedemikian

masif dan menyebabkan penderita jatuh kedalam syok (Moenadjat, 2009:68).


11

Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Semua tingkat

respon imun akan dipengaruhi secara merugikan. Kehilangan integritas kulit

diperburuk dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal. Perubahan

kadar imunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil, dan

penurunan jumlah limfosit (limfositopenia). Imunosupresi membuat pasien luka

bakar berisiko tinggi untuk mengalami sepsis (Smeltzer & Bare, 2002:1916)

Hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur suhu.

Karena itu pasien-pasien luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang

rendah dalam beberapa jam pertama pasca luka bakar. Namun setelah keadaan

hipermetabolisme akan mengatur kembali suhu tubuh. Pasien luka bakar akan

mengalami hipertermi selama sebagian besar periode pasca luka bakar meskipun

tidak terdapat infeksi (Smeltzer & Bare, 2002:1916).

2.1.3 Derajat Luka Bakar

Derajat luka bakar berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan menurut

Moenadjat (2009) :

a. Luka bakar derajat I: kerusakan jaringan terbatas pada lapisan epidermis

(superficial), kulit kering, hiperemik memberikan floresensi berupa eritema,

tidak dijumpai bulae. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-7 hari. Karena derajat

kerusakan yang ditimbulkannya tidak merupakan masalah klinik yang berarti

dalam kajian terapetik, luka bakar derajat satu tidak dicantumkan dalam

perhitungan luas luka bakar.


12

b. Luka bakar derajat II (partial thickness burn): kerusakan meliputi seluruh

ketebalan epidermis dan sebagian superfisial dermis. Respon yang timbul

berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi. Nyeri karena ujung-

ujung saraf sensorik teriritasi. Luka bakar derajat II dapat dibedakan menjadi

dua:

1) Derajat II dangkal (Superficial partial thickness burn): kerusakan mengenai

epidermis dan sepertiga bagian superfisial dermis. Dermal-epidermal junction

mengalami kerusakan sehingga terjadi epidermolisis yang diikuti

terbentuknya lepuh (bulae). Lepuh ini merupakan karakteristik luka bakar

derajat II dangkal. Bila epidermis terlepas, terlihat dasar luka berwarna

kemerahan, kadang pucat-edematus dan eksudatif. Apendises kulit

(integumen, adneksa kulit) seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya

memerlukan waktu antara 10-14 hari.

2) Derajat II dalam (Deep partial thickness burn): kerusakan mengenai hampir

seluruh (dua per tiga bagian superficial) dermis. Apendises kulit seperti

folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh.

Sering dijumpai eskar tipis di permukaan. Penyembuhan terjadi lebih lama

tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan memerlukan

waktu lebih dari dua minggu.

c. Luka bakar derajat III (Full thickness burn): Kerusakan meliputi seluruh tebal

dermis dan lapisan yang lebih dalam.Organ-organ kulit seperti folikel rambut,

kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan. Tidak dijumpai


13

bulae.Kulit yang terbakar berwarna pucat atau lebih putih. Terjadi koagulasi

protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Secara teoritis

tidak dijumpai rasa nyeri bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut

saraf sensorik mengalami kerusakan. Penyembuhan terjadi lama karena tidak

ada proses epithelialisasi spontan baik dari tepi luka (membrane basalis),

maupun dari apendises kulit yang memiliki potensial epithelialisasi.

Gambar 2.1 Lapisan Kulit Normal Dengan Apendisesnya

Gambar 2.2 Kedalaman Luka Bakar


14

2.1.4 Kategori Penderita Luka Bakar

Menurut Moenadjat (2009:12), luka bakar dapat dikategorikan berdasarkan berat

dan ringan luka bakar adalah:

a. Luka bakar ringan dengan kriteria luka bakar derajat II; derajat III<10% pada

kelompok usia<10th >50th, luka bakar derajat II dan derajat III<15% pada

kelompok usia lain, luka bakar derajat II dan derajat III<10% pada semua

kelompok usia; tanpa cedera pada tangan, kaki, dan perineum

b. Luka bakar sedang atau moderat dengan kriteria luka bakar derajat II dan

derajat III 10-20% pada kelompok usia<10th >50th; luka bakar derajat II dan

derajat III 15-25% pada kelompok usia lain; luka bakar derajat 3<10% pada

semua kelompok usia tanpa cedera pada tangan, kaki, dan perineum.

c. Luka bakar kritis atau luka bakar berat dengan kriteria luka bakar derajat II

dan derajat III>20% pada kelompok usia<10 th dan >50th, luka bakar derajat

II dan derajat III>25% pada kelompok usia lain, terjadi trauma inhalasi serta

luka bakar akibat tegangan tinggi, luka bakar pada populasi resiko tinggi, luka

bakar pada tangan, kaki, dan perineum.

2.1.5 Penatalaksaaan Luka Bakar

Menurut Syamsuhidayat dan Jong dalam septiningsih, (2008) penanganan dalam

penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi kesempatan

sisa sisa sel epitel untuk berpoliferasi dan menutup permukaan kulit. Skin graft

adalah salah satu prosedur pembedahan yang rutin dilakukan dalam suatu

rangkaian pengelolaan pasien luka bakar. Tindakan ini memberi arti yang sangat
15

penting bila dilakukan sedini mungkin pasca trauma, sehingga prosedur ini sering

disebut sebagai prosedure pembedahan dini pada luka bakar.

2.2 Konsep Dasar Skin Graft

2.2.1 Definisi

Skin graft yaitu tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari

satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut dan

dibutuhkan suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan

hidup kulit yang dipindahkan tersebut (Lubis, 2008). Skin graft merupakan teknik

untuk melepaskan potongan kulit dari suplay darahnya sendiri dan kemudian

memindahkannya sebagai jaringan bebas ke lokasi yang dituju (Sudarth dan

Bruner, 2002).

2.2.2 Tujuan dilakukan skin graft (Bisono, 2008).

a. Menutup luka yang tidak dapat ditutup secara primer

b. Menutup luka supaya penyembuhan luka tersebut lebih cepat.

c. Menutup luka secara permanen atau sementara (pada crush trauma untuk

penilaian vitalitas atau mengontrol pertumbuhan bakteri).

2.2.3 Indikasi skin graft (Bisono, 2008)

a. Luka yang luas

b. Luka dengan vaskularisasi yang adekuat

c. Luka tanpa infeksi yang jelas (atau hitung kuman kurang dari 1 x 100.000

koloni kuman/gram jaringan).


16

2.2.4 Klasifikasi Skin Graft

Menurut (Lubis,2008) skin graft dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan

ketebalan.

a. Berdasarkan asal / spesies

1) Autograft : graft bersal dari individu yang sama (berasal dari tubuh yang

sama)

2) Homograft : graft berasal dari individu lain yang sama spesiesnya (berasal

dari tubuh lain).

3) Heterograft (Xenograft) : graft berasal dari makhluk lain yang berbeda

spesiesnya.

b. Berdasarkan Ketebalan

1) Split Thickness Skin Graft (STSG) : graft ini mengandung epidermis dan

sebagian dermis. Tipe ini dibagi 3 :

a. Thin Split Thickness Skin Graft, ukuran 8-12/1000 inci.

b. Intermediet (medium) Split Thickness Skin Graft, ukuran 14-20/1000 inci

c. Thick Split Thickness Skin Graft, ukuran 22-28/1000 inci.

d. Full Thickness Skin Graft: graft ini terdiri dari epidermis dan seluruh

ketebalan dermis.

2.2.5 Vaskularisasi dan Kehidupan Graft

Skin graft membutuhkan vaskularisasi yang cukup untuk dapat hidup sebelum

terjadi hubungan yang erat dengan resipien. Setelah kulit dilepas dari donor akan

berubah pucat karena terputus dari suplai pembuluh darah. Terjadi kontraksi
17

kapiler pada graft dan sel eritrosit terperas keluar. Setelah graft ditempelkan ke

resipien tampak perubahan-perubahan sebagai berikut (Heriady, 2005) :

a. Proses Imbibisi Plasma (8-12 jam pertama)

1) Yaitu keadaan graft secara pasif menyerap nutrisi melalui lapisan fibrin

(menyerap seperti spon).

2) Graft tampak udem, berat graft naik lebih kurang 40% dari berat awal.

b. Proses Inoskulasi (22 jam 72 jam berikutnya)

1) Proses terjadinya hubungan atau anastomosis langsung antara graft dengan

pembuluh darah resipien.

2) Pertumbuhan pembuluh darah resipien kedalam saluran endothelial graft.

3) Penetrasi pembuluh darah resipien kedalam dermis graft yang akan

membentuk saluran endothelial baru.

4) Kulit lebih pink sampai merah cherri dan udem graft berkurang.

c. Proses Angiogenesis/ Revaskularisasi dan Maturasi (hari ke-4 sampai

hari ke-9).

1) Epitel graft telah bisa mitosis sendiri.

2) Ketebalan kulit mulai meningkat (sampai 7x) dan ketebalan normal lagi mulai

hari ke-10 setelah proses deskuamasi terjadi.

3) Graft mengalami maturasi komplit setelah hari ke-12

2.2.6 Perawatan Skin Graft

Menurut Bisono (2008) perawatan skin graft dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Bila hemostasis dan fiksasi resipien baik, balutan dibuka hari ke5-7, untuk

mengevaluasi Take (kehidupan) graft dan membuka jahitan/benang fiksasi.


18

b. Bila ada hematom/seroma/bekuan darah, dilakukan penggantian kassa lebih

sering dan drainase cairan .

c. Bila Take baik, ganti balutan tiap 2-3 hari, bersihkan graft dari debris dan

krusta.

d. Bila graft telah matur, graft bisa diberi pelicin/pelunak dan pasien boleh

mandi.

e. Mobilisasi jalan bisa dilakukan pada minggu ke-3-4

2.2.7 Syarat-syarat Skin Graft yang baik:

a. Vaskularisasi resipien bed yang baik

b. Kontak yang akurat antara skin graft dengan resipien

c. Hindari kontaminasi atau infeksi.

2.2.8 Sebab-sebab kegagalan Tindakan Skin Graft:

a. Hematom dibawah skin graft.

b. Pergeseran skin graft

c. Resipien bed tidak baik

2.3 Konsep Dasar Vacum Assisted closure (VAC)

2.3.1 Definisi

Vacum assisted closure (VAC) merupakan pengembangan yang canggih dari

prosedur perawatan luka. Penggunaan vakum drainase membantu untuk

menghilangkan darah atau cairan serosa (nanah) dari bagian luka. VAC digunakan

untuk manajemen luka dengan menggunakan tekanan negatif atau tekanan sub-

atmosfer di tempat luka (Muptadi, 2013)


19

2.3.2 Komponen Vacum Assisted Closure (VAC) menurut Muptadi 2013

yaitu:

a. Vaccum pump

Vaccum pump berfungsi untuk vakum drainase membantu untuk menghilangkan

darah atau cairan serosa (nanah) dari bagian luka menggunakan tekanan negatif

atau tekanan sub-atmosfer di tempat luka.

b. Disposable Canisters

Disposable Canisters berfungsi menampung darah atau cairan serosa (nanah)

c. Drainage tubing

Drainage tubing berfungsi untuk mengalirkan tekanan negatif dari vaccum pump

ke daerah luka dan mengalirkan darah atau cairan serosa (nanah) ke Disposable

Canisters

d. Non-adherent wound contact layer or foam

Merupakan lapisan semipermeabel yang mampu ditembus darah atau cairan lain

pada luka.

e. Antimicrobial gause

Digunakan sebagai antibiotik

f. Round or flat wound drain

Menghubungkan drainage tubing dengan luka

g. Transparent occlusive dressing

Digunakan untuk menutup luka

h. Barrier skin prep wipes

Perekat transparant dressing


20

i. Steril Salin

Untuk irigasi sebelum memasang non-adherent wound contact layer

j. Surgical tape

2.3.3 Cara Kerja VAC menurut (Muptadi 2013)

Pada dasarnya teknik ini sangat sederhana. Sepotong busa dengan struktur pori

pori terbuka dimasukkan ke dalam luka dan menguras luka dengan perforasi

lateral diletakkan di atasnya. Seluruh area kemudian ditutup dengan perekat

membran transparan, yang tegas dijamin ke kulit sehat di sekitar tepi luka .

Drainage tubbing dihubungkan ke sumber vakum, cairan diambil dari luka

melalui busa ke dalam reservoir untuk pembuangan. Membran plastik mencegah

masuknya udara dan cairan dari luar. Pastikan seluruh permukaan luka terkena

efek tekanan negatif.

2.4 Aplikasi Metode Vac Dalam Perawatan Skin Graft Pada Pasien Luka

Bakar

Sistem VAC adalah suatu alat membantu menutup luka, pertama kali

dipublikasikan oleh Argenta dan Morykwas pada tahun 1997. Tekanan

subatmosferik (tekanan negative) diaplikasikan pada suatu luka sulit sembuh

dengan tujuan mempercepat pembentukan jaringan granulasi. Sistem VAC dapat

dipakai sebagai terapi adjuvant sebelum atau setelah operasi atau sebagai

alternative bagi pasien yang kondisinya tidak memungkinkan untuk pembedahan.

Sistem VAC sudah terbukti efetktif untuk menangani luka akut maupun kronis,

misalya ulkus kronis, kaki diabetic, ulkus diabetikus, mediastinis, juga dilaporkan
21

untuk meningkatkan keberhasilan prosedur skin graft pada lokasi yang sulit dan

permukaan yang tidak beraturan.

Sistem ini merupakan salah satu cara mempercepat penyembuhan luka melalui

mekanisme mengurangi edema jaringan, memacu pertumbuhan kapiler-kapiler

sehingga meningkatkan aliran nutrisi yang dibutuhkan untuk metabolisme.

Argenta dan Morywas mempostulasikan beberapa faktor mendasari kesuksesan

teknik VAC yaitu : pembuangan cairan interstiil berlebih, peningkatan

vaskularisasi dan penurunan kolonisasi bakteri dan respons jarinan sekitar luka

terhadap gaya mekanik yang diberikan.

Metode ini menggunakan open cell foam steril dari bahan polyurethane atau

polyvinyl alcohol di dalam defek, permukaan superficial disiolasi dengan

pembungkus adhesive kemudian diberi tekanan subatmofer melalui suction tube

pada luka tersebut. Tekanan atmosfer ini member gaya kontrol secara merata ke

seluruh permukaan jaringan di bagian luka.

Mekanisme kerja VAC dalam mempercepat penyembuhan luka telah mulai

dikembangkan, dan salah satu yang paling terkenal adalah teori model micro

mechanical force. Saxena, et al (dalam Rini, 2005) dari Harvard Medical School

melaporkan pengamatan tentang perubahan tingkat seluler akibat proses mekanis,

dengan membuat suatu model simulasi komputer. Model ini memprediksi

perubahan mikro (microdeformation) dasar luka dibandingkan dengan perubahan

histologis pada luka secara klinis yang diberi sistem VAC dan dianalisis dengan

komputer. Sesuai hipotesa, adanya kekuatan mekanis pada luka mampu

mendorong perubahan tidak saja pada tingkat jaringan tetapi juga pada tingkat sel
22

meregang. Sel yang mampu meregang akan berpoliferasi dan secara signifikan

merangsang angiogenesis untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Pada

model hasil konversi dengan komputer tampak bahwa akibat adanya perbedaan

tekanan dan perbedaan perbandingan elastisitas luka dan penopang busa

menghasilkan gelombang pada permukaan luka dan tegangan secara mikroskopis.

Aplikasi VAC setelah tujuh hari menunjukkan peningkatan undulasi dan

vaskularisasi pada area luka yang sama, berbeda dengan permukaan luka yang

tidak diberi sistem VAC.

Disimpulkan oleh Rini (2005) dengan efek dari terjadinya proses

micromechanical force diantaranya adalah mampu menstimulai proliferasi sel,

mempercepat penyembuhan luka. Mampu meningkatkan ketegangan jaringan 5

hingga 20%, tergantung dari stadium penyembuhan luka yang konsisten dengan

tingkat peregangan sel merangsang proliferasi sel. Growth factor atau matriks

protein ekstraseluler meskipun esensial tetapi tidak cukup menstimulasi proliferasi

sel. Agar kedua unsur kimia ini dapat direspons, sel membutuhkan konteks fisik

yang sesuai. Pada luka, struktur secara fisik sudah tidak beraturan/terputus

putus, sehingga proses peregangan sel dan tegangan isometric pada permukaan sel

tidak berlangsung.

Modifikasi VAC yang pernah dilakukan di Negara lain, diantaranya Jepang pada

tahun 2003 menggunakan drainage punch pada jaringan sekitar yang diundermind

akibat tidak berfungsinya sponge akibat tersumbat oleh jaringan nekrotik yang

banyak. Italia pada tahun 2001, sebuah botol drainage suction yang diberi tekanan

awal 300 mmHg, kemudian pasien bisa pulang. Tekanan akan turun dalam 1
23

minggu menjadi 150 mmHg. Pasien datang lagi untuk menambah tekanan

negatifnya menjadi 300 mmHg. Di Inggris pada tahun 2001 sebuah drainage

suction tertutup konvensional dipasang melewati tepi luka abdomen, dengan

trochart menembus kulit ditutup dengan tegaderm/opsite. Ujung kateter 3 mm

suction drainage dihubungan dengan 40 ml compressed bellow reservoir untuk

aplikasi tekanan negatif kemudian difiksasi dengan abdominal binder.

You might also like