You are on page 1of 22

REFERAT

SESAK NAPAS

Pembimbing :
dr. Tony Darmadi, Sp.PD

Disusun Oleh :

Rudy Setiady
112015377

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT BAYUKARTA
Periode 29 Mei 2017 s/d 05 Agustus 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
DEFENISI

Banyak definisi dari dyspnea antara lain "sulit atau pernapasan tidak nyaman",
"gangguan pernapasan", "sensasi perasaan sesak napas atau mengalami haus udara", dan "
sensasi tidak nyaman saat bernapas". Definisi ini kadang-kadang dicampur gejala yang benar
(pasien mengatakan apa yang mereka rasa) dengan tanda-tanda fisik (apa yang dokter amati
pada pasien). Dalam analisis akhir, gejala hanya bisa dijelaskan oleh orang yang
mengalaminya. Dapat dibuat kesimpulan bahwa dyspnea adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari
sensasi kualitatif yang bervariasi dalam intensitas berbeda. Pada orang sehat, pernapasan
adalah aktivitas refleks, artinya pernapasan adalah aktivitas tidak sadar. Tidak diperlukan
perintah khusus dari otak untuk melakukan aktivitas bernapas. Sebaiknya, sesak napas
diartikan sebagai kondisi dimana dibutuhkan usaha berlebih untuk bernapas dan aktivitas
bernapas menjadi aktivitas sadar. Dyspneu merupakan suatu gejala yang menandakan suatu
kelainan pada tubuh pasien. Pengalaman ini berasal dari interaksi antara beberapa faktor
fisiologis, psikologis, sosial, dan lingkungan, dan dapat menyebabkan respon fisiologis dan
perilaku sekunder.1
Dispneu dalah gejala yang umum dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang
berbeda, sering memiliki beberapa etiologi. Meskipun penyebab lain dapat berkontribusi,
sistem organ jantung dan paru yang paling sering terlibat dalam etiologi dyspnea. (p1803)
Dispnea adalah masalah umum dalam perawatan primer. Membuat diagnosis cukup
sulit karena dyspnea muncul dalam beberapa kategori diagnostik. Gangguan yang mendasari
berkisar dari yang relatif sederhana sampai yang lebih serius. Pengkajian tepat waktu,
diagnosis, dan inisiasi terapi yang tepat memainkan peran penting dalam mengendalikan
umumnya terkait kecemasan. Dokter harus disiapkan dan dilengkapi untuk triase, mengelola,
dan menstabilkan pasien dengan dyspnea. 2

KLASIFIKASI

Berdasarkan waktunya dispnea dibagi menjadi dispneu akut dan dispneu kronis.
Dispneu akut adalah dispnea yang berlangsung selama kurang dari satu bulan. Sedangkan
dispnea kronis telah didefinisikan sebagai sesak napas yang berlangsung lebih dari satu
bulan. Pasien dengan dyspnea kronis hadir biasanya stabil, tetapi tanda-tanda vital tidak
selalu normal. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, beberapa tes diagnostik berguna
dalam mencari tahu penyebab dasar dan perencanaan pengobatan yang tepat. 1,2
2
PATOFISIOLOGI

Dyspnea digambarkan sebagai bernapas lebih cepat disertai dengan sensasi kehabisan
udara dan tidak bisa bernapas cepat atau cukup mendalam. Sensasi yang mirip dengan yang
kehausan atau kelaparan (perasaan membutuhkan sesuatu). Nafas yg sulit merupakan hasil
dari beberapa interaksi sinyal dan reseptor di sistem saraf otonom, korteks motorik, dan
reseptor perifer di bagian atas saluran napas, paru-paru, dan dinding dada. Berbagai keadaan
penyakit dapat menghasilkan dyspnea yang berbeda, tergantung pada interaksi sinyal eferen
dengan reseptor dari sistem saraf pusat, sistem otonom, dan saraf perifer. Sensasi usaha otot
dan sesak napas adalah hasil dari aktivasi simultan korteks sensorik pada saat otot-otot dada
yang diisyaratkan untuk berkontraksi. Bukti menunjukkan bahwa tekanan parsial karbon
dioksida yang meningkat (PCO2) merangsang perasaan sesak napas independen dari efek
dari ventilasi atau level tekanan parsial oksigen (PO2). 2
Sebuah teori menyatakan bahwa dyspnea adalah hasil dari pemisahan atau
ketidaksesuaian antara aktivitas motorik pernafasan sentral dan informasi aferen masuk dari
reseptor pada saluran nafas, paru-paru, dan struktur dinding dada. Umpan balik aferen dari
reseptor sensorik perifer memungkinkan otak untuk menilai efektivitas perintah motor
dikeluarkan untuk otot ventilasi, yaitu, kesesuaian respon dalam hal arus dan volume. Ketika
perubahan tekanan pernapasan, aliran udara, atau gerakan paru-paru dan dinding dada yang
tidak sesuai untuk perintah motorik keluar, intensitas dyspnea akan meningkat. Dengan kata
lain, sebuah ketidaksesuaian antara perintah motorik dan respon mekanik dari sistem
pernapasan dapat menghasilkan sensasi ketidaknyamanan pernapasan. Mekanisme ini
pertama kali diperkenalkan oleh Campbell dan Howell pada tahun 1960 dengan teori length-
tension inappropriateness. Pasien dengan beban mekanik pada sistem pernapasan, baik
resistif atau elastis, atau kelainan otot pernafasan akan memiliki disosiasi antara eferen dan
informasi aferen saat bernafas. Ketidakcocokan aktivitas saraf dan konsekuen mekanik atau
ventilasi output dapat berkontribusi pada intensitas dyspnea pada kondisi ini. 1,2

Semakin tingginya permintaan ventilasi. Hal ini secara teratur diamati, baik pada
individu normal dan pada pasien dengan penyakit paru-paru, bahwa intensitas dyspnea
meningkat progresif selama aktivitas. Ini disebabkan peningkatan motorik pernapasan dan
peningkatan usaha yang sesuai. Banyak kondisi menimbulkan ventilasi yang berlebihan pada
aktivitas fisik, dan akibatnya menyebabkan gejala dyspnea. 1

3
Peningkatan ventilasi yang diperlukan untuk mengkompensasi pembesaran ruang mati
yang dihasilkan dari parenkim paru-paru dan penyakit pembuluh darah paru. Hipoksemia di
ketinggian dan pada pasien dengan penyakit pernapasan merangsang kemoreseptor arteri dan
meningkatkan aktivitas motorik pernapasan. Peningkatan aktivitas motorik tinggi ini
memberikan kontribusi untuk dyspnea. Produksi asam laktat oleh otot skeletal selama latihan
memaksakan stimulus pernapasan tambahan, meningkatkan ventilasi pada tingkat tertentu
dari latihan, dan mempertinggi dyspnea. Kondisi ini dan beban tambahan usia lanjut,
malnutrisi, dan hipoksemia mengganggu pernapasan dan fungsi otot perifer dan
menyebabkan keterbatasan aktivitas dan dyspnea. Siklus dyspnea, penurunan aktivitas,
kelelahan otot, dan dyspnea ini juga diakui sebagai kontributor kunci untuk penurunan fungsi
yang berhubungan dengan penuaan normal dan penyakit kardiorespirasi. 1

Kelainan otot pernafasan. Kelemahan atau inefisiensi mekanik otot pernapasan


menghasilkan ketidaksesuaian antara pusat motorik pernapasan dan ventilasi dicapai.
Ketidakcocokan ini mungkin menjelaskan dyspnea yang dialami oleh pasien dengan penyakit
neuromuskuler yang mempengaruhi otot-otot pernapasan dan pasien dengan kelelahan otot
pernapasan. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sering ditandai dengan over-inflasi dari
paru-paru dan over-expansi thorax. Keterbatasan aliran udara pada pasien dengan PPOK
menyebabkan hiperinflasi dinamis, terutama selama latihan. Beberapa konsekuensi penting
dari hiperinflasi dinamis memperburuk dyspnea. 1

Impedansi ventilasi abnormal. Penyakit pernapasan seperti asma dan COPD yang
mempersempit saluran udara dan meningkatkan resistensi saluran napas, dan penyakit
parenkim paru, termasuk pneumonitis interstitial dan fibrosis paru, yang meningkatkan
elastance paru-paru, sering menyebabkan dyspnea. Ketika impedansi ventilasi meningkat,
tingkat pusat motorik pernapasan diperlukan untuk meningkatkan ventilasi yang diberikan.
Ketika upaya pernapasan dikeluarkan dan hasilnya tidak sesuai dengan ventilasi yang
diharapkan akan menyebabkan dyspnea. 1

Pola pernapasan abnormal. Dyspnea adalah gejala umum pada penyakit yang
melibatkan parenkim paru. Hal ini memungkinkan bahwa pernapasan dangkal cepat sering
terjadi dalam penyakit parenkim paru yang merupakan respon refleks terhadap rangsangan
dari reseptor vagal paru. Reseptor vagal paru memainkan peran dyspnea dalam aktivitas
berat, kongesti paru dan edema paru, dan emboli paru berulang. Pursed lip breathing telah
dikaitkan dengan berkurangnya intensitas dyspnea pada pasien dengan penyakit paru-paru

4
obstruktif, efek yang mungkin karena frekuensi pernapasan berkurang, perubahan dalam pola
otot pernapasan, ekspirasi memanjang, dan volume tidal yang lebih besar. 1

Kelainan Gas Darah. Kelainan gas darah, sementara ini merupakan konsekuensi
paling serius dari penyakit kardiorespirasi. Hipoksemia menyebabkan aktivitas motorik
pernapasan meningkat melalui stimulasi kemoreseptor. Hipoksia juga mungkin memiliki efek
dyspnogenic langsung. Hal ini disarankan oleh pengamatan bahwa pemberian oksigen
tambahan mengurangi dyspnea pada beberapa pasien dengan penyakit paru-paru, bahkan
dengan tidak adanya perubahan pernapasan. 1

Demikian pula, dyspnea dicetuskan oleh hiperkapnia sebagian besar merupakan akibat
dari peningkatan respon motorik sistem pernapasan, tetapi juga bisa merupakan efek
langsung dari PCO2. Pengaruh PCO2 pada ventilasi tergantung terutama pada perubahan
konsentrasi ion hidrogen di kemoreseptor meduler. Pada pasien dengan hiperkapnia kronis,
kompensasi metabolik meminimalkan perubahan konsentrasi ion hidrogen dan akibatnya
membatasi respon pernapasan dan perubahan sensasi pernafasan. Di sisi lain, respon terhadap
perubahan konsentrasi ion hidrogen dapat menjelaskan dyspnea akibat ketoasidosis
diabetikum dan insufisiensi ginjal. 1

Kelainan Pulmonal, pada kelainan paru dapat berupa infeksi bakteri ( Mycobacterium
tuberculosis, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia, Escherichia coli, Bordetella
pertussis, Chlamydophila pneumoniae and Mycoplasma pneumonia, dll), virus (adenovirus,
coronavirus, parainfluenza, influenza and rhinovirus, dll), jamur ( Aspergillus, Rhizopus,
Mucor, Clamydia, Pneumocystis jiroveci{carinii},dll).4
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak spesifik
terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk bisa menimbulkan
sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang
mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme
dispnea pada penyakit ini beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan
untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi
hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius
kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha
tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea.
Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.5

5
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha
yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah
terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary
discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.5
COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap
patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada COPD juga
menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan kelainan dinamika
pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.5
Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas
meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan
peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal
pasien.5
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas
menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea
yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah.
Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium
kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.

Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk


memompakan darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen dan nutrisi.
Istilah gagal jantung kongestif sering digunakan jika terjadi gagal jantung sisi kanan dan kiri.6
Pada gagal jantung, curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, atau
dapat memenuhi kebutuhan hanya dengan peningkatan tekanan pengisian (preload).
Mekanisme kompensasi mungkin mampu untuk mempertahankan curah janutng saat istirahat,
namun mungkin tidak cukul selama menjalani latihan fisik. Dungsi jantung akhirnya
menurun dan gagal jantung menjadi lebih berat.7
Biasanya pada CHF yang menyebabkan keluhan paru yaitu terjadinya gagal jantung kiri
dimana jantung kiri gagal untuk memompa darah secara adekuat yang datang dari paru
sehingga menyebabkan kongesti pulmonal. Etiologi yang mendasari dapat berupa kelainan
otot janutung sehingga ada yang menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung,
hipertensi sistemik sehingga meningktanya beban jantung dan terjadi hipertrofi pada otot.
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya bersifat reversible, diikuti kegagalan ginjal unutk
mengekskresi sisa metabolism nitrogen, dengan atau tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.8
6
AKI meingkatkan permeabilitas albumin pada vascularisasi paru, eritrosit menumpuk
pada kapiler paru, dan terjadi edema intertisial. Peningkatan edema intertisial pada paru
berhubungan dengan disregulasi transporter garan dan air pada paru, seperti ENaC, Na, K-
ATPase, dan aquaporin-5. Perubahan pada paru setelah AKI ditemukan pada awal dan dapat
disertai dengan -melanocyte-stimulating hormone, yang merupakan suatu agen anti
inflamasi. Dari sisi genomic dengan menggunakan PCR (polymerase chain reaction) dan
penelitian protein diperkirakan adanya korelasi interleukin 6 (IL-6), IL-10, endotelin dan
serum amiloid 3, dapat menjadi mediator disfungsi paru yang disebabkan oleh AKI.9

Gambar 1. Pengaruh AKI pada beberapa organ.9


AKI, acute kidney injury; G-CSF, granular colony-stimulating factor; GFAP, glial
fibrillary acidic protein; GSH, glutathione; IL-1, interleukin-1; KC, keratinocyte-derived
chemokine; TNF-, tumor necrosis factor-.9
CKD adalah Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam
tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat,
begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat
menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel
darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada

7
GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila
sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal gatal.
Uremic Lung adalah sebuah komplikasi berat pada pulmonal pada pasien dengan
uremia. Selain adanya berlebihnya cairan, hal ini dpat juga disertai mekanisme yang
abnormal, seperti peningkatan permeabilias vascular pari dan inflamasi yang disebabkan oleh
kemokin dan leukosit. Hal ini penting untuk membedakan uremic lung dengan penyebab lain
yang menenyebkna udema paru. Pada pemebelajaran radiologi terlah memperlihatkan bahwa
udema paru pada gagal ginjal membuat opasitas sentral pada paru, sedangkan ketika udema
paru pada gagal jantung tampak adnaya sepalisasi pembulah darah paru ( penebalan
pembuluh darah paru, gambaran menyerupai peningkatan corakan bronkovesikuler). Pada
kasus lain uremic lung dikarakteristikan dengan adanya opasitas perihilar dengan perifer yang
bersih.10
Sirosis Hati, istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal dari
kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi perubahan warna pada nodul-
nodul hati yang terbentuk.11
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur
hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.11,12
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan
menyebabkan penurunan fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan
berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal,
tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

8
Gambar 2. Efek hipertensi porta pada sirosis hati.

Salah satu gejala klinis dari sirosis hati yaitu dengan keberadaan
asites. Ketika hati kehilangan kemampuannya membuat protein albumin,
air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (asites). Factor utama
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema
umumnya timbul akibat hipoalbuminemia dan retensi garam dan air.
Dengan adanya asites ini pasien dapat mengalami dyspneu, karena
peningkatan tekanan intra abdominal akibat akumulasi cairan, akan
menghambat otot diafragma sehingga diafragma sulit untuk kontraksi dan
relaksasi jadi memperngaruhi kerja ekspirasi dan inspiraasi karena
pengembangan paru yang tidak maksimal.

Mekanisme sentral
Kemoreseptor.13
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh
kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan
peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini
dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu
terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula peran serta
kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks
serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas.
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih
dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding
9
aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut
berupa urgensi untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini
disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada
pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia maupun yang
mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi
sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik
terhadap CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita
tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup kembali CO 2 yang
telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam
sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2dibawah
normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial
oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan
sensasi sesak napas.

Hiperkapnia.5
Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab
langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh
kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti
hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui
peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik. Pada
pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika mereka
diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg,
seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada
pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak
dijumpai kaitan antara hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD
yang biasanya mengakami hiperkapnia kronik tidak serta merta
mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini disebabkan karena peningkatan
tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH
pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda
pula.

Hipoksia.13

10
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak
harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia dengan
terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan
antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut; beberapa pasien dengan dispnea tidak
mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya.

Metaboreseptor.13
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh produk
akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat
pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat, jarang
sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami
gejala sesak napas cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan
di awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada
pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.

Reseptor Vagal.13
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung dipajankan
ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas. Beberapa reseptor
dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor perubahan aliran di saluran
napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima
tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-
reseptor ini disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri
masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch
Receptors (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C.
SAR

SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke serat
aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai
mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi
dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja langsung ke
kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin. Sementara, anestetik tertentu dapat
menginhibisi atau menstimulasi reseptor tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya.
Lebih lanjut, furosemid bekerja secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel
saluran napas, dimana SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya.

11
RAR

RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen
bermyelin nervus vagus (A). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan inflasi
dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti ammonia, uap eter, asap
rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan patologik saluran napas hingga paru.
Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap
kejadian dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi
bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.

Reseptor Serat-C.13

Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau
pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor J.
Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon peningkatan cairan
interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat
ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor ini), sementara Reseptor Serat-C
Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat
berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti
bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap
bahan kimia intrinsik tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama
terhadap inhalasi anestetik volatil.

Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak
memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas berat.
Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan sensasi ringan di
dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak menyebabkan
gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau aktivitas dari reseptor lain.

Reseptor Dinding Dada..13

Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan
dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal (grup I, II,
atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral.
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi
sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam
timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi

12
aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu
dispnea.

Jaras Dispnea..13
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan
mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa aktivitas
aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak, kemudian ke area
talamus.
Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior,
vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area
ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus, mual).

Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge.13


Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas motorik
respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah eferen ke otot-otot
ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks sensorik. Hubungan ini yang
disebut central corollary discharge. Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas
timbul.

Konsep Afferent Mismatch.13-15


Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor
perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita
merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary discharge sebelumnya,
kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini
justru mampu memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas,
sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik.
Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara
ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu oleh
mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat hubungan yang
seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang masuk. Namun, akibat
adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang masuk dengan usaha yang
diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak semata-mata disebabkan
oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu
mengalami sensasi dispnea dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep
13
dari Campbell dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai
merupakan akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi
aferen yang didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik.

PENILAIAN TERH ADAP SESAK NAPAS

Skala klinis. Ada beberapa skala klinis yang digunakan dalam usaha menderajatkan
dispnea yaitu:

1. Visual analogue scale (VAS= sklala analog visual)

Digunakan untuk menilai dispnea selama uji latih. Subjek diminta memberikan
penilaian tentang sesaknya dengan cara menandai garis vertical atau horizontal yang
panjangnya 10 cm sesuai dengan intensitas sesaknya. Derajat 0 untuk tidak sesak sama
sekali sampai derajat 10 untuk sesak berat. Skala ini paling sering digunakan karena
pemakaiannya lebih sederhana dan reproduksibel.13

2. Skala Borg yang dimodifikasi

Skala ini berupa garis vertical yang diberi nilai 0 sampai 10 dan tiap nilai mempunyai
deskripsi verbal untuk membantu penderita menderajatkan intensitas sesak dari derajat
ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal tersebut dibuat skor sehingga tingkat
aktivitas dan derajat sesak dapat dibandingkan antar individu. Skala ini memiliki
reproduksibilitas yang baik pada individu sehat dan dapat diterapkan untuk menentukan
dispnea pada penderita penyakit kardiopulmoner serta untuk parameter statistik.13

PERINGKAT INTENSITAS
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat
5 Sesak berat
6
7 Sesak sangat berat
14
8
9
10 Sesak sangat berat sekali, hampir maksimal

3. Skala sesak Medical Research council (MRC)

Skala MRC telah digunakan sejak tahun 1956, mampu memprediksi risiko kematian
beberapa penyakit dan mempunyai manfaat epidemiologis. Namun skala ini tidak
sensitive terhadap perubahan kecil antar individu.

Tabel 1. Skala sesak napas MRC13

DESKRIPSI PERINGKAT DERAJAT


Tidak sesak saat berjalan bergegas atau sedikit 0 -
mendaki
Sesak saat berjalan bergegas atau sedikit mendaki 1 Ringan
Berjalan lebih lambat dibanding orang seumur
oleh karena sesak atau harus berhenti untuk
2 Sedang
bernapas saat berjalan biasa
Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 3 Berat
yard atau setelah berjalan beberapa menit pada
ketinggian tetap
Terlampau sesak untuk keluar rumah atau sesak 4 Sangat berat
saat berpakaian atau melepas pakaian
DIAGNOSIS BANDING DAN PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Anamnesis

Anamnesis yang lengkap harus ditekankan pada pasien dengan gejala jantung dan paru.
Masalah jantung dan paru adalah penyebab dyspnea yang paling umum. Menentukan onset,
durasi, dan kejadian saat istirahat atau saat beraktivitas. Adanya batuk mungkin mengarahkan
pada asma atau pneumonia; batuk yang dikombinasikan dengan perubahan karakter sputum
mungkin disebabkan oleh eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pada
orang dewasa, sakit tenggorokan dikaitkan dengan dyspnea. 1,2

15
Nyeri dada selama dyspnea dapat disebabkan penyakit koroner atau pleura, tergantung
pada kualitas dan deskripsi rasa sakit. Nyeri dada dapat disebabkan oleh pericarditis,
pneumonia, emboli paru, pneumotoraks, atau pleuritis. Dyspnea atau takipnea dengan nyeri
dada pleuritik terjadi pada 97 persen dari pasien yang memiliki klinis jelas emboli paru.
Sesak napas tiba-tiba saat istirahat adalah sugestif emboli paru atau pneumotoraks. Gangguan
pernapasan berat terus menerus selama satu hingga dua jam menunjukkan gagal jantung
kongestif atau asma. Pertimbangkan penyebab nonrespiratory dyspnea (misalnya, anemia,
asidosis, keracunan obat). Nyeri dada hampir universal dalam spontan pneumotoraks,
sedangkan dyspnea adalah gejala kedua. Paling umum angina disertai sesak napas mungkin
menandakan iskemia terkait dengan disfungsi ventrikel kiri. Dyspnea paroksismal atau edema
paru mungkin satu-satunya presentasi klinis pada 10 persen pasien dengan infark miokard. 2

Pertimbangkan pneumotoraks spontan pada pasien dengan PPOK, fibrosis kistik, atau
acquired immunodeficiency syndrome. Riwayat scuba diving mungkin mengarah ke
barotrauma. Trauma airbag kendaraan telah dilaporkan menyebabkan pneumotoraks.
Anamnesis tentang gangguan pencernaan atau disfagia, yang mungkin menunjukkan
gastroesophageal reflux atau aspirasi. Gejala kecemasan mungkin menyiratkan penyebab
dyspnea psikogenik, tapi etiologi organik selalu harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
Diagnosis sindrom hiperventilasi tidak bisa dilakukan sebelum penyakit organik disingkirkan.
Perlu diketahui kebiasaan merokok, paparan asap rokok, dan penggunaan obat yang berkaitan
(yang memiliki potensi merugikan pada cardiopulmonary, seperti beta blockers). Riwayat
ortopnea, pedal edema, atau nocturnal paroxysmal dyspnea adalah sugestif gagal jantung
kongestif. 2

Tabel 2. Diagnosis Dispnea

16
Pemeriksaan Fisik

Kesan penampilan awal, status mental ,kemampuan untuk berbicara, berat badan,
tanda-tanda vital, peak flow, dan pulse oksimetri memberikan gambaran penting dari fisiologi
yang mendasari. Pulsasi paradoksal mungkin mengarah ke PPOK, asma, atau kelainan pada
perikardium. Takikardia dapat menyertai dekompensasi atau anemia. Penilaian klinis awal
sangat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung pada pasien PPOK. 14

Distensi vena jugularis dalam pengaturan dyspnea menunjukkan gagal jantung


kongestif. Penggunaan otot aksesori, penurunan diafragma, perkusi redup pada satu sisi,
hyperresonansi, dan suara napas yang abnormal, termasuk mengi dan crackles. Temuan
pemeriksaan yang dominan pada pasien dengan bronkiektasis umumnya adalah rhonki paru .
Penurunan suara nafas dan mengi mendukung adanya COPD. 2,14

Suara jantung menurun mungkin disebabkan oleh hiperekspansi paru, obesitas, atau
tamponade jantung. Gallop S3 atau S4 mungkin menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri, dan murmur dapat menunjukkan patologi katup atau septum atrium. Pleural rub sering
menunjukkan adanya efusi pleura. Hepatomegali, ascites, hepatojugular refluks, atau edema
dapat disebabkan oleh gagal jantung kanan atau hipertensi pulmonal. Adanya clubbing harus
ditambah dengan pemeriksaan untuk menentukan kemungkinan kanker paru-paru,
bronkiektasis, atau fibrosis paru. 14,15
17
Pemeriksaan Jantung dan Paru

Meraba dada untuk emfisema subkutan dan krepitus, dan Perkusi untuk menemukan
indikasi dari konsolidasi atau efusi. Hyperresonance menunjukkan pneumotoraks adalah
perkusi atau bulosa emfisema. Auskultasi jantung dan paru-paru atau jantung untuk murmur;
melemahnya suara nafas mungkin mengarahkan ke pneumotoraks atau efusi pleura. Mengi
biasanya berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif. Ronkhi ditemukan pada edema
paru dan pneumonia. Nadi cepat atau tidak teratur menandakan dysrhythmia. Gallop S3
menandakan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada kegagalan jantung kongestif. Gallop S4
mengarah pada disfungsi atau iskemia ventrikel kiri. P2 keras mungkin tendengar pada pasien
dengan hipertensi pulmonal. Murmur dapat menjadi tanda tidak langsung dari gagal jantung
kongestif, dan suara hati yang jauh dapat menunjuk ke tamponade jantung. 2,14,15

Pemeriksaan Abdomen

Mencari hepatomegali dan ascites. Menilai hepatojugular refluks adalah manuver


yang berlaku untuk mendiagnosis gagal jantung kongestif di pasien dengan dyspnea akut. 4

Ekstremitas

18
Periksa ekstremitas bawah untuk mencari edema dan tanda-tanda sugestif dari
thrombosis digit dan melihat adanya clubbing atau sianosis. 2

Gambar 3. Pendekatan diagnostik dispnea

Pemeriksaan Penunjang

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, pengkajian awal harus mencakup pulse
oksimetri, hitung darah lengkap, radiografi dada, elektrokardiografi dan, umumnya
spirometri. Jika diagnosis masih belum jelas dengan tes kecemasan atau hiperventilasi,
penyakit neuromuskular harus dipikirkan.

Radiografi dada

19
Radiografi dada untuk mengevaluasi pasien dengan dyspnea kronis dengan dugaan asal
paru dengan atau tanpa temuan pemeriksaan fisik lainnya. Radiografi dada negatif tidak
mengesampingkan penyakit paru-paru infiltratif. Radiografi dada adalah pemeriksaan yang
tepat untuk pasien dengan kegagalan jantung dengan tanda-tanda atau gejala baru. Setengah
dari pasien dengan gagal jantung kronis, tampak kardiomegali. Bukti pembesaran ruang yang
spesifik membantu dalam mendeteksi penyakit jantung katup.14,15

Elektrokardiografi

Elektrokardiografi mengkonfirmasi kelainan irama sebagai faktor dalam dyspnea, dan


gagal jantung. Penyakit jantung yang mendasari, kelainan elektrolit, atau penyakit sistemik.
Riwayat fibrilasi atrium meningkatkan kemungkinan kongestif heart failure. Iskemia atau
infark jantung mungkin ditemukan. Prekordial QRS dibawah boderline mungkin disebabkan
oleh efusi perikardial, penyakit jantung infiltratif, COPD, hipotiroidisme, obesitas.
Elektrokardiografi memiliki sensitivitas yang tinggi, spesifisitas rendah, untuk menentukan
adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri.14,15

Spirometri

Pada pasien dengan dyspnea, spirometri harus dilakukan untuk mendiagnosa obstruksi
aliran udara. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1), Kapasitas vital (FVC) rasio
menunjukkan penyakit obstruksi saluran napas, seperti PPOK, bronkitis kronis, atau asma;
penyakit paru-paru restriktif mengurangi FVC dan peningkatan rasio FEV1 / FVC yang
normal, haisl perlu dikonfirmasi dengan pengukuran volume.15

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium awal untuk sesak napas kronis meliputi perhitungan hitung
darah lengkap dan panel metabolisme dasar perlu dilakukan. Anemia karena dyspnea, dan
polisitemia mungkin menunjukkan indikasi adanya hipoksia kronis. Leukositosis neutropenia,
serta kelainan di sel darah putih, mungkin mendasari infeksi atau proses autoimun. Retensi
karbon dioksida mengindikasikan berkurangnya pertukaran gas yang berhubungan dengan
PPOK dan penyakit paru-paru interstitial. D-dimer adalah penanda degradasi fibrin. Kadar
plasma dari D-dimer langsung terkait dengan tingkat keparahan emboli paru dan dapat
membantu menentukan risiko kekambuhan penyakit tromboemboli. Hasil tes negatif dapat
membantu mengecualikan emboli paru pada pasien dengan probabilitas pretest rendah.14

20
MANAJEMEN SESAK NAPAS

Dasar fisiologis untuk pengobatan dyspnea adalah mekanisme yang mendasari sesak
napas dan penyakit yang mendasari kejadian sesak napas.14,15

Perawatan definitif pada pasien stabil tergantung pada diagnosis yang spesifik.
Penilaian cepat awal akan membantu menentukan apakah pasien tidak stabil. Pasien yang
tidak stabil biasanya hadir dengan satu atau pola gejala yang lebih yaitu hipotensi, perubahan
status mental, hipoksia, atau aritmia tidak stabil. Stridor dan usaha bernapas terganggu
(curiga obstruksi jalan napas atas). Deviasi trakea unilateral, hipotensi,dan suara nafas
unilateral (curiga tension pneumothorax), tingkat pernapasan di atas 40 napas per menit,
retraksi, sianosis, saturasi oksigen yang rendah. Proses pengobatan awal yang sama harus
diterapkan untuk setiap pola gejala tersebut. Pertama, berikan oksigen, pertimbangkan
intubasi jika pasien kesulitan untuk bernapas (terengah-engah), apnea, atau tidak responsif,
kemudian lanjutkan dengan menjaga jantung. Berikutnya, memasang akses jalur intravena
dan mulai pemberian cairan. Lakukan thoracentesis pada pasien dengan pneumothorax.
Memberikan bronkodilator nebulasi jika ada penyakit paru obstruktif. Furosemide intravena
atau intramuskular jika ada edema paru.15

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. (2000). Dyspnea Mechanisms, Assessment, and


Management: a Consensus Statement. American Journal Of Respiratory And Critical
Care Medicine. 159.
2. Roger J. Zoorob, M.D., M.P.H., And James S. Campbell, M.D. (2013). Acute Dispnea
in the Office. American Family Physician. 68 (9).
3. Diseases of The Resporatory System. Diakses pada: 3 Juli 2017. Dari:
http://classes.midlandstech.edu/carterp/Courses/bio225/chap24/lecture6.htm
4. Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea. N
Engl J Med 1995; 333:1547-1553.
5. Kasron. Kelainan dan penyakit jantung. Yogyakarta: Nusa Medika; 2012.
6. Aaronson, Philip I, Jeremy PT, Ward. At a glance system kardiovaskular. Edisi 3.
Jakarta: Erlangga; 2010
7. Sinto R, Nainggolan G. Acute kidney injury: pendekatan klinis dan tatalaksana.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
Maj Kedokteran Indonesia, Vol: 60, No. 2, Febuari 2010
21
8. Scheel PJ, Liu M, Rabb H. Uremic lung: new insights into a forgotten condition.
Kidney International. 2008. Diakses pada: 3 Juli 2017. Dari: http://www.kidney-
international.com/article/S0085-2538(15)53460-1/pdf
9. Lin SH, Liao WH, Huang SH. Uremic lung in severe azotemia. BMJ Case Rports.2013.
Diakses pada: 3 Juli 2017. Dari: http://casereports.bmj.com/content/2013/bcr-2013-
200966.full
10. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati, edisi I,
Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45
11. Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV jilid II,
Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI., 2006 hal 445-8
12. T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment: Mechanisms of
Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.

13. Menaldi R, Wahju A. Pendekatan Khusus Sesak Napas. Departemen Pulmonologi &
Ilmu Kedokteran Respirasi .FKUI - RS Persahabatan Jakarta.
14. Neel G. Karnani, Gary M. Reisfield, George R. Wilson. 2005. Evaluation Of Chronic
Dyspnea.American Family Physician. 71 (8).

15. Steven A. Wahls, Oregon Health & Science University, Portland, Oregon. 2015.
Causes And Evaluation Of Chronic Dyspnea. American Family Physician. 8 (2).

22

You might also like