You are on page 1of 6

Motivator Indonesia Terbaik, Motivator Indonesia Asia, Motivator Indonesia

Mama Paling Juara

Bukalah laptop anda, dan masuklah ke


halaman Google. Segera lakukan
pengetikan dengan kata kunci Mother.
Maka anda akan menemukan 1,710,000,000
hasil dalam waktu 0,89 detik. Artinya apa?
makna dari kata Mother atau dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan sebutkan Ibu,
Bunda, Mama, Umi, Mimih atau bahkan
Ambu begitu Sakti.

Siapapun dari kita, pasti akan bergetar


hatinya ketika mendengar kata 'Mama'. Ada begitu banyak cerita, pengalaman, rasa yang tidak
mudah kita ungkapkan. Setiap dari kita punya ceritanya sendiri. Cerita nan indah tentang sosok
mama tidak untuk dibandingkan mana yang lebih menarik satu dengan yang lainnya. Cerita
tentang mama bisa jadi sangat subjektif, namun satu hal yang pasti, cerita ini mempunyai
kenangan tersendiri di relung hati setiap anaknya.

Elvia Haidar, begitu nama lengkap mamaku yang lahir 4


Juni 1960 silam di Jakarta. Walaupun beliau lahir di Ibukota,
namun hati dan darah beliau adalah lampung asli. Hal ini
tidaklah mengherankan, sejak kecil sampai mendekati
remaja mama tinggal Krui sebelum melanjutkan SMA di
Jakarta. Krui merupakan ibukota Kabupaten Pesisir Barat,
dimana sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten
Lampung Barat (ibukota kabupatennya bernama Liwa) -
wilayah yang sempat diguncang gempa bumi hebat pada 15
Februari 1994. Krui kini sudah menjadi kabupaten sendiri,
dan terpisah secara administratif yang disahkan oleh
pemerintah pusat pada Bulan April 2013 lalu.

Krui hari ini terkenal dengan pantainya yang indah


dan ombaknya yang menantang. Banyak dari wisatawan lokal dan terlebih mancanegara yang
sudah sangat familiar dengan Krui. Wilayah ini merupakan surga untuk para peselancar yang
biasanya dikenal dengan sebutan surfer. Bahkan ada komunitas surfer di Krui yang digawangi
oleh penduduk lokal, dan sudah cukup terkenal. Komunitas ini bernama "Surfmatera",
gabungan dari kata 'suft dan Sumatera'.
Potensi hasil alamnya pun tidak kalah, sebut saja lada, cengkeh dan damar hanya sedikit dari
hasil alam yang bisa didapatkan di sini. Sebagian besar dari penduduk asli Krui adalah
masyarakat yang biasa berladang. Biasa hidup sendiri ditengah kepungan pohon (baca: hutan)
dengan peralatan seadanya. Kondisi alam seperti inilah yang mungkin secara tidak langsung
menjadikan mereka terbiasa dengan kehidupan yang keras.

Jarak antar rumah di krui tidaklah serapat dan sepadat di Pulau Jawa. Dan jarak antar kampung
(pekon) satu dengan kampung (pekon) lain juga relatif jauh. Lingkungan rumah yang berjauhan
inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa orang lampung biasa berbicara dengan suara
lebih lantang dan keras dibandingkan dengan orang jawa. Karena apabila mereka bicara dengan
lemah lembut seperti di Jawa, mungkin suara mereka sulit terdengar di hutan, kalah dengan
suara ranting dan daun yang beradu satu sama lain.

Di krui inilah mamaku dibesarkan.


Mamaku adalah anak kedua dari 7
bersaudara (Empat perempuan dan tiga
saudara laki-laki). Datuk yang merupakan
sebutan kakek dalam bahasa lampung
bernama Haidar Munawar. Beliau dahulu
bekerja di Laboratorium RSCM Jakarta
sebelum akhirnya memutuskan untuk
kembali ke kampung halaman di Krui
karena ayahandanya, Munawar Yahya,
yang semakin tua dan mulai sakit-sakitan.
Munawar yahya merupakan guru bahasa
arab dan ahli fiqih di sana. Sebagian penduduk lokal di sana bahkan menganggap beliau sebagai
alim ulama. Tidak jarang banyak penduduk lokal yang meminta bantuan kepada Munawar
apabila mempunyai masalah atau ganguan baik fisik maupun non fisik. Mungkin latar belakang
inilah yang membuat Elvia kecil mengenal dan terbiasa dengan lingkungan yang syarat nilai-
nilai luhur islami.

Andung yang merupakan sebutan nenek dalam bahasa lampung, bernama Arfah Bin
Muhammad Dina. Beliaulah yang mengajarkan tentang arti kerja keras dan bagaimana
menghargai uang. Keseharian andung adalah seorang penjahit yang menerima banyak pesanan
pakaian dari tentangga maupun pakaian yang sengaja dibuat untuk dijual kembali kepada warga
sekitar. Selain itu membuat kue juga merupakan keseharian kegiatan Andung dalam
mendukung ekonomi datuk yang sekembalinya ke kampung bermatapencaharian sebagai
'Mantri'. Menjadi mantri kampung bermodalkan pengetahuan saat bekerja di RSCM dengan
peralatan seadanya dan sedikit obat-obatan. Niatnya tulus, mengobati dan menolong warga
sekitar dengan ditemani sepeda ontelnya. Tidak kurang, tidak lebih.
Kegemaran membuat kue yang dilakukan Andung Arfah merupakan hobi sekaligus juga
kebutuhan. Beragam kue tradisional dibuat oleh andung, mulai dari kue lapis, roti kampung,
empek-empek, dan bahkan kerupuk. Setelah kue selesai dibuat, Elvia kecillah yang biasa
mengantarkan kue-kue untuk dititip di beberapa sekolah yang lokasinya tidak jauh dari rumah.
Sebagian tidak hanya dititipkan, namun harus dijajakan dan dijual langsung kepada teman
sebada dan tetangga sekitar rumah. Singkat cerita, kehidupan kecil mamaku sederhana dan
bersahaja namun syarat makna.

Setelah menghabiskan masa kecil sampai awal masa SMA di Krui, mamaku meneruskan studi di
Jakarta. Entah atas kemauan sendiri atau permintaan dari orang tua, akhirnya mamaku bersedia
meninggalkan kampung halaman. Kal itu mama mengambil Sekolah perawat SPR (Sekolah
Pengatur Rawat) di Kesdam 5 Jaya yang berlokasi di Jalan Kenari, Jakarta. Mungkin latar
belakang datuk yang bekerja didunia kesehatan mendorongnya mengambil jalur pendidikan
ini.

Sesekali mama kembali ke Krui, biasanya itu pun saat liburan hari raya. Hanya beberapa hari
saja, tidak lama. Benarlah yang dikatakan bahwa Jodoh hanya Tuhan yang tahu, justru saat
liburan inilah mama bertemu dengan Irawan Ridwan, yang akhirnya menjadi suaminya.

Setelah mama menikah dengan papa pada awal tahun 1980, praktis mama menjadi full time
mother, istilah kerennya hari ini. Dahulu papa bercerita kepada kami anak-anaknya, bahwa
setelah menikah memang papa meminta secara khusus agar mama berhenti bekerja sebagai
perawat. Sehingga praktis sejak saat itu, tugas mencari nafkah semua ada dipundak papa,
berbagi peran dengan mama yang menangani masalah rumah tangga dan anak-anak.

Dalam perjalanan berumahtangga, dengan setia mama mendampingi papa yang bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Instansi di Kementerian Hukum dan Ham,
dahulu namanya kementerian Kehakiman. Sebagai PNS, berpindah-pindah daerah (mutasi)
adalah bagian dari tuntutan pekerjaan. Mama selalu siap mendampingi papa dan memulai
kehidupan yang baru di setiap daerah dimana papa ditugaskan. Mulai dari Bali, Lhoksemawe-
Aceh, Tangerang, Banjarmasin, Palembang, Yogyakarta, Medan, Sumbawa-NTB dan sampai
Riau.

Karena kebiasaan berpindah tugas ini sehingga menjadikan kami empat bersaudara mempunyai
tempat lahir yang berbeda-beda. Kakak perempuan saya lahir di Bogor, sedangkan saya lahir di
Lhokseumawe Aceh yang dulu terkenal dengan perusahaan besarnya, mobil Oil. Dua adik saya
yang lain lahir di Tangerang dan Banjarmasin. Kami bersaudara relatif mudah bergaul dan
beradaptasi dengan lingkungan baru, mungkin karena mungkin berpindah-pindah adalah
sesuatu yang lumrah kala itu. Kami kerap gonta-ganti sekolah. Bagian tidak enaknya adalah saat
kami mulai kerasan di suatu tempat dan akrab dengan teman sepermainan, terkadang kami
harus siap pindah ke kota lain. Walaupun relatif masih kecil, kami sudah harus bisa move one,
kalau meminjam kata-kata anak zaman sekarang.
Buat anak seumur kami yang relatif
masih kecil, pindah rumah dan pindah
kota mungkin lebih banyak
senangnya daripada sedihnya. Tidak
pernah terbayangkan kesulitan orang
tua, khususnya mama yang memulai
semuanya lagi dari awal. Berpindah
tempat berarti juga berganti suasana
dan lingkungan baru. Adaptasi lagi
dengan semuanya. Bukan untuk satu
atau dua malam, namun paling tidak
untuk tiga sampai lima tahun
menetap di setiap daerah. Tidak bisa
mengatakan 'tidak' apabila tidak kerasan di suatu daerah. Tidak boleh juga mengatakan
'menyerah' apabila letih dan penat mulai terasa.

Mungkin tidak semua tempat dapat saya ceritakan dan gambarkan tentang bagaimana
perjuangan mama. Boleh jadi karena usia saya yang masih terlalu kecil kala itu. Boleh jadi pikiran
kami para anak-anak yang belum sempurna mencerna semuanya. Biasanya memang kita mulai
bisa mengingat-ingat kejadian masa kecil sejak usia tiga sampai lima tahun. Mungkin itupun
hanya samar-samar.

Menjadi saksi hidup perjuangan mama mungkin paling saya ingat saat kami sekeluarga pindah
dari Tangerang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pindah ke luar pulau jawa menuju pulau
yang konon katanya masih banyak hutan dan dihuni oleh orang dayak. Begitu kira-kira jokes dari
pada tetangga kami di sekitar rumah. Kalimantan Selatan terkenal dengan tanahnya yang
berjenis gambut. Sangat sulit untuk masyarakat di daerah ini untuk mendirikan rumah
permanen dari beton. Penyebabnya tidak lain karena biayanya yang mahal sebab tanah di sana
mayoritas adalah rawa dan berair.

Karena orang tua kami bekerja sebagai PNS, maka mau tidak mau dan suka tidak suka kami
harus menempati rumah dinas yang sudah disediakan. Rumah dinas kami merupakan 'rumah
panggung yang mayoritas berbahan dasar dari kayu tahan air (kayu ulin) dan sedikit
dikombinasikan dengan beton maupun triplek. Begitulah gambaran rumah kami di
Banjarmasin.

Banjarmasin yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Selatan identik dengan sebutan
'kota seribu sungai'. Hampir di setiap jalan yang ada di Banjarmasin bersanding mesra dengan
aliran sungai disampingnya. Ironisnya, walaupun banyak sungai di daerah ini, namun air bersih
adalah sesuatu yang langka. Air PDAM tidak selalu mengalir setiap saat, hanya jam-jam tertentu
air mengalir. Parahnya lagi, air biasanya mengalir saat tengah malam. Dimana mungkin
sebagian besar dari kita sedang tertidur pulas.

Pilihannya saat itu ada tiga buah. Pertama, menarik selimut dan melanjutkan tidur dengan
konsekuensi esok harinya sulit mandi dan melakukan aktivitas lainnya. Kedua memilih bangun
dengan gontai sambil mengisi air pada setiap drum, ember, panci, atau apapun wadah yang bisa
menampung air. Ketiga, tetap bisa tidur dengan konsekuensi membeli air dari pedagang air
keliling dengan harga per derigen relatif mahal kala itu.

Kalau mengingat-ingat ini, rasanya hati terenyuh dan mata mulai memanas. Tidak tahu sudah
berapa banyak keringat dan peluh mama yang keluar kala itu. Sungguh sulit dibayangkan,
mama dengan tiga orang anak, plus satu anak masih di dalam kandungan harus menyelesaikan
pekerjaan rumah seperti ini. Setiap malam, tanpa kenal libur.

Kakak perempuan saya kala itu masih duduk dikelas empat SD, kira-kira umurnya masih 9
tahun. Tidak bisa dikategorikan sebagai anak yang sudah dewasa juga kala itu. Saya berumur
dua tahun lebih muda (7 tahun), dan juga adik perempuan saya berumur 3 tahun. Praktis kami
semua hanya menjadi tambahan kewajiban dan beban. Tanpa banyak bisa membantu. Praktis
pada malam hari kami semua tertidur pulas setelah pagi hingga sore hari kami bersekolah.

Mama menjalani ini dengan ikhlas dan hampir saya tidak pernah mendengar mama berkeluh
kesah. Air hangat untuk kami mandi tidak pernah absen setiap pagi. Setiap saya meminta susu
walaupun di malam hari, mama selalu siap sedia. (Fyi- saya adalah pencinta berat susu dan masih
'ngedot' mungkin sampai usia mendekati 10 tahun). Termasuk urusan antar-jemput sekolah,
kalaupun mama tidak selalu datang ke sekolah kami, namun tukang becak langganan sudah siap
didepan sekolah. Mama sudah mengurus ini semua.

Itu mungkin hanya sepenggal kisah tentang bagaimana perjuangan seorang mama untuk anak-
anak dan keluarganya. Masih banyak cerita dan kisah kehebatan mama yang tidak mungkin bisa
diceritakan semua. Sebagian kisah syarat cinta mama mungkin tidak bisa kami ungkap karena
boleh jadi saat itu kami memang belum cukup usia untuk mengerti kasih sayang mama untuk
anak-anaknya yang tak bertepi. Namun cinta dan kasih sayang itu masih terasa dan membekas
hingga hari ini. Hingga kami bisa seperti ini hari ini.

Hari ini, saat saya sudah berkeluarga dan dikaruniai 3 orang putri yang istimewa, saya sadar
sepenuhnya bahwa menjadi seseorang seperti mama adalah sebuah pilihan hati dan panggilan
jiwa. Menjadi full time mother dengan hari kerja 7 hari dalam seminggu plus 24 jam non stop,
adalah sesuatu yang besar.

Maafkan kami semua mama, karena boleh jadi sampai kapanpun kami tidak bisa membalas
kasih sayangmu. Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa Seorang ibu merawat anaknya
sambil berharap anakanya dewasa dan sukses; sedangkan seorang anak merawat ibunya
hanya sambil menunggu kematiannya.

Ya Allah, Ampunilah hamba apabila mungkin hingga saat ini belum bisa maksimal berbuat
kebaikan untuk orang tua kami. Jadikanlah kami anak-anak yang pandai berbakti kepada orang
tua, sebab boleh jadi apa yang kami raih hari ini bukan karena hebatnya kami, namun karena
doa-doa yang dipanjatkan oleh orang tua kami dalam setiap sujud shalat malamnya. Amin.

Motivator Indonesia Terbaik, Motivator Indonesia Asia, Motivator Indonesia

You might also like