You are on page 1of 4

Motivator Indonesia Asia, Motivator Indonesia Terbaik, Motivator Indonesia

Papa, Aku Bangga Padamu


Sangat benarlah pribahasa yang mengatakan bahwa Dad, a sons first hero and a daughters
first love. Sosok seorang ayah, bagi siapapun pasti punya tempat tersendiri. Jikalau peran
mama identik dengan kasih sayang, perhatian dan juga kelembutan. Figur papa justru hadir
menunjukkan eksistensinya melalui keberanian, kepemimpinan dan tanggung jawab.

Berbicara mengenai sejarah dan cerita masa


kecilnya, ada satu cerita dari papa yang
menarik dan selalu saya ingat sampai hari ini.
Buat saya pribadi cerita ini cukup inspiring.
Terkadang apabila mood saya sedang tidak
bagus, dan rasa malas melanda, saya sering
mengingat-ingat kembali cerita ini untuk
sekedar menjadi obat pembakar semangat.
Hal seperti ini terkadang diperlukan, sebab
semangat manusia ibarat air laut, ada pasang-
surutnya. Oleh karena ini tinggal tugas kitalah
untuk pandai-pandai mengenali diri kita dan
menemukan cara terbaik untuk
membangkitkan motivasi saat terpuruk.

Papa sering sekali menceritakan bagaimana sejarah dan perjuangan keluarga beliau untuk maju
dan merubah nasib. Hari ini kami tinggal sangat dekat dengan ibukota, yakni Bogor. Dahulu
ceritanya berbeda jauh, papa dan keluarga berada di daerah cukup dalam di provinsi lampung.
Kampung halaman papa berada di pesisir barat lampung yang merupakan jalur menuju
bengkulu, Krui.

Untuk bisa akhirnya merantau dan sampai di pulau jawa butuh perjalanan darat yang cukup
panjang dan juga tentunya kapal laut. Saat ini mungkin hanya butuh setengah hari untuk waktu
tempuh krui-jakarta. Namun pada masa itu, butuh lebih dari sehari semalam waktu tempuhnya.
Belum lagi kondisi jalanan yang belum semulus saat ini, dan frekuensi moda transportasi laut
(kapal penumpang) masih tergolong sedikit. Pesawat? lupakanlah. Harga tiket pesawat saat itu
masih sangat tinggi dan hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menggunakan moda
transportasi ini. Jangan dibayangkan harga tiket pesawat yang kompetitif seperti saat ini,
dimana banyak airline menerapkan konsep low cost carrier. Situasi dulu sungguh berbeda.

Saat papa bercerita mengenai hal ini, nada suaranya mendadak menjadi sedikit lebih rendah
dari biasanya. Intonasi cenderung datar dan lebih lambat. Dari setiap kata yang keluar, saya bisa
merasakan kesedihan dan penderitaan dalam kisahnya. Pasca kemerdekaan dan orde lama,
Indonesia mengalami masa resisi ekonomi. Bukan saja inflasi yang menyebabkan harga barang
terus melambung tinggi. Namun lebih parah lagi, pada masa itu sempat terjadi pemotongan
nilai mata uang oleh pemerintah.

Kala itu, Datuk (begitu cara kami cucunya memanggil kakek), sempat hampir gila. Mengapa
demikian? sebab datuk baru saja menjual aset berharga satu-satunya yang ia miliki, yakni kebun
yang biasa ia rawat dan kelola untuk menghidupi keluarga. Kebun itu akhirnya dijual agar anak-
anaknya dapat melanjutkan sekolah. Diluar dugaan musibah menimpa. Tidak berapa lama
setelah datuk melepas tanahnya, pemerintah menerapkan kebijakan pemotongan nilai mata
uang rupiah. Hari itu juga uang yang dipegang atau disimpan langsung mengalami penurunan
nilai seketika. Mereka yang beruntung adalah yang sedikit memegang uang cash dan lebih
banyak mempunyai aset fisik (tanah, rumah, dll) karena nilainya tidak turun, bahkan cenderung
naik.

Alangkah malangnya datuk dan keluarga saat itu, niat baik menjual aset untuk menyambung
biaya sekolah anak-anaknya seakan-akan menjadi kesalahan dan penyesalan terbesar dalam
hidupnya. Malkumlah saat itu informasi belum secanggih saat ini. Datuk sama sekali tidak
mengetahui informasi dan rencana pemerintah ini. Boleh jadi karena pengetahuan beliau yang
relatif minim karena tidak lama mengenyam pendidikan. Belum lagi saat itu informasi adalah
sesuatu yang mewah dan mahal. Bisa dikatakan saat itu alat komunikasi yang hampir merata
hanya radio. Pemilik televisi pun mungkin masih bisa dihitung dengan jari. Dapat dibayangkan
pada masa itu informasi alakadarnya, sehingga dapat hampir dipastikan orang-orang yang ada
di pelosok daerah terlambat menerima berita dari pusat. Belum lagi posisi datuk yang rutin ada
di ladang garapan, membuat informasi luar menjadi sesuatu yang langka. Miris !

Dalam berkisah tampak jelas mata dan tatapa papa menjadi lebih sendu. Bagaimana kerasnya
kehidupan berladang. Dahulu apabila datuk ke kebun bisa berhari-hari bahkan berminggu-
minggu. Menetap disana, tidak pulang ke rumah. Ada kalanya Sang datuk masuk kebun seorang
diri dengan hanya bermodalkan sebuah golok untuk menjaga diri sekaligus sebagai untuk alat
berkebun.

Ada kalanya pula datuk mengajak serta satu atau dua anak laki-lakinya untuk membantunya
berkebun. Papaku adalah salah satu yang kerap diajak berkebun. Ditengah kebun, praktis kita
hanya seorang diri dan hanya ditemani lampu kecil sebagai penerangan. Biasanya orang yang
berkebun mempunyai kebiasaan memelihara beberapa ekor anjing guna menjaga kebun baik
dari gangguan bintang liar maupun orang yang mempunyai niat tidak baik.

Semakin lama saya mendengar cerita ini, semakin detail, semakin tergambar bagaimana
perasaan dan hati datuk yang hancur kala itu. Keluarga berduka hari itu. Semua kebingungan
bercampur panik. Papa yang bernama lengkap Irawan Ridwan, merupakan anak kelima dari
tujuh bersaudara (lima orang laki-laki termasuk papa dan dua orang perempuan). Waktu itu
Irawan belum lama menamatkan pendidikan SMA-nya. Namun tidak terbayang akan seperti
apa masa depan dikemudian hari. Semua nampak gelap. Suram!
Setelah beberapa waktu merenung dan berdiskusi dengan beberapa anggota keluarga, papa
bersama salah seorang kakaknya yang bernama Amir, memutuskan untuk merantau ke pulau
jawa dengan tujuan kotanya adalah Bogor. Pertimbangannya sederhana, disana ada beberapa
kerabat yang mungkin bersedia menampung mereka sebelum mereka memperoleh pekerjaan
tetap. Dengan modal keberanian dan diiringi doa restu orang tua mereka berangkat. Merantau!

Kehidupan di kota jauh berbeda dengan di kampung. Irawan yang saat itu bermodalkan ijazah
SMA mencari kerja serabut. Apa saja asal halal dan bisa bertahan hidup. Dari bekerja sebagai
timer di sekitar biasa angkutan kota (angkot) mencari penumpang, sampai menjadi buruh pabrik
obat pun dilakoni untuk menyambung hidup. Kebetulan saat itu fisik Irawan muda memang
masih sangat mendukung untuk pekerjaan kasar dan mengandalkan aktivitas fisik.

Awan hitam mulai berangsur-angsur hilang dan diganti sang mentari. Hidup terus berputar dan
memberi harapan bagi mereka yang tidak menyerah. Waktu itu ada kesempatan untuk bisa
menjadi PNS di salah satu Instansi departemen Kehakiman, yakni Imigrasi. Saat mendengar
informasi ini, papa dengan getol mencari informasi dan cara bagaimana agar bisa diterima.
Maklum pada zaman itu, kompetensi/kemampuan bukanlah hal yang mutlak menjamin
seseorang dapat memperoleh pekerjaan. Namun juga dibutuhkan relasi atau network untuk bisa
mewujudkannya.

Kalau diibaratkan, network itu seperti kendaraan yang membawa kita dari satu pintu ke pintu
lain. Jadi network juga dapat diartikan sebagai sebuah kesempatan. Namun setelah sampai
didepan pintu, kita harus mengetuk pintu dan menawarkan Sesuatu. Sesuatu yang kita
tawarkan itulah Kompetensi/Kemampuan. Sehingga sangat tepatlah orang bijak mengatakan
bahwa kesuksesan terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kemampuan.

Ketika itu Irawan muda sadar bahwa komptensi/kemampuan setiap pelamar yang menjadi
pesaingnya relatif sama, yakni pendidikan terakhir SMA. Hal yang mungkin menonjol dari diri
Irawan adalah kemauan, semangat dan juga kekuatan fisik yang telatih karena pekerjaan
serabutan yang dijalaninya sebelumnya. Tuntutan lingkungan pekerjaan yang berat di pabrik
obat juga turut membentuk disiplin dan semangat juang irawan dalam bekerja. Namun Irawan
sadar, hal-hal ini belum cukup kuat untuk bisa membuat dirinya diterima menjadi PNS. Irawan
pun berpikir keras dan mencari ide bagaimana bisa menembus tes PNS dan diterima.

Binggo!! ada ide yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Ia harus mencari tahu latar belakang dan
asal usul para pejabat yang menentukan penerimaan pegawai di instansi tersebut. Informasi
demi informasi terus digali dan disortir. Dari sekian banyak informasi yang didapat, hanya ada
satu kemungkinan yang paling memungkinkan. Yakni ada salah seorang petinggi di Imigrasi
yang juga berasal dari Lampung. Walaupun tidak berasal dari daerah yang sama di Lampung
(krui), namun Irawan berharap faktor kesamaan provinsi sedikit banyak membuka jalan baginya
untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi.

Hal ini sejatinya sungguh hal yang sederhana namun bisa dikategorikan brilian untuk seseorang
yang datang dari daerah cukup jauh dan dengan latar belakang pendidikan seadanya. Mengapa?
karena dalam membangun hubungan dan komunikasi dengan seseorang, hal pertama yang
harus dilakukan adalah menciptakan sebanyak mungkin persamaan atau kerap disebut
mirrorimg. Dengan adanya persamaan, maka dapat dipastikan komunikasi dua arah akan mudah
terbangun.

Singkat cerita, nasib baik terus menaungi Irawan. Ia berhasil menjalin komunikasi yang baik
dengan salah seorang pejabat tersebut. Dengan modal keberanian dan juga kesamaan latar
belakang daerah, berhasil menjadi pintu masuk menggapai cita-cita menjadi PNS. Ini bukanlah
sebuah contoh kolusi yang tidak fair dan penuh intrik, sebab irawan dalam proses rekrutmen
tersebut juga terlebih dahulu harus melewati beberapa ujian tertulis dan tes fisik yang objektif.
Cita-cita menjadi pelayan negara pun tercapai. Lewat pekerjaan inilah papa berhasil mengantar
kami semua anaknya sampai bisa menyelesaikan kuliah.

Papaku selalu berpesan kepada kami anak-anaknya dengan sebuah analogi yang cukup
sederhana. Jika dulu papa hanya hanya bisa jalan kaki, sekarang kalian telah pada berikan
sepeda, motor dan bahkan mobil; oleh karena itu bergeraklah lebih cepat dan
melangkahlah lebih jauh

Motivator Indonesia Asia, Motivator Indonesia Terbaik, Motivator Indonesia

You might also like