You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Masalah Utama
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
1. Definisi
Terjadinya penglihatan, suara, sentuhan, bau, maupun rasa tanpa stimulus
eksternal terhadap organ-organ indera (Fontaine, 2009) juga menyatakan
bahwa halusinasi dengar merupakan gejala skizofrenia yang paling sering
dijumpai, mencakup 70% dari keseluruhan halusinasi.
Halusinasi adalah suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera dimana
tidak terdapat stimulus terhadap reseptor-reseptornya, halusinasi merupakan
persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi dari salah satu dari kelima
pancaindera. Hal ini menunjukan bahwa halusinasi dapat bermacam-macam
yang meliputi halusinasi pendengaran, pengelihatan, pengecapan, perabaan,
dan penciuman (Towsend, 2009)
Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon
neurobiologis yang maladaptif, klien mengalami distorsi sensori yang nyata
dan meresponya, namun dalam halusinasi stimulus internal dan eksternal
tidak dapat teridentifikasi (Stuart, 2009) juga menyatakan bahwa halusinasi
dengar merupakan masalah utama yang paling sering dijumpai.
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi
yang tidak terjadi dalam realitas, halusinasi dapat melibatkan panca indra dan
sensasi tubuh (Videback, 2008) Halusinasi yang paling sering terjadi adalah
halusinasi dengar.

2. Jenis Halusinasi
a) Halusinasi Pendengaran
Halusinasi Pendengaran adalah halusinasi yang ditandai dengan mendengar
bunyi atau suara, rentang suara dari suara sederhana atau suara yang jelas,
suara tersebut membicarakan tentang pasien, sampai percakapan yang
komplit. suara yang didengar dapat berupa perintah yang memberitahu pasien
untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang dapat membahayakan atau
mencederai (Stuart, 2009).
Melirik mata ke kanan/ ke kiri untuk mencari sumber suara
Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang sedang berbicara/
benda mati didekatnya
Terlibat pembicaraan dengan benda mati atau orang yang tidak nampak
Menggerakkan mulut seperti mengomel

b) Halusinasi Penglihatan
Halusinasi penglihatan adalah melihat bayangan yang sebenarnya tidak
ada sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang telah meninggal atau
sesuatu yang bentuknya menakutka (Videback, 2008)
Isinya halusinasi penglihatan adalah individu melihat cahaya, bentuk
geometris, kartun atau campuran antara bayangan yang kompleks dan
bayangan tersebut menyenangkan klien atau juga sebaliknya mengerikan
(Stuart, 2009).
Tiba-tiba tampak tergagap, ketakutan karena orang lain, benda mati atau
stimulus yang tak terlihat
Tiba lari ke ruang lain
Tiba-tiba tampak tergagap, ketakutan karena orang lain, benda mati atau
stimulus yang tak terlihat
Tiba lari ke ruang lain

c) Halusinasi Penciuman
Pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa klien mencium
aroma atau bau tertentu seperti urine atau feces atau bau yang tidak sedap
(Vide back, 2000).
Menurut Stuart, 2009 pada halusinasi penciuman klien dapat mencium bau
busuk, jorok dan bau tengkik seperti darah, kadang-kadang menyenangkan,
halusinasi penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan dimensia.
Mengkerutkan hidung seperti menghirup udara yang tidak enak
Menghirup bau tubuh
Menghirup bau udara ketika berjalan kearah orang lain
Berespon terhadap bau dengan panic

d) Halusinasi Pengecapan
Isi halusinasi berupa mengecap rasa yang tetap ada dalam mulut, atau
perasaan bahwa makanan terasa seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat
berupa rasa logam atau pahit atau mungkin seperti rasa tertentu. Ada berupa
rasa busuk, tak sedap dan anyir seperti darah, urine atau feces (Stuart, 2009)
Meludahkan makanan atau minuman
Menolak makanan atau minum obat
Tiba-tiba meninggalkan meja makan

e) Halusinasi Perabaan
Isinya seperti individu merasakan sensasi seperti aliran listrik yang
menjalar ke seluruh bagian tubuh atau binatang kecil yang merayap dikulit
(Vide Back, 2008)
Menampar diri sendiri seakan-akan sedang memadamkan api
Melompat-lompat di lantai seperti menghindari sesuatu yang
menyakitkan.

f) Halusinasi Chinesthetik
Terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan
tubuh, yang tidak lazim seperti melayang diatas tanah, sensasi berdiri tak
bergerak (Vide Back, 2008)
Mengverbalisasi terhadap proses tubuh
Menolak menyelesaikan tugas yang menggunakan bagian tubuh yang
diyakini tidak berfungsi
3. Fase Halusinasi
a. Comforting (Halusinasi menyenangkan, Cemas ringan)
Klien yang berhalusinasi mengalami emosi yang intense seperti cemas,
kesepian, rasa bersalah, dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan. Seseorang mengenal
bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kesadaran control jika
kecemasan tersebut bisa dikelola.
Perilaku yang dapat diobservasi:
1) Tersenyum lebar, menyeringai tetapi tampak tidak tepat
2) Menggerakan bibir tanpa membuat suara
3) Pergerakan mata yang cepat
4) Respon verbal yang lambat seperti asyik
5) Diam dan tampak asyik

b. Comdemning (Halusinasi menjijikan, Cemas sedang)


Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Klien yang berhalusinasi
mulai merasa kehilangan control dan mungkin berusaha menjauhkan diri,
serta merasa malu dengan adanya pengalaman sensori tersebut dan menarik
diri dari orang lain.
Perilaku yang dapat diobservasi:
1) Ditandai dengan peningkatan kerja system saraf autonomic yang
menunjukan kecemasan misalnya terdapat peningkatan nadi, pernafasan
dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menjadi sempit
3) Asyik dengan penngalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan realitas.

c. Controlling (Pengalaman sensori berkuasa, Cemas berat)


Klien yang berhalusinasi menyerah untuk mencoba melawan pengalaman
halusinasinya. Isi halusinasi bisa menjadi menarik/meimkat. Seseorang
mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori berakhir.
Perilaku yang dapat diobservasi:
1) Arahan yang diberikan halusinasi tidak hanya dijadikan objek saja oleh
klien tetapi mungkin akan diikitu/dituruti
2) Klien mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain
3) Rentang perhatian hanya dalam beberapa detik atau menit
4) Tampak tanda kecemasan berat seperti berkeringat, tremor, tidak mampu
mengikuti perintah.

d. Conquering (Melebur dalam pengaruh halusinasi, Panic)


Pengalaman sensori bisa mengancam jika klien tidak mengikuti perintah
dari halusinasi. Halusinasi mungkin berakhir dalam waktu empat jam atau
sehari bila tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku yang dapat diobservasi:
1) Perilakku klien tampak seperti dihantui terror dan panic
2) Potensi kuat untuk bunuh diri dan membunuh orang lain
3) Aktifitas fisik yang digambarkan klien menunjukan isi dari halusinasi
misalnya klien melakukan kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia
4) Klien tidak dapat berespon pada arahan kompleks
5) Klien tidak dapat berespon pada lebih dari satu orang

4. Rentang Respon Neurobiologis (Stuart. 2007)


Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaftif Respon
Maladaftif

1. Pikiran logis 1. Kadang proses pikir 1. Gangguan proses


terganggu pikir (waham)
2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Emosi 3. RPK
dengan pengalaman
4. Perilaku sesuai 4. Perilaku tidak biasa 4. Perilaku tidak
terorganisir
5. Hubungan sosial
harmonis 5. Menarik diri 5. Isolasi sosial
B. Proses Terjadinya Masalah
Halusinasi secara umum ditemukan pada klien skizofrenia, proses
terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia dapat dijelaskan berdasarkan
Model Adaptasi Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009) yaitu faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian stressor, sumberkoping, dan juga
mekanisme koping.
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009), faktor predisposisi yang
dapat menyebabkan terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia meliputi
faktor biologi, psikologi dan juga sosialkultural.
a) Faktor Biologi
Menurut Videbeck (2008), faktor biologi yang dapat menyebabkan
terjadinya skizofrenia adalah faktor genetik, neuroanatomi, neurokimia serta
imunovirologi.
1) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007).
Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009) menyebutkan bahwa krornosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain
yang juga berperan adalah kromosoni 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al
(2006 dalam Stuart, 2009). Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1
yang bertanggung jawab memproduksi GABA, dimana pada klien
skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan
pada daerah frontal, dimana bagaian ini berfungsi dalam proses berfikir
dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009)
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar
yang menunjukkan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia
sebesar 50%, sedangkan pada kembar non identik/fraternal berisiko 15%
mengalami skizofrenia, angka ini meningkat sampai 35% jika kedua
orangtua biologis menderita skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000;
Videbeck, 2008; Stuart, 2009) Semua penelitian ini menunjukkan bahwa
faktor genetik hanya sebagian kecil penyebab terjadinya skizofrenia dan
ternyata masih ada faktor lain yang juga berperan sebagai faktor penyebab
terjadinya skizofrenia.

2) Neuroanatomi
Penelitian menunjukkan kelainan anatomi, fungsional dan
neurokimia di otak klien skizofrenia hidup dan postmortem, penelitian
menunjukkan bahwa kortek prefrontal dan system limbik tidak
sepenuhnya berkembang pada di otak klien dengan skizofenia. Penurunan
volume otak mencerminkan penurunan baik materi putih dan materi abu-
abu pada neuron akson (Kuroki et al, 2006; Higgins, 2007 dalam Stuart,
2009). Hasil pemeriksaan Computed Tomography (CT) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI), memperlihatkan penurunan volume otak pada
individu dengan skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya
keterlambatan perkembangan jaringan otak dan atropi. Pemeriksaaan
Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan. Penurunan aliran
darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan kognitif pada
individu dengan skizofrenia. Penelitian lain juga menunjukkan terjadinya
penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area
temporalis dan frontal (Videbeck, 2008). Perubahan pada kedua lobus
tersebut belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Keadaan patologis yang terjadi pada lobus temporalis dan frontalis
berkorelasi dengan terjadinya tanda-tanda positif dan negatif dan
skizofrenia. Copel (2007) menyebutkan bahwa tanda-tanda positif
skizofrenia seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal
pada lobus temporalis. Sedangkan tanda-tanda negatif seperti tidak
memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi
otak yang abnormal pada lobus frontalis.
Hal ini sesuai dengan Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend,
2009) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah
aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian,
aspek produksi bahasa. Sehingga apabila terjadi gangguan pada lobus
frontalis, maka akan terjadi perubahan pada aktivitas motorik, gangguan
intelektual, perubahan kepribadian dan juga emosi yang tidak stabil.
Sedangkan fungsi utama dan lobus temporalis adalah pengaturan bahasa,
ingatan dan juga emosi. Sehingga gangguan yang terjadi pada korteks
temporalis dan nukleus-nukeus limbik yang berhubungan pada lobus
temporalis akan menyebabkan timbulnya gejala halusinasi.

3) Neurokimia
Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis
disregulasi pada skizofrenia, gangguan terus menerus dalam satu atau
lebih neurotransmitter atau neuromodulator mekanisme pengaturan
homeostatic menyebabkan neurotransmisi tidak stabil atau tidak menentu.
Teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik overaktif terhadap
dopamine, sedangkan apa area prefrontal mengalami hipoaktif sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara system neuritransmiter dopamine dan
serotonin serta yang lain (Stuart, 2009). Pernyataan ini memberi arti
bahwa neurotransmiter mempunyai peranan yang penting menyebabkan
terjadinya skizofrenia.
Beberapa referensi menunjukkan bahwa neurotransmiter yang
berperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin. Satu
teori yang terkenal memperlihatkan dopamin sebagai faktor penyebab, ini
dibuktikan dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin
pascasinaptik mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataannya semakin
efektif obat tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia. Sedangkan
serotonin berperan sebagai modulasi dopamine, yang membantu
mengontrol kelebihan dopamin, beberapa peneliti yakin bahwa kelebihan
serotonin itu sendiri berperan dalam perkembangan skizofrenia, ini
dibuktikan dengan penggunaan obat antipsikotik atipikal seperti klozapin
(clozaril) yang merupakan antagonis dopamin dan serotonin. Penelitian
menunjukkan bahwa klozapin dapat menghasilkan penurunan gejala
psikotik secara dramatis dan mengurangi tanda-tanda negatif skizofrenia
(OConnor, 1998; Marder, 2000 dalam Videbeck, 2008).
Adanya overload reuptake neurotransmiter dopamin dan serotonin
mengakibatkan kerusakan komunikasi antar sel otak, sehingga jalur
penerima dan pengiriman informasi di otak terganggu. Keadaan inilah
yang mengakibatkan informasi tidak dapat diproses sehingga terjadi
kerusakan dalam persepsi yang berkembang menjadi halusinasi dan
kesalahan dalam membuat kesimpulan yang berkembang menjadi delusi.

4) Imunovirologi
Sebuah penelitian untuk menemukan virus Skizofrenia telah
berlangsung (Torrey et al, 2007; Dalman et al, 2008). Bukti campuran
menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza, terutama
selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab
skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak pada orang lain (Brown et al,
2004). Teori ini didukung oleh temuan riset yang memperlihatkan lebih
banyak orang dengan skizofrenia lahir di musim dingin atau awal musim
semi dan di daerah perkotaan (Van Os et al, 2004). Temuan ini
menunjukkan musim potensial dan tempat lahir dampak terhadap risiko
untuk skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat-tempat
keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat terjadi in
utero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang rentan (Gallagher
et al, 2007; Veling et al, 2008 dalam Stuart, 2009).

b) Faktor Psikologis
Selain faktor biologi diatas, faktor psikologis juga ikut berperan
mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Menurut Townsend, (2009). awal
terjadinya skizofrenia difokuskan pada hubungan dalam keluarga yang
mempengaruhi perkembangan gangguan ini, teori awal menunjukkan
kurangnya hubungan antara orangtua dan anak, serta disfungsi system
keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Dalam penelitian lain disebutkan
beberapa anak dengan skizofrenia menunjukkan kelainan halus yang meliputi
perhatian, koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor dan respon
emosional jauh sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari
skizofrenia (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009). Hal diatas didukung
oleh Sinaga, (2007) yang menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang
tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia,
pada masa kanak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil,
kekerasan, hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima
oleh anak sangat mempengaruhi perkembangan neurologikal anak sehingga
lebih rentan mengalami skizofrenia dikemudian hari.
Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) faktor psikologis yang dapat
mempengaruhi adalah tingkat inteligensi, kemampuan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi. Selain itu
faktor penyebab terjadinya skizofrenia berdasarkan teori interpersonal
berpendapat bahwa skizofrenia muncul akibat hubungan disfungsional pada
masa kehidupan awal dan masa remaja, skizofrenia terjadi akibat ibu yang
cemas berlebihan, terlalu protektif atau tidak perhatian secara emosional atau
ayah yang jauh dan suka mengontrol (Torrey, 1995 dalam Videbeck, 2008).
Hal ini memberi arti bahwa anak akan belajar pada orangtuanya yang
mengalami skizofrenia dan akan mempraktekkan apa yang dilihatnya setelah
ia besar dalam setiap ia mengalami masalah.

c) Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial budaya yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia
adalah adanya double bind didalam keluarga dan konflik dalam keluarga.
Torrey (1995, dalam Videbeck, 2008) juga menyebutkan bahwa salah satu
faktor sosial yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah adanya
disfungsi dalam pengasuhan anak maupun dinamika keluarga. Konflik
tersebut apabila tidak diatasi dengan baik maka akan menyebabkan resiko
terjadinya skizofrenia
Berdasarkan Towsend (2005), faktor sosial kultural meliputi
disfungsi dalam keluarga, konflik keluarga. komunikasi doeble bind serta
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan. Hal ini
didukung oleh Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal yang meliputi komunikasi
yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam
hubungan, dan kehilangan kontrol emosional. Pernyataan ini menunjukkan
bahwa faktor sosial budaya seperti pengalaman sosial dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya skizofrenia.
Selain itu Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) juga menyebutkari
bahwa faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya
skizofrenia adalah karena tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan, tidak
memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi ras,
golongan, usia maupun jenis kelamin. Dan diperkuat oleh Sinaga, (2007)
menyatakan bahwa stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan
skizofrenia, diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka
kejadian skizofrenia yang tinggi, skizofrenia lebih banyak didapatkan pada
masyarakat dilingkungan perkotaan disbanding masyarakat pedesaan,
individu dengan skizofrenia akan bergeser ke kelompok social ekonomi
rendah, bergantung dengan lingkungan sekitar, kehilangan pekerjaan dan
berkurang penghasilan. Stuart dan Laraia (2005) menyebutkan bahwa faktor
sosial kultural yang dapat mempengaruhi yaitu usia, jenis kelamin,
pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai
dan pengalaman sosial individu. Hal diatas memberikan gambaran pada kita
semua bahwa faktor sosial budaya seperti masalah kemiskinan, pendidikan
maupun pekerjaan juga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa
individu. Dan oleh sebab itu perlu ditingkatkan kemampuan individu dalam
beradaptasi menghadapi situasi tersebut agar individu tidak jatuh pada
skizofrenia.
Pemyataan diatas didukung oleh penelitian Tamer dkk (2002) yang
menunjukkan bahwa karakteristik responden skizofrenia yang mengalami
halusinasi adalah 216 orang berjenis kelamin laki-laki (70%) dan berusia
rata-rata 27 tahun. Hal berbeda dinyatakan oleh Sinaga, (2007) yang
menyatakan bahwa prevalensi skizofrenia sama antara laki-laki dan
perempuan, tetapi berbeda dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki
mempunyai onset skizofrenia lebih awal dibandingkan pada wanita.
Penelitian Tamer dkk (1998) juga menunjukkan bahwa 76 responden
skizofrenia tidak mempunyai pekerjaan (90%). Pekerjaan sangat erat
kaitannya dengan penghasilan dan status ekonomi individu. Hal ini didukung
oleh Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa stres yang dialami oleh anggota
kelompok sosial ekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Masalah keluarga dan pendidikan dapat menjadi pencetus terjadinya
skizofrenia. Hal mi ditunjukkan oleh penelitian Tarrier dkk (1998) yang
menemukan bahwa skizofrenia ditemukan pada 24 responden (33.33%) yang
hidup sendiri dan 78 responden tidak rnempunyai pendidikan ataupun
keahlian (91%). Hal ini menunjukkan bahwa memang kehidupan perkawinan
dapat menjadi pencetus terjadinya skizofrenia jika terjadi akumulasi masalah
yang tidak dapat diselesaikan (Hawari, 2001 dalam Carolina, 2008). Begitu
juga pendidikan, pendidikan dapat menjadi sumber koping individu yang
dapat membantu individu dalam mengatasi stress (Stuart & Laraia, 2005).
Menurut Sinaga (2007), prevalensi terjadinya skizofrenia pada laki-
laki pada usia 15 sampai 25 tahun, sedangkan pada wanita terjadi pada usia
25 sampai 35 tahun, sedangkan onset terjadinya skizofrenia sebelum umur 10
tahun atau sesudah 50 tahun sangat jarang. Carolina (2008) menyebutkan
bahwa usia berhubungan dengan variasi stressor dalam hidup, sumber
dukungan dan sumber koping dalam mengatasi masalah.

2. Factor Presipitasi
Pada kondisi normal, otak mempunyai peranan penting dalam
meregulasi sejumlah informasi. Informasi normal diproses melalui aktivitas
neuron. Stimulus visual dan auditory dideteksi dan disaring oleh thalamus dan
dikirim untuk diproses di lobus frontal. Sedangkan pada klien skizofrenia
terjadi mekanisme yang abnormal dalam memproses informasi (Perry, Geyer
& Braff, 1999 dalam Stuart & Laraia, 2005). Gejala pencetus yang
menyebabkan hal tersebut terjadi adalah faktor kesehatan, lingkungan, sikap
dan perilaku individu (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Faktor pencetus halusinasi diakibatkan gangguan umpan balik di otak
yang mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan
dan pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk
diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan terlalu banyak
pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal
mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan di ingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal. Penurunan
fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan balik
dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload
(Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Stessor presipiatsi yang lain adanya
abnormal pada pintu mekanisme pada klien skizofrenia, Pintu mekanisme
adalah proses elektrik yang melibatkan elektolit, hal ini memicu
penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan balik yang terjadi pada
system saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating proses ini ditunjukkan
dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara selektif
(Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2009).

3. Mekanisme Koping
Pada klien skizofrenia, klien berusaha untuk melindungi dirinya dan
pengalaman yang disebabkan oleh penyakitnya, klien akan melakukan regresi
untuk mengatasi kecemasan yang dialaminya. Melakukan proyeksi sebagai
usaha untuk menjelaskan persepsinya dan menarik diri yang berhubungan
dengan masalah yang membangun kepercayaan dan keasyikan terhadap
pengalaman internal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009)

4. Penilaian terhadap stressor


Penilaian terhadap stressor merupakan penilaian individu ketika
menghadapi stressor yang datang. Menurut Sinaga (2007), faktor biologis,
psikososial dan lingkungan saling benintegrasi satu sama lain pada saat
individu mengalami stres sedangkan individu sendiri memiliki kerentanan
(diatesis), yang jika diaktiflan oleh pengaruh stres maka akan menimbulkan
gejala skizofrenia. Model diatesis stress diatas sama seperti Model Adaptasi
Stuart dan Laraia (2005). Berdasarkan Stuart dan Laraia. (2005). penilaian
seseorang terhadap stressor terdiri dan respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku dan sosial. Hal ini memberikan arti bahwa apabila individu
mengalami suatu stressor maka ia akan merespon stressor maka ia akan
merespon stressor tersebut dan akan tampak melalui tanda dan gejala yang
muncul.

5. Sumber Koping
Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005), sumber koping merupakan hal
yang penting dalam membantu klien dalam mengatasi stressor yang
dihadapinya. Sumber koping tersebut meliputi asset ekonomi, sosial support,
nilai dan kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila individu
mempunyai sumber koping yang adekuat maka ia akan mampu beradapatasi
dan mengatasi stressor yang ada.
Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang dibutuhkan
individu ketika mengalami stress. Hal tersebut sesuai dengan Videbeck
(2008) yang menyatakan bahwa keluarga memang merupakan salah satu
sumber pendukung yang utama dalam penyembuhan klien skizofrenia.
Psikosis atau Skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.
Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi
kognitif (psikosis aktif), (2) pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua
aspek kehidupan (ketetapan kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi
kerja atau tujuan pendidikan (ordinariness). Proses multifase penyesuaian
dapat berlangsung 3 sampai 6 tahun (Moller, 2006, dalam Stuart, 2009):
1. Efikasi/Kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala
dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan
waktu 6 sampai 12 bulan.
2. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan
pemeriksaan realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini
memakan waktu 6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan
pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
3. Setelah mencapai pengenalan diri/insight, proses pencapaian kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan
reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan
sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
4. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2
tahun. sumber daya Keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi, dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya
penyesuaian postpsychotic.

6. Mekanisme Koping
Pada klien skizofrenia, klien berusaha untuk melindungi dirinya dan
pengalaman yang disebabkan oleh penyakitnya. Klien akan melakukan
regresi untuk mengatasi kecemasan yang dialaminya, melakukan proyeksi
sebagai usaha untuk menjelaskan persepsinya dan menarik diri yang
berhubungan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan
terhadap pengalarnan internal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).

7. Tanda dan gejala


1. Fisik : Ekspresi wajah tegang, berkeringat, pernafasan dan nadi menngkat,
sulit tidur
2. Emosional : Merasa ketakutan, dan tidak masuk akal, tidak mampu
membedakan yang nyata dan dengan yang tidak nyata
3. Perilaku : Berbicara, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar
suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata,
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan seerta tidak melakukan
perawatan diri seperti mandi, sikat gigi dan ganti pakaian dan kontak mata
negative
4. Sosial : Sikap curiga dan bermusuhan sehingga lama kelamaan klien
menarik diri dari orang lain ( Towsend, 2009)

8. Pohon Masalah

Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi:


Halusinasi

Isolasi Sosial

Gangguan Konsep Diri: Harga


Diri Rendah

Pohon Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi (Keliat, 2010)


9. Daftar Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji
1. Masalah keperawatan : Diagnosis Keperawatan NANDA-I
rentang respon neurobiologis, skizofrenia dan gangguan
psikotik (Stuart, 2009):
Anxiety
Impaired Verbal Communication *
Confusion,Acute
Compromised family coping
Ineffective coping
Decisional conflict
Hopelessness
Impaired memory
Noncompliance
Disturbed personal identity
Ineffective role performance
Self care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
Disturbed sensory perception*
Impaired social interaction*
Social isolation
Risk for suicide
Ineffective therapeutic regiment management
Disturbed thought processes *
(*Diagnosis keperawatan primer rentang respon
neurobiologis, skizofrenia dan gangguan psikotik).
10.Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa SP Klien SP Keluarga
Keperawatan
Gangguan Persepsi SP 1 : SP 1:
Sensori : Halusinasi 1. Identifikasi halusinasi: isi, 1. Diskusikan masalah yg dirasakan
frekuensi, waktu terjadi, situasi dalam merawat pasien
pencetus, perasaan, respon 2. Jelaskan pengertian, tanda & gejala,
2. Jelaskan cara mengontrol dan proses terjadinya halusinasi
halusinasi: hardik, obat, (gunakan booklet)
bercakap-cakap, melakukan 3. Jelaskan cara merawat halusinasi
kegiatan 4. Latih cara merawat halusinasi: hardik
3. Latih cara mengontrol halusinasi 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
dg menghardik jadual dan memberi pujian
4. Masukan pada jadual kegiatan
untuk latihan menghardik
SP 2 : SP 2 :
1. Evaluasi kegiatan menghardik. 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
Beri pujian merawat/melatih pasien menghardik.
2. Latih cara mengontrol halusinasi Beri pujian
dengan obat (jelaskan 6 benar: 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
jenis, guna, dosis, frekuensi, cara, obat
kontinuitas minum obat) 3. Latih cara memberikan/ membimbing
3. Masukkan pada jadual kegiatan minum obat
untuk latihan menghardik dan 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
minum obat jadual dan memberi pujian
SP 3 : SP 3 :
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
menghardik & obat. Beri pujian merawat/melatih pasien menghardik
2. Latih cara mengontrol halusinasi dan memberikan obat. Beri pujian
dgn bercakap-cakap saat terjadi 2. Jelaskan cara bercakap-cakap dan
halusinasi melakukan kegiatan untuk
3. Masukkan pada jadual kegiatan mengontrol halusinasi
untuk latihan menghardik, 3. Latih dan sediakan waktu bercakap-
minum obat dan bercakap-cakap cakap dengan pasien terutama saat
halusinasi
4. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberikan pujian
SP 4 : SP 4 :
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
menghardik & obat & bercakap- merawat/melatih pasien menghardik,
cakap. Beri pujian memberikan obat & bercakap-cakap.
2. Latih cara mengontrol halusinasi Beri pujian
dgn melakukan kegiatan harian 2. Jelaskan follow up ke RSJ/PKM,
(mulai 2 kegiatan) tanda kambuh, rujukan
3. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan menghardik, jadual dan memberikan pujian
minum obat, bercakap-cakap dan
kegiatan harian
SP 5 : SP 5 :
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
menghardik & obat & bercakap- merawat/melatih pasien menghardik
cakap & kegiatan harian. Beri & memberikan obat & bercakap-
pujian cakap & melakukkan kegiatan harian
2. Latih kegiatan harian dan follow up. Beri pujian
3. Nilai kemampuan yang telah 2. Nilai kemampuan keluarga merawat
mandiri pasien
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ/PKM

11. Rencana Tindakan Keperwatan Spesialis


a. Terapi Individu : terapi perilaku
b. Terapi kelompok : psikoedukasi kelompok
c. Terapi keluarga : triangle terapi
d. Terapi komunitas : assertive comunity therapy (SAK, FIK-UI, 2014)

12. Rencana Tindakan Medis


a. Anti psikotik :
Chlorpromazine
Haloperidol
Stelazine
Clozapine
Risperidon
b. Anti parkinson
Trihexyphenidile
Arthan

You might also like