You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat
sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering
menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di
seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis atau TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah
penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan
bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian,
sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999
WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000
penderita Tuberkulosis/TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens
rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat
Tuberkulosis/TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah
penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua
menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit
sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Sehingga kita harus waspada sejak
dini dan mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.
Berdasarkan uraian latar belakang, penulis merasa perlu untuk dilakukan pengkajian
mengenai penyakit tuberkulosis sebagai suatu langkah untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih menyeluruh mengenai salah satu penyakit menular jenis Air Borne Disease
paling berbahaya dan mematikan ini. Maka dari itu, penulis pun membuat kajian
mengenai penyakit tuberkulosis yang dituangkan di dalam makalah ini dengan judul
Penyakit Tuberkulosis.

Makalah Tuberkulosis 1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah penyakit tuberkulosis?
2. Apa yang dimaksud penyakit tuberkulosis?
3. Apa-apa saja jenis-jenis penyakit tuberkulosis?
4. Apa-apa saja klasifikasi penyakit tuberkulosis?
5. Apa-apa saja agent dan reservoir penyakit tuberkulosis?
6. Bagaimana penularan penyakit tuberkulosis di dunia?
7. Bagaimana penularan penyakit tuberkulosis di Indonesia?
8. Apa-apa saja faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis?
9. Bagaimana cara penularan dan risiko penularan tuberkulosis?
10. Berapa lama masa inkubasi dan masa penularan penyakit tuberkulosis?
11. Apa-apa saja gejala penyakit tuberkulosis?
12. Bagaimana bentuk pengkajian penyakit tuberkulosis berdasarkan analisis
epidemiologi?
13. Apa-apa saja klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit tuberkulosis?
14. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tuberkulosis?
15. Bagaimana pemeriksaan penunjang penyakit tuberkulosis?
16. Apa-apa saja program pemberantasan tuberkulosis?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah penyakit tuberkulosis.
2. Untuk mengetahui pengertian penyakit tuberkulosis.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis penyakit tuberkulosis.
4. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit tuberkulosis.
5. Untuk mengetahui agent dan reservoir penyakit tuberculosis.
6. Untuk mengetahui penularan penyakit tuberkulosis di dunia.
7. Untuk mengetahui penularan penyakit tuberkulosis di Indonesia.
8. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.
9. Untuk mengetahui cara penularan dan risiko penularan tuberkulosis.
10. Untuk mengetahui masa inkubasi dan masa penularan penyakit tuberkulosis.
11. Untuk mengetahui gejala penyakit tuberkulosis.
12. Untuk mengetahui bentuk pengkajian penyakit tuberkulosis berdasarkan analisis
epidemiologi.
13. Untuk mengetahui klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit tuberkulosis.

Makalah Tuberkulosis 2
14. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit tuberkulosis.
15. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit tuberkulosis.
16. Untuk mengetahui program pemberantasan tuberkulosis.

Makalah Tuberkulosis 3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Penyakit Tuberkulosis


Penyakit ini telah lama dikenal di seluruh dunia, bahkan ribuan tahun sebelum
masehi. Bakteri ini pernah teridentifikasi di satu tubuh mumi Mesir yang berusia 2.400
SM. Bakteri yang menyebabkan penyakit TBC ini berhasil diidentifikasi oleh Robert
Koch pada tanggal 24 Maret 1892. Robert Koch berhasil meneliti dan membiakan bakteri
tersebut, serta mengumumkannya secara resmi pada pertemuan Perhimpunan Ahli
Fisiologi di Berlin, Jerman (Ginanjar, 2008).
Sejarah pun mencatat berbagai upaya yang dilakukan manusia dalam usahanya
menangani TBC. Mulai dari uji coba vaksin BCG (Bacille Calmette Gurin) pada tahun
1920, ditemukannya streptomycin dan PAS dalam pengobatan TBC pada tahun 1943,
disusul oleh Isoniazid (INH) pada tahun 1952, hingga penemuan pada tahun 1960 oleh
Dr. John Crofton, seorang ahli TBC dari Universitas Edinburgh yang menyatakan bahwa
kombinasi dari PAS, streptomycin dan INH, dapat menyembuhkan TBC (Depkes RI,
2007).

B. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang paru tetapi
juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2007). Tuberkulosis merupakan
infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang pada
berbagai organ tubuh mulai dari paru dan organ di luar paruseperti kulit, tulang,
persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal
TBC. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit
parenkim paru (Christian, 2012).
Tuberculosis adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium Tuberculosis.Sebagian bersar kuman tuberculosis menyerang paru tetapi
juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2008).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit
ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Achmad,
2010).

Makalah Tuberkulosis 4
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium Tuberculosis yang ditularkan melalui
dahak (droplet) dari penderita TBC kepada individu lain yang rentan. Bentuk bakteri
Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang ramping,
kurus, dan tahan akan asam atau sering disebut dengan BTA (Batang Tahan Asam).
Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 m dan lebar 0,2
0,5 m yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi
lingkungan (Ginanjar, 2008).

Gambar 2.1 Mycobacterium Tuberculosis


Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang terutama menyerang paru-paru, tetapi tidak menutup kemungkinan
juga dapat ditularkan ke organ lain seperti otak, ginjal, tulang dan lainya.

C. Jenis-jenis TBC
1. TBC Paru-Paru
TBC paru-paru merupakan jenis TBC yang paling sering ditemui disetiap kasus.
Hal ini disebabkan saluran pernafasan merupakan jalur utama penularan bakteri
mycobacterium tuberculosis. Tanda-tanda adanya infeksi TBC pada paru-paru adalah
bedasarkan rontgen yang ditandai adanya becak-bercak bewarna putih di daerah
percabangan bronchus yang besar dan lebih kecil.
2. TBC Kelenjar Getah Bening
Bentuk TBC kelenjar getah bening sering dijumpai, dan yang paling sering
terinfeksi adalah yang berada di bawah leher.
3. TBC Mata
Infeksi yang terjadi umumnya menyerang kelopak mata dan selaput bening mata
(kornea). TBC mata sering ditemui pada anak 3-15 tahun. Gejala yang sering
dikeluhkan adalah iritasi, rasa nyeri, mata berair, mapun rasa silau pada mata.

Makalah Tuberkulosis 5
4. TBC Perut
TBC perut atau TBC peritonitis merupakan jenis TBC yang jarang ditemukan
pada penderita TBC anak, yakni hanya sebesar 1-5 persen dari seluruh kasus TBC
yang terjadi. Infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis pada rongga perut menyebar
melalui kelenjar getah bening disekitar usus maupun peredaran darah. Keluhan yang
ditemukan beragam, diantaranya adalah diare yang berlangsung lama, perut kembung,
sulit buang air besar, mual, muntah, demam yang tinggi, ataupun rasa nyeri dibagian
perut.
5. TBC Tulang dan Sendi
TBC tulang dan sendi ditemukan kurang lebih 1-7% dari seluruh kasus TBC.
6. TBC Ginjal
Ginjal TBC pada saluran ginjal sangat jarang ditemui .Hal ini disebabakan oleh
lamanya waktu yang dibutuhkan sejak mulai terinfeksi mycobacterium tuberculosis
hingga berkembang menjadi TBC ginjal, yakni sekitar 7-10 tahun.Keluhannya berupa
air kencing yang berwarna merah karena bercampur darah, namun tidak disertai rasa
nyeri pada saat buang air kecil.
7. TBC Kulit
Infeksi mycobacterium tuberculosis masuk melalui kulit yang tidak utuh (abrasi)
ataupun mengalami luka. Keluhan biasanya terkait dengan rasa nyeri atau timbulnya
nanah di daerah kulit yang terinfeksi.

D. Klasifikasi Tuberkulosis
Menurut Anies (2006) klasifikasi tuberkulosis yang banyak dipakai di Indonesia
adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis, meliputi :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a. Tuberkulosisi paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif tetapi tanda-
tanda lain positif.
b. Tuberkulosisi paru yang tidak terobati. Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda
lain juga meragukan.
TB tersangka dalam 2-3 bulan sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru
(aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi,
mikroskopik sputum BTA (langsung), biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan

Makalah Tuberkulosis 6
yang relevan untuk tuberkulosis paru, status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat
anti tuberkulosis.

E. Agent dan Reservoir Penyakit Tuberkulosis


1. Agent
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak menginfeksi
manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis kompleks. Kompleks ini
termasuk Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium africanum terutama berasal
dari manusia dan Mycobacterium bovis yang berasal dari sapi. Mycobacteria lain
biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan dengan tuberkulosis.
Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur. Analisis genetic sequence
dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) sangat membantu
identifikasi non kultur. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit
biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang
terinfeksi TB paru (Price dan Wilson, 2012).
Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu
lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Mycobacterium tuberculosis kompleks
merupakan kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan organism
patogen maupun saprofit. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak
penderita yang mengandung basil berkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-
butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk
kedalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Price
dan Wilson, 2012).
2. Reservoir
Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, di beberapa
daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain.

F. Penularan Penyakit Tuberkulosis di Dunia


Pada tahun 1993, Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization)
menyatakan TBC sebagai kegawatdaruratan global (Global health emergency) dengan
perkiraan sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh TBC. Pada tahun itu pun strategi
DOTS (Directly Observed Treatment,Short Course)diuji cobakan di India, beberapa

Makalah Tuberkulosis 7
negara di Afrika dan di Indonesia. Hingga saat ini strategi DOTS dinyatakan sebagai
strategi yang paling efektif dalam mengendalikan TBC (Depkes RI,2007).
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TBC di
seluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa. Dan hingga
tahun 2009 angka penderita TBC menjadi 9,4 juta jiwa. Setiap harinya terdapat 4.930
orang meninggal disebakan oleh TBC. Menurut fakta yang ada sebagian besar penderita
TBC adalah usia produktif (15-55 tahun).
Sebagian besar penderita TBC terdapat di negara-negara berkembang. Perkiraan
jumlah insiden yang ditemukan di setiap negara di dunia dapat dilihat pada gambar peta
di bawah ini.

Gambar 2.2 Peta Jumlah Insiden TBC di Dunia Tahun 2009

G. Penularan Tuberkulosis di Indonesia


Di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Bedasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1993, di
Indonesia penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi penyebab kematian
ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya,dengan angka insiden
sebesar 107 per100 ribu penduduk.Indonesia pun menempati posisi ketiga dalam kasus
penderita TBC terbesar di dunia, setelah India dan China. Pada tahun 1999 WHO
memperkirakan terdapat 528.000 kasus baru TBC pertahun di Indonesia, yang hampir

Makalah Tuberkulosis 8
separuhnya adalah TBC yang menyerang paru-paru, dan 140.000 kasus
menyebabkan kematian (Depkes RI,2007).
Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian di Indonesia Tahun 1990 dan 2009

Tahun 1990 Tahun 2009


Kasus
TBC Per Per 100.000 Per Per Per 100 .000
Per hari
tahun penduduk hari tahun penduduk
Insiden
626.867 343 1.717 528.063 228 1.447
semuaje
nis TBC
Prevalen
si semua 809 443 2.218 565.641 244 1.150
jenis
TBC
Insiden
KasusBa 282.090 154 773 236.029 102 674
ru TBC
Paru 168.956
Kematia 92 463 91.369 39 25
posistif
S n
Sumber: Global Report TBC WHO, 2010

H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis


Manalu (2010) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit TBC pada seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Sosial Ekonomi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan
penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-
syarat kesehatan.
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan Iain-
lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB paru.Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh
di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-
50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan
hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun system

Makalah Tuberkulosis 9
imunolosis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit,termasuk penyakit TB-paru.
4. Jenis kelamin
Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam periode
setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat
disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang
disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan
persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan system pertahanan
tubuh,sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-paru. Demikian pula
penelitian Herryanto (2004), terdapat proporsi menurut jenis kelamin, laki-laki
sebesar 54,5% dan perempuan sebesar 45,5% yang menderita TB paru.

I. Cara Penularan dan Risiko Penularan Tuberkulosis


1. Cara Penularan Tuberkulosis
Menurut Helper (2010), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli
lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Basil juga menyebar melalui sistem
limfa dan aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan
area lain dari paru (lobusatas). Sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis Basil
Tahan Asam (TBBTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (dropletnuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.

Makalah Tuberkulosis 10
Gambar 2.3 Mekanisme Penularan Penyakit Tuberkulosis

2. Risiko Tertular Tuberkulosis


Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita
TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan
setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risko Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%,
berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO,
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi itu berkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.4 Risiko Penularan Tuberkulosis

Makalah Tuberkulosis 11
J. Risiko Menjadi Sakit Tuberkulosis
Risiko menjadi sakit tubekulosis hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi
sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 orang diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,
diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor
risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Gambar 2.5 Faktor Risiko Kejadian TB

K. Masa Inkubasi Dan Masa Penularan Tuberkulosis


1. Masa inkubasi Tuberkulosis
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau
reaksi tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 10 minggu. Risiko menjadi
TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada
tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV
meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.

Makalah Tuberkulosis 12
2. Masa Penularan Tuberkulosis
Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB
didalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak
sempurna dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat
penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut :
a. Jumlah basil TB yang dikeluarkan
b. Virulensi dari basil TB
c. Terpajannya basil TB dengan sinar ultraviolet
d. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat
bernyanyi.
e. Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau
pada waktu melakukan bronkoskopi.

L. Gejala Tuberulosis
Gejala utama penderita TB paru adalah batukberdahak selama 2-3minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise
,berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik.
Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori.
1. Gejala Respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang
cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari :
a. Batuk produktif 2 minggu.
b. Batuk darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.
2. Gejala Sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Anoreksia.
d. Berat badan menurun.

Makalah Tuberkulosis 13
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau bahkan
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Menurut Hiswani (2009) keluhan yang terbanyak adalah demam, batuk/batuk
darah, sesak nafas, nyeri dada, dan malaise. Berikut penjelasan dari masing-
masingkeluhan tersebut :
1. Demam
Biasanya sub febril meyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas

badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali.
1. Batuk/Batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah
berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
2. Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau
melepaskan napasnya.
4. Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia atau keadaan tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot dan keringat malam.

Gambar 2.6 Tanda dan Gejala Penyakit Tuberkulosis

Makalah Tuberkulosis 14
M. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji frekuensi,
distribusi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara Mycobacterium
Tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment).
Disamping itu mencakup perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga
mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang
tertular (Depkes RI, 2007).
1. Prevalensi Tuberkulosis Menurut Wilayah di ASEAN dan SEAR

Sumber : WHO 2013

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 pravalensi
TB Per 100.000 penduduk di Negara ASEAN dan SEAR Tahun 2011, negara yang
menempati urutan pertama pada negara ASEAN adalah Kamboja dengan jumlah 817
dan yang terkecil adalah Singapura dengan jumlah 46. Sedangkan negara yang
menempati urutan pertama pada negara SEAR adalah Timut Leste dengan jumlah 701
dan yang terkecil Maladewa dengan jumlah 44.

Makalah Tuberkulosis 15
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa antara negara ASEAN dan SEAR yang
menempati urutan pertama prevalensi TB tertinggi adalah sama-sama negara yang
sedang berkembang dan tingkat kesehatan yang rendah di bandingkan dengan negara
berkembang lainnya.

2. Prevalensi Tuberkulosis Menurut Orang

Sumber : Kemenkes 2016


Menurut kelompok umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 di Indenesia paling
banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65% diikuti
kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok umur 35-44 tahun
sebesar 17,18%.
3. Prevalensi Tuberkulosis Menurut Tempat

Makalah Tuberkulosis 16
Sumber : Kemenkes 2016

Provinsi dengan CNR semua kasus tuberkulosis tertinggi yaitu Sulawesi Utara
(238), Papua Barat (235), dan DKI Jakarta (222). Sedangkan CNR semua kasus
tuberculosis terendah yaitu Provinsi Bali (70), DI Yogyakarta (73), dan Riau (91). CNR
dianggap baik jika terjadi peningkatan minimal 5% dibandingkan dengan sebelumnya.
4. Prevalensi Tuberkulosis Menurut Waktu
Angka Penemuan Kasus Baru TB Positif (CDR) Kab. Kubu Raya Per Tahun
Tahun 2008-2013

TAHUN PENEMUAN KASUS BARU


2008 34,62%
2009 37,67%
2010 40,28%
2011 41,8%
2012 38,48%
2013 40,1%
Sumber : Riskesdas 2008-2013
Grafik Angka Penemuan Kasus atau Case Detection Rate (CDR) tahun 2008 s/d
2013 diatas, menggambarkan angka penemuan kasus TB yang paling tinggi adalah
pada tahun 2011 yaitu sebesar 41,8%. Angka penemuan kasus TB yang paling rendah
adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar 34,62%.
Angka Penemuan Kasus Baru TB Positif (CDR) Kab. Kubu Raya Per Tahun,
Tahun 2008-2013 meningkat tetapi tidak signifikan dengan pencapaian terbesar 41,8%
pada tahun 2011 sedangkan untuk tahun 2013 capaian penemuan kasus TB paru BTA
positif masih lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yaitu sebesar 40,1%.

5. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru


a. Kasus Baru BTA Positif
Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (BTA+) sebanyak
196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan
tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa

Makalah Tuberkulosis 17
Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir
sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Menurut jenis kelamin,
kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali
dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di
seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di
Sumatera Utara, kasus pada laki-laki dua kali lipat dari kasus pada perempuan.
Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada

kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur 35-44
tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,39%.
Proporsi kasus baru BTA+ menurut kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 2.7
berikut ini.
Gambar 2.7 Proporsi Kasus Baru BTA+ Menurut Kelompok Umur Tahun
2013
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling
rendah. Dari Gambar 2.7 terlihat bahwa kasus tuberkulosis rata-rata terjadi pada
orang dewasa.
b. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus TB
Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus TB menggambarkan
prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh pasien TB paru yang
diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Apabila proporsi pasien
Makalah Tuberkulosis 18
baru BTA+ di bawah 65% maka hal itu menunjukkan mutu diagnosis yang rendah
dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien
BTA+).

Gambar 2.8 Proporsi BTA+ Diantara Seluruh Kasus TB Paru di Indonesia


Tahun 2008-2013
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 2.8 memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2013 proporsi pasien
baru BTA+ diantara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan
meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target minimal yang sebesar 65%. Hal
itu mengindikasikan kurangnya prioritas menemukan kasus BTA+. Namun,
sebanyak 18 provinsi (54,55%) provinsi telah mencapai target tersebut. Papua Barat,
DKI Jakarta, dan Papua merupakan provinsi dengan proporsi pasien baru BTA+ di
antara seluruh kasus yang terendah yaitu masih di bawah 40%. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 2.9 di bawah ini.

Makalah Tuberkulosis 19
Gambar 2.9 Proporsi BTA+ Diantara Seluruh Kasus TB Paru Menurut Provinsi
Tahun 2013
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

c. Angka notifikasi kasus atau Case Notification Rate


Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru
yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu.
Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk
menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien
pada wilayah tersebut. Gambar 2.9 menunjukkan angka notifikasi kasus baru Tb
paru BTA+ dan angka notifikasi seluruh kasus Tb per 100.000 penduduk dari tahun
2008-2013. Angka notifikasi kasus BTA+ pada tahun 2013 di Indonesia sebesar 81,0
per 100.000 penduduk. Gambar 2.10 berikut memperlihatkan besarnya angka
notifikasi atau CNR BTA+ menurut provinsi tahun 2013.

Gambar 2.10 Angka Notifikasi Kasus BTA+ Dan Seluruh Kasus Per 100.000
Penduduk Tahun 2008-2013
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
\

Makalah Tuberkulosis 20
Gambar 2.11 Angka Notifikasi Kasus TB Paru BTA+ Per 100.000 Penduduk
Menurut Provinsi Tahun 2013
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Berdasarkan Gambar 2.11, diketahui bahwa Provinsi DI. Yogyakarta merupakan


provinsi dengan angka notifikasi kasus TB Paru BTA+ paling kecil yakni 35,2 per
100.000 penduduk. Sedangkan, Provinsi Sulawesi Utara merupakan provinsi dengan
angka notifikasi kasusu TB Paru BTA+ paling besar yakni 224,2 per 100.000
penduduk. Secara keseluruhan, angka notifikasi kasus TB Paru BTA+ untuk
Indonesia pada tahun 2013 berada pada angka 81,0 per 100.000 penduduk.
d. Prevalensi Penyakit Tuberkulosis Paru
Pada Riskesdas 2010 berdasarkan diagnosis nakes (D) adalah sebesar 0,7 persen
sementara berdasarkan gejala (G) adalah sebesar 2,7 persen. Angka Prevalensi
Nasional TB hasil gabungan D dan G (DG) menjadi 3,3 persen. Bila mengacu pada
definisi operasional World Health Organization (WHO) dan International Standards
for Tuberculosis Care (ISTC) maka data prevalensi yang mendekati kenyataan
adalah data yang berasal dari diagnosis nakes (D), yaitu sebesar 0,7 persen.
Prevalensi Nasional TB (D) cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia
dimana angka tertinggi berada pada kelompok usia 55-64 tahun (1,3%) dan terendah
pada kelompok usia 15-24 (0,3%). Prevalensi penderita laki-laki adalah 0,8% dan
perempuan 0,6% dengan prevalensi penderita yang berada di kota sama dengan di
desa sebesar 0,7%, serta juga menunjukkan kecenderungan menurun dengan
semakin meningkatnya tingkat pendidikan dimana prevalensi paling rendah terdapat
pada tingkat pendidikan tamat SMA (Gambar 2.12).

Makalah Tuberkulosis 21
Prevalensi TB tertinggi berdasarkan jenis pekerjaan ditemukan pada kelompok
pekerjaan petani, nelayan dan buruh sebesar 0,9 persen dan terendah pada kelompok
sekolah dan POLRI/TNI/Pegawai sebesar 0,4 persen. Berdasarkan tingkat
pengeluaran perkapita prevalensi TB yang berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan
didapati prevalensi terendah pada kuintil 5 (0,6%) dan tertinggi pada kuintil 3 dan 4
(0,8%). Sedangkan angka prevalensi TB berdasarkan diagnosa dan gejala (DG)
didapati prevalensi tertinggi pada kuintil 1(3,5%) dan terendah pada kuintil 5 (2,9%)
(Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Prevalensi TBC Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007


Sumber : Riskesdas, 2010
Data Prevalensi Nasional TB hasil Riskesdas 2007 tidak dapat dibandingkan
dengan data Prevalensi Nasional TB hasil Riskesdas 2010. Hal ini disebabkan
karena penentuan sampel BS pada Riskesdas 2007 berbeda dengan Riskesdas 2010
serta pertanyaan mencakup data diagnosa dan gejala pada kuisioner terstruktur juga

Makalah Tuberkulosis 22
berbeda. Menjadi catatan bahwa dengan ruang lingkup pertanyaan yang lebih rinci
pada Riskesdas 2010 angka Prevalensi Nasional TB menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan.
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar
0,4% dari jumlah penduduk. Dengan kata lain, rata-rata tiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 400 orang yang didiagnosis kasus TB oleh tenaga kesehatan.
Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu 1 tahun
berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan
dahak, foto toraks atau keduanya. Hasil Riskesdas 2013 tersebut tidak berbeda
dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru 0,4%.
Prevalensi TB paru berdasarkan gejala batuk 2 minggu secara nasional sebesar
3,9% dan prevalensi TB paru berdasarkan gejala batuk darah sebesar 2,8%. Provinsi
dengan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis tertinggi yaitu Jawa Barat sebesar
0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6%. Sedangkan Provinsi
Riau, Lampung, dan Bali merupakan provinsi dengan prevalensi TB paru
berdasarkan diagnosis terendah yaitu masing-masing sebesar 0,1%.
Berdasarkan karakteristik, semakin tinggi kelompok umur semakin tinggi pula
prevalensi TB paru (diagnosis), kecuali untuk kelompok umur 1-4 tahun dengan
prevalensi yang cukup tinggi (0,4%). Sebaliknya berdasarkan tingkat pendidikan,
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah prevalensi TB paru
(diagnosis). Gambar berikut ini memperlihatkan angka prevalensi TB paru
berdasarkan diagnosis dan gejala menurut karakteristik umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan tempat tinggal.

Makalah Tuberkulosis 23
Gambar 2.13 Prevalensi TB Paru Berdasarkan Diagnosis Dan Gejala TB Paru
Menurut Karakteristik
Sumber : Riskesdas, 2013

Prevalensi TB paru pada laki-laki sebesar 0,4%, lebih tinggi dibandingkan


dengan perempuan yang sebesar 0,3%. Prevalensi TB paru pada penduduk di
perkotaan sebesar 0,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di perdesaan
yang sebesar 0,3%. Tuberkulosis Paru klinis tersebar di seluruh Indonesia dengan
prevalensi 12 bulan terakhir adalah 0,7 persen. Beberapa provinsi memiliki
prevalensi di atas angka nasional, yaitu tertinggi di Provinsi Papua (1,5%), diikuti
oleh Provinsi Sulawesi Utara (1,3%) dan Banten (1,3%) serta angka terendah
terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DIY dan Bali (0,3%), hal ini dapat
dilihat pada Gambar 2.14 di bawah ini.

Makalah Tuberkulosis 24
Gambar 2.14 Grafik Prevalensi TB Berdasarkan Provinsi
Sumber : Riskesdas, 2010

Data WHO Global Report yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub
Direktorat Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan
estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000
penduduk/tahun (0,275%) dan pada tahun 2010 turun menjadi 244 kasus/100.000
penduduk/tahun (0,244%). Data ini diperoleh berdasarkan hasil laporan dari fasilitas
kesehatan yang tergabung dalam program Directly Observed Treatment, Short-
course (DOTS) di seluruh Indonesia. Data prevalensi sebelumnya yang
menggunakan uji konfirmasi laboratorium adalah data Prevalensi Nasional hasil
Survey Prevalensi TB pada tahun 2004 yang memberikan angka prevalensi Nasional
TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopis BTA terhadap suspek adalah sebesar 104
kasus/100.000 penduduk (0,104%). Kecendrungan meningkatnya angka Prevalensi
Nasional TB bila dibandingkan antara hasil Survei Prevalensi TB 2004 (0,1%
terhadap suspek) dan hasil Riskesdas 2010 (0,7% pada populasi) dapat hendaknya
menjadi perhatian yang serius bagi Program TB di Indonesia. Meskipun terjadi
peningkatan Case Detection Rate dan Cure Rate yang tinggi setiap tahunnya tetapi
percepatan penyebaran penyakit di masyarakat masih lebih tinggi. Metode active
case finding terhadap populasi usia 15 tahun ke atas yang diterapkan pada Riskesdas
2010 memberikan kenyataan tentang hal ini dimana kasus TBC di masyarakat masih
sangat tinggi.

Makalah Tuberkulosis 25
Gambar 2.15 Prevalensi TB Berdasarkan Provinsi Pada Riskesdas 2007 dan
2010
Berdasarkan Gambar 2.15, diketahui bahwa provinsi dengan angka
prevalensi TB paru tertinggi untuk tahun 2007 melalui diagnosis nakes (D) adalah
Provinsi Papua dengan angka 1,89, sedangkan provinsi dengan angka prevalensi
TB paru terendah untuk tahun 2007 melalui diagnosis nakes (D) adalah Provinsi
Lampung dengan angka 0,11. Provinsi dengan angka prevalensi TB paru tertinggi
untuk tahun 2007 melalui diagnosis nakes dan gejala (DG) adalah Provinsi Papua
Barat dengan angka 2,55, sedangkan provinsi dengan angka prevalensi TB paru
terendah untuk tahun 2007 melalui diagnosis nakes dan gejala (DG) adalah
Provinsi Lampung dengan 0,31. Secara keseluruhan, angka prevalensi penyakit
tuberkulosis pada tahun 2007 di Indonesia melalui diagnosis nakes adalah sebesar
0,4, sedangkan melalui diagnosis nakes dan gejala adalah sebesar 0,99. Untuk
tahun 2010, provinsi dengan angka prevalensi penyakit tuberkulosis tertinggi
melalui diagnosis nakes adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung,

Makalah Tuberkulosis 26
Provinsi DI. Yogyakarta dan Provinsi Bali dengan angka 0,3 sedangkan provinsi
dengan angka prevalensi penyakit tuberkulosis tertinggi melalui diagnosis nakes
adalah Provinsi Papua dengan angka 1,5. Provinsi dengan angka prevalensi
penyakit tuberkulosis terendah melalui diagnosis nakes dan gejala tahun 201
adalah Provinsi Bali dengan angka 1,6, sedangkan provinsi dengan angka
prevalensi penyakit tuberkulosis tertinggi melalui diagnosis nakes dan gejala
tahun 2010 adalah Provinsi Papua Barat dengan angka 7,9. Secara keseluruhan,
angka prevalensi penyakit tuberkulosis pada tahun 2010 di Indonesia melalui
diagnosis nakes adalah sebesar 0,7, sedangkan melalui diagnosis nakes dan gejala
adalah sebesar 3,3.

Gambar 2.16 Data Prevalensi Nasional TB Indonesia Dalam Persen


Berdasarkan Gambar 2.16, diketahui bahwa prevalensi nasional TB Indonesia
mengalami trend meningkat dari tahun 2004 sampai ke tahun 2010 yakni dari
0,104% menjadi 0,244%. Namun, sebenarnya prevalensi nasional TB Indonesia
mengalami trend menurun jika ditarik dari rentang tahun 2006 sampai ke tahun
2010 yakni dari 0,275% menjadi 0,244%.

Untuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan laporan Riskesdas


(Gambar 2.17) menunjukkan jumlah penderita TB Paru perKabupaten/Kota tahun
2014 di Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah kasus TB 7.648 laki-laki dan 5.198
perempuan. Jumlah BTA+ sebesar 9.325 orang yaitu 5.587 laki-laki dan 3.738
perempuan, dengan kesembuhan 7.169 (80,22%). Adapun perkiraan kasus sebesar
77.711 orang, jumlah TB anak 0-14 tahun sebesar 407 orang (3,17%), pengobatan
lengkap sebesar 539 orang (6,03%), angka kesuksesan 86,25% dengan jumlah
kematian selama pengobatan sebesar 349 orang (4,14 per 100.000 penduduk).

Makalah Tuberkulosis 27
Gambar 2.17 Jumlah Penderita TB Paru Per Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan Tahun 2014
Sumber : Bidang P2PL Dinkes Prov.Sulsel Tahun 2014

Berdasarkan Gambar 2.17, diketahui bahwa jumlah penderita TB Paru paling


banyak untuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah di Kota Makassar yakni
sebanyak 1.952 orang penderita sedangkan jumlah penderita TB Paru paling sedikit
adalah Kabupaten Enrekang yakni sebanyak 115 orang penderita.

2. Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru


Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) di
Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti
setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari
orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis paru (Depkes RI,
2007).

a. Berdasarkan host
1. Umur
Insidens tertinggi biasanya mengenai usia dewasa muda. Informasi dari
Afrika dan India menunjukkan pola yang berbeda, dimana prevalensi
meningkat seiring dengan peningkatan usia (Christian, 2012). Di Indonesia,
dengan angka risk of infection 2%, maka sebagian besar masyarakat pada usia
Makalah Tuberkulosis 28
produktif telah tertular (Heriyani, 2013). Penelitian dengan pendekatan
prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan
bahwa usia produktif (55 tahun) 0,9 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada
usia yang non produktif pada penderita TB Paru (Herper, 2010).
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita
TB Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan
mengkonsumsi alkohol dan rokok (Depkes RI, 2007). Penelitian dengan
pendekatan prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005
melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada wanita
pada penderita TB Paru (Permatasari, 2005).
3. Status Gizi
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah
terkena penyakit infeksi (Supariasa, 2012). Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang
rendah (Supariasa, 2012). Penelitian Kartasasmita (2009) dengan desain
prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2008 melaporkan
bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada status gizi
baik pada penderita TB Paru.
4. Status Imunisasi BCG
Salah satu upaya pengendalian infeksi Mycobacterium Tuberculosis
adalah dengan imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Imunisasi BCG
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri. Imunitas yang
terbentuk dengan imunisasi BCG untuk mencegah penyebaran TB secara
hematogen bukan mencegah penyebaran secara perkontinuitatum dan limfogen
(Cissy, 2009)
5. Sosial ekonomi
Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas
ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerjaan yang tidak
tetap sehingga pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO

Makalah Tuberkulosis 29
(2010) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang
pada kelompok dengan sosial ekonomi yang lemah atau miskin (Cissy, 2009).
3. Faktor Penyebab (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru
Menurut teori Gordon dalam Helper (2010), mengemukakan bahwa timbulnya
suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent),
penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi
tiga epidemiologi (epidemiologi triangle), hubungan ketiga faktor tersebut
digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit
pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai
penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang,
maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan
menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan
menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi
sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan
faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya
bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat
(Kartasasmita, 2009).
Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent
penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit
akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
a. Agent
Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium
tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan
infeksi. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya
Mycobacterium Leprae, Mycobacterium paratuberkulosis paru dan
Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau
tidak dapat terklasifikasikan (Depkes, RI. 2007).
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul
atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient untuk memenuhi syarat untuk
menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar
penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit

Makalah Tuberkulosis 30
tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan
virulensi (Kartasasmita, 2009). Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme
untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan
tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama
pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah (Depkes, RI.
2007).
Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host
dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas
bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah
keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi
bakteri tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi bakteri ini tidak dapat
dianggap remeh begitu saja (Helper, 2010).
b. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium
Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang
penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI,
2007). Menurut Kemenkes (2011), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis
paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita
rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah
dengan ventilasi baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik
lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap bakteri penyebab tuberkulosis. Faktor risiko terjadinya penyakit
tuberkulosis paru secara umum terkait dengan faktor bakteri penyebab penyakit
(agent), yang telah diuraikan sebelumnya. Faktor lainnya adalah yang terdapat
pada individu (host) yang dalam penelitian ini di ukur dari kebersihan diri,
sedangkan faktor lingkungan (environment) di ukur dari sanitasi (Depkes, RI.
2007).

N. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit Tuberkulosis


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks

Makalah Tuberkulosis 31
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.

O. Penatalaksanaan Tuberkulosis
Menurut Muttaqin (2008) pentalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian,
yaitu pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita (active casefinding).
1. Pencegahan Tuberkulosis
a. Pemeriksaan kontrak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif.
Pemeriksaan meliputi testuberkulin, klinis dan radiologi. Bila testuberkulin
postif, maka pemeriksaan radiologis foto toraks diulang pada 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila masih negatif, diberikan Bacillus Calmette dan Guerin (BCG)
vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan
diberikan kemoprofilaksi.
b. Masschest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu..
c. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmettedan Guerin).
d. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH (Isoniazid) 5% mg/kg BB selama
6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi
menyusui pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder
diperlukan bagi kelompok berikut:
1) Bayi di bawah 5 tahun dengan basil tes tuberkulin positif karena risiko
timbulnya TB milier dan meningitis TB.
2) Anak remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tuberkulin positif yang bergaul
erat dengan penderita TB yang menular.

Makalah Tuberkulosis 32
3) Individu yang menunjukkan konversi hasil testuberkulin dari negatif menjadi
positif.
4) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif
jangka panjang.
5) Penderita diabetes melitus.
e. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat puskesmas maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI).
f. Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan
cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi
sebelum dikonsumsi.
2. Pengobatan Tuberkulosis
Tujuan pengobatan TB paru yaitu untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung Directly Observed Treatment (DOT) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan

Makalah Tuberkulosis 33
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Program nasional pemberantasan tuberkulosis paru, WHO menganjurkan
panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada
urutan kebutuhan pengobatan, sehingga penderita dibagi dalam empat kategori
antara lain, sebagai berikut :
a. Kategori I
Kategori I untuk kasus dengan sputum positif dan penderita dengan
sputum negatif. Dimulai dengan fase 2HRZS (E) obat diberikan setiap hari
selama dua bulan. Bila setelah 2 bulan sputum menjadi negatif dilanjutkan
dengan fase lanjutan, bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka fase
intensif diperpanjang 2-4 minggu, kemudian dilanjutkan tanpa melihat sputum
positif atau negtaif. Fase selanjutannya adalah 4HR atau 4H3R3 diberikan
selama 6-7 bulan sehingga total penyembuhan 8-9 bulan.
b. Kategori II
Kategori II untuk kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
Fase intensif dalam bentuk 2HRZES-1HRZE, bila setelah fase itensif sputum
negatif dilanjutkan fase lanjutan. Bila dalam 3 bulan sputum masih positif
maka fase intensif diperpanjang 1 bulan dengan HRZE (Obat sisipan). Setelah
4 bulan sputum masih positif maka pengobtan dihentikan 2-3 hari. Kemudian
periksa biakan dan uji resisten lalu diteruskan pengobatan fase lanjutan.
c. Kategori III
Kategori III untuk kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya
tidak luas dan kasus tuberkulosis luar paru selain yang disebut dalam
kategori I, pengobatan yang diberikan adalah 2HRZ/6 HE, 2HRZ/4 HR,
2HRZ/4 H3R3.
d. Kategori IV
Kategori ini untuk tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena
kemungkinan pengobatan kecil sekali. Negara kurang mampu dari segi
kesehatan masyarakat dapat diberikan H saja seumur hidup, sedangkan
negara maju pengobatan secara individu dapat dicoba pemberian obat lapis 2

Makalah Tuberkulosis 34
seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin dan
sebagainya.

3. Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus


1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular
TB.
2. Ibu Menyusui dan Bayinya
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui.
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan
berat badannya.
3. Pasien TB dengguna Kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang
pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
4. Pasien TB dengan Hepatitis Akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol
(E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

Makalah Tuberkulosis 35
5. Pasien TB dengan Kelainan Hati Kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT
tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan
dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
6. Pasien TB dengan Gagal Ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis
ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan
ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas
pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan
dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien
dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
7. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes
(sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien diabetes mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
8. Pasien TB yang perlu Mendapat Tambahan Kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:Meningitis TB, TB milier dengan atau tanpa meningitis, TB
dengan Pleuritis eksudativa dan TB dengan Perikarditis konstriktiva.
9. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.

Makalah Tuberkulosis 36
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang
disertai kelainan neurologik.

4. Pemeriksaan Dahak Pada Diagniosis Tuberkulosis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1. S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi
pada hari kedua.
2. P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
3. S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK pada TB Paru, yaitu:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:

Makalah Tuberkulosis 37
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

5. Pengawasan Penderita, Kontak Dan Lingkungan Sekitarnya


1) Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB
atau yang diduga menderita TB. Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil
pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif atau tes tuberkulinnya positif atau
didasarkan pada gambaran klinis dan foto rontgen.
2) Isolasi : Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin.
3) Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus
dipertahankan sebagai kegiatan rutin.Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi
yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
4) Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD
direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil
negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang
positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi
TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak
dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif. Sayang
sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada
pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC.
5) Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif
dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di
AS. Pengawasan minum obat ini di Indonesia disebut DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi
yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur.

P. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis


Menurut Helper (2010), pemeriksaan penunjang pada pasien tuberkulosis adalah:
a. Sputum Culture
b. Ziehlneelsen : Positif untuk BTA

Makalah Tuberkulosis 38
c. Skintest (PPD, mantoux, tine, andvollmer,patch)
d. ChestX-ray
e. Histologi atau kultur jaringan: positif untuk Mycobacterium tuberculosis
f. Needle biopsio flung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel- sel besar yang
mengindikasikan nekrosis
g. Elektrolit
h. Bronkografi
i. Test fungsi paru-paru dan pemeriksaan darah

Q. Program Pemberantasan Tuberkulosis


Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC.
Terdapat lima komponen utama strategi DOTS:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA dalam dahak.
3. Terjaminnya persediaan obat anti tuberkulosis (OAT).
4. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi program
penanggulangan TBC.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru-paru, tetapi tidak

Makalah Tuberkulosis 39
menutup kemungkinan juga dapat ditularkan ke organ lain seperti otak, ginjal,
tulang dan lainya.
2. Jenis-jenis TBC ada 7 TBC paru-paru, TBC kalenjar getah bening, TBC mata,
TBC perut, TBC tulang dan sendi, TBC ginjal dan TBC kulit.
3. Di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Bedasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1993,
di Indonesia penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi penyebab
kematian ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya,dengan
angka insiden sebesar 107 per100 ribu penduduk.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis adalah umur, jenis kelamin,
status gizi dan faktor sosial ekonomi.
5. Penularan penyakit tuberkulosis dapat melalui percikan dahak dari penderita
tuberkulosis yang terkontaminasi dengan bakteri Mycobacterium Tuberkulosis
yang menyebar ke udara ketika penderita tersebut bersin atau batuk.
6. Hasil Riskesdas 2013 tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan
angka prevalensi TB paru 0,4%. Prevalensi TB paru berdasarkan gejala batuk 2
minggu secara nasional sebesar 3,9% dan prevalensi TB paru berdasarkan gejala
batuk darah sebesar 2,8%. Provinsi dengan prevalensi TB paru berdasarkan
diagnosis tertinggi yaitu Jawa Barat sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-
masing sebesar 0,6%. Sedangkan Provinsi Riau, Lampung, dan Bali merupakan
provinsi dengan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis terendah yaitu masing-
masing sebesar 0,1%.
7. Penatalaksanaan tuberkulosis paru terdiri atas tiga bagian, yaitu pencegahan,
pengobatan dan penemuan penderita (active casefinding).

3.2 Saran
Penyakit tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang sangat
berbahaya. Namun, dibalik sifatnya yang mematikan, sebenarnya penyakit ini dapat
ditekan di dalam menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang fatal di dalam
masyarakat. Upaya bersama yang harus senantiasa digalakkan oleh pemerintah dan

Makalah Tuberkulosis 40
para praktisi kesehatan adalah dengan memberikan pemahaman tentang urgensinya
pencegahan primer kepada masyarakat terhadap kejadian penyakit tuberkulosis yakni
dengan pemberian vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) dan perbaikan higine
personal serta penciptaan sanitasi lingkungan yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A.F., 2010 . Analisis Spasial Penyakit Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan tahun 2007-2009. Tesis. FKM UI.

Amira Permatasari.2005.Pemberantasan Penyakit TB Paru Dan Strategi DOTS.Fakultas


Kedokteran:Universitas Sumatera Utara.library.usu.ac.id/download/fk/paru-amira.pdf.
Diakses pada tanggal 13Maret 2017.

Makalah Tuberkulosis 41
Anies, 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan; Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan
Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010.

Chin, James.2009. Manual Pemberantasan Penyakit. Jakarta: Infomedika.

Christian, 2012. Faktor Resiko Lingkungan Fisik Rumah dan Karateristik Wilayah sebagai
Determinan Kejadian Penyakit Tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sentani
Kabupaten Jayapura Propinsi Papua. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11
No 1 April 2012.

Cissy B. 2009.Epidemiologi Tuberkulosis.Universitas Padjadjaran: Fakultas Kedokteran.Vol.


11, No. 2.file:///C:/Users/USER/Downloads/605-1481-1-SM%20(1).pdf. Diakses pada
tanggal 15 Maret 2017.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis Edisi 2.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan.

Ginanjar, G.W., 2008. TBC Pada Anak, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Helper, S.P.M., 2010. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kejadian TB paru dan


Penanggulangannya, Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 9 No. 4 Desember 2010, diakses
tanggal 14 April 2017.

Heriyani, F., 2013. Risk Factors of the Incidence of Pulmonary Tuberculosis in Banjarmasin city,
Kalimantan, Indonesia, International Journal of Public Health Science (IJPHS).Vol. 2, No.
1, Maret 2013.

Hiswani, 2009. Tuberkulosis merupakan penyakit Infeksi yang Masih menjadi Masalah
Kesehatan Masyarakat, http://library.usu.ac.id/dowload/fkm:hiswani6.pdf2009,
Diakses pada tanggal 15 April 2017. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Kartasasmita, CB, 2009. Epidemiologi Tuberkulosi Sari Pediatri, Vol. 11, No 2, Agustus 2009.

Kementrian Kesehatan RI, 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.


Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Nasional Tahun 2013.

Manalu, Helper. 2010.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya


Penanggulangannya.Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340
1346.http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/1598.Diakses pada
tanggal 11 Maret 2017.

Makalah Tuberkulosis 42
Muttaqin, Arif 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan ,
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Permatasari, Amira. 2005.Pemberantasan Penyakit TB Paru Dan Strategi DOTS. Fakultas


Kedokteran:Universitas Sumatera Utara.library.usu.ac.id/download/fk/paru-amira.pdf.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2017.

Retno, Asti Werdhani. Patofisiologi, Diagnosis, Dan KlafisikasiTuberkulosis.. http:// staff.ui.


ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017.

Supariasa, I Dewa Nyoman. Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2012. Penilaian Status gizi. Buku
Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sylvia, Price dan M. Lorainne Wilson 2012, Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi ke 6, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta : EGC.

WHO, 2010. Global Tuberculosis Control 2010. http.www.tbcarel.org.publications.


who.reports.global. Diakses pada 15 April 2017.

WHO, 2015. Tuberkulosis (Kejadian Penyakit TB Paru).scholar.unand.ac.id/pdf.Di akses


pada 4 Maret 2017

Widoyono, 2002. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya.Jakarta: PT Erlangga.

Retno Asti Werdhani. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.Universitas


Indonesia :Fakultas Kedokteran. http://staff.ui.ac.id/system/files /users/retno.asti/
material/patodiagklas.pdf. Diakses pada tanggal 15 Maret 2017.

Makalah Tuberkulosis 43

You might also like