You are on page 1of 12

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. KN
No Rekam Medis : 12.073568
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Alamat : Batu Ampar, Jakarta
Caretaker : Orang tua
Kebangsaan : Indonesia
Alloanamnesis :-
Tanggal masuk : Selasa, 12 Juli 2016
Tanggal pemeriksaan : Selasa, 12 Juli 2016
Ruangan : Poli 3 Puskesmas Kecamatan Kramat Jati
Jaminan : BPJS

1.2 Anamnesis (Alloanamnesis)


1.2.1 Keluhan Utama
Bersin-bersin

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin. Keluhan dirasakan lebih
sering di pagi hari dan malam hari sebelum tidur. Keluhan sudah dirasakan
selama kurang lebih 3 hari terakhir. Pasien juga mengatakan apabila pasien
menyalakan pendingin ruangan di kamarnya, frekuensi bersin-bersinnya
menjadi semakin sering. Sehingga sudah tiga hari terakhir pasien tidur hanya
dengan kipas angin. Keluhan mereda tetapi kembali lagi di pagi dan malam
harinya. Selain keluhan diatas pasien juga mengeluh kepalanya terasa pusing,
kedua lengannya gatal-gatal dan hidung berair.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengeluh keluhan yang sama sebelumnya, setidaknya
tiga kali dalam satu tahun terakhir ini. Keluhan belum pernah diobati
sebelumnya, menghilang dengan sendirinya.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat keluhan serupa pada keluarga. Riwayat tumor,
diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dislipidemia, penyakit paru, penyakit
jantung, penyakit kulit, sakit kuning, sakit ginjal disangkal. Riwayat HIV tidak
diketahui. Ibu pasien menderita asma. Adik lelaki pasien juga sering
mengeluhkan hal yang sama.

1.2.5 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Lingkungan Keluarga


Di rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal pasien tidak ada
keluhan yang serupa dengan pasien. Pasien jarang membersihkan kamar
tidurnya. Pasien tidak merokok.

1
1.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran kompos mentis

Appearance Tampak sakit ringan, pucat, tidak ada sianosis

TD 120/70 mmHg
HR 80x/ menit regular, isi cukup
RR 20x/ menit, regular, tidak ada retraksi otot bantu napas
Suhu 37C
Kepala Normosefal, tidak ada deformitas, rambut normal
Mata Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-
Hidung Sekret +/+, tidak terdapat septum deviasi, pernafasan cuping hidung
Mulut mukosa basah, oral trush (-) faring tidak hiperemis, T1-T1
Telinga Sekret (-), cairan (-)
Leher Tidak teraba pembesaran KGB
Paru-Paru tidak ada venektasi, pergerakan dada simetris statis dan dinamis,
retraksi suprasternal dan interkostal (-), sonor +/+, vesikular +/+,
ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Abdomen datar, lemas, nyeri tekan regio epigastrium dan regio
lumbal kanan dan kiri (+), bising usus (+)
Hati dan limpa tidak teraba, nyeri tekan (-)
Genital Dalam batas normal
Anus Tidak ada kelainan
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema -/-
Kulit Kuning langsat, turgor normal
Rangsang Meningeal Kaku kuduk, Brudzinski I and II, Kernig, Laseque negatif
Saraf kranial normal

1.4 Daftar Masalah


Rhinitis alergika intermitten

1.6 Rencana Tatalaksana


1. Loratadin 2x10 mg
2. Dexamethasone 3x0,5 mg
3. Menghindari alergen
4. Membersihkan tempat tinggal secara berkala

1.7 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang
terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa
hidung.

B. Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan
alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di
Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun
dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-
obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik,
problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan
kesehatan mental.

C. Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di
seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin
meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta
produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun
tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi
atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15%
pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin
diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda
tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.
Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-
kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa
prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset rinitis alergi
umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda. Dilaporkan
bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi antara
onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.

D. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.

3
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta seprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu
identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

E. Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis
alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional).
Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir
sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun
timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala 4 hari
perminggu atau 4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4
minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat
tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan
lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih
gangguan tersebut di atas.

Intermiten Persisten
Gejala Gejala
4 hari per minggu > 4 hari per minggu
atau 4 minggu dan > 4 minggu

Ringan Sedang-Berat
tidur normal Satu atau lebih gejala
aktivitas sehari-hari, saat olah tidur terganggu
raga dan santai normal aktivitas sehari-hari, saat olah
bekerja dan sekolah normal raga dan santai terganggu
tidak ada keluhan yang masalah dalam sekolah dan
mengganggu bekerja
ada keluhan yang mengganggu

4
F. Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel
dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigent presenting cell/sel
APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada
permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen
terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung
dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini
akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel
TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut,
maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4,
IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B,
akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka akan
terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator
yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet
mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung,
bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan
akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi
alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan
alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga
melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic
factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic).
Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di
organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah
terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di
jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan
bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi
dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.

G. Penilaian Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.7.1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias
gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung.

5
Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi
konjungtiva, dan lain sebagainya).
1.7.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan
wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui
setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung
keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,
disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi
mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan
dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna
dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum
yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan
tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai.
Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan
mukosa hidung akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-
fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi
tuba eustachius dan otitis media sekunder.
-
Pada pemeriksaan mata
- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral
yang disertai dengan produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.
1.7.3. Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

6
1.7.4. Hitung eosinofil dalam darah tepi.
Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria.
1.7.5. Uji kulit.
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit
yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
1.7.6. Tes penunjang lainnya
Yng lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno
assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergenalergen dengan tingkat skor 1+ s/d
4+.

H. Ko-Morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai
komorbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis.
1.8.1. Asma
- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan
hipereaktivitas bronkus yang non-spesifi
- Banyak penderita rinitis juga menderita asma
- Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses
inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat
oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.
- Penyakit alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial
menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan
inflamasi bronkial.
1.8.2. Sinusitis dan konjungtivitis
1.8.3. Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami
dengan baik.

I. Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun,
dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut.

7
Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan
penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi
tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru
lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti
IgE, DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya
pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh
karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam
unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk
sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus
dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit
setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan
8
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik
oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih
besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5
tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama
seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-
sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada
di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya
menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka
inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

9
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA

Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran allergen

Intermitten Persisten/menetap

Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat

KS topical
- AH oral/ -AH oral/topical
topical atau atau
- AH + - AH + dekongestan
dekongestan oral atau Evaluasi setelah 2-4 minggu
oral - KS topical atau
- Na kromoglikat
Membaik Tidak ada
Gejala persisten

Th/ Mundur 1 - salah diagnosis
Evaluasi setelah 2-4 langkah dan - nilai kepatuhan
minggu th/ diteruskan pasien
untuk 1 bulan - komplikasi/ infeksi
Jika gagal: maju 1 - factor kelainan
langkah anatomis
Jika th/ berhasil:
lanjutkan 1 bulan

Tingkatkan Sumbatan hidung Bersin/Gatal Rinore


dosis intranasal menetap hidung menetap
KS
Dekongestan (3-5 Tambahkan Ipratroprium
hari) atau KS oral H1 blocker bromida
(jangka pendek)

Gagal

Kaustik konka /
konkotomi

Jika ada conjungtivitis :


- Oral H1-blocker atau
- Intraocilar H1-blocker atau
- Intraocular chromone

*pertimbangkan imunoterapi

10
J. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi
utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia
sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis: inspisited
mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-
lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4
dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat
edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia
menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan
penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan
obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan
reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka
pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi,
antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke


lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
2. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2003.
4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke
dua. Thieme. New York:1994.
5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &
Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2000.
6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis,
Clinical Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M.
Jennifer. Allergy and Immunology, An Otolaryngic Approach. Lippincott
Williams&Wilkins. USA. 209-219. 2002.
8. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan
Rinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.
2000.
9. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.
10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative).

12

You might also like