You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis,


perubahan psikologis danaadaptasi dari seorang wanitayang pernah mengalaminya.
Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks memerlukan adaptasi terhadap
penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik antara keinginan
prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural dan persoalan
dalam kehamilan itu sendiri ( misalnya adanya perubahan tubuh dan hormonal, kehamilannya
tersebut tak diinginkan, jarak kehamilan yang terlalu dekat, riwayat keguguran ataupun
riwayat obstetric buruk lainnya ) dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai
dari reaksi emosional ringan, hingga ke tingkat gangguan jiwa ( psikosis ) yang berat.
Namun, ini bukan lah hal yang mengherankan karena ovulasi dan haid juga dapat
menimbulkan psikosis. Penderita sembuh setelah anaknya lahir, akan tetapi dalam
kehamilan berikutnya biasanya penyakitnya timbul lagi. Eklamsia dan infeksi dapat pula
disertai atau disusul oleh psikosis.

Selain itu psikosis dapat menjadi lebih berat dalam kehamilan .Berdasar dar masalah
di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai kelainan jiwa dalam kehamilan
(depresi, psikosa dan psikoneurosa) dengan tujuan agar masyarakat, terutama wanita hamil
lebih banyak tentang hal tersebut, mulai dari bentuk-bentuk atau jenisnya sampai cara
penanganannya. Dengan mengetahuinya, maka diharapkan mereka yang menganggap
kehamilan adalah boomerang dapat meyadari bahwa hal itu adalah fisiologis dan peristiwa
kodrati yang harus dilalui dan agar mereka dapat menyesuaikan diri sehingga tidak terjadi
lagi hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungannya dengan perubahan emosional.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Gangguan mood dan kecemasan sering terjadi pada wanita selama kehamilan. Masa
kehamilan dan pascapersalinan merupakan periode yang dianggap sebagai waktu yang beresiko
tinggu untuk wanita yang sudah mengidap penyakit kejiwaan sebelumnya terutama wanita
dengan episode depresi. Respon psikologis masa hamil dapat berubah setiap saat yang
diantaranya dimulai pada trimester pertama yang mulai kadang merasa kecemasan, panic, takut,
gusar terhadap kehamilannya.

Pada proses kehamilan, para wanita disamping mengalami perubahan-perubahan fisik,


perubahan yang kemudian mampu menimbulkan masalah social dalam keluarga adalah
perubahan-perubahan yang bernuansa psikologis terutama pada aspek emosional seperti perilaku
menjadi mudah tersinggung, mudah sedih, suka khawatir, merasa kurang diperhatikan, merasa
sesuatu tidak nyaman dan tidak jelas penyebabnya, serta memilik permintaan yang tidak masuk
akal. Jika tidak dipenuhi, maka tidak sedikit dari wanita hamil kemudian mengekspresikan
perasaan dan pikirannya pada perilaku yang terkadang tidak wajar.1

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa perubahan emosi pada ibu hamil sangat jelas dan
jika berkelanjutan tanpa penanganan yang tepat mampu mengakibatkan reaksi kecemasan yang
berat bahkan gangguan jiwa pada ibu sendiri.1,2

Epidemiologi

Sekitar 50 juta orang di Eropa diduga mengalami gangguan mental pada suatu waktu dalam
kehidupan mereka. Dengan adanya konsidi gangguan mental yang begitu umum, sangat penting
bagi wanita untuk mendapatkan saran yang tepat untuk bisa mengelola kondisinya mentalnya
selama kehamilan. Prevalensi kejadian depresi pada masa kehamilan berbeda-beda pada setiap
studi dan pada setiap trimester kehamilan. Pada trimester pertama, prevalensi kejadian depresi
sekitar 7,4%. Sedangkan pada trimester kedua, angka prevalensi kejadian depresi meningkat
hingga 12,8% dan pada trimester ketiga berkisar pada 12%. Perbedaan antara trimester pertama
dengan trimester kedua serta ketiga ini disebabkan oleh karena kecenderungan wanita hamil

2
yang mengalami depresi baru mulai mencari bantuan medis setelah masuk trimester kedua,
sehingga prevalensi kejadian depresi pada trimester pertama lebih kecil.2

Penelitian sebelumnya pada kecemasan selama kehamilan menunjukkan prevalensi yang


tinggi dan beragam yaitu 14-54 %. Namun sebagian besar prevalensi ini mengeksplorasi
kecemasan selama kehamilan secara umum dibandingkan yang spesifik. Kim et al melaporkan
prevalensi kecemasan 10 % selama kehamilan dengan pendapatan rendah. Prevalensi kecemasan
selama kehamilan 29 % di Bangladesh dan di Pakistan dilaporkan memiliki prevalensi 18 %.3

Prevalensi Gangguan Mental pada Kehamilan

Faktor resiko gangguan mental selama kehamilan

Dalam penelitian, adanya kehamilan diluar nikah dimana sang ibu harus melahirkan dan
merawat anaknya seorang diri dikaitkan dengan prevalensi gangguan mental yang tinggi
terutama gangguan depresi. Selain itu, beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan
mental pada kehamilan

3
Ketakutan terhadap kelahiran bayi,
Kurangnya dukungan sosial,
Kehamilan yang tidak diinginkan,
Status ekonomi rendah,
Riwayat kekerasan dalam rumah tangga, termasuk hubungan pernikahan yang kurang
harmonis (pada masa kehamilan ataupun pada masa kanak-kanak),
Wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal,
Usia pada saat hamil kurang dari 20 tahun (usia remaja) atau usia pada saat hamil
mendekati masa menopause,
Wanita perokok,
Wanita hamil yang memiliki lebih dari 3 orang anak,
kejadian buruk yang menimpa wanita mendekati masa kehamilannya (kematian
orangdekat).4

Patofisiologi

Karena kadar hormon reproduksi estrogen dan progesteron meningkat selama kehamilan
dan turun dengan cepat setelah melahirkan, depresi selalu dihipotesis berkaitan dengan fluktuasi
hormon. Namun, studi klinis yang menyelidiki efek intervensi hormonal untuk mencegah atau
mengurangi depresi perinatal terbatas dan tidak meyakinkan. Lebih banyak bukti ada untuk
disfungsi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) pada perempuan dengan depresi perinatal.
Pasien dengan depresi, baik selama dan di luar periode perinatal, memiliki tingkat kortisol dasar
yang lebih tinggi dan hiperaktif dalam reaksi terhadap stres. Sebagai contoh, sebuah penelitian
double-blinded dimana penarikan cepat hormon reproduksi setelah persalinan disimulasikan
pada wanita eutim dan non-depresi di luar masa nifas dengan dan tanpa riwayat depresi
pascamelahirkan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat depresi perinatal mempunyai
risiko lebih tinggi untuk menderita gejala mood yang signifikan dalam periode withdrawal.
Selain itu, pada beberapa penelitian ditemukan hubungan antara serum triiodotironin bebas (FT3)
dan tiroksin bebas (FT4) pada kadar yang rendah dengan peningkatan insidensi gangguan mood
pada periode pascamelahirkan.5

4
Manifestasi Klinis

Ditemukan adanya gangguan tidur, gangguan nafsu makan, merasa lemas, kehilangan
kegembiraan adanya perasaan bersalah dan putus asa. Kehilangan minat pada aktivitas sehari-
hari, merasa kesal dan cemas, sulit berkonsentrasi, merasa lelah,adanya perasaan bersalah dan
tidak berharga mengharuskan seseorang yang dalam keadaan hamil untuk segera berkonsultasi
atau nemeriksakan dirinya lebih cepat. Beberapa gangguan medis seperti anemia, disfungsi
tiroid, dan diabetes gestasional dikaitkan dengan gejala depresi dan dapat mempersulit diagnosis
depresi selama kehamilan.adanya pikiran untuk bunuh diri, seringnya timbul gagasna untuk
bunuh diri mendukung diagnosis kearah depresi berat selama kehamilan.

Ditemukan adanya waham, halusinasi, bicara tidak teratur, perilaku yang tidak teratur
secara kasar (misalnya berpakaian yang tidak sesuai, sering menangis) atau perilaku katatonik
dan gejala negative seperti tumpulnya emosi (kurang atau menolak memberikan respons
emosional), alogia (kurang atau menolak bicara), atau avolisi (kurang atau menolak motivasi)
diduga berkaitan dengan skizofrenia. Pada kehamilan, jarang terjadi tapi pada wanita dengan
riwayat gangguan mood. Beresiko tinggi mengalami kekambuhan pasca persalinan.6

Depresi Post Partum

Definisi

Terdapat beberapa jenis depresi pada masa kehamilan dan periode postpartum, antara lain
meliputi berlanjutnya atau relaps dari gangguan mood yang sudah ada sebelumnya,
meningkatnya perubahan mood selama kehamilan dan periode postpartum, serta postpartum
baby blues. Menegakkan diagnosis yang tepat sangat susah karena masalah mengenai mood
biasanya disertai dengan ansietas dan bisa juga disertai dengan psikosis yang mengancam jiwa.7

Depresi postpartum merupakan gangguan mood afektif dengan gejala yang sama dengan
Baby Blues; namun yang membedakan adalah jika gejala menetap selama dua minggu atau lebih
setelah bayi lahir. Gejalanya dapat muncul sehari sampai setahun setelah melahirkan. Depresi
selama kehamilan yang tidak terdeteksi merupakan faktor risiko utama depresi postpartum.
Seseorang dapat dikatakan mengalami depresi postpartum jika mengalami minimal lima gejala
yang terdapat di tabel 1. Banyak gejala yang sulit diidentifikasi sebagai depresi postpartum

5
karena gejalanya serupa dengan kondisi normal kebanyakan ibu yang baru melahirkan. Gejala
yang sulit untuk ibedakan antara lain insomnia atau hipersomnia, menurun atau meningkanya
nafsu makan secara signifikan, ansietas sedanga atau berat, dan beberapa gejala somatik seperti
sakit kepala atau nyeri dada.7

Gambar 1. Tipe, Prevalensi, dan Gejala Depresi Maternal serta Kondisi yang Berhubungan.7

6
Gambar 2. Gangguan Afektif Postpartum : Ringkasan Onset, Durasi, dan Terapi.7

Mekanisme dan Etiologi Depresi Postpartum

Mekanisme biologi dari Depresi Postpartum dipercaya serupa dengan kelainan depresi
pada lainnya. Depresi secara umum adalah penyakit intregritas sirkuit neuronal, dimana hasil
dari penelitian menunjukkan terdapat reduksi dari volume otak pada pasien yang telah
terdiagnosa gangguan depresi berat. Menariknya penurunan jumlah volume otak sejalan dengan
berapa tahun lama sakitnya. Stress dan depresi mengakibatkan penurunan jumlah protein otak
yang berperan untuk pertumbuhan neuron dan formasi sinaps, dan pengobatan anti depresi
terbukti dapat meningkatkan neuron dan formasi sinaps serta protein pelindung lainnya oleh
karena itu bisa menghentikan mekanisme depresi.8

Perubahan neurologikal yang mendasar ini dihasilkan dari perkembangan interaksi antara
kerentanan genetik dan faktor lingkungan (misalnya stress psikososial) dari ketidakseimbangan
kimiawi seperti yang kita ketahui sebelumnya. Secara rincinya efek neurobiologi withdrawl
yang cepat dari hormon postpartum merupakan faktor predisosisi dari depresi postpartum.

Yang menarik dan membuat depresi postpartum unik dibandingkan depresi lainnya
adalah depresi postpartum ditandai dengan adanya ansietas yang mencolok. Hal ini
menyebabkan banyak depresi postpartum tidak terdiagnosis. Kurang lebih 66% ibu dengan
depresi postpartum memiliki komorbiditas dengan gangguan ansietas dan memerlukan
pemeriksaan yang lebih spesifik.

Stress yang dialami karena memiliki bayi atau suasana saat melahirkan bisa
menimbulkan gejala dari depresi postpartum, dimana Cheryl Beck membagi prosesnya menjadi 4
fase: encountering terror, dying of self, struggling to survive, dan regaining control.
Encountering terror mendeskripsikan kecemasan yang menakutkan, pikiran obsesif yang kejam.

7
Dying of self mendeskipsikan hilangnya diri yang normal dimana wanita mengalami suatu
perasaan untuk merawat bayinya dan seakan diperbudak dengan keadaan yang tidak
nyata.Struggling to survive adalah seorang wanita akan berusaha untuk mencoba mengingat
konsekuensi dari dying of self, mencari bantuan tenaga kesehatan, berdoa agar mendapat
pertolongan, mencari hiburan dari kelompok yang mendukung. Regaining control berisi hari-hari
yang jelek yang diinterupsi oleh hari yang baik sampai pada akhirnya hari yang baik melebihi
hari yang jelek. Seorang wanita akan resah selama fase ini karena kehilangan waktunya dengan
bayinya serta ketakutan yang berulang, oleh karena itu sisa penyembuhannya harus dilakukan
dengan berhati-hati.8

Prevalensi Depresi Post Partum


Hasil dari penelitian Leahy WP et al, 2011 menunjukkan bahwa prevalensi dari depresi
postpartum adalah paling banyak pada ibu yang pertama kali melahirkan, presentasenya 13,2%
pada 6 minggu setelah melahirkan dan 9,8% pada 12 minggu setelah melahirkan.9

Gambar 3. Prevalensi dan Insidensi Depresi Maternal.7

Pemeriksaan Penunjang

Diluar negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan
pelayanan pasca persalinan yang rutin dilakukan. Untuk melakukan skrining ini dapat
dipergunakan alat bantu berupa Edineburgh Postnatal Depression Scale yaitu kuesioner yang
dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan suasana depresi selama 7
hari pasca persalinan. Pertanyaan-pertanyaan berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,

8
perasaan bersalah serta mencakup hal-hal yang terdapat pada postpartum blues atau baby blues.
Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan dimana setiap pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban
yang mempunyai nilai skor dam harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang
dirasakan ibu pasca salin saat ini. Nilai skoring yang dianggap positif (Cut Of Point) depresi
pasca persalinan bila skor 10 atau diatas 10. EPDS telah diakui dapat mendeteksi depresi pasca
persalinan pada sampel yang diambil dari masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang
12/13, skala tersebut memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%.
Skala ini terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu penilaian diagnosis
psikiatri yang diakui dan diterapkan pemakaiannya di Inggris dan Australia. Dalam melengkapi
kuesioner tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh anggota keluarga yang lain, hal ini
dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih baik. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu
dan rata-rata dapat diselesaiakan dalam waktu 5 menit. Alat ini juga telah diuji validitasinya di
beberapa Negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. Edinburgh Postnatal
Depression Scale dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya
meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 minggu kemudian. 7-8

Gambar 4. EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale).

9
Talaksana

Penatalaksanaan Farmakologi

Disadur dari review jurnal mengenai tatalaksan depresi postpartum yang diambil dari 19
artikel jurnal yang memenuhi syarat sebagai berikut i) artikel jurnal empiris berbahasa inggris ii)
tervalidasi mengenai penegakan diagnosis depresi denganbaik iii) sistem skoring depresi yang
sama. dari 19 artikel 7 artikel menunjukkan efikasi dari antidepresan atau suplemen hormonal
untuk pencegahan depresi postpartum dan 12 artikel menguji mengenai efikasi dari antidepresan
atau suplemen hormonal sebagai terapi dari depresi postpartum. Penulis menyimpulkan bahwa
antidepresan sangat efektif untuk wanita dengan depresi postpartum dimana paling efektif adalah
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs) dan khususnya fluoxetine, paroxetine, dan sertaline.
Belum ada bukti yang cukup mengenai rekomendasi pnggunaan suplemen hormonal. Paroxetine
dan sertaline direkomendasikan sebagai obat pilihan bagi ibu yang menyusui.10

Penatalaksanaan Psikologikal dan Psikososial


Strategi pengobatan nonfarmakologis berguna untuk wanita dengan gejala depresi ringan
sampai sedang. Psikoterapi individu atau kelompok yang meliputi kognitif- perilaku dan terapi
interpersonal terbukti sangat efektif. Salah satu adalah cognitive behavior therapy (CBT) atau
terapi perilaku kognitif yang merupakan salah satu bentuk konseling untuk membantu klien agar
menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat memenuhi gaya
hidup tertentu, dengan memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Konseling perilaku kognitif
terfokus pada kegiatan mengelola dan memonitor pola pikir klien sehingga mengurangi pikiran
negatif dan mengubah isi pikiran agar diperoleh emosi yang lebih positif yang dilakukan dengan
memberikan latihan relaksasi dan edukasi. Teknik relaksasi yang dilakukan untuk menurunkan
kecemasan klien yang mengalami depresi postpartum. Penanganan psikologis dalam bentuk
edukasi pada ibu postpartum dapat mereduksi depresi postpartum dan meningkatkan respons
positif.10

Terapi Nonfarmakologi lainnya

Beberapa penelitian perlu melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan terapi yang
akan diberikan pada pasien yang mengalami depresi postpartum. Terapi tersebut meliputi :

10
Electroconvulsive therapy, Bright light therapy, Omega-3 fatty acid, akupunktur dan massage,
serta latihan.10

Baby Blues Syndrome

Definisi

Kehamilan merupakan waktu yang sangat sulit bagi wanita. Wanita mengalami berbagai
perubahan hormonal dan fisik yang dapat membuat wanita ini merasa dan bertindak berbeda dari
biasanya. Persalinan dan harus merawat bayi memberikan stress tersendiri terutama bagi wanita
yang baru pertama kali melahirkan. Hal ini menguras tenaga serta mental ibu dimana banyak ibu
yang mengalami ini dan menyebutnya dengan istilah Baby Blues. Karena hal ini dialami oleh
hampir semua ibu yang baru melahirkan maka Baby Blues tidak dapat digolongkan ke dalam
depresi maternal. Ibu mengalami rangkaian emosi yang mearupakan reaksi umum yang terjadi
pada beberapa hari pertama setelah melahirkan. Bagaimanapun jika hal ini menetap sampai dua
minggu atau lebih maka ibu bisa saja mengalami depresi postpartum, dimana memerlukan
perhatian medis. Perbedaannya dengan Baby Blues adalah Baby Blues dapat hilang cepat dengan
sendirinya jika diikuti dengan kesabaran dan dukungan dari keluarga serta lingkungan
sekitarnya.11

Etiologi dan Patofisiologi

Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang faktor yang
menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang
saling mempengaruhi antara lain:
1) Faktor psikososial
Faktor psikososial yang berkorelasi dengan timbulnya sindroma depresi pasca persalinan
2) Faktor Biologik
Perubahan amin biogenik (serotonin, norepinefrin, dan dopamin) serta prekursornya
dan sistem adenosin fosfat juga terlibat dalam terjadinya depresi pasca persalinan. Perubahan
metabolisme amin biogenik erat hubungannya dengan gangguan depresi. Gangguan
metabolisme amin biogenik diimplikasikan sebagai penyebab timbulnya depresi. Sintesa 5
OH tryptamin di otak menurun menyebabkan kadar plasma bebas triptofan menjadi rendah,

11
sehingga menunjukkan penurunan afek. Kemampuan mengikat reseptor alpha 2
adenoreseptor dipengaruhi oleh konsentrasi estrogen dan progesteron. 12
3) Faktor Hormonal
Penelitian menyatakan bahwa postpartum blues disebabkan oleh perubahan
hormonal. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon yang sangat mendadak pada ibu.
Hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) secara mendadak mengalami penurunan
selama 48-72 jam setelah melahirkan dan juga disertai penurunan kadar hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan
perasaan tertekan serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui. Perubahan
hormon yang cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya BBS.12
Dari hasil penelitian, hormon estrogen dapat mempengaruhi aktivitas neural pada
hipotalamus dan sistem limbik langsung melalui modulasi rangsangan saraf dan memiliki
efek multifase kompleks pada sensitivitas reseptor dopamin. Estrogen juga meningkatkan
sintesis dopamin dan melepaskan, memodifikasi tingkat pembakaran basal, dan dapat
menyebabkan perilaku stereotip pada hewan pengerat.13

Beberapa faktor yang diduga menempatkan wanita pasca bersalin pada risiko tinggi
mengalami depresi, antara lain: 11
a. Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan fisik dan emosional yang kompleks
b. Dukungan sosial yang buruk, yang berarti tidak mempunyai sese orang yang dipercaya
untuk membantu atau mencurahkan pikiran dan perasaan dengan teman karib.
c. Riwayat premenstrual syndrome (PMS) sebelumnya, gangguan menstruasi, dan atau
kesulitan untuk hamil.
d. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan yang traumatis
e. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya,
sosial ekonomi
f. Gangguan tiroid atau riwayat keluarga dengan gangguan tiroid.
g. Diet rendah lemak, rendah protein atau kurang nutrisi lain, atau morning sickness yang
berat yang menyebabkan malnutrisi.
h. Peningkatan berat badan selama hamil dan penurunan berat yang sedikit setelah
melahirkan.

12
i. Kepulangan yang dini dari rumah sakit (kurang dari 24-40 jam).
j. Perselisihan perkawinan (marital discord).
k. Kehamilan yang tidak diinginkan.
l. Rasa ingin memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut yang berlebihan
akan kehilangan bayinya
m. Stress yang dialami wanita itu sendiri misalnya ASI tidak keluar, frustasi karena bayi tidak
mau tidur, nangis dan gumoh, stress melihat bayi sakit, rasa bosan dengan hidup yang
dijalani

Oleh karena beranekaragam faktor etiologi dan rumitnya interaksi antar berbagai faktor
tersebut, maka sangat sulit mengidentifikasikan faktor resiko yang pasti berperan dalam
timbulnya depresi pasca persalinan dan sulit untuk menentukan secara pasti karakteristik wanita
yang akan mengalami depresi pasca persalinan.

Gambaran Klinis

Gambaran Klinis Baby blue syndrome ditandai perasaan sedih, seperti menangis,
perasaan kesepian atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak bisa tidur
tanpa alas an yang jelas. Baby blue syndrome relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu.
Perbedaan dengan Post partum Depression adalah pada frekuensi, intensitas dan lamanya durasi
gejala. Dalam Post partum Depression, gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama. 14

Beberapa Gejala Kasus Baby blue syndrome:15


1. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa sebab
2. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran
3. Tidak memiliki tenaga atau sedikit saja
4. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
5. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan dan
khawatir terhadap bayinya
6. Tidak percaya diri
7. Sulit beristirahat dengan tenang, namun bila ada orang lain menjaga bayi, si Ibu bisa
tertidur
8. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan

13
9. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan
10. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya

Diagnosis

BBS adalah tekanan atau stress yang dialami oleh seorang wanita pasca melahirkan
karena penderita beranggapan bahwa kehadiran bayi akan mengganggu atau merusak suatu hal
dalam hidupnya seperti karier,kecantikan/penampilan dan aktifitas rutin yang dianggap penting
dalam hidupnya. Penderita baby blue syndrome kebanyakan adalah kalangan wanita karier, artis,
model dan wanita modern tetapi syndrom ini tidak menutup kemungkinan menyerang pada
wanita muda (pernikahan dini) dan semua wanita pasca melahirkan. Sindrom ini umumnya
terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga
atau empat setelah persalinan. Seseorang terdiagnosis baby blue syndrome apabila terlihat secara
psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini: 14
1. Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih, murung, dan sering
menangis tanpa ada sebab (tidak jelas penyebabnya).
2. Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus sering migrain.
3. Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak.
4. Adanya perasaan putus asa

BBS adalah suatu sindroma gangguan mental ringan pada wanita pasca salin, yang
diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Handley dan OHara yaitu bila didapatkan
minimal 4 di antara 7 gejala yang mungkin muncul, yaitu reaksi depresi/sedih/disforia, labilitas
perasaan, menangis, cemas, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, iritabilitas (mudah
tersinggung). Meski sering dianggap sebagai hal yang ringan dan bersifat Self limiting pada
sebagian kasus, kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih
berat, yaitu Psikosis puerperal yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam hal
masalah hubungan perkawinan dengan suami dan juga perkembangan anaknya. 12
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami Post partum
Depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan tekanan atau stres yang
dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka penderita akan mengalami depresi pasca
melahirkan yang berat.

14
Jika telah mengalami hal ini maka diperlukan penanganan secara berkala, gejala dari
depresi tersebut adalah: 12

1. Kelelahan yang berkepanjangan, susah tidur, dan insomnia.


2. Hilangnya perasaan bahagia dan minat untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan.
3. Tidak memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari keluarga dan teman.
4. Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada anak.
5. Perasaan takut telah menyakiti anak.
6. Tidak tertarik pada seks
7. Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan konsentrasi.
8. Kesulitan dalam membuat keputusan sederhana.

15
Gambar 1. Perbedaan Baby blues dengan Postpartum depression

Penatalaksanaan
Pada kasus ini, penanganan yang sangat di perlukan adalah psikoedukasi validasi
pengalaman ibu, dan observasi secara cermat terhadap perkembangan pemburukan atau
perpanjangan gejala yang mungkin menunjukkan depresi postpartum, sindrom psikiatris. 12
Adapun langkah-langkah untuk mengatasi kasus ini yaitu sebagai berikut: 14
1. Komunikasikan segala permasalahan atau hal lain yang ingin diungkapkan
2. Bicarakan rasa cemas yang dialami
3. Bersikap tulus ikhlas dalam menerima aktivitas dan peran baru setelah melahirkan
4. Bersikap fleksibel dan tidak terlalu perfeksionis dalam mengurus bayi atau rumah
tangga
5. Belajar tenang dan meditasi
6. Kebutuhan istirahat yang cukup, tidurlah ketika bayi tidur
7. Berolahraga ringan
8. Bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru
9. Dukungan tenaga kesehatan
10. Dukungan suami, keluarga, teman, teman sesama ibu
11. Konsultasikan pada dokter atau orang yang professional, agar dapat meminimalisir
faktor resiko lainnya dan membantu melakukan pengawasan

16
Pencegahan

Berikut ini beberapa kiat yang mungkin dapat mengurangi resiko baby blues: 15
1. Pelajari diri sendiri
2. Tidur dan makan yang cukup
3. Olahraga
4. Hindari perubahan hidup sebelum atau sesudah melahirkan
5. Beritahukan perasaan Anda
6. Dukungan keluarga dan orang lain diperlukan
7. Persiapkan diri dengan baik
8. Lakukan pekerjaan rumah tangga
9. Dukungan emosional
10. Dukungan kelompok depresi postpartum

Penatalaksanaan Untuk Penyakit Psikiatri Pada Kehamilan

a) Depresi mayor

IPT sangat ideal untuk perawatan ibu hamil yang tertekan. Sebuah studi tentang IPT pada
wanita hamil yang mengalami depresi, mengungkapkan bahwa IPT secara signifikan mengurangi
tingkat keparahan gejala depresi dan remisi pada semua pasien. Terapi perilaku kognitif (CBT)
juga telah dilaporkan bermanfaat.1

Antidepresan selama kehamilan diindikasikan untuk wanita yang gejalanya mengganggu


kesehatan dan fungsi ibu. Pilihan obat didasarkan pada respon pengobatan sebelumnya. Selama
kehamilan, fluoxetine biasanya merupakan pilihan antidepresan lini pertama, berdasarkan pada
literatur paling banyak yang mendukung keselamatan reproduksinya. Pilihan lini pertama lainnya
termasuk trisiklik antidepresan, terutama nortriptyline dan desipramine, karena obat ini kurang
antikolinergik dan oleh karena itu lebih kecil kemungkinannya untuk memperburuk hipotensi
ortostatik selama kehamilan. Beberapa penulis berpendapat bahwa SSRI yang awal dan
venlafaxine tidak memiliki risiko teratogenik. Konsekuensi yang mungkin timbul terkait dengan
paparan SSRI melalui plasenta dan ASI pada adaptasi neonatal, dan pengembangan

17
neurokognitif jangka panjang bayi masih kontroversial. Beberapa data tersedia untuk inhibitor
monoamine oxidase, bupropion, nefazodone, atau mirtazapine. Namun agen ini dapat
dipertimbangkan, pada pasien yang belum menanggapi fluoxetine atau TCA.

Pasien yang sangat depresi dengan keinginan bunuh diri akut atau psikosis memerlukan
rawat inap, dan terapi electroconvulsive therapy (ECT) seringkali merupakan pengobatan
pilihan. Penggunaan ECT selama kehamilan ternyata aman. Ada laporan tentang persalinan
prematur dengan penggunaan ECT selama kehamilan. Namun, tidak ada laporan ketuban pecah
dini yang disebabkan oleh ECT. ECT dapat dianggap sebagai alternatif farmakoterapi
konvensional untuk wanita yang ingin menghindari pemaparan berlebihan pada obat
psikotropika selama kehamilan atau untuk wanita yang gagal menanggapi terapi antidepresan
standar.1

b) Bipolar

Resiko malformasi janin ada saat beberapa penstabil mood digunakan selama pembuahan
dan/atau selama trimester pertama kehamilan. Neurobehavioral teratogenisitas dan toksisitas
neonatal juga dimungkinkan. Pilihan lini pertama pada wanita hamil dengan gangguan bipolar
adalah lithium. Dibandingkan dengan pilihan stabilizer mood lainnya selama kehamilan, lithium
membawa risiko terendah. Anti kejang adalah pilihan lain untuk mengobati gangguan bipolar.
Namun, paparan anticonvulsant oleh janin tidak hanya terkait dengan beberapa kelainan
kongenital, namun juga tingkat lesi sistem saraf pusat yang sangat tinggi.

Jika penggunaan karbamazepin atau asam valproik diperlukan selama kehamilan, asam
folat dosis tinggi (4 mg per hari) dapat mengurangi risiko spina-bifida secara parsial. Strategi
lain pada wanita hamil yang dikendalikan dengan lithium adalah menghindari lithium selama
trimester pertama, dan melanjutkan perawatan selama trimester kedua. USG pada usia gestasi
16-18 minggu direkomendasikan untuk mendeteksi anomali kongenital pada janin wanita yang
terpapar pada agen mood stabilizer selama trimester pertama. 1

c) Gangguan Cemas

CBT ditemukan bermanfaat untuk gangguan panik dan OCD pada wanita hamil dan tidak
hamil. Penanganan obat atau dosis pengobatan yang lebih rendah dimungkinkan dengan

18
pengobatan tambahan dengan CBT selama kehamilan. Demikian pula, untuk kasus ringan OCD,
wanita hamil dapat menangani dengan baik dengan teknik perilaku. Namun, gejala sedang
sampai parah mungkin memerlukan penanganan farmakologis.

Tapering off obat anticemas (lebih dari 2 minggu), mungkin terjadi pada kasus ringan
gangguan panik. Namun, dosis maintenance mungkin diperlukan pada pasien dengan gangguan
panik berat. Dalam kasus tersebut, fluoxetine atau TCA adalah pilihan pengobatan yang sesuai.
Pada pasien yang tidak menanggapi antidepresan ini, penggunaan benzodiazepin dapat
dipertimbangkan.1

Penggunaan benzodiazepin selama kehamilan masih kontroversial. Beberapa penelitian


menunjukkan peningkatan risiko bibir sumbing dan celah langit-langit. Namun penelitian lain
tidak menemukan peningkatan risiko malformasi organ. Dosis yang terkait dengan toksisitas
biasanya lebih besar dari atau sama dengan 2 mg sehari klonazepam atau dosis lain dari
benzodiazepin lainnya.

d) Gagguan Psikosis

Antipsikosis harus diberikan pada pasien psikosis karena menjadi kegawat daruratan
kebidanan dan medis. Pada wanita hamil dengan penyakit psikotik, obat dengan potensi yang
lebih tinggi direkomendasikan daripada antipsikotik potensi rendah. Penggunaan clozapine pada
wanita hamil telah diselidiki dengan beberapa penelitian yang melaporkan tidak ada bukti
terjadinya malformasi kongenital. Demikian pula, sebuah tinjauan baru-baru ini menunjukkan
bahwa olanzapine dan clozapine tampaknya tidak meningkatkan risiko teratogenik jika diberikan
pada wanita hamil, sementara bukti pada quetiapine, risperidone, aripiprazole, dan ziprasidone
masih terbatas. 1

19
Tabel Terapi Gangguan Mental selama Kehamilan

20
KESIMPULAN
Pada referat ini penulis telah membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
gangguan mental pada masa kehamilan, berupa cara diagnosa, screening, serta pilihan
tatalaksana. Gangguan mental pada masa kehamilan merupakan suatu isu yang penting yang
tidak bisa diacuhkan begitu saja, mengingat kejadian depresi pada masa kehamilan ini cukup
tinggi angka kejadiannya. Beberapa gangguan mental yang dapat terjadi seperti depresi,
gangguan makan, gangguan cemas, dan skizofrenia. Wanita hamil tidak seharusnya menolak
tatalaksana farmakologis hanya karena mereka sedang hamil, terdapat modalitas lain yang bisa
dipergunakan untuk mengatasi depresi pada masa kehamilan ini yang terbukti relatif aman
terhadap perkembangan janin. Sehingga sudah seharusnya provider kesehatan menjelaskan
pilihan yang dapat diambil oleh wanita hamil yang mengalami gangguan mental untuk mengatasi
keluhannya, dan provider kesehatan mampu menjelaskan keuntungan dan efek samping dari
modalitas terapi berdasarkan bukti klinis yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian ilmiah.
Sehingga pada akhirnya, kesehatan mental wanita hamil dapat dijaga sebaik mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Santvana S. SHamsah S. Firuza P. Rajesh P. Psychiatric disorder associated with


pregnancy. The Journal of Obstetrics and Gynecology of India. 2005. p 218-224
2. Chaudron LH. Complex Challenges in Treating Depression During Pregnancy. Am J
Psychiatry. 2013; 170:1220.
3. Ali N. Azam I. Ali B. Moin S. Frequency and Assosiated Factors for Anxiety and
depression in pregnant woman : A hospital-Based Cross-Sectional Study. The Scientific
World Journal. Vol. 2012. Pp 2
4. Stewart DE. Depression during Pregnancy. N Engl J Med. 2011, October ; 365:1605-11.
5. Paarlberg KM, Harry BM. Bio-psycho-social obstetrics and gynecology. Switzerland:
Springer ; 2017.hal.54-5
6. Sharma P. Singh N. Psychiatric Disorder during Pregnancy dan Postpartum. Journal of
Pregnancy and Child Health. Vol : 4. 2017. p 318.

21
7. Lancaster CA, Gold KJ, Flynn HA, Yoo H, Marcus SH, Davis MM. Risk factors for
depressive symptoms during pregnancy: a systematic review. AJOG. 2010, Jan: pp.5-14.
8. Hirst KP, Moutier CY. Postpartum mayor depression. American family physician;
October 2010: 82(8). p. 926-32.
9. Warren PL, McCarthy G, Corcoran P. Postnatal Depression in First-time Mothers :
Prevalence and relationships Between Functional and Structural Social support at 6 and
12 Weeks Postpartum. Archieves of Psychiatric Nursing, Vol.25, No. 3 (June),
2011.pp.174-184
10. Corey E, et al. Postpartum Depression: an Overview of Treatment and Prevention.
Geneva Foundation for Medical Education and Research. Geneva, August 2011
11. NIHCM Foundation Issue Brief June 2010. Identifying and Treating Maternal
Depression: Strategies & Consideration for Health Plans.pp.2-4, 5-6.
12. Imsiragic AS, Begic D, Martic BS. Acute stress and depression 3 days after vaginal
delivery-observational, comparative study. Coll Antropol. Jun 2009; 33(2): 521-7.
13. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadocks: Comprehensive textbook of
psychiatry. Ninth ed. New York: Wolters Kluwer; 2009. p. 230, 2552-3.
14. Joy S. Postpartum depression. Medscape (online) in:
http://reference.medscape.com/article/271662-overview. Upd Agustus 2017.
15. Rosario D, Genevieve A. Postpartum depression: symptoms, diagnosis, and treatment
approaches. JAAPA. Feb 2013; 26 (2): 50-4.

22

You might also like