You are on page 1of 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN IMUNISASI


Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. 7
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara
memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia, untuk mencegah penyakit.7

2.2 TUJUAN IMUNISASI


Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat
(populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti yang kita lihat
pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih
mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui
8
manusia, sepertimisalnya penyakit difteria dan poliomyelitis. Pemerintah
Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasisebagai cara
untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita/anak-anak pra
sekolah. Adapun tujuan program imunisasi dimaksud bertujuan sebagai
berikut :
a. Tujuan Umum
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat Penyakit
Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Penyakit dimaksud antara
lain, Difteri, Tetanus, Pertusis (batuk rejam), Measles (campak),Polio dan
Tuberculosis.
b. Tujuan Khusus:
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu
cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi
di 100% desa Kelurahan pada tahun 2010.
2. Tercapainya ERAPO (Eradiksi Polio), yaitu tidak adanya virus
polio liar di Indonesia yang dibuktikan dengan tidak ditemukannya
virus polio liar pada tahun 2008.

5
3. Tercapainya ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum), artinya
menurunkan kasus TN sampai tingkat 1 per 1000 kelahiran hidup
dalam 1 tahun pada tahun 2008.
4. Tercapainya RECAM (Reduksi Campak), artinya angka kesakitan
campak turun pada tahun 2006.

2.3 SASARAN IMUNISASI


Sasaran program imunisasi yang meliputi sebagai berikut :
a. Mencakup bayi usia 0-1 tahun untuk mendapatkan vaksinasi BCG, DPT,
Polio, Campak dan Hepatitis-B
b. Mencakup ibu hamil dan wanita usia subur dan calon pengantin (catin)
untuk mendapatkan imunisasi TT
c. Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas 1, untuk mendapatkan
imunisasi DPT
d. Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas II s/d kelas VI untuk
mendapatkan imunisasi TT (dimulai tahun 2001 s/d tahun 2003), anakanak
SD kelas II dan kelas III mendapatkan vaksinasi TT. 7

2.4 MANFAAT IMUNISASI


Pemberian imunisasi memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Untuk anak, bermanfaat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit menular yang sering berjangkit;
b. Untuk keluarga, bermanfaat menghilangkan kecemasan serta biaya
pengobatan jika anak sakit;
c. Untuk negara, bermanfaat memperbaiki derajat kesehatan, menciptakan
bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.7

2.5 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki
peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000
kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan
tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi

6
dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara
(termasuk Indonesia).9
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai.
Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan
vaksinasi terhadap penyakit tersebut.9

2.6 RESPON IMUN


Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD
( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh
oleh sel B.8,9
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi
oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease. 9

Proses imun terdiri dari dua fase :

7
Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

2.7 KEBERHASILAN IMUNISASI


Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi
campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan
membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA
FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI
setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena
itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau
sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus
akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila
imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat
obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita
penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit
keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya

8
defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis
milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena
itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun
yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel
imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

9
Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga
tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa
yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal
sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster )
sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons
imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated )
atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan.
Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob,
atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin
BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai
mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.

2.8 PERSYARATAN VAKSIN


1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori

10
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat
merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk
antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus
hidup.

2.9 JENIS VAKSIN


Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya
dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai
sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus
vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan
media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh
( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.

11
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak
membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan
dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan
tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam
tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,
polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).
Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif
dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak
dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan
saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada
dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu

12
atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah
dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang
mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,
respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap
antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling
banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap
komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :


Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,
hepatitis A.
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,
pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan
haemophilus influenzae tipe b.
Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan
pneumokokus ).
2.10 VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN
Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan
perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan
tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).7

13
Gambar 1. Proses terbentuknya sel memori pada sistem imun 9

Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :7
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh
bentuk kekebalan non-spesifik :
- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas
bagian bawah.
- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin -
berperan sebagai antibakteri
- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-
spesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag)
akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.

2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)


Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T
dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh
mikroorganisme, melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang
sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat
merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen

14
akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular.
Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah
bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi
antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan
sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka
semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori
telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini
selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi
antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :7,9
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat
bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak
berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang
secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan
berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap
antigen tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat
dibuat dari8 :
Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
Vaksin rekombinan
Virus like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium
dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin
mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh
menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak
menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin

15
hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam
tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang
kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya
sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Vaksin
hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak,
gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever)
dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus
dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan
penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional,
organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang
dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman
pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak
menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel
virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian
dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni
misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses
rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen
vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian
menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Virus like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16
untuk mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus
HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip
dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo particles of HPV
tipe 16).

16
2.11 PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up
vaccination ) bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.

17
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,
Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke
arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

18
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

2.12 CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Subkutan
Perhatian
Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR,
varisela, meningitis
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum


Bayi (lahir s/d12 Paha Jarum 5/8-3/4 Arah jarum 45o

19
bulan) anterolateral Spuit no 23-25 Terhadap kulit
1-3 tahun paha Jarum 5/8-3/4 Cubit tebal untuk
anterolateral/ Spuit no 23-25 suntikan subkutan
Lateral
lengan atas
Anak > 3 tahun Lateral Jarum 5/8-3/4 Aspirasi spuit
lengan atas Spuit no 23-25 sebelum disuntikan
Untuk suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Intramuskular
Perhatian:
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d Otot vastus Jarum 7/8-1 1. Pakai jarum yang
12 bulan lateralis pada Spuit n0 22-25 cukup panjang untuk
paha daerah mencpai otot
anterolateral
1-3 tahun Otot vastus Jarum 5/8-1 2. Suntik dengan arah
lateralis pada (5/8 untuk jarum 80-90o. lakukan
paha daerah suntikan di dengan cepat
anterolateral deltoid umur 12- 1. Tekan kulit sekitar
sampai masa 15 bulan tepat suntikan dengan
otot deltoid Spuit no 22-25 ibu jari dan telunjuk
cukup besar saat jarum ditusukan
(pada umumnya
umur 3 tahun
Anak > 3 tahun Otot deltoid, di Jarum 1-1 2. Aspirasi spuit sblm
bawah akromion Spuit no 22-25 vaksin disuntikan,
untuk meyakinkan
tidak masuk ke dalam
vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan
pada bagian
sekstremitas berbeda
Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi

20
Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan
memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi
tersebut di bawah ini :
Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).
Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya
neomisin ).
Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.
Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun
( leukimia, kanker, HIV/AIDS ).
Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).
Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup
( vaksin campak, poliomielitis, rubela ).
Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi


Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti
kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter
atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-
data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang
membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan
senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

21
2.13 KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )7
Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si
penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan
pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization
(AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin
meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat
diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja
terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban
untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi
orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan
mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,
reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,
reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi
suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan
teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi
dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin
membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi
vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin,
tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan
kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan
akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan
karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan
melakukan teknik penyuntikan secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi
terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi

22
efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul
umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot).
Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya
reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang
terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya
hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek
samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas
gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat
ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat
dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja.
Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin
dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian
vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan
Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang
berkedudukan di setiap provinsi.

23
2.14 JADWAL IMUNISASI

Gambar 3. Jadwal imunisasi 2014

1. Vaksinasi Tuberkulosis
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi
masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang
memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah
infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier).
Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek
(perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang
bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG
sangat bermanfaat bagi anak.8,9,10

24
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.
Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada
umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun
yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar). Khasiat BCG
selama 3 tahun dan lama kekebalan selama 9 tahun.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan.
WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid
kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal
di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang
tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat
(dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan
sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau
pada infeksi HIV).
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul
dalam waktu 1 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan
menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk
sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan
kering.

Gambar 4. Bentuk Sediaan Vaksin BCG

2. Vaksinasi Hepatitis B7,9

25
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi
bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai
jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi
dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel
2.
Nama Produsen Cara Dosis Interval
Dagang Pemberian Pemberian

Engerix B GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke-


Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke-
pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke-
II Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke-
B 20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)

Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam


(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak
pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir
diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga
hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam
12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu
singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6
bulan).

26
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2
hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin
Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

Gambar 5. Sediaan Vaksin Hepatitis B

3. Vaksinasi DTP
Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun
diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau
vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis
vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi
terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun
untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.8,9
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar

27
hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10
tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis
toxoid tetannus pada bayi, dihitung setara dengan 2 dosis toxoid pada anak
besar atau dewasa. Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan
memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun.
Dengan 4 dosis toxoid tetanus pada bayi dan anak dihitung setara dengan 3
dosis pada dewasa. Toxoid tetanus kelima (DPT 5) diberikan pada usia
sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi sampai umur 17-18
tahun. Dengan 5 toxoid tetanus pada anak dihitung setara dengan 4 dosis
toxoid dewasa. Tetanus toxoid tambahan yang diberikan pada tahun
berikutnya di sekolah (DT 6 atau DT) akan memperpanjang imunitas 20 tahun
lagi. Dengan 6 dosis toxoid tetanus pada anak dihitung setara dengan 5 dosis
toxoid pada dewasa.Jadi PPI merekomendasikan tetanus toxoid (DPT, DT, TT)
5x untuk memberikan perlindungan seumur hidup sehingga wanita usia subur
(WUS) mendapat perlindungan terhadap bayi yang dilahirkan terhadap tetanus
neonatorum.

KIPI dan Kontra Indikasi


Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam
yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang
pada pemberian vaksin yang pertama.

Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari
ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan

28
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang
demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa
jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi
ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik-
hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.
DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan,
6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan
pertumbuhan.

29
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa
nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular
atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3
bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun
setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat
usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10
tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah
10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3
kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka
sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih
serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada
riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan
DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa
dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.

30
Gambar 6. Sediaan Vaksin Difteri

Gambar 6. Sediaan Vaksin Tetanus


4. Vaksinasi Polio
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan
IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,
sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan
suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio
oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh
terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat
pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.8,9
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.

KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian
vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan

31
gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan
diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam
pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita
HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV
berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan
melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk
bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.

Gambar. Sediaan imunisasi Polio

5. Imunisasi Campak
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.
Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin
diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2
jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak
yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang
dicampur dengan garam aluminium).8,9
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :9
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi

32
ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya
tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak
SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang
memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah,
alergi terhadap protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

Gambar 8. Sediaan Imunisasi Campak

33
6. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)
Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul
Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua
vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia
2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan.
Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP
diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun,
maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara
intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan
mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis
PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.8,9
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2
kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali
suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini
diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua
atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh
vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat
suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila
seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat
alergi yang mengancam jiwa.

34
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Pelayanan Imunisasi.
Departemen Kesehatan. Available from:http://www.depkes.go.id/
downloads/profil/Profil%20Kesehatan%20Indo nesia%202005.pdf [
accesed 10 Maret 2015]

Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,


Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi keempat.
Jakarta: Satgas Imunisasi-IDAI; 2011.

35

You might also like