You are on page 1of 20

PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAMUN DI LAUT

SEBAGAI PENANGANAN MANAJEMEN SUMBERDAYA


PESISIR DAN LAUT

OLEH :

EKO W.P.TAMPUBOLON
26020115120036
ILMU KELAUTAN A

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
paper ini dengan baik. Dalam menyelesaikan penulisan paper ini, penulis banyak
mendapat bantuan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan
ini, penulis dengan ikhlas menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Agus Indarjo HS, MPhil sebagai dosen pengampu mata
kuliah Manajemen Sumber Daya Pesisir dan Laut yang telah
mendorong, menuntun dan memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan penulisan paper ini.
2. Orang tua, yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Kepada teman teman yang selalu mendorong semangat saya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun teknis penulisan, oleh karena itu dengan
rendah hati penulis bersedia menerima sumbangan pemikiran dalam rangka
penyempurnaan. Atas kerelaan semua pihak dalam memberikan saran-saran
perbaikan penulis menyampaikan banyak terima kasih. Semoga paper ini dapat
menambah wawasan penulisdan wacana umun mahasiswa dalam memahami
karakteristik sumber daya pesisir dan laut. Amin.

Semarang, 28 November 2014

Penulis

1
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

DAFTAR GAMBAR 3

DAFTAR TABEL 4

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 5

1.2 Tujuan 5

1.3 Permasalahan 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lamun 6

2.2 Pola Distribusi 7

2.3 Fungsi Lamun 9

2.4 Konservasi Lamun 9

2.5 Definisi dan Deskripsi Ekowisata Bahari 10


PEMBAHASAN 12
KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tumbuhan Lamun


Gambar 2. Peta Sebaran Lamun di Pulau Harapan
Gambar 3. Peta Sebaran Lamun di Pulau Panggang

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kegiatan Ekowisata Bahari yang Dapat Dikembangkan 14


Tabel 2. Kondisi Ekosistem Lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang 17

Tabel 3. Indeks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Lamun 22

Tabel 4. Hasil Pengamatan Karakteristik Perairan 22

Tabel 5. Kerapatan Jenis Lamun 22

4
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lamun
yang berguna untuk pengembangan ekowisata. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kesesuaian lahan untuk mengetahui jenis wisata yang
akan dikembangkan, analisis daya dukung untuk mengetahui jumlah maksimum
pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada
waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia serta analisis
SWOT untuk menentukan prioritas strategi alternatif pengembangan yang paling
tepat dilaksanakan dengan pertimbangan faktor internal dan eksternal.
Padang lamun sebagai suatu ekosistem di daerah pesisir panatai akan terus
mengalami perubahan oleh berbagai sebab, sehingga penelitian menegenai
distribusi spasial lamun juga harus dilakukan. Data dan informasi yang diperoleh
tidak hanya untuk ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pengelolaan
sumberdayanya.

I.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk :
I.2.1 Agar mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang menyebabkan
permasalahan sumber daya laut
I.2.2 Agar mahasiswa mengetahui permasalahan yang ada pada
sumber daya laut pada ekosistem lamun

I.2.3 Agar mahasiswa mengetahui bagaimana cara memanfaatkan


sumber daya ekosistem lamun di laut

I.3 Permasalahan

Kesesuaian Lahan untuk Mengetahui


Manajemen
LAMUN Jenis Wisata yang Akan Dikembangkan
Sumberdaya
Lamun Distribusi Spasial
Lamun

II. TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1 Pengertian Lamun
Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang sepenuhnya
menyesuaikan diri dengan hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini (Gambar 2)
terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang
terbenam dan merayam secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku
tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan berbunga, serta
tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut menampakan
diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan ombak dan
arus. Lamun sebagian besar berumah dua, yaitu dalam satu tumbuhan hanya ada
satu bunga jantan saja atau satu bunga betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas
karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination)
dan buahnya juga terbenam di dalam air (Azkab, 2006). Tumbuhan ini memiliki
beberapa sifat yang memungkinkan hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup
di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai
sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan
untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat
berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan stabil ataupun tidak stabil
pada lingkungan laut (Azkab, 2006).

Gambar 1. Tumbuhan Lamun (Azkab, 2006)


Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta
perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan dengan
karang mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa

6
jenis lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila
dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen karbonat yang
berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang tumbuh di
sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan
yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta
fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 in Dahuri, 2003).
Diseluruh dunia telah di identifikasi terdapat 60 jenis lamun, 13
diantaranya ditemukan di Indonesia. Dari 13 jenis lamun yang tumbuh di perairan
Indonesia, 10 jenis ditemukan di kawasan Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Kerapatan jenis lamun di pengaruhi faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun di antaranya adalah
kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Lamun tumbuh pada daerah yang lebih
dalam dan jernih memilki kerapatan jenis lebih tinggi daripada lamun yang
tumbuh di daerah dangkal dan keruh. Lamun berada pada substrat lumpur dan
pasir kerapatannya akan lebih tinggi daripada lamun yang tumbuh pada substrat
karang mati (Kiswara, 2004).

2.2 Pola Distribusi


Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang surut (inner
intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun
secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu
ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan
berinteraksi dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan
penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini
yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampak
kegiatan manusia (Begen, 2001).
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun
luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa
vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang
lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-
sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi

7
tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis,
Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum
(Dahuri, 2003). Pada substart berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering
dijumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara
padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah yang berada didekat
pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh
dengan baik di daerah perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et
al. 1988 in Dahuri 2003).
Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan
tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu
kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang
kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun
memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut
(Azkab, 2006).
Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun secara vertikal
dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara, 1997).
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air
surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah.
Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila minor,
Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang atau
daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 m.
Contoh: Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii,
Cymodoceae rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium,
Enhalus acoroides dan Thalassodendron ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai
dari 5-35m.
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa,
Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron
ciliatum.

8
Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang
tumbuh menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh
pantai. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh
Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan
Thalassodendron ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai
(Hutomo, 1997).

2.3 Fungsi Lamun


Menurut Nybaken (1992) lamun mempunyai fungsi penting, yaitu:
a. Sebagai produsen primer.
b. Sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis hewan, seperti duyung,
penyu serta jenis-jenis ikan herbivora dan ikan karang.
c. Sebagai habitat biota laut seperti moluska, crustacea dan cacing.
d. Melindungi pantai dari erosi dan abrasi serta menangkap sedimen yang
dibawa oleh air laut.
e. Sebagai daerah asuhan, perlindungan dan sebagai tempat memijah
berbagai jenis ikan.
f. Sebagai tempat pengasuhan dan tempat mencari makan (feeding ground)
berbagai jenis ikan.

2.4 Konservasi Lamun


Perencanaan konservasi membutuhkan pengambilan keputusan tentang
konfigurasi, lokasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya adalah untuk mencapai
representasi keanekaragaman hayati untuk biaya sekecil mungkin. Efektivitas
perencanaan konservasi sistematis ditentukan oleh; efisiensi dalam menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan konservasi, ketahanan dan
fleksibilitas dalam menghadapi penggunaan lahan, dan akuntabilitas dalam
memungkinkan keputusan untuk ditinjau secara kritis. Penentuan rencana
konservasi ditentukan 3 prinsip yaitu kelengkapan, kecukupan, dan keterwakilan
(Anonim, 2010).
Kelengkapan dimaksudkan adalah dalam penentuan zona konsevasi
tersebut dalam kondisi baik dan memilki keanekaragaman yang khas. Selain itu

9
yang menjadi pertimbangan adalah komposisi keanekaragaman hayati, struktur
dan fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan, kecukupan adalah penenentuan zona
konservasi tidak hanya mementingkan keanekaragaman yang tinggi. Maksudnya
adalah apabila zona tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan tersebar
luas, maka akan sulit melakukan konservasi karena tidak efisien dan memakan
dana yang besar (Anonim, 2010).
Oleh karena itu, penentuan zona konservasi adalah harus mewakili area
yang luas tersebut. Sehingga konservasi akan semakin mudah dilakukan karena
biaya yang dikleuarkan tidak besar dan sangat efisien.

2.5 Definisi dan Deskripsi Ekowisata Bahari


Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang
dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Pengelolaan ekowisata bahari
merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian yang
memanfaatkan sumberdaya masyarakat (Yulianda, 2007). Ekowisata bahari adalah
perjalanan yang bertanggung jawab ke alam laut dengan tetap memelihara
lingkungan dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal (The International
Ecotourism Society, 2001). Menurut Cater (2003) dalam Garrod dan Wilson,
(2004) ekowisata bahari adalah suatu komponen dari sektor ekowisata yang lebih
luas yang dianggap akan tumbuh dengan cepat baik volume maupun nilainya.
Ekowisata bahari terbagi menjadi 2 yaitu kegiatan di darat (pantai) dan
kegiatan di laut (Garrod dan Wilson, 2004). Kegiatan wisata yang dapat
dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu wisata pantai dan wisata bahari (Tabel 1). Menurut Yulianda (2007) Wisata
pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan
budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan,
sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan
sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Tabel 1).
Tabel 1. Kegiatan Ekowisata Bahari yang Dapat Dikembangkan
Wisata Pantai Wisata Bahari

10
1. Rekreasi pantai 1. Rekreasi pantai dan laut
2. Panorama 2. Resort/peristirahatan
3. Resort/peristirahatan 3. Wisata selam (diving) dan wisata
4. Berenang, berjemur snorkling
5. Olahraga pantai (volley pantai, jalan 4. Selancar, jet ski, banana boat,
pantai, lempar cakram, dll) perahu kaca, kapal selam
6. Berperahu 5. Wisata ekosistem lamun, wisata
7. Memancing nelayan, wisata pulau, wisata
8. Wisata mangrove pendidikan, wisata pancing
6. Wisata satwa (penyu, duyung,
paus, lumba-lumba, burung,
mamalia, buaya)

Sumber : Yulianda (2007)


Menurut Yulianda (2007) penataan kawasan ekowisata bahari yang
memperhatikan prinsip konservasi ditujukan untuk mempertahankan
keseimbangan alam. Sistem zonasi merupakan suatu upaya untuk melindungi
sumberdaya alam dan mempermudah pelaksanaan pengelolaan.
Menurut Yulianda (2007) penentuan zonasi dalam dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor ekologi, sosial dan ekonomi. Faktor ekologi yang
dipertimbangkan adalah keberadaan satwa yang dilindungi dan kerentanan
habitat/ekosistem serta tingkat ancaman kerusakan, misalnya zona inti berada di
tengah kawasan atau jauh dari sumber kegiatan manusia. Faktor sosial
mempertimbangkan kegiatan masyarakat dan pengunjung serta gangguan yang
ditimbulkannya.

PEMBAHASAN

11
Dalam melakukan pemberdayaan manajemen sumber daya lamun
sangatlah mudah, yaitu sebagai contoh sumber daya lamun dapat digunakan untuk
ekowisata dan pengelolaan lamun dengan cara distribusi spasial.
Untuk sumber daya lamun sebagai ekowisata, saya mengambil contoh
sebagai berikut potensi sumberdaya lamun sebagai penunjang ekowisata di pulau
harapan dan pulau panggang, kabupaten administratif kepulauan seribu. Dalam
kepulauan ini kebanyakan masyarakat tidak mengetahui apa yang dimaksud
dengan lamun, namun yang mereka ketahui adalah ada sebuah tanaman yang
besar dan jumlahnya cukup banyak, dilihat dari pernyataan warga tersebut perlu
diperhatikan bahwa jalan pertama yang harus dilakukan untuk manajemen sumber
daya lamun adalah memberi bekal dahulu kepada masyarakat setempat agar
masyarakat tersebut mengetahui apakah itu lamun dan untuk apa manfaat lamun
tersebut, kemudian barulah dilakukan sebuah penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan sebuah spesifikasi yang lebih, seperti di bawah ini :
Jenis lamun yang terdapat di Pulau Harapan hanya lamun jenis Thalassia
hemprichii sedangkan di Pulau Panggang selain terdapat jenis Thalassia
hemprichii juga terdapat jenis Enhalus acoroides (Tabel 2). Kedua jenis lamun
tersebut termasuk dalam famili Hydrocharitaceae. Thalassia hemprichii
merupakan jenis lamun yang menjadi makanan bagi duyung atau penyu. Enhalus
acoroides yang berdaun panjang seperti pita akan menyembul apabila air sedang
surut yang akan memancing burung-burung pantai untuk datang mencari makan.
Enhalus acoroides atau lamun tropik oleh masyarakat pulau seribu disebut juga
samo-samo yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan.
Tabel 2. Kondisi Ekosistem Lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang
Lokasi Jenis Tutupan Kecerahan Jenis Jenis Kecepatan Kedalaman
lamun lamun perairan ikan substrat arus (cm/dt) lamun
(%) (%) (cm)
Pulau Stasiun I Thalassia 2,21 10 0 >10 Pasir 0,05-0,28* 63 ,46
Harapan hemprichii Berkarang
Pulau Stasiun I Thalassia 7,03 10 0 >10 Pasir 0,05-0,28* 47 ,13
Panggang hemprichii,
Enhalus
acoroides

12
Stasiun II Enhalus 8,93 10 0 >10 Pasir 0,05-0,28* 59 ,67
acoroides
Stasiun Thalassia 15,47 10 0 >10 Pasir 0,05-0,28* 71 ,38
III hemprichii,
Enhalus
acoroides
* CCMRS, 2006
Kecerahan perairan di seluruh stasiun pengamatan lamun 100% (Tabel 2)
yang berarti baik bagi lamun karena cahaya merupakan faktor utama yang
menentukan pertumbuhan dan penyebaran lamun pada lingkungan perairan
(Erftemeijer, 1993 dalam Hamid, 1996). Ikan yang terdapat di sekitar ekosistem
lamun di pulau Harapan dan Pulau Panggang diantaranya ikan kepe coklat strip,
ikan keling batu, ikan keling dappe, ikan kepe spot, ikan bajulan putih, ikan
bunglon kuning, ikan betok putih, ikan keling hijau, ikan keling putih, ikan kepe-
kepe garis enam coklat dan ikan buarmata strip.
Tutupan lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang rendah, yaitu antara
2,21%-15,47%. Tutupan lamun termasuk rendah apabila kurang dari 25%. Luas
ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Harapan adalah 810 m 2 dan di Pulau
Panggang adalah 16.951 m2 dengan sebagian besar tumbuh pada substrat pasir
(Gambar 13 dan Gambar 14). Secara umum lamun dapat hidup pada substrat pasir
berkarang, pasir, pasir berlumpur dan lumpur. Enhalus acoroides yang tumbuh
pada substrat pasir berlumpur memiliki daun yang lebih lebar dan lebih panjang
jika dibandingkan dengan Enhalus acoroides yang tumbuh pada substrat berpasir
(Erftemeijer, 1993 dalam Hamid, 1996).

13
Gambar 2. Peta Sebaran Lamun di Pulau Harapan

Gambar 3. Peta Sebaran Lamun di Pulau Panggang

Kesesuaian Lahan untuk Kegiatan Ekowisata


2
Luas ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Harapan adalah 810 m dan
2
di Pulau Panggang adalah 16.951 m . Luas ekosistem lamun yang di butuhkan
bagi setiap 1 orang dalam kegiatan ekowisata adalah 50 m x 5 m atau seluas 250
2
m . Ekosistem lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang termasuk kedalam
kategori S2 yaitu sesuai (Tabel 3) dengan nilai Indeks Kesesuaian Wisata masing-
masing sebesar 74,04% di Pulau Harapan dan di Pulau Panggang stasiun 1 sebesar
71,15%, di stasiun 2 sebesar 67,31% serta di stasiun 3 sebesar 71,15%. Suatu
kawasan termasuk ke dalam kategori sesuai (S2) apabila nilai Indeks Kesesuaian
Wisata kawasan tersebut berada di antara 60%-<80% (Yulianda 2007).

Tabel 3. Indeks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Lamun


Lokasi Pengamatan Total Indeks Kesesuaian Tingkat
Skor Wisata (%) Kesesuaian
Pulau Stasiun 1 77 74,04 S2
Harapan
Pulau Stasiun 1 74 71,15 S2
Panggang Stasiun 2 70 67,31 S2
Stasiun 3 74 71,15 S2

14
Untuk ketertarikan pengunjung dalam ekowisata lamun masih sangatlah
kurang, terutama di Pulau Harapan sangat kecil tingkat pengunjungnya
dikarenakan belum dapat dilakukan pemanfaatan lamun untuk wisata karena Daya
Dukung Pemanfaatan ekologis di pulau tersebut belum terpenuhi.
Sedangkan untuk pengelolaan sumber daya lamun untuk distribusi spasial
adalah sebagai berikut : distribusi spasial dan pengelolaan lamun (seagrass) di
teluk bakau, kepulauan riau.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Karakteristik Perairan

Sumber : KepmenLH (2004) Baku Mutu Air Laut untuk Bioata Laut
Berdasarkan data tersebut dapat di ketahui bahwa perairan Teluk Bakau
termasuk perairan dangkal dan jernih karena sampai kedalaman tertentu cahaya
dapat masuk. Kondisi perairan yang dangkal mempengaruhi kehidupan lamun,
karena perubahan kedalaman air dapat mempengaruhi beberapa faktor lingkungan
perairan yang lain, yaitu suhu, intensitas cahaya dan hidrodinamika air. Intensitas
cahaya matahari yang sampai kedalaman tertentu diperairan merupakan faktor
pembatas pertumbuhan dan produksi lamun. Kecerahan perairan sangat penting
bagi lamun karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Penyinaran yang
baik akan mempengaruhi kehidupan lamun karena proses fotosintesis akan
berjalan dengan baik. Selain itu nilai kecerahan yang tinggi ini juga di dukung
oleh kecepatan arus yang relatif tenang pada perairan tersebut.
Tingkat kecerahan perairan Teluk Bakau dipengaruhi oleh nilai Total
Suspended Solid (TSS). Tingginya perbedaan nilai TSS antara stasiun
mengindikasikan bahwa perairan Teluk Bakau terjadi sedimentasi atau proses
pengendapan tinggi di beberapa stasiun pengamatan. Stasiun yang mengalami

15
proses sedimentasi adalah Stasiun 1 dan Stasiun 2. Selain itu nilai kecerahan yang
tinggi dan TSS juga di dukung oleh kecepatan arus.
Substrat merupakan media tumbuhnya lamun yang memegang peranan
distribusi lamun mulai dari garis pantai pada saat surut terendah. Perairan Teluk
Bakau memiliki sebaran lamun dari pantai sampai ke tubir kurang lebih 1500
meter. Memiliki substrat dasar perairan terdiri dari remahan koral (coral rubble)
bercampur dengan pasir, dan pecahan cangkang siput, pasir kasar, maupun pasir
berlumpur yang dapat ditumbuhi lamun. Rata-rata perairan Teluk Bakau memiliki
tipe substrat yang didominansi oleh tipe pasir lumpur dengan. Pada beberapa
substasiun terutama substasiun yang mendekati tubir, lamun juga tumbuh pada
pecahan karang dan cangkang karang. Namun kerapatan dan luas penutupannya
cenderung lebih kecil dibandingkan lamun yang tumbuh di daerah substrat pasir
berlumpur.

Kerapatan Jenis
Jenis lamun yang terdapat di perairan Teluk Bakau merupakan jenis lamun
yang biasa hidup di perairan dangkal yang selalu terbuka saat air surut. Kerapatan
jenis lamun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut yaitu:
kedalaman, kecerahan, dan tipe substrat. Kerapatan jenis lamun akan semakin
tinggi bila kondisi lingkungan perairan tempat lamun tumbuh dalam keadaan baik.
Perairan Teluk Bakau yang relatif dangkal dan jernih ini sangat mendukung
kerapatan jenis lamun yang tinggi pula. Selain itu, tipe substrat juga
mempengaruhi kerapatan jenis, berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa
kerapatan jenis lamun yang terdapat di perairan mendekati tubir semakin padat,
sedangkan kerapatan jenis lamun akan semakin rendah pada daerah yang
mendekati pada daerah lamun.
Tabel 5. Kerapatan Jenis Lamun

16
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 5) dapat diketahui bahwa kerapatan
jenis lamun berbeda pada setiap stasiun pengamatan. Kerapatan jenis lamun
tertinggi pada Stasiun 5 mulai dari wilayah dekat antai maupun jauh dari pantai
yang mencapai 9 tegakan/m2 - 317 tegakan/m2 dan kerapatan jenis lamun
terendah terdapat di Stasiun 3. Jumlah dan jenis lamun yang ditemukan pada
lokasi tersebut sangat jarang. Perbedaan kerapatan jenis lamun setiap stasiun ini,
disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan pada setiap stasiun pengamatan.
Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi
suatu perairan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan
tidak hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi
juga oleh keadaan morfologi dari jenis lamun tersebut.

KESIMPULAN

17
Penyebab masalah pada manajemen sumber daya laut adalah bagaimana
pengendalian dari suatu ekosistem tersebut, sebagai contoh pada ekosistem
karang, mangrove, lamun, dan seaweed.
Permasalahan yang ada pada manajemen sumberdaya lamun yaitu pada
masyarakat yang kurang paham akan lamun dan juga kurang adanya
partisipasi dari pemerintah yang baik.
Memanfaatkan sumber daya ekosistem lamun dapat melalui cara dengan
membuat ekowisata lamun dan mengetahui distribusi spasial.

DAFTAR PUSTAKA

18
Nainggolan Presli, 2013, Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (seagrass) di
Teluk Bakau, Kepulauan Riau, Bogor : ISSN 2087-1090, Vol. 4, No. 1,
April 2013, 18-29
Rahmawati Ani, 2009, Studi Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Kegiatan Wisata
Pantai (Kasus Pantai Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur),
Bogor : IPB
Wahyudi Helmi, 2008, Potensi Sumberdaya Lamun dan Mangrove sebagai
Penunjang Ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang,
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Bogor : IPB

19

You might also like