You are on page 1of 26

Asuransi dalam bahasa Belanda verzekering atau dalam bahasa Inggris insurance berarti

pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Seperti telah diketahui, bahwa dalam menjalani
kehidupan ini manusia selalu dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti yang mungkin
menguntungkan, tetapi bisa sebaliknya. Kemungkinan menderita kerugian dimaksud disebut resiko.

Dalam suatu asuransi melibatkan 2 (dua) pihak, yaitu yang sanggup menjamin atau
menanggung (perusahaan asuransi) dan pihak yang ditanggung (konsumen/nasabah). 1 Pihak yang
ditanggung ini diwajibkan membayar sejumlah uang (disebut premi) kepada pihak yang menanggung
yang dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut Polis. Uang tersebut akan tetap menjadi milik
pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi.
Asuransi diatur dalam Pasal 246 308 KUHD.

Menurut Pasal 246 KUHD : Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai
pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa
yang belum jelas akan terjadi. Rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD lebih mengutamakan
kepada asuransi kerugian. Hal itu sehubungan dengan kalimat : suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, lebih menonjol kepada sesuatu yang dapat dinilai dengan
uang. Seharusnya definisi atau rumusan yang diberikan KUHD berlaku umum untuk semua golongan
dan jenis asuransi. 2

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak
Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Rumusan definisi asuransi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 diatas lebih luas daripada
yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga
asuransi jiwa. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata bagian akhir rumusan, yaitu untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi
juga jiwa/raga manusia. Rumusan pasal ini juga ada kesesuaian dengan rumusan Pasal 41 New York
Insurance Law.

Menurut Pasal 41 New York Insurance Law : The insurance contract is any agreement or
other transaction whereby one party herein called the insurer is obligated to confer benefit of
pecuniary value upon another party herein called the insured or beneficiary, dependant up on the
happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have at the
time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such
event. A fortuitous avent is any occurance or failure to accur which is, or is assumed by the parties to
be, to a substantial extend beyond the control of either party.

1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta : PT. Intermasa, 1979), hal. 1.
2 H. Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi Dan Surat Berharga, (Bandung : PT. Alumni,
2003), hal. 14.
Menurut Molengraaff Asuransi kerugian adalah persetujuan dengan mana satu pihak,
Penanggung mengikatkan diri terhadap yang lain, Tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat
diderita oleh Tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk dan yang belum
tentu kejadiannya, dengan mana Tertanggung berjanji untuk membayar premi.

Memperhatikan Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 serta
pendapat sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur dari asuransi, yaitu : 1.
Merupakan suatu perjanjian; 2. Adanya premi; 3. Adanya kewajiban penanggung untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung; 4. Adanya suatu peristiwa yang belum pasti terjadi.

Penjaminan

Istilah penjaminan sama dengan istilah penanggungan. Hal ini diatur dalam Pasal 18201850
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Penanggungan Utang. Penanggungan adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Suatu
penjaminan/penanggungan harus didahului oleh perjanjian/perikatan yang sah.

Dalam sebuah kegiatan penjaminan kredit, terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dan berperan
aktif sesuai dengan tanggung jawab dan fungsi masingmasing. Para pihak tersebut adalah sebagai
berikut : a. Penjamin adalah perorangan atau lembaga yang memberikan jasa penjaminan bagi kredit
atau pembiayaan dan bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada penerima jaminan
akibat kegagalan Debitor atau Terjamin dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan
dalam perjanjian kredit/pembiayaan. b. Penerima Jaminan adalah Kreditor, baik bank maupun bukan
bank yang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan kepada Debitor atau Terjamin, baik kredit
uang maupun kredit bukan uang atau kredit barang. c. Terjamin adalah badan usaha atau perorangan
yang menerima kredit dari penerima jaminan. Dalam dunia perkreditan, Terjamin ini dikenal dengan
Debitor yang umumnya adalah perorangan yang menjalankan suatu usaha produktif atau pelaku
usaha mikro, kecil, menengah maupun koperasi (UMKM) termasuk juga di dalamnya perorangan
anggota koperasi dan bukan anggota koperasi. Dengan adanya keterlibatan aktif tiga (3) pihak dalam
penjaminan kredit, maka dalam menjalankan fungsinya penjamin kredit menerima permintaan
penjaminan, baik dari Terjamin yang bersangkutan maupun dari penerima Jaminan atau pihak yang
menyediakan fasilitas kredit. Penjaminan kredit yang umumnya berbentuk sebuah lembaga dalam
menyelenggarakan fungsi tersebut memiliki tujuan antara lain. 3

a. Meyakinkan pihak Kreditur yaitu Bank atau lembaga lain penyalur kredit atau pembiayaan
dalam memberikan kredit kepada Debitur yang umumnya adalah perorangan pelaku UMKM yang
memiliki prospek dan usaha yang layak (feasible), tetapi tidak atau belum memenuhi ketentuan atau
persyaratan teknis bagi suatu penyaluran kredit atau belum bankable. : b. Memperoleh pendapatan
dari fee atau imbal jasa yang diberikan untuk dikelola dengan menggunakan asas pengelolaan
keuangan yang sehat dan bertanggung jawab c. Mengambil alih sementara resiko kegagalan
pelunasan pinjaman yang diterima pihak Terjamin, sehingga kewajiban Terjamin kepada penerima
jaminan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

3 Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan,.
(Bandung : PT. Alumni, 2007), hal.19.
Berikut ini akan disajikan perbedaan-perbedaan antara Asuransi dengan Penjaminan, yaitu50
: NO Asuransi Kredit Penjaminan Kredit 1. Tidak ada collateral, namun dimungkinkan jika hasil analisa
menunjukkan potensi resiko yang cukup besar. Adanya collateral (jika memungkinkan) 2. Perjanjian
antara Penanggung dengan Tertanggung merupakan perjanjian pokok. Perjanjian antara Penanggung
dengan Tertanggung merupakan perjanjian tambahan. 3. Non Financial Risk Financial Risk 4. Berlaku
The Law of Large Number, karena resiko tersebar pada jumlah Debitur Tertanggung yang cukup besar
The Law of Large Number tidak berlaku karena Terjamin pada umumnya tidak dalam jumlah yang
besar. 5. Adanya penyebaran resiko, dalam hal ini kepada perusahaan re-asuransi Tidak adanya
penyebaran resiko karena Reasuransi tidak memberikan back up atas credit guarantee. 6. Berlaku
prinsip : No Premium, No Claim. Ganti rugi tidak dapat dibayarkan jika Tertanggung tidak melakukan
pembayaran premi. Tidak berlaku : No Premium, No Claim. Ganti rugi tetap dibayarkan jika Penerima
Jaminan tidak melakukan pembayaran premi. 7. Pertanggungan dapat dibatalkan secara sepihak
dalam masa pertanggungan Penanggungan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. 8. Penanggung
memiliki Hak Subrogasi Penjamin memiliki Hak Subrogasi dan Penerima Jaminan memiliki Hak
Subrogasi 9. Tidak adanya kewajiban menyerahkan SPKMGR (Surat Pernyataan Kesanggupan
Membayar Ganti Rugi), hanya terdapat Surat Kuasa untuk mengakomodir Hak Subrogasi yang dimiliki
oleh Penanggung Adanya kewajiban bagi Terjamin untuk menyerahkan SPKMGR atau Indemnity
Agreement. 10. Tertanggung turut menanggung resiko sebesar prosentase tertentu dari keseluruhan
plafond (coverage). Tertanggung tidak menanggung risiko sebesar prosentase tertentu. Jaminan yang
diberikan oleh Penanggung tidak didasarkan pada prosentase tertentu namun berupa nominal nilai
penjaminan 11. Permohonan pertanggungan utamanya didasarkan pada Utmost Good Faith dari
Tertanggung, bukan berupa Collateral. Secara implisit mengharuskan calon Tertanggung untuk
memberikan semua fakta material mengenai objek pertanggungan Dalam permohonan
pertanggungan, collateral menjadi pertimbangan utama baru berikutnya Utmost Good Faith dari
Penerima Jaminan. 12. Premi diperhitungkan dari kerugian yang akan dialami. Fee yang dikenakan
tidak memperhitungkan risiko yang terjadi (atau fee merupakan jasa pelayanan).

KEADAAN MEMAKSA / FORCE MAJEUR


Kami adalah pengusaha dibidang perhotelan di Bali. Akhir-akhir ini,terutama setelah Bomb Bali
tanggal 12 Oktober, omzet kami menurun drastis hingga perusahaan sering merugi. Yang ingin
kami tanyakan adalah bolehkah kami mengajukan PHK dengan alasan Force Majeur dan
dengan demikian pesangon yang diberikan adalah 1X Kepmen? Dan, dimanakah saya boleh
mendapatkan/ mencari definisi Pemerintah mengenai Force Majeur? Di situs:
www.library.yale.edu/~llicense/forcecls.shtml dijelaskan bahwa Force Majeur tidak harus
bencana alam maupun wars & riots namun juga dapat mencakup "performance failures of
parties outside control of the contracting party not caused by negligence" contoh: disrupsi servis
telepon dikarenakan kerusakan pada TELKOM; apakah di Indonesia juga diterapkan hal yang
sama? Saya terima kasih sekali atas adanya rubrik ini yang membantu orang awam seperti saya
dapat melakukan business. Terima kasih.
Jawaban :
Berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
("UUK"), pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disebabkan oleh inisiatif
perusahaan, harus mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial (ps.151 (3) UUK); untuk sementara hingga
lembaga ini dibentuk, fungsi ini dijalankan oleh P4P/P4D), kecuali PHK yang
disebabkan karena pekerja/buruh yang bersangkutan berada dalam keadaan
sakit keras yang berkepanjangan, melakukan kesalahan berat, melakukan
perbuatan pidana, mengundurkan diri, meninggal, pensiun dan mangkir kerja
(ps.158, 160, 162, 164, 166, 167 dan 168). Force majeure biasanya
merupakan alasan yang dipakai oleh sebuah perusahaan (ps.164 (1)) untuk
mengadakan PHK.

Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari
para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh.
Istilah yang digunakan dalam UUK untuk force majeur adalah keadaan
memaksa.

Namun UUK tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian keadaan memaksa.


Sepanjang yang kami ketahui, force majeure biasanya merujuk pada tindakan
alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik,
kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya.

Tindakan pemerintah, termasuk juga perubahan regulasi, yang pada dasarnya


diluar kuasa para pihak, sudah menjadi anggapan umum merupakan bagian
dari resiko berusaha. Sebaiknya (dan seringkali juga) hal itu diatur secara
tegas oleh para pihak (pihak perusahaan dan tenaga kerja/buruh) dalam
perjanjian, termasuk mekanisme penggantian kerugian atau tambahan beban
kewajiban yang timbul. Dasar pengaturan demikian tunduk pada kebebasan
berkontrak (ps.1320 KUH Perdata).

Sedangkan akibat dari kejadian yang sepertinya diluar kuasa manusia


sehubungan dengan kegiatan ekonomi, misalnya krisis ekonomi Indonesia
selama ini, yang mana ternyata menimbulkan efek yang berbeda pada pelaku
ekonomi --- maksudnya ada yang merugi dan memperoleh keuntungan ---
biasanya bukan dasar alasan yang kuat sebagai force majeure. Dalam hal
demikian, bagi pelaku yang merugi dapat meminta penyelesaian melalui
mekanisme bi-partit dengan pihak terkait, atau bahkan meminta intervensi
pemerintah, untuk keringan/ bantuan sehubungan dengan kerugiannya/
tambahan beban kewajiban yang ditanggungnya.

Mengenai PHK karena force majeure, UUK menetapkan bahwa pekerja/buruh


berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (2)
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4).

Untuk hal ini Anda dapat mempelajari lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam
UUK mengenai PHK dengan cara mendownload dokumen UUK ini.
KATA PENGANTAR
TENTANG PENULIS
BUKU TAMU
VISI & MISI

//
you're reading...
H U KU M KO N T R A K

FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK BISNIS


POSTED BY TOMMIRROSANDY 25 FEBRUARI 2011 2 KOMENTAR
FILED UNDER BW, FORCE MAJEURE, HUKUM, HUKUM KONTRAK, HUKUM PERDATA, KEADAAN MEMAKSA, KONTRAK, KUH
PERDATA, PASAL, PENGERTIAN, PERDATA, PRESTASI

Oleh : Tommi Ricky Rosandy, SH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang kita semua ketahui bahwa kontrak berlaku mengikat bagi pembuatnya. Tetapi

bagaimana bila terjadi kemusnahan barang di luar kesalahan debitor / orang yang berkewajiban

memenuhi hak daripada kreditor ? Misalnya pada waktu pengantaran barang melalui kapal tiba-

tiba terjadi badai laut yang tidak diduga sebelumnyasehingga menyebabkan kapal tenggelam

sekaligus barang-barang yang dibawa ikut tenggelam. Atau ketika kebakaran gudang terjadi dan

barang yang diperjanjikan musnah. Padahal tidak menunjukan debitor memiliki itikad yang tidak

baik. Dengan kata lain bukan kesengajaan atau maksud debitor atas kejadian tersebut. Apakah

dalam hal ini menjadi tetap debitor harus memenuhi tanggung jawab kepada kreditor seperti yang

diperjanjikan semula atau ada ketentuan lain ? Namun di sisi lain jika barang yang seharusnya

dimiliki haknya dan diterima oleh kreditor musnah kemudian tidak ada yang mengganti berarti

merupakan kerugian bagi kreditor. Sehingga dibutuhkan solusi hukum dalam penyelesaian

permasalahan di atas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hukum kontrak mengatur keadaan memaksa yang tergolong keadaan tak

terduga yang menghalangi salah satu pihak gagal dalam memenuhi prestasi akibat hal tak terduga

tersebut ?

BAB II

FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK

A. Mengenai Force Majeure

Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan

di mana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa
yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat

dipertanggungjawabkan, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.

Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :

Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga

oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan

adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para

pihak.

Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk

ke dalam asumsi dasar (basic asumption)dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.1

Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force

majeure selain pasal 1244 yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah :

Pasal 1245 :

Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau

lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat

sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang

terlarang.

Pasal 1545 :

Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya,

maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi

persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.

Pasal 1553 :

Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang

tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi

untuk force majeure ini, yaitu :2

1. Tidak memenuhi prestasi

2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan;

3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

yang bersangkutan.
Dari hal di atas menurut penulis menunjukan bahwa force majeure timbul karena hal yang tidak

terduga. Dengan kata lain bila hal tersebut telah diduga sebelumnya maka itu bukan

termasuk force majeure. Misalnya adalah ketika kapal perdagangan yang melintasi suatu daerah

yang sudah dipastikan oleh media berita terkena badai laut kemudian kapal pengangkut itu sudah

tahu akan hal tersebut kemudian tetap berlayar melewati daerah tersebut dengan tujuan

berspekulasi akan selamat maka itu bukan termasuk force majeure karena hal tersebut sudah

diduga bahkan diketahui lebih dahulu tentang peristiwa dan resiko yang akan dihadapi meskipun di

situ adalah satu-satunya jalan yang bisa dilewati oleh kapal pengangkut barang tersebut.

B. Akibat Hukum

Ada tiga akibat hukum keadaan yang memaksa, yaitu :

Debitor tidak perlu membayar ganti rugi. ( Pasal 1244 KUH Perdata )

Beban Resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.

Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hokum bebas dari

kewajibannya untuk menyerahkan kantra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460

KUH Perdata.

Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam :

(1) Akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c

(2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.3

Mengenai keadaan memaksa (Force Majeure) yang absolut diartikan keadaan memaksa/force

majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan.

Misalnya, barang yang merupakan objek kontrak musnah.

Sedangkan keadaan memaksa (Force Majeure) yang relatif diartikan keadaan memaksa (force

majeure) di mana pemenuhan prestasi secara formal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara

tidak normal masih mungkin dilakukan. 4

____________________________________

1Munir Fuady, Hukum kontrak, 1999, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.113

.2Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.235-236

.3Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW] , 2006, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 184-185.

.4Munir Fuady, Op.Cit, hal.116

DAFTAR PUSTAKA

Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.


Munir Fuady, Hukum kontrak, 1999, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], 2006, Sinar Grafika, Jakarta.

ASPEK HUKUM E-CONTRACT DALAM


KEGIATAN E-COMMERCE
16 MAY 2015 / SUWARDI

Oleh:

SUWARDI, S.H., M.H.

suwardi.amri@gmail.com
STIH Muhammadiyah Kotabumi Lampung

Abstrak

Proses transaksi dagang elektronik (e-commerce) dan transaksi


dagang konvensional memiliki kesamaan. Baik dalam transaksi
dagang elektronik (e-commerce) maupun dalam transaksi dagang
konvensional terdapat proses penawaran, penerimaan penawaran
(pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. Yang
membedakan kedua transaksi tersebut hanyalah bahwa transaksi
dagang elektronik (e-commerce) dilakukan tanpa tatap muka
(bertemunya pedagang dan pembeli) dan prosesnya terjadi lebih
cepat serta lebih mudah.
Kegiatan bisnis perdagangan secara elektronik (e-
commerce) seringkali dijumpai adanya kontrak/perjanjian untuk
melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan
melalui website atau situs internet. Kontrak tersebut pada
umumnya berbentuk kontrak elektronik (e-contract) yaitu
kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak melalui siwstem
elektronik, dimana para pihak tidak saling bertemu langsung. Hal
ini berbeda dengan kontrak biasa/konvensional di dunia nyata
(offline) yang umumnya dibuat di atas kertas dan disepakati para
pihak secara langsung melalui tatap muka.
Agar kontrak yang terjadi akibat transaksi dagang elektronik
dapat dikatakan sah menurut hukum perdata Indonesia, maka
kontrak tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.
Kata kunci: transaksi dagang elektronik, e-contract, e-
commerce, internet.
1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
pesat membawa kemajuan pada hampir seluruh aspek kehidupan
manusia. Salah satu perkembangan teknologi yang kita kenal
adalah internet, yaitu teknologi yang memberikan kemudahan
komunikasi secara global dan memungkinkan manusia dapat
berkomunikasi memperoleh serta saling bertukar informasi
dengan cepat.

Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet mulai


digunakan juga untuk kepentingan perdagangan. Setidaknya ada
dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya
dengan kemajuan teknologi yaitu meningkatnya permintaan atas
produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan untuk
melakukan transaksi perdagangan.[1]
Perkembangan Teknologi yang berbasis internet telah
mempengaruhi pula kegiatan perdagangan di masyarakat,
Dengan adanya internet maka kegiatan perdagangan dapat
dilakukan secara elektronik, atau yang lebih dikenal dengan
istilah electronic-commerce dan disingkat e-commerce. Demikian
juga di Indonesia. Penggunaan internet di Indonesia sebenarnya
baru dimulai pada tahun 1993 dan pada awalnya hanya terbatas
untuk hiburan, namun saat ini penggunaan internet di Indonesia
juga telah mencakup penggunaan untuk kepentingan
perdagangan. E-commerce merupakan bentuk perdagangan yang
memiliki karakter tersendiri yaitu perdagangan yang melintasi
daerah bahkan batas negara, tidak bertemunya penjual dan
pembeli secara langsung, dilakukan dimana saja dan kapan saja,
menggunakan media internet. Kondisi tersebut di satu sisi sangat
menguntungkan konsumen, karena mempunyai banyak pilihan
untuk mendapatkan barang dan tidak perlu beranjak dari tempat
tinggalnya akan tetapi di sisi lain pelanggaran akan hak-hak
konsumen sangat riskan terjadi karena karakteristik e-
commerce yang khas.
Di dalam melakukan kegiatan transaksi e-commerce aktivitas
transaksi sejak dilakukannya penawaran oleh pihak penjual
(produsen) kepada pembeli (konsumen) sampai dengan lahirnya
kesepakatan perjanjian jual-beli dan pelaksanaannya, semua
menggunakan sarana berbentuk data elektronik dengan
memanfaatkan jaringan internet baik dengan sarana Komputer
maupun alat komunikasi lain seperti gadget dan telepon seluler,
sehingga transaksi jual-beli tersebut dapat dilakukan dimana saja,
kapan saja dan dengan cara yang sangat fleksibel. Dengan
karakteristiknya yang unik tersebut, terkadang menimbulkan
masalah kepastian hukum. Permasalahan yang lebih luas terjadi
pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk
kegiatan transaksi jual-beli berbasis e-commerce telah menjadi
bagian dari perniagaan nasional dan internasional.
Kegiatan bisnis perdagangan secara elektronik (e-
commerce) seringkali dijumpai adanya kontrak/perjanjian untuk
melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan
melalui website atau situs internet. Kontrak tersebut pada
umumnya berbentuk kontrak elektronik (e-contract) yaitu
kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak melalui siwstem
elektronik, dimana para pihak tidak saling bertemu langsung. Hal
ini berbeda dengan kontrak biasa/konvensional di dunia nyata
(offline) yang umumnya dibuat di atas kertas dan disepakati para
pihak secara langsung melalui tatap muka.
Menurut Cita Yustisia Serfiani, Kontrak elektronik dibuat melalui
sistem elektronik. sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik.[2]
Informasi elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.[3]
Kontrak elektronik, meskipun berbeda bentuk fisik dengan
kontrak konvesional, namun keduanya tunduk pada aturan hukum
kontrak/hukum perjanjian/hukum perikatan. Kedua jenis kontrak
tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian dan
azas-azas perjanjian. Disamping itu, meskipun kontrak
elektronik kebanyakan berbentuk kontrak standar (kontrak baku)
yang sudah ditentukan oleh pihak penjual, kontrak standar
tersebut tidak boleh melanggar Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.

1. Pengertian Kontrak dan Kontrak Elektronik (e-


contract)

1. Pengertian Kontrak
Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau
persetujuan. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II
Buku III KUHPerdata, yakni Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau
Persetujuan. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian
sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain. [4]
Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan
berbagai alasan tersebut di bawah ini. Dikatakan tidak lengkap,
karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian
sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat yang
terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada
satu orang atau lebih. Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio
mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua
belah pihak saling mengikatkan diri.[5]
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan
hukum dapat mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu
perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena
perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul suatu
perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi
tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan
perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari
perjanjian.[6] perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau
perkawinan pun berdasarkan rumusan perjanjian dalam Pasal
1313 KUHPerdata tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian.
[7]
Menurut Tami Rusli, yang dimaksud dengan perikatan adalah
suatu hubungan antara dua pihak atau lebih, dimana terhadapnya
hukum melekatkan hak pada satu pihak, dan melekatkan
kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak
mengindahkan atau melanggar hubungan tadi maka hukum
memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan
kembali. Sementara apabila salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya, maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi
dipenuhi.[8]
Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata, suatu perjanjian tidak diharuskan untuk dibuat
secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang
secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan
(fisik) tertentu. Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
dikatakan bahwa perjanjian sah jika[9]:
Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak; tanpa
adanya paksaan, kekhilafan maupun penipuan;
Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam
hukum;
Memiliki objek perjanjian yang jelas;
Didasarkan pada satu klausula yang halal.
Sementara itu dikutip dari laman Wikipedia, definisi Kontrak
atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih
mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan
umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia.[10]
Menurut Salim HS. di dalam Hukum Kontrak atau Hukum
Perjanjian, dikenal adanya 5 (lima) asas penting yaitu:

1. Asas kebebasan berkontrak,


2. Asas konsensualisme
3. Asas kepastian hukum (asas pacta sunt servanda)
4. Asas itikad baik, dan asas kepribadian.[11]
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem
terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.
Asas konsesualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata
mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling
berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) ini mengajarkan
bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan
hukum yang penuh. KUHPerdata juga mengatur prinsip ini dengan
melukiskan bahwa suatu kontrakberlaku seperti Undang-Undang
bagi para pihak.
Seseorang baru nyata diketahui pada tahap pelaksanaan
perjanjian. Bilamana orang itu menghormati komitmennya berarti
beritikad baik akan tetapi bilamana mencari-cari dalih utuk
mengelak dari tanggung jawabnya maka orang itu beritikad tidak
baik.[12]
2. Pengertian Kontrak Elektronik
Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Ketentuan
Umum, angka 17 dinyatakan bahwa Kontrak Elektronik adalah
perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.[13]
Menurut Johannes Gunawan, kontrak elektronik adalah kontrak
baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan
disebarluaskan secara digital melalui situs
internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam
hal ini pelaku usaha), untuk ditutup secara digital pula oleh
penutup kontrak (dalam hal ini konsumen).
Di dalam kontrak elektronik selain terkandung ciri ciri kontrak
baku juga terkandung ciri ciri kontrak elektronik sebagai
berikut :

Kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan


melampaui batas batas negara melalui internet.
Para pihak dalam kontrak elektronik pada umumnya tidak
pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin
tidak akan pernah bertemu.[14]
Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online
contract) bagi kontrak elektronik (e-contract) dan mendefinisikan
kontrak online sebagai: Perikatan ataupun hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan
(networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer
(computer based information system) dengan sistem komunikasi
yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi
(telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan komputer global Internet (network of
network).[15]
Kontrak elektronik menggunakan data digital sebagai pengganti
kertas. Penggunaan data digital akan memberikan efisiensi yang
sangat besar terutama bagi perusahaan yang menjalankan
bisnis online melalui jaringan internet. Di dalam kontrak
elektronik, para pihak tidak perlu bertatap muka secara langsung
bahkan tidak akan pernah bertemu sama sekali.[16]
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kontrak elektronik (e-contract) adalah perjanjian antara
dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan menggunakan media
komputer, gadget atau alat komunikasi lainnya melalui jaringan
internet.
1. Jenis dan Bentuk Kontrak Bisnis Secara Elektronik (e-
contract)

Jenis kontrak elektronik (e-contract) dapat dibagi menjadi dua


kategori, yaitu[17]:
1. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa
barang/jasa yang bersifat fisik atau bersifat nyata, contoh
barang berupa buku, atau jasa les privat. Kontrak jenis ini,
para pihak (penjual dan pembeli) melakukan komunikasi
pembuatan kontrak melalui jaringan internet. Jika telah
terjadi kesepakatan, pihak penjual akan mengirimkan
barang/jasa yang dijadikan objek kontrak secara langsung ke
alamat pembeli (Physical delivery). Jasa les privat dalam hal
ini diwujudkan dalam bentuk kunjungan guru les privat
kerumah konsumen, jadi bukan les privat berbentuk digital
atau yang berbentuk interaksi online
2. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa
informasi/jasa non fisik. Pada kontrak jenis ini, para pihak
pada awalnya berkomunikasi melalui jaringan internet untuk
kemudian membuat kontrak secara elektronik. Jika kontrak
telah disepakati, pihak penjual akan mengirimkan
informasi/jasa yang dijadikan objek kontrak melalui jaringan
internet (cyber delivery).
Contohnya: kontrak pembelian buku elektronik (e-book), surat
kabar elektronik (e-newspaper), majalah elektronik (e-magazine),
atau kontrak untuk mengikuti les privat bahasa Inggris melalui
jaringan internet (e-school)
Beberapa bentuk kontrak elektronik yang umum dilakukan dalam
transaksi perdagangan secara online yaitu[18]:
1. Kontrak melalui elektronik mail (e-mail) adalah suatu kontrak
yang dibentuk secara sah melalui komunikasi email.
Penawaran dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui
email atau dikombinasi dengan komunikasi elektronika
lainnya, dokumen tertulis atau faks.
2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui websites dan
jasa online lainnya, yaitu suatu website menawarkan
penjualan barang dan jasa, kemudian konsumen dapat
menerima penawaran dengan mengisi suatu formulir yang
terpampang pada layar monitor dan mentransmisikannya.
3. Kontrak yang mencakup direct online transfer dari informasi
dan jasa. Websitedigunakan sebagai medium of
communication dan sekaligus sebagai medium of exchange.
4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu
pertukaran informasi bisnis melalui secara elektronik melalui
computer milik para mitra dagang (trading partners)
5. Kontrak melalui internet yang disertai dengan lisensi click
wrap dan shrink wrap. Software yang di download melalui
internet lazimnya dijual dengan suatu lisensi click wrap.
Lisensi tersebut mucul pada monitor pembeli pada saat
pertama kali software akan dipasang (Install) dan calon
pembeli ditanya tentang kesediannya menerima persyaratan
lisensi tersebut. Pengguna diberikan alternatif I accept
atau I dont accept. Sedangkan shrink wrap lazimnya
merupakan lisensi softwareyang dikirim dalam suatu
bungkusan (package) misalnya disket atau compact disc.
Sementara itu menurut Cita Yustisia Serfiani bentuk kontrak
elektronik, mencakup:
1. Kontrak melalui komunikasi e-mail. Penawaran dan
penerimaan dilakukan melalui e-mail atau dikombinasikan
dengan komunikasi elektronik lainnya misalnya melalui
faksimili;
2. Kontrak melalui web yang menawarkan penjualan barang
dan jasa dimana konsumen dapat menerima tawaran
dengan cara mengisi forulir yang terpampang
dihalaman website;
3. Kontrak melalui chatting dan video conference.[19]
1. Transaksi Dagang Elektronik (E-Commerce)
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Ketentuan
Umum, angka 2 dinyatakan bahwa Transaksi Elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
[20]
Munir Fuady menyatakan bahwa yang dimaksud dengan e-
commerce adalah suatu proses berbisnis dengan memakai
teknologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan,
konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik,
dan pertukaran/penjualan barang, servis, dan informasi secara
elektronik. Dengan demikian, pada prinsipnya bisnis dengan e-
commerce merupakan kegiatan bisnis tanpa warkat (paperless
trading)[21]
Vladimir Zwass mendefinisikan transaksi komersial elektronik (e-
commerce) sebagai pertukaran informasi bisnis,
mempertahankan hubungan bisnis, dan melakukan transaksi
bisnis melalui jaringan komunikasi. Dari sini terlihat bahwa
transaksi komersial elektronik (e-commerce) adalah transaksi
perdagangan/jual-beli barang dan jasa yang dilakukan dengan
cara pertukaran informasi/data menggunakan alternatif selain
media tertulis. Yang dimaksud media alternatif di sini adalah
media elektronik, khususnya internet.[22]
Dari berbagai definisi tersebut terdapat beberapa kesamaan
yaitu:

1. Terdapat transaksi antara dua pihak atau lebih.


2. Ada pertukaran barang dan jasa.
3. Menggunakan internet sebagai medium utama untuk
melakukan transaksi.[23]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan transaksi komersial elektronik atau transaksi
dagang elektronik (e-commerce) pada dasarnya merupakan
hubungan hukum berupa pertukaran barang dan jasa antara
penjual dan pembeli yang memiliki persamaan dengan transaksi
konvensional namun dilaksanakan dengan pertukaran data
melalui media yang tidak berwujud atau dunia maya (internet)
sehingga pihak penjual dan pembeli tidak perlu bertatap muka
secara fisik.
Sebagai suatu jaringan publik (publik network), internet
memungkinkan untuk diakses oleh siapa saja dan dari berbagai
kalangan. Sehingga dengan demikian e-commerce yang
beraktivitas menggunakan media internet pun dapat dilakukan
oleh siapa saja dan dengan tujuan apapun. Maka dari itu Panggih
P. Dwi Atmojo mengklasifikasikan jenis-jenis transaksi e-
commerce menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Bisnis ke bisnis (Busines to business)
Bisnis ke bisnis merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku
bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar
perusahaan (dalam hal ini pelaku bisnis) yang dilakukan secara
rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar.
Aktivitas ecommerce dalam ruang lingkup ini ditujukan untuk
menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri. Pebisnis yang
mengadakan perjanjian tentu saja adalah para pihak yang
bergerak dalam bidang bisnis yang dalam hal ini mengikatkan
dirinya dalam suatu perjanjian untuk melakukan usaha dengan
pihak pebisnis lainnya. Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
dalam hal ini adalah Internet Service Provider (ISP)
dengan website atau keybase (ruang elektronik), ISP itu sendiri
adalah pengusaha yang menawarkan akses kepada internet.
Sedangkan internet merupakan suatu jalan bagi computer-
komputer untuk mengadakan komunikasi bukan merupakan
tempat akan tetapi merupakan jalan yang dilalui.
2) Bisnis ke konsumen (business to consumer)
Business to consumer dalam e-commerce merupakan suatu
transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha
dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu
dan pada saat tertentu. Dalam transaksi bisnis ini produk yang
diperjualbelikan mulai produk barang dan jasa baik dalam bentuk
berwujud maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah
siap untuk dikonsumsi.
3) Konsumen ke konsumen (Consumer to consumer)
Konsumen ke konsumen merupakan transaksi bisnis elektronik
yang dilakukan antarkonsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan
tertentu dan pada saat tertentu pula, segmentasi konsumen ke
konsumen ini sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan
oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.
Intrernet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi
tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.
Selain itu antar customer juga dapat membentuk komunitas
pengguna/penggemar produk tersebut.Ketidakpuasan konsumen
dalam mengkonsumsi produk dapat tersebar luas melalui
komunitas-komunirtas tersebut. Internet telah menjadikan
customer memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap
perusahaan dengan demikian menuntut pelayanan perusahaan
menjadi lebih baik.
Pada prakteknya model transaksi yang banyak dipakai oleh
konsumen sampai saat ini adalah Business to Consumer
(B2C) yang merupakan sistem komunikasi online antar pelaku
usaha dengan konsumen yang pada umumnya menggunakan
internet.[24]
Disamping ketiga jenis tersebut diatas, menurut Munir Fuady
masih ada tiga jenis lagi yaitu:

Cosumer to business (C2B)


Merupakan individu yang menjual produk atau jasa kepada
organisasi dan individu yang mencari penjual dan melakukan
transaksi.

Non-Business Electronic Commerce


Dalam hal ini meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan
lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, keagamaan dan lain-lain.

Intrabusiness (organizational) Electronic Commerce


Kegiatan ini meliputi semua aktivitas internal organisasi melalui
internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa dan informasi,
menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan lain-lain.[25]
Transaksi jual-beli yang dilakukan melalui media elektronik
(ecommerce) pada dasarnya merupakan transaksi jual beli yang
memiliki prinsip dasar sama dengan transaksi jual-beli
konvensional. Seperti halnya transaksi jual-beli konvensional,
maka transaksi jual-beli melalui media elektronik (e-commerce)
juga terdiri dari tahapan penawaran dan penerimaan.
1. Penawaran
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, penawaran merupakan
suatu ajakan untuk masuk kedalam suatu perjanjian yang
mengikat (invitation to enter into a binding agreement).
Dalam transaksi e-commerce penawaran biasanya dilakukan
oleh merchant/penjual dan dapat ditujukan kepada alamat e-
mail (surat elektronik) calon pembeli atau dilakukan
melalui website sehingga siapa saja dapat melihat penawaran
tersebut.
2. Penerimaan
Penerimaan dapat dinyatakan melalui website atau surat
elektronik. Dalam transaksi melalui website biasanya terdapat
tahapan-tahapan yang harus diikuti oleh calon pembeli, yaitu:
1. Mencari barang dan melihat deskripsi barang.
2. Memilih barang dan menyimpannya dalam kereta belanja.
3. Melakukan pembayaran setelah yakin akan barang yang
akan dibelinya.
Dengan menyelesaikan ketiga tahapan transaksi ini maka calon
pembeli dianggap telah melakukan penerimaan/acceptance dan
dengan demikian telah terjadilah kontrak elektronik (e-contract).
[26]
1. Pembahasan
Salah satu bidang hukum yang banyak tersentuh dari adanya
transaksi via e-commerceadalah bidang hukum kontrak. Hal ini
adalah wajar mengingat kebanyakan dari dealbisnis, termasuk
bisnis lewat e-commerce didasari atas suatu kontrak bisnis.
Banyak kegiatan dari hukum kontrak yang mesti mendapat kajian
yang seksama, manakala dihadapkan dengan transaksi e-
commerce ini. Bidang-bidang dari hukum kontrak yang
bersentuhan dengan bisnis e-commerce ini antara lain sebagai
berikut:
1. Ada atau tidaknya penawaran (offer)
2. Ada atau tidaknya penerimaan (acceptance)
3. Ada atau tidaknya kata sepakat
4. Jika ada kata sepakat, sejak kapan mulai ada
5. Keharusan kontrak tertulis dan tanda tangan tertulis
6. Masalah pembuktia perdata
7. Bagaimana mengetahui para pihak dan kecakapan berbuat
para pihak
8. Perumusan kembali masalah wanprestasi
9. Perumusan kembali masalah force majeure
10. Ganti rugi yang bagaimana yang paling cocok untuk
kontrak e-commerce
11. Masalah kontrak berat sebelah dan kontrak baku.[27]
Pengakuan kontrak elektronik sebagai suatu bentuk perjanjian
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Indonesia masih merupakan permasalahan yang pelik. Pasal 1313
KUH Perdata mengenai definisi perjanjian memang tidak
menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis.
Pasal 1313 KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika
mengacu pada definisi ini maka suatu kontrak elektronik dapat
dianggap sebagai suatu bentuk perjanjian yang memenuhi
ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut. Namun pada
prakteknya suatu perjanjian biasanya ditafsirkan sebagai
perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis (paper-based)
dan bila perlu dituangkan dalam bentuk akta notaris.
Pengaturan tentang Kontrak Elektronik (e-contract) dituangkan di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik Pasal 47 dan
Pasal 48. Di dalam Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa Transaksi
Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau
bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang
dilakukan oleh para pihak. Kemudian di dalam ayat (2) dijelaskan
bahwa Kontrak Elektronik dianggap sah apabila:
1. terdapat kesepakatan para pihak;
2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang
berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3. terdapat hal tertentu; dan
4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat (2) tersebut di atas
sesuai dengan ketentuan KUHPerdata Bagian Kedua Tentang
Syarat-Syarat yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian
Pasal 1320 yang berbuyi: Untuk sahnya suatu perjanjian,
diperlukan empat syarat:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Selanjutnya, masih di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82
tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik Pasal 48 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa
Kontrak Elektronik dan bentuk kontraktual lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang ditujukan kepada
penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia,
Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai
dengan ketentuan mengenai klausula baku sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Kontrak Elektronik paling
sedikit memuat:
1. data identitas para pihak;
2. objek dan spesifikasi;
3. persyaratan Transaksi Elektronik;
4. harga dan biaya;
5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau
meminta penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan
7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.[28]
Kontrak elektronik (e-contract) termasuk dalam kategori kontrak
tidak bernama (innominaat) yaitu perjanjian-perjanjian yang
tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi terdapat dalam masyarakat
akibat perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan bisnis.
Namun demikian kontrak semacam ini harus mengikuti aturan
Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya
perjanjian. Kontrak elektronik sebagaimana kontrak konvensional,
juga memiliki kekuatan hukum layaknya undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. (Pasal 1338 KUHPerdata).[29]
Kontrak Elektronik merupakan elemen penting dalam
perdagangan elektronik. Perjanjian perdagangan elektronik
adalah bentuk perjanjian jual beli yang memiliki kekuatan hukum
yang sama dengan perjanjian konvensional, dimana bukti
transaksi elektronik diakui ekuivalen dengan bukti dokumen yang
ditulis. Pedoman UNCITRAL (salah satu komisi di bawah PBB yang
khusus membahas hukum perdagangan internasional) dalam
menyajikan prinsip ekuivalen fungsional antara dokumen tertulis
dan elektronik layak diaplikasikan sebagai pengakuan bukti
hukum atas transaksi perdagangan elektronik.

Mengingat konseptual hukum atas kontrak elektronik masih relatif


baru, maka diperlukan sebuah ketentuan-ketentuan baru yang
terkait perdagangan secara elektronik dalam koridor hukum
positif di Indonesia dengan penekanan pada:

1. Hubungan yang sejajar antara pelaku usaha dan konsumen,


khususnya pemberian ruang tawar lebih luas bagi konsumen
dalam format kontrak baku yang ditawarkan pelaku usaha.
2. Pemberlakuan sistem 3 klik dalam kesepakatan kontrak
transaksi perdagangan elektronik, yaitu:
Setelah calon pembeli melihat dilayar kompter adanya
penawaran dari calon penjual (klik 1);
Calon pembeli memberikan penerimaan terhadap
penawaran tersebut (klik 2);
Persyaratan adanya peneguhan dan persetujuan dari calon
penjual kepada pembeli perihal diterimanya penerimaan dari
calon pembeli (klik 3).
1. Pengakuan tanda tangan elektronik dan data message.
Keaslian data message dan tanda tangan elektronik
merupakan hal yang sangat vital dalam transaksi
perdagangan elektronik, mengingat data message menjadi
dasar utama terciptanya suatu perjanjian elektronik.
2. Akseptabilitas penggunaan media online lain sebagai alat
pembuktian kesepakatan kontrak elektronik, seperti video
conference.[30]
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja perjanjian jual beli yang
dilakukan melalui media elektronik internet tidak lain adalah
merupakan perluasan dari konsep perjanjian jual beli yang ada
dalam KUH Perdata. Perjanjian jaul beli melalui internet ini
memiliki dasar hukum perdagangan konvensional atau jual beli
dalam hukum perdata. Perbedaannya adalah bahwa perjanjian
melalui internet ini bersifat khusus karena terdapat unsur peranan
yang sangat dominan dari media dan alat-alat elektronik.[31]
Dalam kontrak elektronik, kesepakatan merupakan hal yang
sangat penting karena para pihak tidak bertemu langsung
sehingga diperlukan pengaturan tentang kapan kesepakatan
tersebut dianggap telah terjadi. Di Indonesia, untuk menentukan
adanya kesepakatan dapat digunakan beberapa teori sebagai
berikut:

1. Teori kehendak yang mengajarkan bahwa kesepakatan


terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan.
2. Teori pengiriman yang menyatakan kesepakatan terjadi pada
saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang
menerima tawaran.
3. Teori pengetahuan yang menyatakan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa
tawarannya sudah diterima.
4. Teori kepercayaan mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima
oleh pihak yang menawarkan.[32]
Kontrak elektronik (e-contract) pada umumnya dibuat dalam
bentuk kontrak baku (standard contract) oleh pihak penjual
sehingga pihak pembeli tidak berhak mengubah isi konrak baku
tersebut. Pihak pembeli hanya tinggal membaca isi kontrak baku
tersebut, dan jika tidak setuju tidak perlu membubuhkan tanda
tangan. Kontrak baku (kontrak standar) sudah biasa dilakukan
didunia bisnis karena pertimbangan kebutuhan dan kepraktisan.
Namun demikian, kontrak baku tersebut tetap tidak boleh
bertentangan dengan KUHPerdata dan UU Perlindungan
Konsumen.[33]
Pembuatan kontrak standar atau perjanjian baku tidak dilarang
namun tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha
dilarang mecantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausul baku yang
melanggar larangan tersebut dinyatakan batal demi hukum, dan
pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku tesebut dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.[34]
Karakteristik utama dari kontrak standar (kontrak baku), meliputi:

Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani


transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk
digunakan dalam aktivitas transaksional yang diperkirakan
berfrekuensi tinggi;
Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi
pembuatnya dan/atau pihak-pihak yang akan mengikatkan
diri didalamnya;
Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh
persyaratan didalamnya ditetapkan terlebih dahulu secara
tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan
ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan;
Biasanya isi dan persyaratan distandarisasi atau dirumuskan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang
bekepentingan langsung dalam memasarkan produk barang
atau layanan jasa tertentu kepada masyarakat;
Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal dan
tidak memperhatikan kondisi dan/atau kebutuhan-kebutuhan
khusus dari setiap konsumen dan karena itu pihak konsumen
hanya perlu menyetujui atau menolak sama sekali seluruh
persyaratan yang ditawarkan.[35]
Disamping itu, penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang
dilakukan para pihak wajib dilakukan dengan memperhatikan
itikad baik (good feith), prinsip kehati-hatian, transparansi,
akuntabilitas, dan kewajaran. Penyelenggara Transaksi Elektronik
wajib memberikan data dan informasi yang benar dan
menyediakan layanan dan menyelesaikan pengaduan, juga
Penyelenggara Transaksi Elektronik wajib memberikan pilihan
hukum terhadap pelaksanaan Transaksi Elektronik.
Suatu kontrak/perjanjian/perikatan dapat berakhir atau hapus
karena berbagai macam sebab. Berkahirnya
kontrak/perjanjian/perikatan dapat dgolongkan menjadi 12 (dua
belas) macam sebab yaitu:

1. Pembayaran
2. Novasi atau pembaharuan utang;
3. Kompensasi atau perjumpaan utang;
4. Konfusio atau percampuran utang;
5. Pembebasan utang;
6. Kebatalan atau pembatalan;
7. Berlaku syarat batal;
8. Jangka waktu kontrak telah berakhir;
9. Dilaksanakannya objek perjanjian;
10. Kesepakatan kedua belah pihak;
11. Pemutusan kontrak secara sepihak;
12. Adanya putusan pengadilan.[36]
Begitu pula dalam perjanjian/kontrak elektronik (e-contract) akan
berakhir apabila memenuhi ketentuan atau sebab sebagaimana
yang terjadi pada kontrak konvensional.
1. Kesimpulan
Kontrak elektronik (e-contract), walaupun memiliki perbedaan
secara fisik dengan kontrak konvensional, keduanya sama-sama
harus tunduk pada aturan hokum perjanjian terutama yang
berkaitan dengan syarat-syarat sah nya perjanjian dan azas-azas
perjanjian.
Proses transaksi dagang elektronik (e-commerce) dan transaksi
dagang konvensional memiliki kesamaan. Baik dalam transaksi
dagang elektronik (e-commerce) maupun dalam transaksi dagang
konvensional terdapat proses penawaran, penerimaan penawaran
(pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. Yang
membedakan kedua transaksi tersebut hanyalah bahwa transaksi
dagang elektronik (e-commerce) dilakukan tanpa tatap muka
(bertemunya pedagang dan pembeli) dan prosesnya terjadi lebih
cepat serta lebih mudah. Karena tidak ada perbedaan konsep
antara kedua jenis transaksi tersebut, maka suatu kontrak yang
terjadi dalam transaksi dagang elektronik (e-commerce) pada
dasarnya adalah sama dengan kontrak yang terjadi dalam
transaksi dagang konvensional dan dengan demikian hal-hal yang
berlaku mengenai kontrak konvensional dapat diberlakukan pula
untuk kontrak elektronik (e-contract).
Agar kontrak yang terjadi akibat transaksi dagang elektronik
dapat dikatakan sah menurut hukum perdata Indonesia, maka
kontrak tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Bagus Hanindyo Mantri, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Dalam transaksi e-commerce, Program Magister Ilmu
Hukum Universitas diponegoro, Semarang, 2007.
Cita Yustisia Serfiani dkk., Buku Pintar Bisnis Online dan
Transaksi Elektronik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2013.
1955. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, 1994.
Mieke Komar Kantaatmadja, Cyberlaw:Suatu Pengantar,cet.1,
ELIPS Bandung, 2001.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di
Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Sylvia Christina Aswin, Tesis, Keabsahan Kontrak Dalam
Transaksi Komersial Elektronik, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006.
Tami Rusli, Hukum Perjanjian yang Berkembang di
Indonesia, Anugrah Utama Raharja (Aura) Printing & Publishing,
Bandar Lampung, 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buana Press, 2014.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Naskah Akademik RPP tentang Perdagangan Secara Elektronik (e-
commerce), Direktorat Bina Usaha Perdagangan, Kementerian
Perdagangan RI, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak, diakses pada 19 April 2015
http://mentarivision.blogspot.com/2011/11/kontrak-
elektronik.html diakses tanggal 19 April 2015
[1] Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya
Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm.1
[2] Cita Yustisia Serfiani dkk., Buku Pintar Bisnis Online dan
Transaksi Elektronik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2013. hlm.
99
[3] Ibid
[4] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buana Press, 2014.
[5] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955, hlm. 27
[6] Ibid, hlm. 24
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, 1994, hlm. 18.
[8] Tami Rusli, Hukum Perjanjian yang Berkembang di
Indonesia, Anugrah Utama Raharja (Aura) Printing & Publishing,
Bandar Lampung, 2012, hlm. 1
[9] Ibid, hlm. 16
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak, diakses pada 19 April
2015
[11] Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 9
[12] Tami Rusli, 2012, Op. Cit, hlm. 74-80
[13] Lihat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
[14] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.100
[15] Sylvia Christina Aswin, Tesis, Keabsahan Kontrak Dalam
Transaksi Komersial Elektronik, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006.
[16] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.101
[17] Ibid
[18] http://mentarivision.blogspot.com/2011/11/kontrak-
elektronik.html diakses tanggal 19 April 2015
[19] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.101
[20] Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
[21] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis
Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.
407
[22] Sylvia Christina Aswin, 2006, Op.Cit, hlm. 101
[23] Ibid
[24] Bagus Hanindyo Mantri, 2007, Tesis, Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Dalam transaksi e-commerce, Program
Magister Ilmu Hukum Universitas diponegoro, Semarang
[25] Munir Fuady, 2008, Op.Cit, hlm. 409
[26] Sylvia Christina Aswin, 2006, Op.Cit
[27] Munir Fuady, 2008, Op.Cit 409-410
[28] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
[29] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.103
[30] Naskah Akademik RPP tentang Perdagangan Secara
Elektronik (e-commerce), Direktorat Bina Usaha Perdagangan,
Kementerian Perdagangan RI, 2011
[31] Mieke Komar Kantaatmadja, Cyberlaw:Suatu
Pengantar,cet.1, ELIPS Bandung, 2001, hlm.15
[32] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit
[33] Ibid
[34] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 18 ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa
dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran. Ayat (2) Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
[35] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit. hlm. 105-106
[36] Salim HS, 2006, Op.Cit, hlm. 165

You might also like