Professional Documents
Culture Documents
pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Seperti telah diketahui, bahwa dalam menjalani
kehidupan ini manusia selalu dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti yang mungkin
menguntungkan, tetapi bisa sebaliknya. Kemungkinan menderita kerugian dimaksud disebut resiko.
Dalam suatu asuransi melibatkan 2 (dua) pihak, yaitu yang sanggup menjamin atau
menanggung (perusahaan asuransi) dan pihak yang ditanggung (konsumen/nasabah). 1 Pihak yang
ditanggung ini diwajibkan membayar sejumlah uang (disebut premi) kepada pihak yang menanggung
yang dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut Polis. Uang tersebut akan tetap menjadi milik
pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi.
Asuransi diatur dalam Pasal 246 308 KUHD.
Menurut Pasal 246 KUHD : Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai
pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa
yang belum jelas akan terjadi. Rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD lebih mengutamakan
kepada asuransi kerugian. Hal itu sehubungan dengan kalimat : suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, lebih menonjol kepada sesuatu yang dapat dinilai dengan
uang. Seharusnya definisi atau rumusan yang diberikan KUHD berlaku umum untuk semua golongan
dan jenis asuransi. 2
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak
Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Rumusan definisi asuransi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 diatas lebih luas daripada
yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga
asuransi jiwa. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata bagian akhir rumusan, yaitu untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi
juga jiwa/raga manusia. Rumusan pasal ini juga ada kesesuaian dengan rumusan Pasal 41 New York
Insurance Law.
Menurut Pasal 41 New York Insurance Law : The insurance contract is any agreement or
other transaction whereby one party herein called the insurer is obligated to confer benefit of
pecuniary value upon another party herein called the insured or beneficiary, dependant up on the
happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have at the
time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such
event. A fortuitous avent is any occurance or failure to accur which is, or is assumed by the parties to
be, to a substantial extend beyond the control of either party.
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta : PT. Intermasa, 1979), hal. 1.
2 H. Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi Dan Surat Berharga, (Bandung : PT. Alumni,
2003), hal. 14.
Menurut Molengraaff Asuransi kerugian adalah persetujuan dengan mana satu pihak,
Penanggung mengikatkan diri terhadap yang lain, Tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat
diderita oleh Tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk dan yang belum
tentu kejadiannya, dengan mana Tertanggung berjanji untuk membayar premi.
Memperhatikan Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 serta
pendapat sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur dari asuransi, yaitu : 1.
Merupakan suatu perjanjian; 2. Adanya premi; 3. Adanya kewajiban penanggung untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung; 4. Adanya suatu peristiwa yang belum pasti terjadi.
Penjaminan
Istilah penjaminan sama dengan istilah penanggungan. Hal ini diatur dalam Pasal 18201850
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Penanggungan Utang. Penanggungan adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Suatu
penjaminan/penanggungan harus didahului oleh perjanjian/perikatan yang sah.
Dalam sebuah kegiatan penjaminan kredit, terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dan berperan
aktif sesuai dengan tanggung jawab dan fungsi masingmasing. Para pihak tersebut adalah sebagai
berikut : a. Penjamin adalah perorangan atau lembaga yang memberikan jasa penjaminan bagi kredit
atau pembiayaan dan bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada penerima jaminan
akibat kegagalan Debitor atau Terjamin dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan
dalam perjanjian kredit/pembiayaan. b. Penerima Jaminan adalah Kreditor, baik bank maupun bukan
bank yang memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan kepada Debitor atau Terjamin, baik kredit
uang maupun kredit bukan uang atau kredit barang. c. Terjamin adalah badan usaha atau perorangan
yang menerima kredit dari penerima jaminan. Dalam dunia perkreditan, Terjamin ini dikenal dengan
Debitor yang umumnya adalah perorangan yang menjalankan suatu usaha produktif atau pelaku
usaha mikro, kecil, menengah maupun koperasi (UMKM) termasuk juga di dalamnya perorangan
anggota koperasi dan bukan anggota koperasi. Dengan adanya keterlibatan aktif tiga (3) pihak dalam
penjaminan kredit, maka dalam menjalankan fungsinya penjamin kredit menerima permintaan
penjaminan, baik dari Terjamin yang bersangkutan maupun dari penerima Jaminan atau pihak yang
menyediakan fasilitas kredit. Penjaminan kredit yang umumnya berbentuk sebuah lembaga dalam
menyelenggarakan fungsi tersebut memiliki tujuan antara lain. 3
a. Meyakinkan pihak Kreditur yaitu Bank atau lembaga lain penyalur kredit atau pembiayaan
dalam memberikan kredit kepada Debitur yang umumnya adalah perorangan pelaku UMKM yang
memiliki prospek dan usaha yang layak (feasible), tetapi tidak atau belum memenuhi ketentuan atau
persyaratan teknis bagi suatu penyaluran kredit atau belum bankable. : b. Memperoleh pendapatan
dari fee atau imbal jasa yang diberikan untuk dikelola dengan menggunakan asas pengelolaan
keuangan yang sehat dan bertanggung jawab c. Mengambil alih sementara resiko kegagalan
pelunasan pinjaman yang diterima pihak Terjamin, sehingga kewajiban Terjamin kepada penerima
jaminan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.
3 Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan,.
(Bandung : PT. Alumni, 2007), hal.19.
Berikut ini akan disajikan perbedaan-perbedaan antara Asuransi dengan Penjaminan, yaitu50
: NO Asuransi Kredit Penjaminan Kredit 1. Tidak ada collateral, namun dimungkinkan jika hasil analisa
menunjukkan potensi resiko yang cukup besar. Adanya collateral (jika memungkinkan) 2. Perjanjian
antara Penanggung dengan Tertanggung merupakan perjanjian pokok. Perjanjian antara Penanggung
dengan Tertanggung merupakan perjanjian tambahan. 3. Non Financial Risk Financial Risk 4. Berlaku
The Law of Large Number, karena resiko tersebar pada jumlah Debitur Tertanggung yang cukup besar
The Law of Large Number tidak berlaku karena Terjamin pada umumnya tidak dalam jumlah yang
besar. 5. Adanya penyebaran resiko, dalam hal ini kepada perusahaan re-asuransi Tidak adanya
penyebaran resiko karena Reasuransi tidak memberikan back up atas credit guarantee. 6. Berlaku
prinsip : No Premium, No Claim. Ganti rugi tidak dapat dibayarkan jika Tertanggung tidak melakukan
pembayaran premi. Tidak berlaku : No Premium, No Claim. Ganti rugi tetap dibayarkan jika Penerima
Jaminan tidak melakukan pembayaran premi. 7. Pertanggungan dapat dibatalkan secara sepihak
dalam masa pertanggungan Penanggungan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. 8. Penanggung
memiliki Hak Subrogasi Penjamin memiliki Hak Subrogasi dan Penerima Jaminan memiliki Hak
Subrogasi 9. Tidak adanya kewajiban menyerahkan SPKMGR (Surat Pernyataan Kesanggupan
Membayar Ganti Rugi), hanya terdapat Surat Kuasa untuk mengakomodir Hak Subrogasi yang dimiliki
oleh Penanggung Adanya kewajiban bagi Terjamin untuk menyerahkan SPKMGR atau Indemnity
Agreement. 10. Tertanggung turut menanggung resiko sebesar prosentase tertentu dari keseluruhan
plafond (coverage). Tertanggung tidak menanggung risiko sebesar prosentase tertentu. Jaminan yang
diberikan oleh Penanggung tidak didasarkan pada prosentase tertentu namun berupa nominal nilai
penjaminan 11. Permohonan pertanggungan utamanya didasarkan pada Utmost Good Faith dari
Tertanggung, bukan berupa Collateral. Secara implisit mengharuskan calon Tertanggung untuk
memberikan semua fakta material mengenai objek pertanggungan Dalam permohonan
pertanggungan, collateral menjadi pertimbangan utama baru berikutnya Utmost Good Faith dari
Penerima Jaminan. 12. Premi diperhitungkan dari kerugian yang akan dialami. Fee yang dikenakan
tidak memperhitungkan risiko yang terjadi (atau fee merupakan jasa pelayanan).
Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari
para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh.
Istilah yang digunakan dalam UUK untuk force majeur adalah keadaan
memaksa.
Untuk hal ini Anda dapat mempelajari lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam
UUK mengenai PHK dengan cara mendownload dokumen UUK ini.
KATA PENGANTAR
TENTANG PENULIS
BUKU TAMU
VISI & MISI
//
you're reading...
H U KU M KO N T R A K
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita semua ketahui bahwa kontrak berlaku mengikat bagi pembuatnya. Tetapi
bagaimana bila terjadi kemusnahan barang di luar kesalahan debitor / orang yang berkewajiban
memenuhi hak daripada kreditor ? Misalnya pada waktu pengantaran barang melalui kapal tiba-
tiba terjadi badai laut yang tidak diduga sebelumnyasehingga menyebabkan kapal tenggelam
sekaligus barang-barang yang dibawa ikut tenggelam. Atau ketika kebakaran gudang terjadi dan
barang yang diperjanjikan musnah. Padahal tidak menunjukan debitor memiliki itikad yang tidak
baik. Dengan kata lain bukan kesengajaan atau maksud debitor atas kejadian tersebut. Apakah
dalam hal ini menjadi tetap debitor harus memenuhi tanggung jawab kepada kreditor seperti yang
diperjanjikan semula atau ada ketentuan lain ? Namun di sisi lain jika barang yang seharusnya
dimiliki haknya dan diterima oleh kreditor musnah kemudian tidak ada yang mengganti berarti
merupakan kerugian bagi kreditor. Sehingga dibutuhkan solusi hukum dalam penyelesaian
permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum kontrak mengatur keadaan memaksa yang tergolong keadaan tak
terduga yang menghalangi salah satu pihak gagal dalam memenuhi prestasi akibat hal tak terduga
tersebut ?
BAB II
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan
di mana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa
yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga
oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan
adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para
pihak.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk
ke dalam asumsi dasar (basic asumption)dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.1
Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force
majeure selain pasal 1244 yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah :
Pasal 1245 :
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang.
Pasal 1545 :
Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya,
maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.
Pasal 1553 :
Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang
Dari rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi
3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
yang bersangkutan.
Dari hal di atas menurut penulis menunjukan bahwa force majeure timbul karena hal yang tidak
terduga. Dengan kata lain bila hal tersebut telah diduga sebelumnya maka itu bukan
termasuk force majeure. Misalnya adalah ketika kapal perdagangan yang melintasi suatu daerah
yang sudah dipastikan oleh media berita terkena badai laut kemudian kapal pengangkut itu sudah
tahu akan hal tersebut kemudian tetap berlayar melewati daerah tersebut dengan tujuan
berspekulasi akan selamat maka itu bukan termasuk force majeure karena hal tersebut sudah
diduga bahkan diketahui lebih dahulu tentang peristiwa dan resiko yang akan dihadapi meskipun di
situ adalah satu-satunya jalan yang bisa dilewati oleh kapal pengangkut barang tersebut.
B. Akibat Hukum
Debitor tidak perlu membayar ganti rugi. ( Pasal 1244 KUH Perdata )
Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hokum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kantra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460
KUH Perdata.
Mengenai keadaan memaksa (Force Majeure) yang absolut diartikan keadaan memaksa/force
majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan.
Sedangkan keadaan memaksa (Force Majeure) yang relatif diartikan keadaan memaksa (force
majeure) di mana pemenuhan prestasi secara formal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara
____________________________________
1Munir Fuady, Hukum kontrak, 1999, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.113
.2Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.235-236
.3Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW] , 2006, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 184-185.
DAFTAR PUSTAKA
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], 2006, Sinar Grafika, Jakarta.
Oleh:
suwardi.amri@gmail.com
STIH Muhammadiyah Kotabumi Lampung
Abstrak
1. Pengertian Kontrak
Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau
persetujuan. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II
Buku III KUHPerdata, yakni Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau
Persetujuan. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian
sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain. [4]
Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan
berbagai alasan tersebut di bawah ini. Dikatakan tidak lengkap,
karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian
sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat yang
terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada
satu orang atau lebih. Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio
mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua
belah pihak saling mengikatkan diri.[5]
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan
hukum dapat mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu
perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena
perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul suatu
perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi
tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan
perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari
perjanjian.[6] perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau
perkawinan pun berdasarkan rumusan perjanjian dalam Pasal
1313 KUHPerdata tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian.
[7]
Menurut Tami Rusli, yang dimaksud dengan perikatan adalah
suatu hubungan antara dua pihak atau lebih, dimana terhadapnya
hukum melekatkan hak pada satu pihak, dan melekatkan
kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak
mengindahkan atau melanggar hubungan tadi maka hukum
memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan
kembali. Sementara apabila salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya, maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi
dipenuhi.[8]
Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata, suatu perjanjian tidak diharuskan untuk dibuat
secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang
secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan
(fisik) tertentu. Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
dikatakan bahwa perjanjian sah jika[9]:
Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak; tanpa
adanya paksaan, kekhilafan maupun penipuan;
Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam
hukum;
Memiliki objek perjanjian yang jelas;
Didasarkan pada satu klausula yang halal.
Sementara itu dikutip dari laman Wikipedia, definisi Kontrak
atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih
mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan
umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia.[10]
Menurut Salim HS. di dalam Hukum Kontrak atau Hukum
Perjanjian, dikenal adanya 5 (lima) asas penting yaitu:
1. Pembayaran
2. Novasi atau pembaharuan utang;
3. Kompensasi atau perjumpaan utang;
4. Konfusio atau percampuran utang;
5. Pembebasan utang;
6. Kebatalan atau pembatalan;
7. Berlaku syarat batal;
8. Jangka waktu kontrak telah berakhir;
9. Dilaksanakannya objek perjanjian;
10. Kesepakatan kedua belah pihak;
11. Pemutusan kontrak secara sepihak;
12. Adanya putusan pengadilan.[36]
Begitu pula dalam perjanjian/kontrak elektronik (e-contract) akan
berakhir apabila memenuhi ketentuan atau sebab sebagaimana
yang terjadi pada kontrak konvensional.
1. Kesimpulan
Kontrak elektronik (e-contract), walaupun memiliki perbedaan
secara fisik dengan kontrak konvensional, keduanya sama-sama
harus tunduk pada aturan hokum perjanjian terutama yang
berkaitan dengan syarat-syarat sah nya perjanjian dan azas-azas
perjanjian.
Proses transaksi dagang elektronik (e-commerce) dan transaksi
dagang konvensional memiliki kesamaan. Baik dalam transaksi
dagang elektronik (e-commerce) maupun dalam transaksi dagang
konvensional terdapat proses penawaran, penerimaan penawaran
(pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. Yang
membedakan kedua transaksi tersebut hanyalah bahwa transaksi
dagang elektronik (e-commerce) dilakukan tanpa tatap muka
(bertemunya pedagang dan pembeli) dan prosesnya terjadi lebih
cepat serta lebih mudah. Karena tidak ada perbedaan konsep
antara kedua jenis transaksi tersebut, maka suatu kontrak yang
terjadi dalam transaksi dagang elektronik (e-commerce) pada
dasarnya adalah sama dengan kontrak yang terjadi dalam
transaksi dagang konvensional dan dengan demikian hal-hal yang
berlaku mengenai kontrak konvensional dapat diberlakukan pula
untuk kontrak elektronik (e-contract).
Agar kontrak yang terjadi akibat transaksi dagang elektronik
dapat dikatakan sah menurut hukum perdata Indonesia, maka
kontrak tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Bagus Hanindyo Mantri, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Dalam transaksi e-commerce, Program Magister Ilmu
Hukum Universitas diponegoro, Semarang, 2007.
Cita Yustisia Serfiani dkk., Buku Pintar Bisnis Online dan
Transaksi Elektronik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2013.
1955. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, 1994.
Mieke Komar Kantaatmadja, Cyberlaw:Suatu Pengantar,cet.1,
ELIPS Bandung, 2001.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di
Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Sylvia Christina Aswin, Tesis, Keabsahan Kontrak Dalam
Transaksi Komersial Elektronik, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006.
Tami Rusli, Hukum Perjanjian yang Berkembang di
Indonesia, Anugrah Utama Raharja (Aura) Printing & Publishing,
Bandar Lampung, 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buana Press, 2014.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Naskah Akademik RPP tentang Perdagangan Secara Elektronik (e-
commerce), Direktorat Bina Usaha Perdagangan, Kementerian
Perdagangan RI, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak, diakses pada 19 April 2015
http://mentarivision.blogspot.com/2011/11/kontrak-
elektronik.html diakses tanggal 19 April 2015
[1] Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya
Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm.1
[2] Cita Yustisia Serfiani dkk., Buku Pintar Bisnis Online dan
Transaksi Elektronik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2013. hlm.
99
[3] Ibid
[4] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buana Press, 2014.
[5] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955, hlm. 27
[6] Ibid, hlm. 24
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, 1994, hlm. 18.
[8] Tami Rusli, Hukum Perjanjian yang Berkembang di
Indonesia, Anugrah Utama Raharja (Aura) Printing & Publishing,
Bandar Lampung, 2012, hlm. 1
[9] Ibid, hlm. 16
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak, diakses pada 19 April
2015
[11] Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 9
[12] Tami Rusli, 2012, Op. Cit, hlm. 74-80
[13] Lihat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
[14] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.100
[15] Sylvia Christina Aswin, Tesis, Keabsahan Kontrak Dalam
Transaksi Komersial Elektronik, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006.
[16] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.101
[17] Ibid
[18] http://mentarivision.blogspot.com/2011/11/kontrak-
elektronik.html diakses tanggal 19 April 2015
[19] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.101
[20] Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
[21] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis
Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.
407
[22] Sylvia Christina Aswin, 2006, Op.Cit, hlm. 101
[23] Ibid
[24] Bagus Hanindyo Mantri, 2007, Tesis, Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Dalam transaksi e-commerce, Program
Magister Ilmu Hukum Universitas diponegoro, Semarang
[25] Munir Fuady, 2008, Op.Cit, hlm. 409
[26] Sylvia Christina Aswin, 2006, Op.Cit
[27] Munir Fuady, 2008, Op.Cit 409-410
[28] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
[29] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit, hlm.103
[30] Naskah Akademik RPP tentang Perdagangan Secara
Elektronik (e-commerce), Direktorat Bina Usaha Perdagangan,
Kementerian Perdagangan RI, 2011
[31] Mieke Komar Kantaatmadja, Cyberlaw:Suatu
Pengantar,cet.1, ELIPS Bandung, 2001, hlm.15
[32] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit
[33] Ibid
[34] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 18 ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa
dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran. Ayat (2) Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
[35] Cita Yustisia Serfiani dkk., 2013. Op. Cit. hlm. 105-106
[36] Salim HS, 2006, Op.Cit, hlm. 165