You are on page 1of 8

INDIKATOR DBD

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Umum

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes
Aegypti dan Aedes Albopictus betina yang umumnya menyerang pada pada musim hujan dan musim panas. Virus itu menyebabkan
gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan DBD dengue. [12]

Wabah demam berdarah pertama didunia terjadi pada tahun 1780-an serentak terjadi bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika Utara.
Penyakit ini kemudian dinamakan Dengue fever pada 1779.[13] Di Asia Tenggara wabah besar pertama dimulai pada 1950-an di
Filipina. Penyakit ini pertama kali masuk ke Asia tenggara pada tahun 1953 dan terjadi di Manila lalu menyebar ke beberapa
negara[14].Pada tahun 1975 demam berdarah telah menjadi penyakit penyebab kematian utama pada anak-anak di wilayah Asia
tenggara.

Menurut data yang diperoleh bahwa penyakit demam berdarah telah masuk ke Indonesia sekitar 36 tahun yang lalu, yaitu
sekitar tahun 1968.[15] Pada awalnya penyakit ini hanya terjadi di daerah perkotaan dan menyerang anak anak yang berusia di bawah
5 tahun namun seiring dengan perkembangan waktu ternyata penyakit ini telah menyeabr ke daerah pedesaan dan terjadi pergeseran
penderita yang cenderung dialami oleh orang orang dewasa. Nyamuk penyebab DBD ini pun hidup di seluruh pelosok Indonesia. Jika
perkembangbiakan Aedes aegypty tidak dikontrol atau belum juga ditemukan vaksin maka jumlah penderita DBD akan terus bertambah
(Adimidjaja,sa; Gibbons et al, 2002).

1.2. Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi momok dalam masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama.
Dimulai dengan saat pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1968 di Surabaya, penyakit ini menyebar ke berbagaidaerah, sehingga
pada tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur(saat itu masih menjadi wilayah Indonesia) telah terjangkit penyakit
DBD. Sampai saat ini yaitu tahun 2008, DBD masih menjadi masalah yang belum terselesaikan oleh Indonesia.

Sejak pertama kali DBD ditemukan di Indonesia, penyakit tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah kasus
maupun luas wilayah yang terjangkit. Secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi
pada tahun 1998, dengan angka kesakitan (Incidence Rate= IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk, artinya setiap 100.000 penduduk
ditemukan 35 orang terinfeksi DBD dan angka kematian (Case Fatality Rate = CFR) sebesar 2%, artinya dari 35 orang penderita maka
2%-nya atau 1 orang meninggal dunia. Status IR dan CFR semakin menurun pada tahun-tahun berikutnya, namun pada tahun 2003
kembali terjadi lonjakan.[16]

Pada tahun 2000, Departemen Kesehatan mencatat terdapat 231 kota di 30 provinsi di Indonesia dinyatakan endemis terhadap penularan
penyakit demam berdarah dengue (DBD). Meningkatnya kasus DBD dan semakin meluasnya wilayah yang terkena disebabkan karena
semakin baiknya transportasi penduduk, dibukanya daerah pemukiman baru, dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga
keberhasilan lingkungan, terutama di saat musim hujan. Dalam skala nasional, berikut data yang diperoleh terkait morbiditas dan
mortalitas penyakit DBD di Indonesia:

Pada tahun 1998, kasus DBD meningkat tajam dan ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan jumlah sebanyak 72.133
orang (Incident Rate/IR =35,19 per 100.000 penduduk) dan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang (Case Fatality Rate/ CFR
=2%).

Pada tahun 1999, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 21.134 orang (Incident Rate = 10,17 per 100.000 penduduk).

Pada tahun 2000, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 33.443 orang (Incident Rate = 15,99 per 100.000 penduduk) dengan
jumlah kematian sebanyak 472 orang (Case Fatality Rate = 1,4%).
Pada tahun 2001, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 45.904 orang (Incident Rate 21,66 per 100.000 penduduk).

Pada tahun 2002, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 40.377 orang (Incident Rate 19,24 per 100.000 penduduk).

Pada tahun 2003, jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 50.131 orang ( Incident Rate 23,87 per 100.000 penduduk) dengan
jumlah kematian sebanyak 743 orang.[17]

Penyebaran DBD pada tahun 1968-2003[18]

Pada tahun 2004 dari bulan Januari- Maret saja, total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015,
dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang)
sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%).[19]

Dari 30 provinsi di Indonesia, 12 provinsi diantaranya ditetapkan sebagai KLB DBD, yaitu : Nanggroe Aceh Darussalam, Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Pada 16 Februari 2004, pemerintah pusat melalui Departemen Kesehatan menyatakan telah terjadi KLB DBD Nasional yaitu,
tingkat kematian (case fatality rate/CFR) mencapai satu persen dari jumlah kasus atau jumlah penderitanya melonjak hingga
dua kali lipat pada kurun waktu yang sama dibandingkan dengan tahun sebelumnya. [20]

Pada tahun 2005, sampai bulan Oktober, tercatat kasus DBD di 33 provinsi mencapai 50.196 kasus, dengan 701 di
antaranya meninggal (Case Fatality Rate/CFR 1,4 %)
Pada tahun 2006, terhitung jumlah kasus DBD sebanyak 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234
orang. Berikut gambaran kasus dan kematian karena DBD di Indonesia pada tahun 2006. [21]
Sepanjang
tahun 2007 jumlah
kejadian DBD
mencapai total
139.695 kasus
dengan Incidance
Rate 64 kasus per
100.000 populasi.
Jumlah penderita
DBD yang
meninggal mencapai
1.395 kasus (CFR 1
%). Keadaan DBD
2007 ini meningkat
lebih tinggi
dibanding keadaan
tahun-tahun

sebelumnya. (Sumber: DirJen P2M&PL)


Data terbaru tahun 2008, di DKI Jakarta, diungkapkan angka kematian akibat DBD di Jakarta Barat tertinggi dibanding 5
wilayah lain. Sejak Januari hingga 17 Februari 2008, tercatat 621 kasus DBD di Jakarta Barat. Sementara itu, berdasarkan
data dari Sudin Kemas Jakarta Barat, selama tahun 2007 tercatat 4.873 kasus DBD, 21 orang diantaranya meninggal dunia.
Pada Januari 2008 tercatat 435 kasus DBD, satu orang diantaranya meninggal, sejak 1 17 Februari tercatat 186 kasus
DBD, dua orang diantaranya meninggal. [22]

Dari penjabaran data di atas, dari tahun ke tahun tidak terlihat adanya perbaikan yang signifikan mengenai kasus DBD di Indonesia.
Setiap tahun bisa dipastikan, masyarakat Indonesia di berbagai daerah akan berhadapan dengan masalah rutin ini. Upaya
pemberantasan harus terus diperbaiki dan dilaksanakan dengan maksimal. Walau memang tidak bisa diberantas dalam waktu yang
singkat, namun setidaknya ada perbaikan yang signifikan dari segi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD setiap tahunnya.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Program-program untuk DBD

Banyak langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita DBD di Indonesia, mulai dari program
pencegahan sampai program case management untuk masyarakat yang telah terjangkit oleh virus dengue ini, tahapan-tahapan program
tersebut, antara lain :

2.1.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk

2.1.1.1 Definisi PSN

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas jentik nyamuk di tempat berkembangbiaknya baik dengan
cara kimia, yaitu dengan larvasida, biologi dengan cara memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri ataupun dengan cara fisik
yang kita kenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yakni menguras bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah tangga
(tempayan, drum dll) serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll).[23]

Pencegahan penyakit DBD melalui metode lingkungan atau fisik untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping
kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:[24]

Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.

Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali

Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya, untuk memberantas jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat
berkembang biak. Pemberantasannya perlu peran aktif masyarakat khususnya memberantas jentik Aedes.aegypti di rumah dan
lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu cara yang paling efektif dilaksanakan karena: [25]

a. tidak memerlukan biaya yang besar

b. bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih

c. menjadikan lingkungan bersih

d. budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong

e. dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang diakibatkan oleh

lingkungan yang kotor akan berkurang.

2.1.1.2 Program 3M Plus

Sebenarnya pelaksanaan 3M Plus merupakan upaya Pemberantasan SarangNyamuk yang sederhana dan efektif. Melalui
program ini, masyarakat dapat memutus rantai perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti. Sebagai gambaran, beberapa hal
pembersihan yang dilakukan dalam 3M Plus merupakan upaya untuk mempersempit penyediaan sarang reproduksi bagi hewan vektor
penyakit ini dan hal ini merupakan bagian yang sangat penting sebagai langkah awal untuk menghindari peningkatan prevalensi penderita
PBD serta menghindari terjadinya KLB pada penyakit ini.Sedangkan untuk membasmi jumlah nyamuk dewasa yang telah dapat
berkembang biak, dapat dilakukan dengan pengasapan (fogging) digunakan untuk mengurangi jumlah nyamuk dewasa yang dapat
bertelur sebanyak 200 400 per hari. Jika dibandingkan dari kedua langkah diatas, tentu saja program 3M Plus memiliki peranan yang
sangat penting untuk membatasi penyebaran virus penyakit ini asalkan masyarakat melakukannya secara kontinyu dan teratur.

Permasalahan mengenai efektifitas pelaksanaan program Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui 3M Plus adalah kurangnya
minat masyarakat untuk melakukan semua hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat untuk terbiasa memiliki pola
hidup bersih dan sehat sehingga merasa bahwa bukan hal yang kondusif untuk hidup berdampingan dengan nyamuk Aedes Aygepti.

Efektifitas pelaksanaan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk ini melalui 3M Plus ini dapat terlaksana dengan baik jika
semua jajaran masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukannya secara serempak dan kontinyu di seluruh bagian negara Indonesia
in. Atupun dapat ditambah dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat ataupun daerah mengenai pentingnya melakukan 3M Plus
yang disertai dengan pemberlakuan punishment bagi tiap masyarakat yang tidak melakukan ataupn terlibat di dalam program
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ini. Sebagai contoh, mungkin kita dapat mengikuti pemberlakuan kebijakan di negara Singapura
dan Malaysia yang memberikan denda bagi warganya yang kedapatan terdapat jentik nyamuk Aedes Aegypti di rumahnya. Atupun seperti
Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang
memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aeds Aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah
yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah dengan stiker hitam akan dberikan peringatan sebanyak 3
kali dan jka tidak dilakukan akan dikenai denda. Sedangkan untuk para pejabat pemerintahan Indonesia, mungkin dapat meniru semangat
Jendral Grogas dalam membasmi penyakit ini dari Kuba pada 100 tahun yang lalu yaitu dengan menggunakan metode pelaksanaan
progam program PSN secara serentak dan besar besaran di seluruh negeri.[26]

Semua contoh diatas seharusnya dapat dijadikan contoh oleh tiap daerah yang berpotensi menjadi daerah endemi DBD ketika
musim penghujan datang apalagi saat ini telah adanya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada tiap derah untuk
menyusun program ataupun kegiatan yang bertujuan untuk membasmi sarang nyamuk secara benar tanpa terlupakan adanya
pengawasan dari pihak pemerintahan pusat.

2.1.1.3 Peraturan mengenai PSN dan 3M

Pelaksanaan PSN sebenarnya merupakan sebuah program pencegahan penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang bersifat wajib. Hal tersebut dikarenakan adanya peraturan tertulis yang dibuat oleh pejabat pemerintahan provinsi. Sebagai
gambaran, wajib PSN dengan 3-M di wilayah Provinsi DKI, lanjut Salimar, dasarnya adalah Surat Edaran (SE) Gubernur DKI No
46/SE/2004 tentang PSN digelar tidak hanya di luar, tapi juga dalam rumah dan ruangan.

Adapun dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun 2007 tentang pencegahan demam
berdarah melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dijelaskan pada:

Pasal 4
1. PSN 3M Plus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan untuk memutus siklus hidup nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus melalui kegiatan 3M Plus.

2. Pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh
orang perorang, pengelola, penanggung jawab atau pimpinan pada semua Tatanan Masyarakat.

3. Kegiatan pemutusan siklus hidup nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan dengan membasmi jentik nyamuk di semua tempat penampungan / genangan air yang memungkinkan menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk.

4. Kegiatan PSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali

SANKSI

Pasal 21

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes
aegypti dan jentik nyamuk Aedes albopictusdikenakan sanksi sebagai berikut :

a. Teguran tertulis;

b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan stiker di pintu rumah;

c. Denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan.

2. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertingkat.

Pasal 22

1. Setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap
urusan kerumahtanggaan dan/atau kebersihan Tatanan Masyarakat yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ditemukan
jentik nyamuk Aedes aegypti dan jentik nyamuk Aedes albopictus pada pada Tatanan Masyarakat yang menjadi lingkup tanggung
jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut :

a. teguran tertulis;

b. teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan stiker di lobby atau 11 pintu masuk kantor;

c. denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) atau paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.

3. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertingkat.

Adapun peraturan lain yang mengatur mengenai program 3M sebenarnya dimulai tahun 1990 s/d sekarang dikembangkan program
pemberantasan intensif Demam Berdarah Dengue di desa/Kelurahan endemis Demam Berdarah Dengue dengan kegiatan
penanggulangan fokus, foging massal sebelum musim penularan, abatisasi selektif serta penyuluhan don penggerakkan PSN melalui
kerjasama lintas program dan sektor. Kemudian stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu: endemis, sporadis dan
bebas/potensial.

Pada periode ini tepat pada tahun 1992 terbit KepMenkes Nomor : 581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit Demam
Berdarah Dengue berdasarkan Kepmenkes Nomor 581 tahun 1992, tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, surat
Edaran Mendagri, No. 443/115/Bandes, perihal operasionalisasi Kep. Menkes No. 581 tahun 1992, Surat Edaran Tim Pembina UKS
tingkat pusat No. 80/fPUKS oo/X/93, tentang Pembinaan UKS dalam upaya pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue, Surat
Edaran Tim Penggerak PKK Pusat No. 500/ SKR/PKK.PST/94, tentang penyuluhan dan motivasi gerakan PSN Demam Berdarah
Dengue, SK Mendagri No. 31-VI tahun 1994., tentang pembentukan kelompok operasional pemberantasan penyakit Demam Berdarah
Dengue dan surat Edaran Mendagri No. 912/351/Bangda tahun 1994 tentang penyediaan dana dalam rangka menanggulangi penyakit
Demam Berdarah Dengue.

Berdasarkan Kepmenkes tersebut, tugas dan fungsi Subdit Arbovirosis ditetapkan bahwa: Upaya pemberantasan penyakit
Demam Berdarah Dengue dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan: pencegah, penemuan dan pelaporan penderita, pengamatan,
penyakit, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya serta penanggulangannya lain dan penyuluhan kepada masyarakat.

2.1.2 Abatisasi (Larvasiding)


2.1.2.1 Definisi

Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik
Aedes aegypti dengan bahan kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi
atau diatur. Dalam jangka panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal. Kegiatan ini tepat digunakan apabila
survelans penyakit dan vector menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan
waktu dan tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan efektifitasnya.

Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate
1%) dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara
ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat
mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan. Kegiatan larvasiding meliputi:

a. Abatisasi selektif

Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah
dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan
dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi
selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.

b. Abatisasi massal

Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik
terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB
DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah
masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan. [27]

2.1.2.2 Peraturan Daerah mengenai Abatisasi atau Pemberantasan Jentik Nyamuk

Pemeriksaan Jentik Berkala yang selanjutnya disingkat PJB adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat
perkembangbiakan nyamuk dan jentik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus oleh Petugas Kesehatan untuk mengetahui ada atau
tidaknya jentik nyamuk pada tatanan masyarakat.

Dalam Pasal 5 :

1) PJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib dilakukan oleh Petugas Kesehatan setiap 3 (tiga) bulan sekali.

2) Selain Petugas Kesehatan, pemeriksaan dan pemantauan jentik juga wajib dilaksanakan secara rutin oleh Jumantik.

3) Dalam hal pemeriksaan dan pemantauan oleh Jumantik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1
(satu) minggu sekali, dengan kegiatan sebagai berikut :

a. Memeriksa setiap tempat, media, atau wadah yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus pada Tatanan Masyarakat dan mencatat di kartu jentik;

b. Memberikan penyuluhan dan memotivasi Masyarakat;

c. Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemantauan kepada Lurah.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan pemantauan jentik nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Gubernur.

2.1.3 Fogging

2.1.3.1 Definisi

Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus
dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh petugas. [28] Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu
tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah
serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan
mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging
dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar.[29] Penanggulangan fogging fokus ini
dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun
larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low
volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying) karena
nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang
tergantung. Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan kedalan
kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic. [30]

Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging[31], yaitu:

1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.

2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.

3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.

Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu
24 jam, setelah itu akan langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.

2.1.3.2 Peraturan mengenai Fogging

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun 2007 tentang pengendalian demam berdarah, dijelaskan
pada:

Pasal 11

1) Penanggulangan Fokus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan kegiatan pemberantasan nyamuk DBD dengan
cara pengasapan atau fogging.

2) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 2 (dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu
dalam radius 100 (seratus) meter.

Pasal 12

1) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib dilaksanakan oleh Puskesmas pada setiap Penyelidikan
Epidemiologi positif paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam.

2) Selain Puskesmas, pengasapan atau fogging dapat dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan
Puskesmas.

3) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan pengasapan dirumah dan lingkungan masing-masing.

Pasal 13

1) Fogging massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c merupakan kegiatan pengasapan fokus secara serentak dan
menyeluruh pada saat KLB.

2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Puskesmas dibawah koordinasi Unit Kerja Perangkat Daerah
yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebanyak 2 (dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu.

3) Selain Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengasapan
atau fogging massal dapat dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan Puskesmas.

4) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan Fogging massal dirumah dan lingkungan masing-masing.

2.1.4 Surveilans Epidemiologi

2.1.4.1 Definisi
Surveilans Epidemiologi DBD adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit DBD dan kondisi
yang memperbesar resiko terjadinya, dengan maksud agar peningkatan dan penularannya dapat dilakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara
program kesehatan[32]. Proses surveilans dibagi menjadi dua kegiatan,yaitu[33]:

1. Kegiatan inti; mencakup (1) surveilans: deteksi, pencatatan, pelaporan, analisis, konfirmasi dan umpan balik (2) tindakan: respon
segera (epidemic type response) dan respon terencana (management type response)

2. Kegiatan pendukung; mencakup, pelatihan, supervisi, penyediaan dan manajemen sumber daya.

Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari
rumah sakit dan sarana kesehatan serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah yang
terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat
umum; sarana air bersih; pemukiman dan lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain.

Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan
masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).

Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun,
pada kenyataanya belum berjalan dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas tidak
menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) [34].

Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada
kaitannya dengan beberapa hal berikut:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali

3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis

4. Peningkatan sarana transportasi

Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru telah mengembangkan suatu sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi
(Computerize) yang disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ).

EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita
adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.) secara cepat.
Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat
dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD pada tahun 2004, EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD
dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia.

You might also like