Professional Documents
Culture Documents
Arsitektur
Vernakular
Indonesia
Arsitektur Vernakular dalam
Arsitektur Tradisional
Sumatera: Batak
05
Fakultas Teknik Teknik Arsitektur Ir. Primi Artiningrum, M.Arch.
Perencanaan dan
Desain
Abstract Kompetensi
Materi ini membahas tentang arsitektur Mahasiswa mampu menganalisis
vernakular yang terdapat di Pulau bentuk-bentuk arsitektur vernakular
Sumatera, yang mencakup arsitektur dalam aristektur tradisional Batak dan
tradisional Batak, Minangkabau. Minangkabau kaitannya dengan budaya
Pembahasan meliputi kaitan antara dan keadaan alamnya.
kondisi geografis, adat dan budaya
dengan bentuk-bentuk arsitekturnya.
Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa asal muasal bangsa Indonesia
sebagian besar adalah keturunan dari bangsa Austronesia yang menyebar di hampir seluruh
kepulauan Indonesia. Hal ini ditandai dengan kemiripan bahasa dan ucapan yang ditengarai
berasal dari rumpun bahasa yang sama, yaitu rumpun bahasa Austronesia. Ditemukannya
bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang memiliki kemiripan satu sama lain pada beberapa
wilayah Nusantara seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi memperkuat dugaan
tersebut. Kemiripan tersebut antara lain berupa bentuk rumah panggung, bentuk atap
pelana dengan bubungan yang memanjang ke luar seperti pada rumah-rumah tradisional
Batak Toba, Minangkabau di Sumatera dan rumah adat Toraja di Sulawesi.
Pulau Sumatera yang merupakan salah satu Pulau besar di Indonesia, memiliki beberapa
suku yang tinggal di beberapa propinsi yang berbeda yang dengan sendirinya
menyumbangkan keberagaman budaya dan hasil-hasil kebudayaannya. Rumah-rumah
tradisional merupakan warisan atau peninggalan budaya nenek moyang yang sangat
bernilai, meskipun hanya tinggal sedikit saja yang tersisa akibat perubahan zaman. Dari
beberapa yang masih dapat ditemui hingga kini antara lain rumah adat Batak, rumah adat
Minangkabau, rumah adat Nias di kepulauan Nias dan kampung adat Mentawai di
kepualuan Mentawai.
Pada bab ini akan dibahas tentang arsitektur vernakular pada kampung adat Batak Toba
dan Karo, serta rumah adat Minangkabau. Pembahasan akan menelaah masalah-masalah
yang berkaitan dengan ranah fisik yang dapat dilihat melalui bentuk dan ramah abstrak yang
merupakan pesan/makna berkenaan dengan adat, budaya dan kepercayaan
masyarakatnya.
Suku Batak Karo berdiam di ujung Utara Danau Toba dipisahkan deretan perbukitan. Suku
Batak Simalungun bermukim di sebelah Timur Danau Toba dibatasi perbukitan dan gunung-
gunung. Suku Batak Pakpak tinggal di sebelah Barat danau, sedangkan suku Batak Toba
bertempat tinggal di Pulau Samosir dan pinggiran Danau Toba dari Prapat sampai Balige.
Sementara suku Batak Angkola mendiami wilayah Tapanuli Selatan dekat perbatasan Riau
dan di wilayah selatan yang berbatasan dengan propinsi Sumatera Barat berdiam suku
Batak Mandailing.
Setiap kelompok etnis pada suku Batak memiliki langgam arsitektur tradisional yang
berbeda-beda, namun hanya sedikit yang masih dapat ditelusuri jejaknya. Suku Batak Toba
yang mendiami Pulau Samosir dan tepian danau Toba di daerah Prapat masih memiliki
peninggalan kampung adat yang hingga saat ini masih terpelihara, meskipun sudah tidak
menjadi tempat tinggal sehari-hari masyarakatnya. Rumah-rumah adat yang tersisa kini
menjadi objek wisata di wilayah tersebut.
Danau Toba merupakan danau vulkanik terbesar di dunia dengan panjang sekitar 100 km
dan lebar 30km dan titik terdalam 550m. Danau Toba terbentuk akibat letusan gunung
berapi sekitar 74.000 tahun yang lalu. Kondisi topografi di sekitar Danau Toba adalah
Kehidupan Masyarakat
Masyarakat Batak memiliki system kekerabatan dan kekeluargaan yang sangat kuat. Marga
atau nama keluarga bagi suku Batak sangat dijunjung tinggi. Marga adalah nama keluarga
yang melekat pada setiap individu pada suku Batak yang diturunkan berdasarkan garis
keturunan laki-laki karena suku Batak menganut system Patrilineal. Fitri, 2004 dalam
Nurdiah, 2011, menuliskan bahwa marga menjadi prinsip dasar dalam 3 sistem kekerabatan
suku Batak yang disebut Dalihan Natolu, yaitu:
Secara mitologis, suku Batak Toba mempercayai bahwa nenek moyang mereka, Siraja
Batak adalah keturunan langsung dari dewa tertinggi yang disebut Debata Mulajadi
Nabolon. Siraja Batak datang langsung dari langit dan mendarat di puncak gunung Pusuk
Buhit. Akibatnya suku Batak Toba menganggap Pusuk Buhit sebagai pusat dari dunia dan
menjadi akses menuju ke dunia atas (Loebis, 2000 dalam Nurdiah, 2011).
Sama halnya dengan konsep kosmologi pada suku-suku kuno di Nusantara ini, suku Batak
Toba membagi dunia menjadi 3 lapisan yaitu:
Dunia Atas, dipercaya sebagai tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon, sebagai Dewa
tertinggi.
Dunia Tengah menjadi tempat hidup manusia.
Dunia Bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh
jahat.
Konsep kosmologi tersebut juga mempengaruhi pembagian tingkatan dalam rumah
tradisional masyarakat Batak Toba.
gambar 3. Rumah Tradisional Suku Batak Toba yang Menggambarkan Konsep Kosmologi
Sumber: Domenig, 1981 dalam Fitri, 2004, p.38 dalam Fitri, 2004, p.21 dalam Nurdiah, 2011
Seperti telah disebutkan di atas Suku Batak Toba mendiami Pulau Samosir dan pinggiran
Danau Toba dari Prapat sampai Balige. Kampung-kampung tradisional dengan rumah-
rumah adat/tradisional yang masih tersisa saat ini antara lain terdapat di Pulau Samosir.
Desa suku Batak Toba disebut Huta. Boer ,1920, dalam Esti Asih Nurdiah, 2011,
mendeskripsikan bahwa desa dikelilingi tembok semacam benteng yang terbuat dari tanah.
Desa memiliki dua pintu masuk (harbangan) dan menara pengawas (hubu-hubu) di pojok
benteng.
gambar 4. Ilustrasi Bagan Penataan Rumah dan Lumbung Padi dalam Huta
Sumber: Boer (1920) dalam Esti Asih Nurdiah, (2011)
gambar 5. Deretan Jabu di salah satu kampung adat di wilayah Batak Toba. Bagian depan adalah halaman.
Foto: Primi Artiningrum
Fitri (2004) dalam Nurdiah (2011) menuliskan bahwa rumah tradisional Batak yang disebut
Jabu atau Ruma kaya akan symbol dan berfungsi sebagai pusat mistis sebuah klan atau
keluarga dan merupakan symbol utama dari identitas suku. Jabu dan Sopo memiliki bentuk
yang mirip, bahkan kadang-kadang dalam hal ukuran, Sopo memiliki ukuran yang hampir
sama dengan Jabu. Hal ini karena suku Batak Toba memiliki tradisi kuno mengubah sopo
yang semula merupakan lumbung padi menjadi rumah atau jabu bila terjadi penambahan
jumlah penduduk.
Daftar Pustaka
De Boer, D. W. (1920). Het Toba Bataksche Huis. Dalam G. Sargeant, & R. Saleh,
Traditional Buildings of Indonesia Vol.1: Batak Toba (hal. 31-41). Bandung: Regional House
Centre.
Fitri, I. (2004). A Study on Spatial Arrangement of Toba Batak Dwelling and Its Changes.
Medan: USU e-Repository (c) 2008.
Nurdiah, E. A. (2011), Studi Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Suku Batak Toba,
Minangkabau dan Toraja, Laporan Penelitian, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Universitas Kristen Petra.