Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada
penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya
jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain
angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yang
harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).
1
Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di
provinsi Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk.selanjutnya provinsi
Jawa Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu
2 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
B. TUJUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
saraf perifer,tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
3
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
4
Disebut juga lapisan barrier, terletak tepat di bawah lapisan
tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk dengan
lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih
yang kecil-kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati
sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak
tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan
bening.
c. Lapisan berbutir (stratum granulosum)
Tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang
mengandung butir-butir di dalam protoplasmanya, berbutir kasar dan
berinti mengkerut. Lapisan ini tampak paling jelas pada kulit telapak
tangan dan telapak kaki.
d. Lapisan bertaju (stratum spinosum)
Disebut juga lapisan malphigi, terdiri atas sel-sel yang saling
berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan protoplasma
berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka seakan-
akan selnya bertaju. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri
atas serabut protein. Sel-sel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi
beberapa baris.
e. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale)
Merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris
sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan
dermis. Alas sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina
basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur halus yang
membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina basalis cukup
besar terhadap pengaturan metabolisme demo-epidermal dan fungsi-
fungsi vital kulit.
Tipe-Tipe Sel Epidermis
1. Keratinocytes
2. Melanocytes
3. Merkel Cells
5
4. Langerhans Cells
2. DERMIS ( Korium)
Kulit jangat atau dermis menjadi tempat ujung saraf perasa, tempat
keberadaan kandung rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit
(Sebacea) atau kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh darah dan getah
bening, dan otot penegak rambut (muskulus arektor pili).
Sel-sel umbi rambut yang berada di dasar kandung rambut, terus-
menerus membelah dalam membentuk batang rambut. Kelenjar palit yang
menempel di saluran kandung rambut, menghasilkan minyak yang mencapai
permukaan kulit melalui muara kandung rambut. Kulit jangat sering disebut
kulit sebenarnya dan 95 % kulit jangat membentuk ketebalan kulit.
Ketebalan rata-rata kulit jangat diperkirakan antara 1 - 2 mm dan yang
paling tipis terdapat di kelopak mata serta yang paling tebal terdapat di
telapak tangan dan telapak kaki. Susunan dasar kulit jangat dibentuk oleh
serat-serat, matriks interfibrilar yang menyerupai selai dan sel-sel.
Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu :
a. Kelenjar keringat (Sudorifera)
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu.
b. Kelenjar palit (Sebacea)
Kelenjar palit terletak pada bagian atas kulit jangat berdekatan
dengan kandung rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
6
rambut. Kelenjar palit membentuk sebum atau urap kulit. Terkecuali
pada telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar palit terdapat di semua
bagian tubuh terutama pada bagian muka.
3. HIPODERMIS / SUBCUTIS.
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah
dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit.
Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-saraf menuju lapisan
kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau
penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian dalam, membentuk
kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan.
Derivat Kulit
1. Rambut
2. Kuku
7
4. Proses dan Tahapan Penyembuhan luka
Fase-fase penyembuhan luka
Fase Inflamasi :
terjadi sejak terjadi luka sampai kira-kira hari ke-5. Fase ini
menyebabkan pendarahan, dan menghentikannya dengan cara
vasokonstriksi, retraksi atau pengerutan pembuluh darah yang putus dan
reaksi hemostatis terjadi karena trombosit dan jala fibrin keluar sehingga
menyebabkan pembekuan. reaksi inflamasi yaitu sel mast menghasilkan
serotenin dan histamin yang menyebabkan eksudasi cairan dan
peradangan itu menyebabkan membengkak, terjadi kemerahan, rasa nyeri
dan panas.
Fase Poliperasi :
berasal dari sel mensenkrim yang belum deferensiasi menghasilkan
mukopolisakarida, asam amino glisin dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen, serat yang akan mempertautkan tepi luka. Proses ini baru
berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan
luka.
Fase Peyudahan :
odim dan sel radang di serap sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap sisanya
mengerut sesuai dengan regangan yang ada, selama proses ini dihasilkan
jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah di gerakkan dari
dasar.
C. ETIOLOGI
8
Kuman-kuman kusta berbentuk
batang, biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8
mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan
asam.
D. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
2. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
3. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
9
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO
1. Bercak (makula)
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
10
simetris
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut:
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
(anaesthesi).
11
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
F. KOMPLIKASI
didiagnosis dan diobati secara efektif. Sangat sedikit komplikasi terjadi jika
penyakit ini diobati cukup awal, tapi berikut ini ialah daftar komplikasi yang
dapat terjadi ketika diagnosis dan pengobatan baik ditunda atau mulai terlambat
Kelemahan otot
12
Cacat Progresif (misalnya, alis hilang, cacat jari-jari kaki, jari, dan
hidung)
tubuh tanpa individu menyadari bahwa ada cedera, hal ini dapat menyebabkan
G. PATOFISIOLOGI
pernafasan (Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah
penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum
diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
respons imun pada tiap pasien berbeda. Setelah mikobakterium leprae masuk
13
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila
yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak
selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis,
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli
14
H. PATOFLOW
15
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
16
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY
sebagai berikut :
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
17
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
18
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mg
dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
19
c. Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga
klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
21
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) System Pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
2) System Pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
Kerusakan Fungsi Otonom
22
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
4) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. INTERVENSI
DS:
23
DO:
No Intervensi Rasional
DS : -
24
DO :
Adanya lesi
Terdapat oedeme, panas, bau di sekitar lesi
Terdapat jaringan nekrotik
Tidak terdapat jaringan granulasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses
inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
4. Bersihkan lesi dengan sabun pada Kulit yang terjadi lesi perlu
waktu direndam. perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi.
25
Dx 3: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai
dengan:
DS:
Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas
DO:
Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan
fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil:
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh
26
Klien tampak kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tubuh klien
dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria Hasil:
27
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
tidak terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
28
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
(anaesthesi).
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
29
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
DAFTAR RUJUKAN
30
http://www.scribd.com/doc/50863131/ASUHAN-KEPERAWATAN-PADA-
KLIEN-DENGAN-KUSTA (online) diakses pada 1 desember 2012
http://www.scribd.com/doc/85138016/ASUHAN-KEPERAWATAN-KUSTA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
(online) di akses pada 1 desember 2012
31