Professional Documents
Culture Documents
Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental
illness/mental desease)
PPDGJ-III mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam 100 katagori diagnosis, mulai dari F 00 sampai dengan F 98.
F 99 Gangguan Jiwa YTT (Yang Tidak Tergolongkan), yaitu untuk mengelompokkan Gangguan Jiwa yang tidak khas.
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II merujuk ke DSM-III, sedang PPDGJ-III merujuk pada DSM-IV.
Mental Disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological syndrome or patern that occurs in an individual and that is
associated with present distress (eq., a painfull symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant
increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.
KONSEP DISABILITY
Konsep Disability dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder :
Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan, tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh
karena itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Yang dikatakan sebagai disability adalah keterbatasan/ kekurangan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan
untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil).
Dari Konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa didalam KONSEP GANGGUAN JIWA, di dapatkan butir-butir :
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
- Sindrom atau Pola Perilaku
- Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), a.l berupa rasa nyeri,tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas dalam aktivitas kehidupan, sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan
hidup (mandi, berpakaian, malan, kebersihan diri, dll)
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tujuan dari diagnosis Multiaksial :
1. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, kondisi fisik umum, masalah Psikososial dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat
membantu dalam :
Perencanaan terapi
Meramalkan outcome atau prognosis
Catatan :
Antara Aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologik atau patogenese
Hubungan antara Aksis I-II-III dan Aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi
AKSIS I
AKSIS II
AKSIS III
AKSIS IV
F.1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkhohol dan zat psikoaktif lainnya.
F.10. Gangguan mental dan perilaku akibat
Penggunaan alkhohol
F.11, F.12, F.14. Gangguan mental & perilaku akibat
Penggunaan Opioida /kanabinoida/kokain
16. Gangguan mental & perilaku akibat penggunaan
Sedativa atau Hipnotika/stimulansia lain/
Hallusinogenika
F.17, F.18, F.19. Gangguan Mental & perilaku akibat penggunaan
Tembakau/pelarut yang mudah menguap/ zat
Multiple & Zat psikoaktif lainnya
F.2. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham.
F. 20, F.21, F.23. Skizofrenia, Gangguan skizitipal, Psikotik akut dan sementara
F.22, F. 24 Gangguan waham menetap, gangguan
Waham terinduksi
F. 25. Gangguan Skizoafektif
F. 28, F. 29 Gangguan Psikoaktif non-organik lainnya
Atau YTT
F. 7. Retardasi Mental
F. 70 F.79. Retardasi Mental
F. 9. Gangguan Perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan remaja
98 Gangguan Hiperkinetik, Gangguan tingkah laku, Gangguan emosional atau gangguan fungsi sosial Khas, gangguan tic, atau gangguan perilaku & Emosional
lainnya.
2. Apabila syarat-syarat yang tercantum didalam pedoman diagnostik dapat dipenuhi, maka diagnosis dapat dianggap pasti. Namun apabila hanya sebagian saja
terpenuhi, maka diagnosis masih bermanfaat direkam untuk berbagai tujuan. Keadaan ini sangat tergantung kepada pembuat diagnosis dan para pemakai
lainnya untuk menetapkan apakah akan merekam suatu diagnosis pasti atau diagnosis dengan tingkat kepastian yang rendah.
3. Deskripsi klinis dari pedoman diagnostik ini tidak mengandung implikasi teoritis, dan bukan merupakan pernyataan yang komprehensif mengenai tingkat
pengetahuan yang mutahir dari gangguan tersebut. Pedoman ini hanya merupakan suatu kumpulan gejala dan konsep yang telah disetujui oleh sejumlah besar
pakar dan konsultan dari berbagai negara, untuk dijadikan dasar yang rasional dalam memberikan batasan terhadap kategori-kategori diagnosis dan diagnosis
gangguan jiwa.
4. Disarankan agar para klinisi mengikuti anjuran umum untuk mencatat sebanyak mungkin diagnosis yang mencakup seluruh gambaran klinis.
Bila mencantumkan lebih dari satu diagnosis, diagnosis utama diletakkan paling atas dan selanjutnya diagnosis lain sebagai tambahan. Diagnosis utama
dikaitkan dengan kebutuhan tindakan segera atau tuntutan pelayanan terhadap kondisi pasien saat ini atau tujuan lainnya. Bila terdapat keraguan mengenai
urutan untuk merekam beberapa diagnosis, atau pembuat diagnosis tidak yakin tentang tujuan untuk apa informasi itu akan digunakan, agar mencatat
diagnosis menurut urutan numerik dalam klasifikasi.
GANGGUAN JIWA
Gangguan jiwa merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia sedemikian rupa sehingga mengganggu kemampuan individu itu untuk berfungsi
secara normal didalam masyarakat maupun dalam menunaikan kewajibannya sebagai insan dalam masyarakat itu.
(Dep Kes RI, 1997)
Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala terhadap
individu tersebut atau orang lain . ( Suliswati, 2005)
Gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr. Luh Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi
karena tiga faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.
FAKTOR BIOLOGIK
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian
di antaranya mengenai kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmitter di otak, misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang
kompleks seperti agresi dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal
berfungsi sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyakit adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif, lebih banyak menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan
Brockington, 1980), skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor
genetik, demikian pendapat Kender, 1981).
Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu
dalam membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita, maka 35-68 persen anaknya menderita skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan
saudara kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater, 1966, yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada
anggota keluarga yang individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.
FAKTOR PSIKOLOGIK
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini
sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna
dalam pengalaman hidup seseorang.
Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang
bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat
tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang
merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.
FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu
sosiobudaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah
satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya.
Pendapat ini didukung pernyataan Favazza
(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa
penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afaktif dan alkoholisma. (litbang)
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm
Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-sosial. Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf
di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter atau substansi tertentu. Pada sebagian kasus gangguan jiwa terdapat kerusakan organik
yang nyata padas struktur otak misalnya pada demensia. Jadi tidak benar bila dikatakan semua orang yang menderita gangguan jiwa berarti ada sesuatu yang
rusak di otaknya. Pada kebanyakan kasus malah faktor perkembangan psikologis dan sosial memegang peranan yang lebih krusial. Misalnya mereka yang
gemar melakukan tindak kriminal dan membunuh ternyata setelah diselidiki disebabkan karena masa perkembangan mereka sejak kecil sudah dihiasi
kekerasan dalam
rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi ilmu jiwa justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit
medis secara komplet, yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis atau kejiawaan seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu
kejiwaan juga bersifat menyeluruh, tidak sekedar obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi perilaku dan terapi kognitif/konsep berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa dan pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang
rajin membaca rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi sayangnya permasalahan gangguan jiwa kurang popular jika dibandingkan masalah
osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung, stroke, makanan sehat maupun kesehatan kulit. Padahal yang perlu diketahui, gangguan jiwa dapat mengenai siapa
saja. Apalagi di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi stressor seperti sekarang ini. Tahukah Anda bahwa profesi yang paling banyak melakukan bunuh diri
di USA itu justru dokter spesialis kejiwaan?
Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting lagi untuk dapat mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat.
Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai
kehidupan sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang tangguh, persepsi yang positif (positif thinking) dan kemampuan
adaptasi. Kepribadian yang tangguh adalah hasil pembelajaran selama proses perkembangan sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan dengan banyaknya
asupan nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga dan disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman langsung. Nilai-nilai hanya dapat berfungsi jika
diterapkan langsung dalam keadaan nyata yaitu dengan banyak bergaul baik dengan lingkungan benar maupun salah. Apabila kita berani SAY YES di
lingkungan yang benar dan SAY NO saat di lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung anak dengan tujuan menghindarinya
dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan nilai-nilai yang tangguh kepada si
anak serta membiarkannya mengenal narkoba. Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya berani menolak narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang peristiwa yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya
dengan optimis maka ia memiliki jiwa
yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi kegagalan dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih
maupun menyalahi diri sendiri bahkan bunuh diri.
Dan yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala sesuatu dalam hidup ini potensial untuk berubah. Hari ini bisa hidup mapan, tapi hari
esok siapa tahu. Hari ini bisa bertemu kelompok orang yang asyik, hari esok siapa yang dapat menjanjikan. Adaptasi akan membuat jiwa kita meliuk-liuk dalam
kehidupan seperti air yang mengalir. Dengan demikian kita dapat selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Setiap menghadapi bencana maka kita
dapat mengubah pemikiran dari mengapa semua ini harus kualami menjadi setelah semua ini menimpaku, aku harus melakukan apa?. Dengan demikian
kita akan dapat bangkit dan semakin maju setiap kali terjatuh. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Artinya, jadilah seseorang
yang flexible dengan keadaan yang ada, NOW and HERE.
A. NEUROSA (PSIKONEUROSA)
Neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak dapat diselesaikannya suatu konflik tidak sadar, kecemasan yang timbul dirasakan
secara langsung atau diubaholeh berbagai mekanisme pembelaan psikologik =>dan muncullah gejala-gejala subyektif yang mengganggu.
Neurosa merupakan istilah yang dipakai dalam sejarah penemuan gangguan ini, dan secara diskriptif digunakan untuk menerangkan gangguan cemas,
histeria, dan obsesi tanpa kelainan fisik penderita.
Neurosa mengandung unsur etiologik dengan hakekat adanya konflik, dan penderita bereaksi secara menyimpang terhadap beban kehidupan.
Gangguan yang timbul :
Ketegangan yang terjadi dari hubungan antar manusia yang mengecewakan sejak kecil, sehingga mengganggu penyesuaiannya (adaptasi)
Reaksi itu dapat berupa :
Gangguan lihat
Kelumpuhan
Tremor
Rasa takut
Cemas
Tanpa ada kerusakan organis.
Neurosa merupakan istilah yang menerangkan sekelompok gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologik tanpa dasar fisik atau organik yang ditandai
dengan kecemasan sebagai gejala utama serta diikuti oleh tingkah laku yang tidak wajar.
Menimbulkan kecemasan
Berakar dalam kepribadian
B. PSIKOSA
Menurut PPDGJ I Th. 1973
Adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) seseorang sampai suatu taraf tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi melakukan beberapa tugas
secara memuaskan seperti :
Daya kemampuan menilai realitas
Daya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar
Daya kemampuan tanggapan Pancaindera
Daya kemampuan tanggapan perasaan (afektif)
Konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III yang merujuk pada SDM IV adalah :
Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral or psychological syndrome or pattera that occurs in an individual and that is associated
with present distress (eg. A painfull symtom) or disability (ic, impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased ask of
suffering death pain, disability, or an important loss of freedom (Maskun Rusdi, 1998)
Evaluasi klien psikiatrik terdiri atas dua bagian : informasi subyektif yang dikaitkan oleh pasien, dan informasi obyektif yang didapat melalui observasi. Hal ini
merupakan dasar dari suatu penilaian psikiatrik. Ini berlaku untuk individu pasien anak, dewasa, pasangan dan keluarga (Dep Kes RI, 1997).
Pengertian Psikosa
Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality) Hal ini diketahui dengan terdapatnya gangguan pada hidup perasaan
(afek dan emosi), proses berfikir, psikomotorik kemauan, sedemikian rupa sehingga semua ini tidak sesuai dengan kenyataan lagi.
Penderita tidak dapat dimengerti dan tidak dapat dirasai lagi oleh orang normal, karena itu seorang awampun dapat menyatakan bahwa orang itu gila,
bila psikosa itu sudah jelas. Penderita sendiri juga tidak memahami penyakitnya, ia tidak merasa sakit
( WF Maramis, 2004).
Adalah suatu gangguan jiwa yang serius, yang timbul karena penyebab organik ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan gangguan
kemampuan berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu, sedemikian
rupa sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu (WF Maramis,2004).
Psikosa ditandai dengan perilaku yang regrasif, hidup perasaan yang tidak sesuai, berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan
hallusinasi. Istilah psikosa dapat dipakai untuk keadaan seperti yang disebutkan diatas dengan variasi yang luas mengenai
berat dan lamanya. Menninger menyebutkan lima sindroma klasik yang menyertai sebagian besar pola psikotik, yaitu :
1. Perasaan sedih, rasa bersalah dan rasa tidak mampu yang mendalam
2. Keadaan rangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai pembicaraan dan motorik yang berlebihan
3. Regresi ke otisme ( Autism), Manerisme pembicaraan dan perilaku, isi pikiran yang berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan sosial
4. Pre okupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecenderungan membela diri atau rasa kebesaran
5. Keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan hallusinasi
(WF Maramis, 2004)
Dapat digambarkan secara umum bahwa Psikosa adalah suatu gangguan jiwa yang serius yang timbul karena penyebab organik ataupun fungsional
(emosional /psikogenik) dan menunjukkan gangguan kemampuan :
Berfikir
Bereaksi secara emosional
Mengingat
Berkomunikasi
Masalah klasik yang timbul sehubungan dengan psikotik berkisar pada hal hal berikut :
1. Gangguan pada alam perasaan, sedih, rasa bersalah dan perasaan tidak mampu yang mendalam
2. Irritabilitas yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, pembicaraan dan motorik yang berlebihan
3. Gangguan komunikasi, regressi ke otisme, manerism pembicaraan dan perilaku
4. Gangguan isi pikiran yang berwaham
5. Acuh tak acuh terhadap masa depan
6. Gangguan curiga, kecenderungan membela diri atau rasa kebesaran
7. Gangguan bingung dan delirium dengan gangguan orientasi dan hallusinasi.
1. Teori Somatogenik
(1) Keturunan :diturunkan melalui gen yang resesif
:sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, Kehamilan dan puerperium
: Mungkin disebabkan oleh kesalahan metabolisme (inborn error of metabolism)
pusat : Diduga ada kelainan susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan gangguan neurotransmitter
2. Teori Psikogenik
(1) Adolf Meyer : suatu kondisi mal-adaptasi
(2) Sigmund Freud : adanya kelemahan ego
(3) Eugen Bleuler : adanya jiwa yang terpecah belah atau disharmoni
(4) Stres psikologik : adanya persaingan antara saudara kandung, hubungan yang kurang baik dalam keluarga, pekerjaan dan Masyarakat
3. Teori Sosiogenik
(1) Keadaan sosial ekonomi
(2) Pengaruh keagamaan
(3) Nilai-nilai moral dan lain-lain
4.Akhirnya muncul teori yang menganggap bahwa skizofrenia dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, meliputi ketiga teori diatas ( Pandangan holistik)
(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1997).
1. Gejala-gejala primer
(1) Gangguan proses pikiran
(2) Gangguan emosi
(3) Gangguan kemauan
(4) Gangguan otisme
2. Gejala-gejala sekunder
(1) Waham
(2) Hallusinasi
(3) Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun 1993, yaitu :
F 20. 0 Skizofrenia paranoid
F 20. 1 Skizofrenia hebefrenik
F 20. 2 Skizofrenia katatonik
F 20. 3 Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
F 20. 4 Skizofrenia pasca-skizofrenia
F 20. 5 Skizofrenia residual
F 20. 6 Skizofrenia simpleks
F 20. 7 Skizofrenia lainnya
F 20. 8 Skizofrenia YTT
Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro (1967) membuat diagnosa skizofrenia dengan memperlihatkan gejala-gejala pada tiga buah koordinat, yaitu :
(1) Koordinat pertama (intinya organobiologik)
Yaitu :Otisme, gangguan afek dan emosi, gangguan assosiasi(proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan), gangguan aktivitas (abulia atau kemauan yang
menurun) dan gangguan konsentrasi.
Yaitu :gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepribadian dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan
psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan
(WF Maramis, 2004)
PROGNOSA
Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan
menuju kemunduran mental (deteriorasi mental).
Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya harus diragukan.
Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bahwa bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira
sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali ( Full remission atau recovery), sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih harus
sering diperiksa dan diobati selanjutnya (Social recovery), sepertiga sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi
didalam masyarakat dan menuju
kekemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di Rumah Sakit Jiwa.
Untuk menetapkan prognosa, kita harus mempertimbangkan semua faktor dibawah ini :
1. Kepribadian Pre-psikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul
secara akut, maka prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
2. Jenis skizofrenia : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari pada semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleksmemiliki prognosa yang sama
jelek.
3. Umur : Semakin muda umur permulaannya, semakin jelek prognosanya
4. Pengobatan : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik prognosanya
5. Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
PENGOBATAN
Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju
kekemunduran mental.
Terapis jangan melihat kepada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu makhluk yang aneh dan inferior.
Keluarga atau orang lain dilingkungan penderita diberi penerangan (manipulasi lingkungan) agar mereka lebih sabar menghadapinya.
Macam-macam pengobatan
1. Farmako terapi
2. Terapi elektro- konvulsi (TEK)
3. Terapi koma insulin
4. Psikoterapi dan rehabilitasi
5. Lobotomi Prefrontal
Farmakoterapi
Dari sudut organobiologi sudah diketahui bahwa padaskizofrenia (dan juga gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi neurotransmitter sel-sel
susunab saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang mengakibatkan gangguan proses pikiran, alam perasaan dan perilaku
sebagaimana yang telah diuraikan pada bab III : gejala klinis skizofrenia. Oleh karena itu obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan
fungsi neurotransmitter tadi, sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati
(Dadang Hawari, 2001)
(2). Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi ) 1-2 kali / sehari
- Flupenazin HCL : 5 10 mg (per-os)
- Flupenazin depo : 25 mg /4 minggu (intra musculer)
- Trifluoperazin : 3 20 mg (per-os)
- Haloperidol : 5 15 mg(per-os)
- Pimozid : 2 8 mg (per-os)
(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1994)
(3). Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Tidak lebih unggul dibandingkan dengan obat-obatan, tetapi bila diberikan bersama-sama akan lebih mempercepat proses penyembuhan.
(Maramis, 2004)
(4). Terapi Koma insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan penyakit, hasilnya memuaskan. Prosentase kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam
waktu 6 (enam) bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
(WF Maramis, 2004)
diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan atau masalah teratasi.
Klien (Penderita)
Diketahui bahwa klien yang gagal minum obat dengan teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Menurut hasil penelitian menunjukkan 25 % sampai 50
% klien dari RS Jiwa tidak memakan obat dengan teratur (Appleton, 1982 yang dikuti Sullinger, 1988). Klien kronis sulit memakan obat karena adanya
gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan.
Dokter sebagai pemberi resep
Memakan obat dengan teratur dapat menekan terjadinya kekambuhan. Namun pemakaian neuroleptika yang lama dapat menyebabkan efek samping Tardive
diskenia yang bisa mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
Setelah klien pulang dari perawatan di Rumah Sakit, maka yang bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah adalah perawat Puskesmas.
Penanggung jawab klien mempunyai banyak waktu untuk bertemu klien, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan
Keluarga
Dalam penelitian Snyder (1981) dan Vaugh (1976), memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi Para penderita gangguan jiwa di negara kita masih
menjadi golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah, adanya stigma negatif terhadap para penderita,
ketertutupan pihak keluarga terdekat akibat perasaan malu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus kita perbaiki, jelasnya.
Perawatan psikososial yang tinggi diperkirakan terjadi kekambuhan dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57 % dirawat oleh keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi dan 17 % dengan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi rendah. Dengan terapi keluarga diharapakan dapat menurunkan ekspresi emosi yang
tinggi. ( Budi Anna Kelliat, 1997).
Untuk itu, dr Widya menjelaskan perlu dilakukan perawatan intensif dengan pendekatan kekeluargaan (psikososial). Terapi jenis itu, lanjutnya, menekankan
peran aktif anggota keluarga dan Iingkungan sekitar dalam interaksi dengan pasien. Namun untuk mencapai kondisi ini, pasien harus terlebih dulu menjalani
terapi lain, seperti pemberian obat yang teratur hingga terapi kejang listrik (ECT).
Dokter Widya meminta agar tidak membiarkan pasien berada sendirian atau diganggu oleh ejekan lingkungannya. Pasien sebaiknya dilibatkan dalam
pembicaraan yang menarik minatnya, atau berikan keleluasaan untuk menyalurkan bakat dan hobinya.
Hal terpenting adalah jangan biarkan faktor penyebab stres menimpa mereka. Kita harus memasukkan perawatan dan rehabilitasi penyakit jiwa ini ke dalam
program prioritas kesehatan masyarakat. Harus juga diupayakan supaya program jaminan sosial kesehatan masyarakat miskin (askeskin) mencakup pelayanan
untuk para penderita gangguan jiwa. Hal ini harus kita lakukan sebagai bagian dan upaya mencapai derajat kesehatan komprehensif secara fisil, mental, dan
sosial, tambah Fachmi. (*/S-4)
GANGGUAN PSIKOTIK
- Dasar organik
(-)
GANGGUAN NEUROTIK