You are on page 1of 10

GUILLAN BARRE

Manfaluthy Hakim

Kepala Divisi Neurofisiologi Klinik Dan Penyakit Neuroamuskuar

Departemen Neurologi FKUI- RSCM, Jakarta

Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan kelainan saraf perifer yang
menyebabkan kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris yang diperantarai mekanisme
imunologi. Kasus GBS pertama kali dilaporkan pada tahun 1859 oleh Jean Baptiste Octave Landry
de Thezillat. Landry de Thezillat melaporkan sepuluh pasien dengan paralisis asenden. Istilah
paralisis asenden Landry digunakan hingga 1876. 2

EPIDEMIOLOGI

Insiden GBS berkisar 0.6-1.9 per 100.000 popu-lasi dan angka tersebut hampir sama di semua
negara. GBS dapat dialami pada semua usia dan ras. Dengan usia antara 30-50 tahun merupakan puncak
insiden GBS, jarang terjadi pada usia ekstrim. Laki-laki kulit putih sedikit lebih sering mengalami
GBS.2

Etiologi

Pada tahun 1976 terjadi peningkatan kasus GBS lima kali lipat setelah program vaksinasi influenza babi.
Tetapi asosiasi tersebut masih kontroversial. Hubungan risiko GBS dengan imunisasi lainnya belum
dapat dipastikan. Sekitar 1-4 minggu sebelum onset GBS terjadi sindrom viral akut atau manifestasi
penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang lebih singkat atau lama masih dapat terjadi
sebagai variasi antar individu. Pada saat onset GBS dimulai biasanya infeksi antesenden telah
berakhir. Infeksi yang sering mendahului GBS adalah infeksi saluran respirasi dan saluran pencernaan.
Kondisi antesenden yang berkaitan dengan GBS, yaitu infeksi virus (Cocksackie, CMV, Echo, EBV, virus
hepatitis A dan B, HSV, vi-rus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza, Rubella, Mumps, Measles),
infeksi bakteri (Borre-lia burgdorferi, Campylobacter jejuni, Legionella pneumoniae, Mycoplasma
pneumonia, Shig-ella, Typhoid, Brucellosis, Yersinia enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit
Addison, limfoma Hodgkin, leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat
terutama tumor paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan
vaksinasi).2,3 Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang mendahului GBS
dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV antesenden lebih sering mengenai individu usia
muda dengan manifestasi GBS yang lebih berat, kegagalan respirasi, gangguan sensorik promi-nen,
keterlibatan saraf kranial, dan peningkatan antibodi terhadap gangliosida GM2.2 Infeksi C. Jejuni
merupakan infeksi bakteri yang paling banyak mendahului GBS terutama strain Penner 19 dan Lior 11.
Sebelum onset GBS, indi-vidu mengalami demam, diare cair, dan nyeri perut. Sekitar 30% kasus
GBS hanya disertai bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serolo-gi tanpa manifestasi enteritis. GBS
terkait infeksi C. Jejuni mengalami proses pemulihan lebih lama, kerusakan aksonal yang lebih
ekstensif, dan adanya antibodi gangliosida GM1. Lipopo-lisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan
dengan epitop gangliosida saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga-1NAc-GD1a) sehingga terjadi mimikri molekular
pada keduanya, antibodi yang dirancang untuk mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi pada
sistem saraf perifer.2 Infeksi antesenden M. pneumonia dengan gejala batuk nonproduktif, demam,
dan sakit kepala terjadi pada 5% kasus GBS. Penyakit Lyme yang disebabkan oleh B. burgdorferi
merupakan penyebab polineuropati sensori motor aksonal kronik, poliradikulitis yang nyeri
(Bannwarth Syndrome), diplegia fasial akut yang menyerupai GBS tetapi adanya polineuritis pas-ainfeksi
dan asosiasinya dengan GBS masih belum jelas. Pada infeksi HIV terjadi gambaran pleositosis
limfositik CSF yang berbeda dengan gambaran klasik disosiasi sitoalbumin. Kondisi lain noninfeksi
lebih banyak berkaitan dengan CIDP. GBS juga dikaitkan dengan pascaoperasi. Beberapa kasus
memang terbukti terjadi pas-caoperasi sedangkan lainnya lebih disebabkan oleh polineuropati pada
keadaan kritis yang dis-ebabkan oleh kegagalan multiorgan dan sepsis. Asosiasi GBS dengan trauma,
medikasi tertentu, dan vaksinasi selain influenza belum jelas.2

Patogenesis dan Patofisiologi

Patofisiologi GBS melibatkan konsep imunopa-togenesis baik selular maupun humoral. GBS diduga
oleh karena suatu fenomena mimikri molekular, yaitu sistem imun yang seharusnya mengeradikasi
agen infeksi juga ikut mengin-vasi jaringan sendiri akibat kemiripan epitop.4 Pada eksperimen yang
menggunakan hewan coba, beberapa hari pasca dilakukan imunisasi jaringan saraf perifer autolog
dan ajuvan Freud (material yang menginduksi respon imun) terja-di paralisis progresif dengan gambaran
patologi inflamasi endoneurial dan demielinisasi yang menyerupai GBS. Prosedur tersebut menghasil-
kan sensitisasi terhadap protein P2, fenomena tersebut dinamakan Experimental Allergic Neuritis
(EAN).4 dimana respon inflamasi tersebut dimediasi oleh sel T yang mentarget mielin. Pada GBS,
antigen dari agen infeksi antesenden berinteraksi dengan sel APC (Antigen Presenting Cell) sehingga sel
APC mengekspresikan molekul MHC kelas II. Sel APC akan mengaktifkan sel T yang juga akan
mengekspresikan MHC ke-las II yang serupa. Karena antigen agen infeksi antesenden memiliki epitop
yang mirip dengan antigen saraf tepi maka terjadi mimikri molekular, sehingga terjadi invasi juga ke
jaringan saraf perifer. Sel T aktif akan merusak sawar darah saraf sehingga mentarget antigen
endoneurial dan melepaskan sitokin inflamasi, seperti IL-2 dan TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di
serum dan IL-6 serta TNF- di CSF merupakan bukti aktivasi imun selular. Pelepasan sitokin inflamasi
akan merekrut makrofag untuk menginvasi mielin. Selain itu juga terjadi invasi makrofag. Inflamasi
paling intens terjadi pada area perivaskular dan adiks spinal dimana terjadi invasi sel imun.2

Patofisiologi GBS juga melibatkan sistem imun humoral. Injeksi serum dari pasien GBS yang
ditransfer ke saraf perifer hewan coba mengin-duksi demielinisasi lokal. Koski et al mendemon-
strasikan peningkatan level antibodi antimielin komplemen berhubungan dengan aktivitas penyakit
pada pasien GBS. Peneliti lainnya ber-hasil mendemonstrasikan deposisi komplemen di permukaan
luar sel Schwann melalui imu-nositokimia. Keberadaan kompleks komplemen terminal (C5b-9)
berkaitan dengan perubahan vesikular pada lamela mielin terluar yang ter-jadi sebelum invasi sel
T dan makrofag.

Pada GBS dengan keterlibatan aksonal yang prom-inen, produk aktivasi komplemen (C3d) berika-
tan dengan aksolema akson motorik dan pada kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan diruang
periaksonal internodal.2

Target invasi sistem imun adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks glikosfingolipid yang terdiri dari
satu atau lebih residu asam sialat. Gangliosida berperan dalam interaksi antar-sel (akson dan sel
glia), modulasi reseptor, dan regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat di membran sel sehingga
rentan terhadap pa-paran sistem imun. Gangliosida terdistribusi luas pada jaringan saraf terutama
pada nodus Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama an-tibodi antiGM1, banyak terdapat pada kasus
GBS (20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C. jejuni. Terdapat kesamaan struktur dan reaksi
ilang antara glikolipid C. jejuni dengan gang-liosida.4

Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi GBS bervariasi dan distribusinya menjelaskan varian
varian GBS. Antigen yang dieskpresikan oleh saraf tepi adalah gangliosida (GM1, asialo-GM1, GQ1b,
GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya pada saraf tepi menjelaskan patofisiologi var-ian GBS.
Tabel di bawah memaparkan antibodi yang terlibat pada berbagai varian GBS. Sin-drom Miller-
Fisher berkaitan dengan antibodi IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat di saraf motorik
ekstraokular dibandingkan di saraf motorik ekstremitas sehingga men-jelaskan manifestasi Sindrom
Miller-Fisher. Anti-bodi monoclonal anti-GQ1b yang diinduksi oleh C. jejuni juga memblok transmisi
neuromuskular secara eksperimental.2

Patofisiologi GBS meliputi demielinisasi (paling banyak) dan gangguan aksonal (pada beberapa varian)
yang menjelaskan manifestasi motorik dan sensoriknya. Pada demielinisasi, integri-tas aksonal intak
sedangkan mielin mengalami kerusakan sehingga didapatkan blok konduksi, penurunan kecepatan
hantar saraf, dan normal-nya amplitudo secara elektrofisiologi. Pemulih-an dapat terjadi cepat
seiring dengan proses remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat ter-jadi degenerasi aksonal
sekunder yang tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan pemulihan yang lambat dan
disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat terjadi secara primer. Prognosis pada tipe tersebut dapat
baik apabila gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi mudah terjadi atau reinervasi
dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih cukup baik
1. Fact, News, and General Information about Guillain-Barre Syndrome. [cited pada 2011 Aug 21].
Available from: http://www.guillainbarresyndrome.net/history-of-guil-lain-barre-syndrome/.

2. Gorson KC, Ropper AH. Guillain-Barre Syndrome (Acute Inflammatory Demyelinating


Polyneuropathy) and re-lated disorders. In: Katirji B et al, editors. Neuromuscular disorders in
clinical practice. Boston:Butterworth Hein-emann; 2002.p.544-60

3. Davids HR. Guillain-Barre syndrome. [cited on 2011 Aug 17]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#showall

4. Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and Other Immune-Mediated Neuropathies. In:
Hauser SL, ed. Har-risons Neurology in clinical medicine. New York:McGraw-Hill; 2006.p.517-26

5. Levin KH. Variants and Mimics of Guillain-Barre Syndrome. Proceedings of the 62nd AAN Annual
Meeting, Toronto, Kanada; 2010

6. Hughes RAC et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barre syndrome: Report of the
quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology 2003; 61:736

7. National Guideline Clearinghouse. Practice Parameter: immunotherapy for Guillain-Barre


Syndrome: report of the quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology.
[cited on 2011 Aug 20]. Available: http://www.guideline.gov/content.aspx?id=4110

Peran Heat Shock Protein 47 sebagai Faktor Prediktor


Prognosis Experimental Autoimmune NeuritisStudi eksperimental untuk mempelajari perjalanan
penyakit Sin-drom Guillain Barre menggunakan mencit Mus musculus Balb/C
Ruslan Muhyi
Bagian Anak RSUD Ulin Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
(Sari Pediatri 2009;10(5):296-301).

Pada saat sel Schwann menerima stresor dari luar yaitu berupa myelin protein akan terjadi proses
seleksi pada sel T yaitu autoreactive pada sel T. Proses autoreactive ini menyebabkan sel T
berdiferensiasi menjadi VE sel T dan GS sel T, Pemilihan diferensiasi sampai saat ini belum jelas
mekanismenya tapi mempunyai implikasi yang sangat berbeda. Saat terjadi diferensiasi ke arah SBsel T
tersebut bersifat self sehingga dikenali oleh sistem imun dan akan dieliminasi (di-apoptosis) dari tubuh.
Sedangkan GS sel T bersifat non self artinya tubuh tidak mengenali dan ini sangat berbahaya, oleh
karena akan terjadi reaksi merusak jaringan tubuh sendiri berupa reaksi autoimun.18 Pada saat terjadi
reaksi autoimun mielin yang dibentuk oleh sel Schwann akan mengalami autoreaksi sehingga terjadi
demielinisasi.

The Guillain Barre syndrome:


a true case of molecular mimicry
C. Wim Ang1, Bart C. Jacobs2,3 and Jon D. Laman3
1Department of Medical Microbiology and Infectious Diseases, Erasmus MC, Dr. Molewaterplein 40,
3015 GD Rotterdam,
The Netherlands2Department of Neurology, Erasmus MC, Dr. Molewaterplein 40, 3015 GD Rotterdam,
The Netherlands3Department of Immunology, Erasmus MC, P.O. Box 1738, 3000 DR Rotterdam, The
Netherlands

Mimikri molekuler adalah pengakuan struktur ganda dari mikroba dan host oleh reseptor
sel B- atau T-tunggal (TCR). Dengan demikian, mimikri molekuler adalah mekanisme dimana infeksi akan
memicu reaksi silang sel T yang menyebabkan gejala penyakit autoimun.
Reaksi silang ini dapat dibedakan menjadi 5 tingkat:
1. Proses saling berbagi urutan asam amino yang identik dan urutan asam amino homolog tetapi non-
identik. Hal ini merupakan mekanisme paling terkenal
2. Pengenalan urutan peptida non-homolog oleh BCR atau TCR tunggal, karena reseptor sel B dan sel T
memperlihatkan degerasi yang berat
3. sel T tunggal dapat mengenali peptida yang berbeda dalam molekul antigen leukosit manusia yang
berbeda (HLA/human leukocyte antigen)
4. reseptor imunologi mengenali kesamaan struktural dalam struktur molekul kompleks dan ikatan ini
tidak harus didasarkan pada klasifikasi biokimia
5. peptida yang terikat oleh antibodi atau sel T diarahkan terhadap antigen yang tidak terkait,
misalnya, karbohidrat, menunjukkan bahwa reaktivitas silang dapat disebabkan oleh molekul
biokimia yang berbeda
Berdasarkan proses reaksi silang diatas, 4 kriteria dapat menjelaskan proses mimikri
molekuler
1. hubungan antara agen infeksi dengan immune-mediated disease
Pasien SGB dilaporkan menderita infeksi beberapa minggu sebelum munculnya gejala neurologis.
Campilobacter jejuni telah terbukti secara invitro dapat memicu terjadinya SGB. Infeksi lain yang
juga dapat menjadi pencetus SGB adalah virus herpes seperti cytomegalovirus danvirus Epstein
Barr serta pathogen yang menular melalui udara seperti Mycoplasma pneumoniae
2. identifikasi sel T atau antibody terhadap antigen penjamu/pasien
sel T atau antibody harus memiliki efek patogen yang telah terbukti secara in vivo dan in vitro.
Beberapa proses molekuler telah berusah menjelaskan proses ini
a. ditemukannya auto-antibodi terhadap gangliosida penjamu
auto-antibodi terhadap gangliosida paling banyak ditemukan pada membrane sel saraf(gambar-
1)
Gangliosida merupakan asam sialic yang mengandung glikolipid, dan banyak ditemukan dalam
system saraf. Gangliosida, yang terdiri dari ceramid dengan satu atau lebih gula (heksosa)
berikatan dengan inti oligosakarida, merupakan komponen penting dari saraf perifer.
Gangliosida berfungsi sebagai reseptor untuk racun bakteri dan memiliki fungsi dalam transduksi sinyal.
Infeksi C. jejuni akan memicu antibodi terhadap gangliosida GM1, GM1b, GD1a dan GaINAc-
GD1a. sedangkan cytomegalovirus brhubungan dengan terbentuknya antibodi terhadap GM2, sementara
infeksi M. pneumonia membentuk reaksi antibodi terhadap galactoserebrosida. Perbedaan. Antibody
GM1, GM1b GD1a and GalNAc-GD1 akan menimbulkan gejala SGB hanya pada saraf motoric, sedangkan
antibody terhadap gangliosida GQ1b berhubungan dengan sindrom miller-fisher. Sindrom Miller-fisher
adalah bagian dari SGB dimana hanya menyerang persarafan untuk pergerakan otot mata. Oleh karena
itulah antibody yang terbentuk sangat berhubungan dengan gejal klinis yang akan muncul.
Isotope antibody gangliosida pada SGB tidak hanya IgM tetapi juga IgA dan IgG. Antibody IgG
mempunyai kadar titer yang tinggi.
b. Auto-antibodi gangliosida adalah neuropatogen
Antibodi anti-ganglioside monoklonal dan poliklonal akan berikatan dengan permukaan sel
Schwann, nodus Ranvier dan akson di saraf perifer, tergantung pada spesifisitas antibodi anti-gangliosida.
Antibody monoklonal dan poliklonal anti-GQ1b dan anti-GD3 mengganggu fungsi dan integritas terminal
saraf motorik. Efek ini dapat diblokir dengan pemberian imunoglobulin intravena. Selain itu anti-
gangliosida akan memblokir fungsi saluran ion dan mengganggu barrier darah saraf. Antibodi
ganglioside akan memodulasi sistem kekebalan tubuh menggunakan gangliosida yang telah dilengkapi
dengan susunan lipid dan reseptor Fc. Kehadiran gangliosida autoantibodi yang bersifat neuropathogenic
pada pasien GBS memenuhi kriteria identifikasi sel T atau antibodi terhadap antigen host.
3. Identifikasi proses mikroba meniru antigen target
Lipo-oligosakarida yang terdapat diluar dinding sel C. jejuni mengandung struktur yang
mampu meniru gangliosida. (gambar 2)

Terbentuknya IgG, IgM, dan IgA antibody antigangliosida dipicu oleh adanya infeksi C.
jejuni. Beberapa strain tertentu memiliki potensi yang lebih besar untuk menimbulkan komplikasi
neurologis, dan hal ini berhubungan dengan terdapatnya gen khusu dalam lokus saat biosintesi LOS.
Pada pasien dengan enteritis campylobacter tanpa komlikasi terbukti tidak ditemukannya rekasi silang
dengan titer yang tinggi antara antigangliosida dan antibody LOS. Sehinggan ditemukannya LOS C, jejuni
telah memperjelas adanya proses mimikri molekuler.
4. Perkembangan SGB pada hewan
Pada hewan, Imunisasi dan infeksi C.jejuni atau LOS yang telah dimurnikan akan
menimbulkan reaksi silang antara antigangliosida dan respon LOS. Spesifisitas antibody antigangliosida
pada hewan hampir sama dengan yang ditemukan pada pasien GBS. Hal ini memperkuat alasan
autoantibodi gangliosida pada manusia dapat dicetuskan oleh prose mimikri molekuler antara LOS
campylobacter dengan gangliosida. Hal ini akan menimbulkan gejala neuropati, perubahan
elektrofisiologi dan histopatologi pada pasien SGB.

You might also like