You are on page 1of 27

ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY DAN

KRITIS PADA KEGAWATAN INTEGUMEN:


COMBOSTIO DAN VULNUS

OLEH:
DANI OKTA (010215A011)
DARMIATI(010215A012)
DARYATI (010215A013)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
2016
COMBOSTIO

A. Pengertian
. Menurut Carrougher (dalam Black dan Hawks, 2009) luka bakar adalah
cedera yang terjadi dari kontak langsung maupun paparan terhadap sumber panas,
kimia, listrik, atau radiasi.
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi
(Moenadjat, 2003). Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya
bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan
luka bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam
menyebabkna kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan dengan sumber panas
menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak,
semakinluas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi.
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun
tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan
kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya
tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidayat,
2004)

B. Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu panas kepada
tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi electromag. Destruksi
jaringan dapat terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel.
Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan
yang dalam, termasuk organ visera dapat mengalami kerusakan karena luka bakar
elektrik atau kontak yang lama dengan agen penyebab (burning agent).

Secara garis besar penyabab luka bakar menurut Carrougher (dalam Black
dan Hawks (2009) dapat berupa:
1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns)
Luka bakar termal biasanya disebabkan oleh air panas (scald) , jilatan api ke
tubuh (flash), kobaran apai di tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak
dengan objek-objek panas lainnya (misalnya plastik logam panas, dll.)
2. Luka Bakar Kimia (Chemical Burns)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering
dipergunakan untuk keperluan rumah tangga.
3. Luka Bakar Listrik (Electrical Burns)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan ledakan.
Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi
paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah,
khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal.
Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan
sumber arus maupun ground.
4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injuri ini sering disebabkan oleh penggunaan radioaktif untuk keperluan
terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi
5. Cedera inhalasi
Paparan terhadap gas asfiksia misalnya karbon monoksida dan asap pada
umumnya terjadi pada cedera api, khususnya bila korban terperangkap dalam
ruang yang tertutup dan penuh asap. Perubahan patofisiologi pulmonal yang
terjadi pada cedera inhalasi bersifat multifactor dan berhubungan dengan
keparahan dan jenis gas atau asap yeng terhirup. Cedera unhalasi
meningkatkan risiko mortalitas 7 kali setelah ukuran cedera luka bakar pada
kulit dan factor klinik serta demografi lainnya ditentukan.

C. Klasifikasi
Keparahan luka bakar diklasifikasikan berdasarkan risiko kematian dan
risiko cacat fungsional ataupun kosmetik. Adapun yang mempengaruhi keparahan
cedera menurut Carrougher (dalam Black dan Hawks, 2009):
1. Kedalaman luka bakar
Klasifikasi luka bakar menurut Baughman (2000) berdasarkan kedalamannya
adalah sebagai berikut:
a. Luka bakar derajat I (luka bakar superficial)
Kedalaman : ketebalan partial superficial atau epidermis
Penyebab : jilatan api, sinar ultraviolet (terbakar matahari)
Penampilan : kering tidak ada gelembung, oedema minimal atau tidak
ada, pucat bila ditekan dengan ujung jari, berisi kembali bila tekanan
dilepas.
Warna : bertambah merah
Perasaan : nyeri
b. Luka bakar derajat II (ketebalan parsial)
Kedalaman : lebih dalam dari ketebalan partial, superficial termasuk
epidermis dan dermis
Penyebab : kontak dengan bahan air atau bahan padat, jilatan api
kepada pakaian, jilatan langsung kimiawi, sinar
ultraviolet.
Penampilan : blister besar dan lembab yang ukurannya bertambah
besar, pucat bila ditekan dengan ujung jari, bila tekanan
dilepas berisi kembali.
Warna : berbintik yang kurang jelas, putih, coklat, merah muda
dan merah coklat.
c. Luka bakar derajat III (ketebalan penuh)
Kedalamam : ketebalan sepenuhnya meliputi epidermis, dermis dan
terkadang sampai subkutan.
Penyebab ; kontak dengan bahan cair atau padat, nyala api, kimia,
kontak dengan arus listrik.
Penampilan : kering disertai kulit mengelupas, pembuluh darah seperti
arang terlihat ddibawah kulit mengelupas, gelembung
jarang, dinding sangat tipis, tidak membesar, tidak pucat
bila ditekan.
Warna : putih, kering, hitam, coklat tua, hitam, merah.
Perasaan : tidak sakit, sedikit sakit, rambut mudah lepas bila dicabut.
2. Ukuran luka bakar
Penentuan tentang berapa besar area permukaan yang terkena dicapai denga
salah satu dari metode berikut:
a. Rule of Nine (aturan Sembilan)
Suatu perkiraan dari luas permukaan tubuh yang terbakar dengan membagi
tubuh kedalam kelipatan Sembilan

b. Metode Lund dan Browder


Metode pengukuran yang lebih persis untuk menentukan luas permukaan
tubuh yang terbakar yang mengenai presentase luasnya permukaan dari
berbagai bagian anatomis (kepala dan tungkai) perubahan sejalan dengan
pertumbuhan.

c. Metode telapak tangan (palm)


Metode untuk memperkirakan presentase penyebaran luka bakar,
menggunakan ukuran telapak tangan pasien (mendekati 1% dari luas
permukaan tubuh) untuk mengkaji luas cedera luka bakar.
3. Lokasi luka bakar
Lokasi luka bakar dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan. Komplikasi
paru sering terjadi pada luka bakar kepala, leher, dan dada. Ketika luka bakar
melibatkan wajah, cedera berkaitan dengan abrasi kornea. Luka bakar telinga
rentan terhadap kondritis aurikularis, infeksi aurikularis dan kehilangan
jaringan lebih lanjut. Luka bakar yang melibatkan area perinrum rentan
terhadap infeksi karena autokotaminasi oeh urin dan feses. Luka bakar
sirkumferensial pada ekstremitas dapat menghasilkan efek deperti turniket,
menyebabkan gangguan distal. Luka bakar toraks sirkumrefensial dapat
menyebabkan ekspansi dinding dada yang kurang adekuat dan insufisiensi
paru.
4. Berat ringannya luka bakar
American college of surgeon membagi dalam:
a. Parah/ critical
1) Luka bakar derajat III pada wajah, tangan, kaki, kemaluan, sendi atau
saluran nafas.
2) Luka bakar derajat III > 10% dan ulka bakar derajat II > 30% pada
pasien dewasa.
3) Luka bakar derajat II atau III > 20% (bayi dan anak)
4) Cedera inhalasi dan luka bakar elektrik
5) Luka bakar dengan cedera penyerta dan luka bakar pada pasien dengan
resiko tinggi.
b. Sedang/ moderate
1) Luka bakar derajat II 2% s.d. 10% tidak mengenal muka, tangan, kaki,
dan perineum.
2) Luka bakar derajat II 15% s.d. 30%
3) Luka bakar derajat II 10% s.d. 20% pada bayi dan anak
4) Luka bakar derajat 1 > 50%
c. Ringan/ minor
1) Luka bakar derajat III < 2% tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum.
2) Luka bakar derajat II < 15%
3) Luka bakar derajat II <10% pada bayi dan anak
4) Luka bakar derajat I <50%

D. Patofisiologi
Perubahan patofisiologis yang terjadi setelah cedera luka bakar kulit
bergantung pada luas atau ukuran luka bakar. Pada luka bakar yang luas misalnya
meliputi 25% atau lebih total area permukaan tubuh, tanggapan tubuh terhadap
cedera bersifat sistemik dan sebanding dengan luas cedera. Perubahan yang terjadi
pada pasien dengan luka bakar diantaranya adalah:
1. Cedera langsung pada kulit
Panas dari sumber eksternal dihantarkan ke kulit dan menghancurkan jaringan.
Besarnya kerusakan bergangung pada lama paparan panas dan suhunya. Pada
suhu yang berkelanjutan antara 400 hingga 440, berbagai sistem enzim selular
dan sistem sistem selular rusak. Pompa natrium kalium rusak, yang
menyebabkan terjadinya edema selular.
2. Pergesaran cairan
Segera setelah cedera luka bakar, zat vasoaktif (katekolamin, histamine,
serotonin, leukotrien, kinin dan prostaglandin) dilepaskan dan jaringan yang
cedera. Zat tersebut mengawali perubahan pada integritas kapiler membuat
plasma merembes ke jaringan sekitarnya. Kerusakan langsung terhadap
pembuluh darah akibat panas juga lebih lanjut meningkatkan permeabilitas
kapiler yang memungkinkan ion natrium untuk msuk ke dalam sel dan ion
kalium untuk keluar. Efek secara keseluruhan dari perubahan ini adalah
terciptanya gradient osmitik, yang menyebabkan meningkatnya cairan
interselular dan intertisial yang lebih lanjut mengurangi volume cairan
intravascular dan akhirnya berpengaruh terhadap pasokan darah ke organ-organ
lain.
3. Sistem pulmonal
Setelah resusitasi cairan, peningkatan volume pernafasan dimanifestsikan
sebagai hiperventilasi, terutama terjadi pada pasien dengan ketakutan, cemas,
atau merasa nyeri. Tahanan vaskuler pulmonal dapat sedikit meningkat dan
complains paru mungkin menurun. Perubahan pada complain paru
menyebabkan peningkatan sebanding pada kerja pernafasan. Namun,
perubahan ini biasanya sedikit, dan bila tidak ada kerusakan parenkim paru,
perubahan ini tidak membutuhkan penanganan khusus.
4. Depresi miokardium
Factor depresi miokardium terjadi pada cedera yang lebih luas dan bersirkulasi
pada periode pascacedera dini. Depresi pada curah jantung yang signifikan dan
sertamerta terjadi, bahkan sebelum volume plasma yang beredar berkurang,
menunjukan respon neurogenik terhadap beberapa zat yang beredar. Penurunan
curah jantung ini sering berlanjut dalam beberapa hari bahkan setelah volume
plasma telah kembali dan keluaran urin kembali normal.
Pathway luka bakar

E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Konservatif
a. Pre Hospital
1) Mematikan api, jika pakaian turut terbakar api dimatikan dengan
menggulingkan tubuh di lantai atau tanah (drop and roll) jika sumber
luka bakar adalah listrik maka listrik harus dipadamkan.
2) Mendinginkan luka, daerah yang terbakar dan pakaian yang menempel
harus dibasahi dengan air untuk mendinginkan dan menghambat proses
perjalanan luka. Kompres dingin akan mengurangi rasa sakit dengan
segera dan membatasi edema serta kerusakan jaringan setempat. Namun
tidak boleh dilakukan selama lebih dari beberapa menit dengan air es
atau kasa yang direndam dengan air es karena dapat memperparah
jaringan yang rusak dan menimbulka hipotermi.
3) Melepas benda penghalang, untuk mencegah terjadinya konstriksi
sekunder akibat edema yang timbul dengan cepat.
4) Menutup luka bakar, luka bakar harus ditutup secepat mungkin untuk
memperkecil kemungkinan kontaminasi bakteri dan mengurangi rasa
sakit dengan mencegah aliran udara. Kasa steril merupakan pilihan
ynag tepat.
5) Mengirigasi luka bakar kimia, dibilas dengan air mengalir. Jika bahan
kimia masuk ke mata, maka bagian ini harus segera dicuci dengan air
bersih yang sejuk.
b. Penatalaksanaan medis darurat
1) Resusitasi A, B, C
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma,
karenanya harus dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih
dahulu. Untuk cedera paru yang ringan, udara pernafasan dilembabkan
dan pasien didorong supaya batuk sehingga sekret saluran bisa
dikeluarkan dengan penghisapan. Jika situasi lebih parah diperlukan
pengeluaran sekret saluran nafas dengan penghisapan bronkus dan
pemberian bronkodilator.
Jika terjadi edema pada saluran nafas, intubasi endotrakeal
mungkin merupakan indikasi. Continous positive airway pressure dan
ventilasi mekanis mungkin pula diperlukan untuk menghasilkan
oksigenasi yang adekuat.
Setelah status respirasi dan sirkulasi adekuat, luka bakar hars
segera ditangani. Evaluasi luka bakar, menilai luka bakar, menentukan
prioritas dan mengarahkan rencana penanganannya menurut kondisi
masing-masing. Lakukan pembersihan eksudat dan debris dengan
prinsip steril. Lakukan pemasangan kateter vena sentral agar pemberian
cairan infuse dalam jumlah yang besar dapat dilakukan dengan cepat
sementara tekanan vena sentral bisa dimonitor. Jika luas luka bakar
lebih dari 20% atau bilamana pasien merasa mual, selang nasogastrik
dapat dipasang dan dihubungkan dengan alat penghisap untuk
mencegah ileus paralitik.
Kateter urin indwelling dipasang untuk memantau keluaran urin
dan faal ginjal yang lebih akurat.
2) Resusitasi Cairan
Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan
pada penderita luka bakar yaitu :
a) Cara Evans
Untuk menghitung kebutuhan pada hari pertama hitunglah:
i. Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Nacl
ii. Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc larutan koloid
iii. 3.2000cc glukosa 5%
Separuh dari jumlah i, ii, iii diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua
diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan yang diberikan hari kedua.
Sebagai monitoring pemberian lakukan penghitungan diuresis.
b) Cara Baxter
Merupakan cara lain yang lebih sederhana dan banyak
dipakai. Jumlah kebutuhan cairan pada hari pertama dihitung
dengan rumus :
Baxter = % luka bakar X BB (kg) X 4cc
Separuh dari jumlah cairan yang diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama
diberikan elektrolit yaitu larutan ringer laktat karena terjadi
hiponatremi. Untuk hari kedua diberikan setengah dari jumlah
pemberian hari pertama.
3) Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar
Terdapat dua jenis perawatan luka selama dirawat di bangsal yaitu :
a) Perawatan terbuka
Yakni luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa
balutan dan diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan
untuk daerah yang sulit dibalut seperti wajah, perineum, dan lipat
paha.
Keuntungan :
Waktu yang dibutuhkan lebih singkat
Lebih praktis dan efisien
Bila terjadi infeksi mudah terdeteksi
Kerugian :
Pasien merasa kurang nyaman
b) Perawatan tertutup
Yakni penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah diberikan
obat topical.
Keuntungan:
Luka tidak langsung berhubungan dengan udara ruangan
(mengurangi kontaminasi)
Pasien merasa lebih nyaman
Kerugian :
Balutan sering membatasi gerakan pasien
Biaya perawatan bertambah
Butuh waktu perawatan lebih lama
Pasien merasa nyeri saat balutan dibuka
4) Obat obatan
a) Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak
kejadian. Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman
dan sesuai kultur.
b) Analgetik : kuat (morfin, petidine)
c) Antasida : kalau perlu
d) Obat topical
Mafenamid Acetate (sulfamylon)
Indikasi : Luka dengan kuman pathogen gram positif dan
negatif, terapi pilihan untuk luka bakar listrik dan pada telinga.
Berikan 1 2 kali per hari dengan sarung tangan steril,
menimbulkan nyeri partial thickness burn selama 30 menit,
jangan dibalut karena dapat merngurangi efektifitas dan
menyebabkan macerasi.
Silver Nitrat
Indikasi : Efektif sebagai spectrum luas pada luka pathogen
dan infeksi candida, digunakan pada pasien yang alergi sulfa
atau tosix epidermal nekrolisis. Keterangan : Berikan 0,5%
balutan basah 2 3 kali per hari, yakinkan balutan tetap
lembab dengan membasahi setiap 2 jam.
Silver Sulfadiazine
Indikasi : Spektrum luas untukmicrobial pathogen ; gunakan
dengan hati hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau hati.
Povidone Iodine (Betadine)
Indikasi : Efektif terhadap kuman gram positif dan negatif,
candida albican dan jamur.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan luka
bakar diantaranya adalah:
1. Sel darah merah (RBC), dapat terjadi penurunan sel darah merah karena
kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh
menurunnya produksi sel darah merah karena depresi sumsum tulang.
2. Sel darah putih (WBC), dapat terjadi leukositosis sebagai respon inflamasi
terhadap injuri.
3. Gas Darah Arteri (GDA), pada cedera inhalasi dapat terjadi penurunan
PaO2 atau peningkatan PaCO2.
4. Karboksihemoglobin (COHbg), dapat meningkat lebih dari 15% yang
mengindikasikan keracunan karbonmonoksida.
5. Serum eletrolit
a. Potassium pada permulaan akan meningkat karena injuri jaringan atau
kerusakan sel darah merah dan menurunnya fungsi renal, hipokalemia
dapat terjadi ketika dieresis dimulai, magnesium mungkin mengalami
penurunan.
b. Sodium pada tahap permulaan menurun seiring dengan kehilangan air
dari tubuh, selanjutnya dapat terjadi hiponatremia.
6. Sodium urin, jika lebih dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan
resusitasi cairan, jika kurang dari 10 mEq/L menunjukkan tidak
adekuatnya resusitasi cairan.
7. BUN/ creatinin, meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi ke
renal, namun demikian dapat meningkat juga dapat disebabkan karena
injuri jaringan.
8. Urin, adanya albumin, Hb, dan mioglobulin dalam urin mengindikasikan
kerusakan jaringan yang dalam dan kehilangan protein. Warna urin merah
kehitaman menunjukkan adanya mioglobulin.
9. Rontgen dada, untuk mengetahui kondisi paru bila luka bakar disebabkan
karena cedera inhalasi.
10. ECG, untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar
karena elektrik.

G. Komplikasi
1. Gangguan nafas akut
Paling dini muncul dibandingkan komplikasi lainnya, muncul pada hari
pertama. Terjadi karena inhalasi, aspirasi, edema paru dan infeksi. Penanganan
dengan jalan membersihkan jalan nafas, memberikan oksigen, trakeostomi,
pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antibiotika.
2. Syok sirkulasi
Yang sering terjadi adalah kekurangan volume cairan yang dapat berkembang
menjadi syok sirkulasi. Tanda syok adalah status mental yang berubah,
perubahan status respirasi, penurunan haluaran urin perubahan tekanan darah
dan denyut nadi. Syok sirkulasi ditangan dengan meningkatkan jumlah cairan
infuse dan pemantauan status cairan.
3. Gagal ginjal akut
Haluaran urin tidak memadai dapat menunjukkan resusitasi cairan yang tidak
adekuat atau awa terjadinya gagal ginjal akut, khususnya jika hemoglobin atau
mioglobin ditemukan dalam urin. Klien dengan luka bakar ini memerlukan
jumlah cairan yang lebih besar untuk meningkatkan haluaran urin guna
membilas tubulus rennin dan mencegah nekrosis tubulus yang akut.
4. Sindroma kompartemen
Status neurovaskuler ekstremitas harus dinilai dengan teliti, khususnya jika
luka bakar tersebut melingkar atau sirkumferensial. Gangguan sirkulasi ini
terjadi sebagai akibat dari peningkatan edema dank arena konstriksi yang
disebabkan oleh pembentukan skar pada luka bakar derajat III.
5. Ileus paralitik
Pada awal pasca luka bakar dapat terjadi dilatasi lambung dan ileus paralitik
yang dimanifestasikan dengan mual dan distensi abdomen seperti kembung dan
meteorismus
6. Ulkus curling
Ini merupakan komplikasi serius, biasanya muncul pada hari ke 510. Terjadi
ulkus pada duodenum atau lambung, kadang-kadang dijumpai hematemesis.
Antasida harus diberikan secara rutin pada penderita luka bakar sedang hingga
berat. Pada endoskopi 75% penderita luka bakar menunjukkan ulkus di
duodenum.

7. Konvulsi
Komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak adalah konvulsi. Hal ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, infeksi, obat-obatan
(penisilin, aminofilin, difenhidramin) dan 33% oleh sebab yang tak diketahui.
8. Rabdomiolisis
Terjadinya destruksi serat otot rangka yang berakibat terlepasnya konstituen
serat otot (elektrolit, mioglobin, kreatin kinase, dan protein sarkoplasma
lainnya) ke dalam cairan ekstrasel dan sirkulasi. Penyebab rabdomiolisis
multifaktorial salah satunya paparan listrik bertegangan tinggi. Gambaran
histologik yang ditemukan umumnya berupa hilangnya inti serat otot dan corak
serat, tanpa disertai adanya sel-sel radang. Patofisiologi rabdomiolisis yaitu
perubahan metabolisme sel, cedera reperfusi, dan sindroma kompartemen.
Gejala klinis klasik berupa nyeri, pembengkakan dan disfungsi otot, kaku,
kesemutan, kelemahan, serta urin berwarna teh. Pemeriksaan penunjang utama
yaitu kreatin kinase serum, serta miogobin urin dan serum. Komplikasi yang
sangat mengancam kehidupan ialah hipovolemia, aritmia dan gagal jantung,
gagal ginjal akut.
VULNUS

A. Pengertian
Menurut Lazarus dalam Potter dan Perry (2006) Vulnus (luka) adalah
rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal
dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu.
Vulnus adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. Proses yang kemudian terjadi
pada jaringan yang rusak adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga
fase inflamasi, prolifrasi, dan penyudahan yang merupakan perubahan kembali
atau remodeling jaringan (Sjamsuhidayat, 2005).

B. Etiologi
Menurut Sutawijaya (2009) penyebab luka adalah trauma yang dapat
terjadi akibat:
1. Trauma fisik
a. Benda tajam
b. Benturan benda tumpul
c. Kecelakaan
d. Tembakan
e. Gigitan binatang
2. Trauma kimiawi
Biasanya terjadi karena tersiram oleh zat-zat kimia.
3. Trauma termis
a. Air panas
b. Uap air
c. Api
d. Listrik
4. Trauma elektris
a. Listrik
b. Petir

C. Klasifikasi
Menurut Masjoer (2008) klasifikasi luka dibedakan menjadi:
1. Berdasarkan penyebab
a. Ekskoriasi atau luka lecet atau gores adalah luka pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris ditandai dengan tepi luka
berupa gari lurus beraturan
c. Vulnus laceratum atau luka robek adalah luka denga tepi yang tidak
beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk akibat benda runcing yang biasanya
kedalaman luka lebih daripada lebarnya.
e. Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang.
f. Vulnus combostio atau luka bakar.
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Eksoriasi
b. Skin avulsion, degloving injury
c. Skin loss
3. Berdasarkan derajat kontaminasi
a. Luka bersih
Luka sayat elektif, steril, tidak ada kontak.
b. Luka bersih tercemar
Luka sayat elektif, potensial terinfeksi
c. Luka tercemar
Potensial infeksi
d. Luka kotor
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi, perforasi visera, abses,
atau trauma lama.

D. Manifestasi Vulnus
Mansjoer (2000) menyatakan manifestasi klinis vulnus adalah:
1. Luka tidak teratur
2. Jaringan rusak
3. Bengkak
4. Pendarahan
5. Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah rambut
6. Tampak lecet atau memer di setiap luka

E. Dampak Pada Sistem Tubuh


1. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme
lebih besar darianabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid
plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang
interstitial pada bagian tubuh yang rendahsehingga menyebabkan oedema.
Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan
kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamusposterior untuk
menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan dieresis.
3. Sistem respirasi
a. Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka
kontraksi ototintercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka
mencapai inspirasi maksimaldan ekspirasi paksa.
b. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan
rasioventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan
terjadi peningkatanmetabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi
hipoksia
4. Sistem Kardiovaskuler
a. Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan
mekanismepada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien denganimmobilisasi.
b. Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktupengisian diastolik memendek dan penurunan isi
sekuncup.
c. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
anterior danvenula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi
lebih panjang dari padavasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul
di ekstremitas bawah, volume darahyang bersirkulasi menurun, jumlah
darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untukmemenuhi perfusi ke
otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakanpusing pada
saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
5. Sistem Muskuloskeletal
a. Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan
suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula
dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga
menjadikan kelelahan otot.
b. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan
paralisis otot.
c. Kontraktur sendi. Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan
otot serta adanya keterbatasangerak.
d. Osteoporosis. Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organikdan anorganik sehingga massa tulang menipis dan
tulang menjadi keropos

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan vulnus diantaranya
adalah:
1. Kerusakan Arteri: Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi,CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitasyang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit,tindakan reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom: Kompartement Syndrom merupakan komplikasi
serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Inidisebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
3. Infeksi: System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
4. Syok: Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitaskapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi

G. Proses Penyembuhan Luka


Proses peyembuhan luka yang secara alami adalah sebagai berikut:
1. Fase Inflamasi/ log phase
Berlangsung hari ke-5, akibatnya luka terjadi perdarahan. Terjadi
vasokonstriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar dari
pembuluh darah secara daiporesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis.
Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamine yang menginggikan
permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema. Dengan demikian timbul
reaksi radang.
2. Fase proliferasi/fibroplasi
Terjadi hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan
pembentukan fibriblas yang berasal dari sel mesenkim. Pada fase ini luka diisi
oleh sel radang, fibroblast, serat kolagen, kapiler baru membentuk jaringan
kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.
Pembentukan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel
dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka, pengaturan kembali,
penyerapan yang berlebih.
3. Fase remodeling
Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir nila tanda radang sudah hilang.
Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun
gatal.

H. Penatalaksanaan
1. Pembersihan luka
a. Irigasi sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati
dan benda asing (debridement) sehingga akan mempercepat penyembuhan.
Irigasi dilakukan dengan menggunakan cairan garam fisiologis atau air
bersih. Lakukan secara sistemis dan lapisan superficial ke lapisan yang
lebih dalam.
b. Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati. Tepi yang
compang-camping sebaiknya dibuang.
c. Berikan antiseptic.
d. Bila perlu tindakan ini dilakukan dengan pemberian anestesi local.
2. Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8
jam boleh dijahit primer. Sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan tidak
berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per secumdam atau per tertiam.
3. Penutupan luka
Prinsipnya adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka
sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. Penutupan luka yang
terbaik adalah dengan kulit atau skin graft. Bila tidak memungkinkan maka
sebagai alternative digunakan kassa sampai luka menutup atau dilakukan
penutupan dengan kulit.
4. Pembalutan
Berfungsi sebagai:
a. Sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi.
b. Menyerap eksudat atau produk lisis jaringan
c. Sebagia fiksasi, mengurangi pergerakan
d. Efek penekanan, mencegah berkumpulnya rembesan darah yang
menyebabkan hematom.
5. Pemberian antibiotic dan ATS
Primsipnya adalah luka bersih tidak perlu diberikan antibiotic dan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN COMBOSTIO

A. Pengkajian
Menurut Boughman (2000) pengkajian pada pasien terbagi menjadi:
1. Primary survey
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya
harus dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu.
a. Airway
Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera pasang
Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi antara lain
adalah: terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang
terbakar, dan sputum yang hitam.
b. Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat pergerakan dada untuk
bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-
trauma lain yang dapat menghambat pernapasan, misalnya pneumothorax,
hematothorax, dan fraktur costae.
c. Circulation
Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan
edema, pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena
kebocoran plasma yang luas. Manajemen cairan pada pasien luka bakar,
dapat diberikan dengan Formula Baxter.
2. Pengkajian sekunder
a. AMPLE
1) Alergi
2) Medication
3) Past History meliputi riwayat singkat penyakit, kecelakaan, tindakan
pembedahan.
4) Last time ate or drunk, waktu terakhir makan dan minum
5) Event, apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan atau luka bakar.
B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Diagnosis, hasil yang diharapkan dan intervensi menurut Carrougher
(dalam Black dan Hawks, 2009) adalah:
1. Gangguan pertukaran gas
Hasil yang diharapkan: klien dapat memiliki pertukaran gas yang memadai
yang dibuktikan dengan PaO2 lebih dari 90 mmHg, saturasi oksigen lebih
dari 95 mmHg, tekanan parsial arteri karbon dioksida 35 hingga 45 mmHg,
laju respirasi 16 hingga 24 kali/menit dengan pola dan kedalaman yang
normal, dan suara nafas bilateral yang bersih.
Intervensi:
a. Kaji adanya manifestasi distress nafas seperti kegelisahan (restlessness),
kebingungan, takipnea, dispnea, dan suara nafas yang meredup atau bunyi
nafas tambahan, takikardia, penurunan PaO2 dan SaO2, dan sianosis.
b. Pantau gas darah arteri dan kadar COHb
c. Perintahkan klien yang sedang dalam penggunaan spirometri insentif
untuk melakukan nafas dalam setiap 2 jam.
d. Tinggikan kepala untuk membantu pengembangan paru dan untuk
mengurangi edema pada wajah dan leher.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Hasil yang diharapkan: klien memiliki bersihan jalan nafas yang efektif
yang dibuktikan dengan suara nafas bersih, secret paru jernih hingga putih,
mobilisasi secret paru efektif, pernafasan yang ringan dengan laju pernafasan
16-24 kali/menit.
Intervensi:
a. Evaluasi suara nafas, laju dan kedalaman pernafasan, serta tingkat
kesadaran.
b. Lakukan pengubahan posisi, batuk, dan nafas dalam setiap 1-2 jam
selama 24 jam
c. Jika dibutuhkan lakukan penghisapan endotrakeal dan nasotrakeal.
d. Kaji dan dokumentasikan karakter serta jumlah secret.

3. Kekurangan volume cairan


Hasil yang diharapkan: klien mengalami keseimbangan cairan yang
membaik, dibuktikan dengan keluaran urin 30 ml/jam, orientasi yang
baik,denyut jantung kurang dari 120 kali/menit, tidak ada disritmia
Intervensi:
a. Kaji manifestasi hipovolemik setiap jam selama 36 jam pada klien.
b. Pantau elektrolit serum dan nilai hematokrit. Hiponatremia, hiperkalemia,
dan peningkatan kadar hematokrit adalah temuan yang umum pada fase
resusitatif.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan
Hasil yang diharapkan: klien dapat memiliki keefektifan perfusi jaringan
perifer sebagai akibat dari konstriksi sirkumferensial luka bakar dan atau
edema perifer.
Intervensi:
a. Lepaskan semua perhiasan dan pakaian yang mengkonstriksi secepat
mungkin.
b. Batasi penggunaan manset tekanan darah pada ekstremitas yang terkena,
karena manset dapat menurunkan aliran arteri dan aliran balik vena.
c. Elevasikan ekstremitas yang terbakar diatas jantung untuk meningkatkan
pengembalian darah vena dan mencegah pembentukan edema.
d. Pantau denyut arteri melaluipalpasi perjam sampai 72 jam
5. Nyeri akut
Hasil yang diharapkan: klien menyatakan secara verbal ambang kendali
nyeri yang masih dapat diterima.
Intervensi:
a. Kaji nyeri dan berikan opioid yang tepat.
b. Lakukan perhitungan pemberian obat dengan baik
c. Kaji kebutuhan untuk obat-obatan ansiolitik.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VULNUS

A. Pengkajian
1. Primery survey
a. Airway
1) Apakah ada tanda-tanda sumbatan jalan nafas
2) Apakah terdengar bunyi stridor
3) Apakah ada tanda-tanda keberadaan benda asing, darah, muntahdalam
mulut
4) Apakah jalan napas paten
b. Breathing
1) Apakah ada hembusan udara dari hidung
2) Pengembangan dada
3) Apakah terdengar suara nafas
4) Frekuensi nafas
5) Retraksi intercostals
6) Bunyi nafas (ngorek, bersiul, megap, dll)
7) Penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan
8) Suara nafas tambahan (ronchi, wheezing, rales, dll)
c. Circulation
1) Apakah ada poendarahan/tidak
2) Apakah ada pulsa karotis, nadi radial
3) Apakah nadi teraba atau tidak
4) Kualitas nadi (luat, lemah, kecil)
5) Akral (hangat/dimgin)
6) Pengisian kapiler ( < 3 detik / > 3 detik )
7) Apakah ada tanda-tanda syok (nadi lemah dan cepat, nadi lebih
dari100x/menit pada dewasa)
8) Apakah kulit teraba dingin atau tidak
9) Apakh kulit tanpak pucat atau kebiru-biruan
10) Apakah pasien tidak sadar atau tampak mengantuk
d. Disability : gunakan AVPU
1) A Alert (jaga) : apakah klien memengerti apoa yang anda sampaikan
2) V Voice (suara) : apakah klien bias berbicara kepada anda
3) P Pain (nyeri) : apakah klien berespon terhadap nyeri
4) U Unresponsive (tidak berespon) : apakah klien tidak
sadar atau berespon
5) Cek ukuran , apakah ikuran sama atau tidak, apakah bereaksi
terhadapcahaya (mengecil)
6) GCS (Glasgow Coma Scale)
2. Survey sekunder
a. AMPLE
1) Alergi
2) Medication
3) Past history (riwayat singkat penyakit, kecelakaan, tindakan
pembedahan,dan perawatan selama sakit)
4) Last time ate or drank (waktu terakhir makan dan minum)
5) Event (apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kecelakaan
kendaraan, luka bakar, dll

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.
Tujuan: Nyeri akut teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
a. Pasien tidak mengeluh nyeri
b. Pasein tidak mengeluh sesak
c. Pernapasan 12-21x/mnt
d. Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
e. Nadi 60-100x/mn
Intervensi:
a. Monitor derajat dan kualitas nyeri (PQRST)
b. Ajarkan teknik distraksi/relaksasi/napas dalam.
c. Beri posisi nyaman
d. Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik; nama, dosis, waktu, cara,
indikasi.
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan
aliran arteri terhambat.
Tujuan: Perpusi jaringan serebral teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatanselama 1x24jam dengan kriteria hasil:
a. Pasien tidak mengeluh pusing
b. Pasien tidak mengeluh sesak napas
c. Pernapasan 12-21x/mnt
d. Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
e. Nadi 60-100x/mnt
f. Hasil laboratorium darah normal(Leukosit, Hb)
Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda peradangan
b. Anjurkan untuk cukup istirahat
c. Beri posisi semi fowler
d. Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
3. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, prosedur
invasif, pertahanan sekunder tidak adekuat.
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi setelah dilakuakan tindakan
keperawatanselama 2x24jam dengan kriteria hasil:
a. Suhu: 36-37
b. Nadi 60-100x/mnt
c. Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
Intervensi:
a. Monitor pemeriksaan Laboratorium darah
b. Anjurkan untuk bed rest
c. Beri nutrisi tinggi zat besi, vitamin C
d. Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat antibiotik ; nama, dosis, waktu, cara.
4. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
melaluiabnormal (perdarahan).
Tujuan: Resiko defisit volume cairan teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatanselama 1x24jam dengan kriteria hasil:
a. BB dalam batas normal
b. Tidak ada perdarahan
Intevensi:
a. Monitor tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
b. Anjurkan untuk banyak minum 2 L/hari
c. Hitung balance cairan
d. Kolaborasi/lanjutkan pemberian terapi elektrolit; nama, dosis,
waktu, cara, indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane. 2000. Keperwatan Medikal Bedah: buku saku untuk brunner
dan Suddarth. Jakarta:EGC

Black, Joyce M dan Jane hokanson Hawks. 2009. Keperawatan Medical Bedah
Managemen Klinis Untuk Hasil yang diharapkan. Jakarta: CV. Pentasada
Media Edukasi.

Moenadjat Y. 2003.Luka Bakar: Pengetahuan Klinik Praktis. Edisi ke-2. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Sjamsuhidayat, Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Suzanne, C. Smeltzer. 2001. Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC.

Wilkinson, Judith M. 2016. Diagnosis NANDA-1, intervensi NIC,hasil NOC.


Jakarta: EGC

You might also like