You are on page 1of 23

1.

1 Konsep Dasar

1. Definisi

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa


urine atau bowel (feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan
rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada
setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali per hari sampai 2-3 kali
per minggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses ke dalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Gangguan eliminasi alvi adalah
keadaan seorang individu mengalami atau beresiko tinggi mengalami statis
pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Cara untuk mengatasi gangguan eleminasi alvi biasanya dilakukan
huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan
hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan
kanul rekti.

2. Tanda dan Gejala

3. Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya
skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia fekal. Langkah
utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sembelit.
Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan suatu keluhan
yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit
kolon, gangguan endokrin dan metabolik, deperesi atau efek samping
obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang
cukup cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat
kasar sehari (hal ini bisa did apatkan dari 3-4 sendok the biji-bijian).

1
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia fekal
adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan
pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besar di toilet.
Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus, lingkungan yang
tenang, dan pada saat timbulnya refleks gastrokolik yang biasanya timbul
lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia fekal yang disebabkan oleh gangguan syaraf, terapi
latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian
besar pasien geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi
tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir dengan inkotinensia
fekal, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan penggunaan obat
pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif untuk mengontrol
defekasi. Usaha terakhir yang dapat dilakukan dalam penanganan
inkontinensia fekal pada pasien ini adalah dengan menggunakan pampers
yang dapat mencegah dari komplikasi.

1.2 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien dengan gangguan eliminasi alvi di
fokuskan pada riwayat keperawatan, pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan
diagnostic.
Riwayat Keperawatan
Pada riwayat keperawatan, hal hal yang harus di kaji antara lain ,sebagai
berikut:
1) Pola defekasi
a. Frekuensi (berapa kali per hari/minggu)
Sebagian orang BAB secara normal satu kali sehari, sedangkan lainnya
hanya 3-4 kali seminggu, sebagian lagi BAB setelah sarapan pagi,yang
lainnya juga pada sore hari,sering pola BAB individu pada waktu yang
sempat. Sebagiam besar orang membiasakan BAB setelah sarapan
pagi,ketika reflex gastrokolon dan duodenokolon menyebabkan masa

2
pada usus besar. Frekuensi buang air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali
sehari, sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali per hari dengan jumlah
rata rata pembuangan per hari adalah 150 g .
b. Apakah frekuensi tersebut pernah diubah?

Waktu BAB dan jumlahnya serta frekuensinya bersifat individu.

c. Adanya flatus juga dikaji.


d. Jika ia,apakah klien mengetahui faktor faktor penyebabnya?
2) Prilaku Defokasi
a. Apakah klien menggunakan laksatif?
b. Bagaimana cara klien memepertahankan pola defekasi?
c. Apa rutinitas yang dilakukan klien untuk mempertahankan pola
defekasi yang biasa (contoh segelas jus lemon panas ketika sarapan
pagi atau jalan pagi sebelum sarapan).
3) Deskripsi feses
a. Warna, hitam atau merah
b. Tekstur, konsistensi cair
c. Bau, berbau tidak sedap
d. Bentuk kecil seperti pensil terdapat darah
4) Diet
a. Makanan apa yang mempengaruhi perubahan pola defekasi klien?
b. Makanan apa yang biasa klien makan?
c. Makanan apa yang klien hindari atau pantang?
d. Apakah klien makan secara teratur?
5) Cairan,jumlah dan jenis minuman yang dikonsumsi setiap hari( contoh
6 gelas air, 5 cangkir kopi)
6) Aktifitas
a. Kegiatan sehari hari (missal olahraga)
b. Kegiatan spesifik yang dilakukan klien ( misal penggunaan laksatif,
enema, atau kebiasaan mengonsumsi sesuatu sebelum defekasi)
7) Penggunaan Medikasi
a. Apakah klien bergantung pada obat obatan yang dapat
mempengaruuhi pola defekasinya?

3
b. Apakah klien mengonsumsi obat obatan yang dapat memengaruhi
saluran intestinal ( contoh zat besi, antibiotikal)?
8) Stres
a. Apakah klien mengalami stress yang berkepanjangan atau singkat?
b. Tetapkan stress seperti apa yang dialami klien dan bagaimana dia
menerimanya?
c. Koping apa yang klien gunakan dalam menghadapi stress?
d. Bagaimana respon klien terhadap stress? Positif atau negative?
9) Pembedahan atau penyakit menetap
a. Apakah klien pernah menjalanai tindakan bedahh yangt dapat
mengganggu pola defekasinya?
b. Apakah klien pernah menderita penyakit yang memengaruhi sistem
gastrointestinalnya? Keberadaan ostomi harus diperhatikan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pada daerah abdomen,rectum, usus , dan


feses.

1. Abdomen
Pemeriksaaan dilakukan pada possi terlentang, hanya bagian abdomen saja
yang tampak.selama pengkajian pada abdomen,dengan rujukan khusus
pada saluran intestinal, klien diajurkan dalam posisi supinasi dan
diselimuti sehingga hanya bagian abdomen yang terlihat. Perawat harus
mengindentifikasi batasan batasan yang digunakan sebagai nilai nilai
rujukan untuk mendeskripsikan hasil yang dijumpai.
a. Inspeksi
Amati abdomen untuk melihat bentuknya,kesimetrisannya, adanya
distensi, atau gerak peristaltic.perawat mengobservasi dinding
abdomen untuk gelombang yang dapat dilihat yang
mengindentifikasikan peristaltic. Kecuali pada orang orang khusus
kadang kadang tidak dapat diobservasi secara normal. Ketika
gelombang dapat dilihat,mereka sering mulai pada kuadran kanan atas
dan bergerak kebawah dan bagian medial abdomen. Peristaltik yang

4
dapat diobservasi dapat menunjukkan adanya suatu obtruksi
instestinal. Mengobservasi bentuk,kesimentrisan dan tekanan abdomen
harusnya bentuknya rata tanpa adanya tonjolan. Tonjolan seperti masa
akan kelihatan suatu bengkak. Suatu kelainan abdomen seharusnya
dapat diukur pada daerah umbilical dengan menempatkan suatu tip
pengukur sekeliling tubuh.pengukuran berulang akan menunjukkan
apakah tekanan meningkat atau menurun.
b. Auskultasi
Dngarkan bising usus, lalu perhatikan instensitas, frekuensi,dan
kualitasnya.suara usus dikaji dengan stetoskop. Suara usus
mencerminkan peristaltic usus kecil, mereka dideskripsikan menurut
intensitas, keteraturan dan frekuensi atau tingkat aktifitasnya.intensitas
menunjukkan kekuatan dari suara atau rata rata dari peristaltic. Kuat
lemahnya (dentum) dari dinding intestinal sebagai hasil dari
gelombang peristaltic, pada peningkatan tekanan intestinal akan ada
kemungkinan peningkatan dentuman. Tingkat aktifitas atau frekuensi
dari suara usus juga dikajii. Peningkatan atau penurunan peristaltic
dapat terjadi karena beberapa alasan yaitu penayangan ekstensif pada
intestinal selama proses pembedahan,ketidakseimbangan elektrolit,
seperti ketidaknormalan dari rendahnya tingkat potasium serum dan
peritonitis. Intensitas dan frekuensi yang abnormal pada uara usus
(boborygmi) terjadi pada interitis dan pada obtruksi usus kecil.
c. Perkusi
Lakukan perkusi pada abomen untuk mengetahui adanya distensi
berupa cairan, masa, atau udara. Mulailah pada bagian kanan atas dan
seterusnya. Daerah abdomen diketuk untuk mendeteksi cairan pada
rongga abdomen, tekanan intestinalnya berhubungan dengan flatus,
dan pembentukan massa seperti pembesaran kantung empedu dan
liver. Daerah seluruh abdomen diperkusi pertama pada daerah kuadran
kanan atas menurut arah jarum jam. Flatus menghasilkan resonansi
(timpani), sedangkan cairan dan masa menghasilkan bunyi dull
(tumpul). Ketika ada cairan diabdominal , ketukan menghasilkan suara

5
tumpul diantara cairan. Ketika klien pada satu sisi, cairan asites
mengalir kesisi ersebut. Ketukan memerlihatkan sebuah garis
damartasi diantara redup dan timpani sehingga perawat dapat
mengukur apakah jumlahnya meningkat atau menurun, ketika
dilakukan ketukan selanjutnya.
d. Palpasi
Lakukan palpasi untuk mengetahui konsistensi abdomen serta adanya
nyeri tau massa dipermukaan abdomen. Baik palpasi ringan atau dalam
keduanya digunakan, biasanya untuk mendeteksi dan mengetahui
adanya daerah lunak dan massa. Keempat kuadran pada abdomen di
palpasi otot-otot abdomen harus rileks untuk memperoleh palpasi yang
sukses. Perawat seharusnya melakukan palpasi ringan kemudian
dalam. Daerah yang sensitive seharusnya di palpasi terakhir karena
eratnya otot-otot (pelindung abdomen) yang sering terjadi ketika
daerah yang nyeri tersentuh.

2. Rectum dan anus


Pada pemeriksaan anurektal klien biasanya dianjurkan dalam posisi sim
kekiri atau genupectoral. Klien wanita juga disarankan dalam posisi
litotomi.
a. Inspeksi
Amati daerah perianal untuk melihat adanya tanda-tanda inflamasi,
luka perut, perubahan warna, lesi, lecet, filstula, konsistensi, hemoroid.
Warna, ukuran, lokasi, dan kepadatan dari lesi di catat.
b. Palpasi
Palpasi dinding tektum dan rasakan adanya nodul, massa dan nyeri
tekan. Tentukan lokasi dan ukurannya. Selama pemeriksaan rektal
sangat penting bahwa palpasi harus lembut sehingga tidak merangsang
repleks dari nervus vagus, yang dapat menekan denyut jantung.
3. Feses
Amati feses klien dan catat konsistensinya, bentuk, bau, warna dan
jumlahnya. Amatipula unsur abnormal yang terdapat pada feses. Wadah

6
khusus harus disediakan untuk sampel feses. Sangat penting bagi perawat
mengetahui mengapa specimen diambil dan wadah yang digunakan tepat.
Kadang-kadang wadah memakai zat pengawet khusus untuk menunjukkan
hasil tes. Petunjuk khusus harus ditulis dan dilampirkan ketika penyedian
specimen. Klien dapat menyediakan spesimennya setelah diberi informasi
yang adekuat. Feses tidak bolah bercampuran dengan urine atau air,
karenanya klien BAB di bedpan. Sebuah tongue spatel kayu atau plastik
digunakan untuk memindahkan specimen, dan sekitar 2,5 cm ditempatkan
di dalam wadah. Jika kotoran berbentuk cair, dikunpulkan 15-30 ml.
wadah kemudian ditutup dengan aman dan tepat, keperuan dilengkapi.
Pada kenyataannya bahwa spesimen yang telah diperoleh harus
dimasukkan sebagai rahasia klien untuk tes tertentu diperlukan feses segar.
Jika harus seperti itu spesimen dibawa segera ke laboratorium, spesimen
kotoran jangan ditinggalkan pada suhu ruangan dalam waktu yang lama
karena bakteri dapat mengubahny. Wadah spesimen biasanya memiliki
petunjuk penyimpanan, hal ini harus diikuti jika spesimen tidak dapat
dikirim segera ke laboratorium. Pada beberapa instansi digunakan
pendingan. Untuk mengamankan spesimen dari bayi atau anak-anak yang
tidak terlatih di toilet, spesimen diambil dari feses yang baru. Ketika feses
dikultur untuk memperoleh mikroorganisme, feses dipindahkan ke wadah
dengan aplikator steril. Feses normal berwarna cokelat , hal ini
berhubungan dengan adanya bilirubin dan turunannya yaitu stercobilin
dan urotilin serta kegiatan dari bakteri normal yang terdapat pada
intestinal. Bilirubin merupakan pigmen berwarna kunng pada empedu.
Feses dapat berwarna lain, khususnya ketika ada hal-hal yang abnormal.
Misalnya feses hitam seperti tir, ini menunjukkan adanya perdarahan dari
lambung atau usus halus, warna tanah liat (acholic)menunjukkan adanya
penurunan fungsi empedu, hijau atau oranye menunjukkan adanya infeksi
pada intestinal. Makanan juga dapat memengaruhi warna feses, misalnya
gula bit mengubah fese menjadi warna merah,kadang-kadang hijau. Obat-
obatan juga dapat mengubah warna feses, misalnya zat besi dapat
membuat feses berwarna hitam.

7
a. Konsistensi. Secara normal feses berbentuk tetapi lembut dan
mengandung air sebanyak 75% jika seseorang mendapatkan
inakecairan yang cukup, sedangkan 25% lagi adalah bagian
padat. Feses yang biasa mengandung air lebih dari 75%. Feses
bergerak lebih cepat dari normal melalui intestinal, sehingga
hanya sedikit air dan ion yang direabsorpsi ke dalam tubuh.
Feses yang keras mengandung lebih sedikit air dari pada
normal dan pada beberapa kasus mungkin sulit atau nyeri
sekali saat dikeluarkan. Beberapa orang, bayi, dan anak-anak
yang khusus mungkin mengeluarkan feses yang berisi makanan
yang tidak dicerna.
b. Bentuk. Feses normal berbentuk seperti rectum
c. Bau. Bau feses merupakan hasil kerja bakteri pada intestinal,
dan bervariasi pada seseorang dengan orang lain. Bau feses
yang sangat bau (tajam) dapat menunjukkan adanya gangguan
saluran cerna.
d. Darah. Darah yang terdapat pada feses adalah abnormal. Darah
dapat berwarna terang atau merah terang, hal ini berarti darh
warna memasuki kimuspada lambung atau usus halus.
Beberapa obat-obatan dan makanan juga dapat membuat feses
berwarna merah atau hitam. Oleh karena itu, adanya darah
harus dikonfirmasi melalui sebuah tes. Perdarahan pada feses
kadang tidak terlihat, ini dikenal occult bleeding (perdarahan
trsembunyi).
Tes untuk mengetahui adanya darah pada feses secara rutin
dilakukan di klinik. Hermotestmenggunakan tablet sebagai
reagen. Sementara guaiac dan hemoccult test menggunakan
reagem berbentuk larutan, setiap tes mmerlukan specimen
feses. Guaiac test secara umum digunakan. Feses yang sedikit
diletakkan pada kertas saring atau kertas usap. Reagen
selanjutnya diletakkan dan warna dicatat, warna biru
menunjukkan adanya darah.

8
e. Bahan-bahan abnormal. Kadang-kadang feses mengandung
bahan-bahan asing yang dicerna secara kebetulan, percernaan
benda-benda asing secara kebetulan banyak ditemukan pada
anak-anak. Bahan-bahan abnormal lain termasuk pus, mucus,
parasite,lemak dalam jumlah banyak dan bakteri pathogen, tes
untuk mengeahui keberadaan bahan-bahan asing biasanya
ditunjukkan di laboratorium.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dilakukan beberapa cara, yaitu sebagai
berikut.
1. Pandangan langsung, yaitu teknik pandangan secara
langsung
a. anoscopy , pandangan dari saluran anus.
b. Proctoscopy, pandangan pada rectum
c. Proctosigmoidoscopy, pandangan pada rectum
dan kolon sigmoid.
2. Roentgenography. Roentgenographydari usus besar dengan
memasukkan barium ke dalam kolon.

Penetapan Diagnosis
Menurut NANDA (2003), masalah keperawatan untuk
eliminasi alvi meliputi sebagai berikut.
1. Inkontinensia alvi
2. Konstipasi berhubungan dengan :
a. Defek persarafan, kelemahan pelvis,
imobilitas akibat cedera medulla
spinalis, dan CVA
b. Nyeri akibat hemoroid
c. Menurunnya peristaltic akibat stress
3. Resiko konstipasi
4. Persepsi konstipasi

9
5. Diare berhubungan dengan :
a. Malabsorpsi atau inflamasi akibat
penyakit infeksi atau tindakan
pembedahan
b. Distensi rectum akibat konstipasi kronis
c. Ktidakmampuan mengenal atau
merespons proses defeksi akibat depresi
atau kerusakan kognitif.

Masalah-masalah di atas dapat memengaruhi banyak area fungsi


manusia dan menjadi etiologi untuk diagnosis NANDA lainnya,
seperti resiko deficit volume cairan yang brhubungan dengan diare
yang lama atu pengeluaran cairan yang berlebihan (diare), resiko
gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan inkontinesia
alvi, harga diri rendah yang berhubungan dengan ostomi dan lain
sebagianya.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2015), masalah keperawatan untuk eliminasi alvi
meliputi sebagai berikut.
1) Konstipasi
a. Batasan Karakteristik
Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum
Anoreksia
Bising usus hiperaktif
Bising usus hipoaktif
Borborigmi
Darah merah pada feses
Distensi abdomen
Feses keras dan berbentuk
Mual, muntah
Nyeri abdomen

10
Nyeri pada saat defekasi
Penurunan volume feses
Perkusi abdomen pekak
Perubahan pada pola defekasi
Sering flaktus
Tidak dapat mengeluarkan feses
b. Faktor yang Berhubungan
Fungsional
Kebiasaan defekasi tidak teratur
Kebiasaan menekan dorongan defekasi
Kelemahan otot abdomen
Ketidakadekuatan toileting
Perubahan lingkungan saat ini
Rata-rata aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan menurut usia dan jenis kelamin
Mekanis
Hemoroid
Kehamilan
Obesitas
Tumor
Pembesaran prostat
Farmakologis
Agens farmaseutikal
Penyalahgunaan laksatif
Fisiologis
Asupan cairan tidak cukup
Asupan serat tidak cukup
Dehidrasi
Kebiasaan makan buruk
Ketidakadekuatan higiene oral
Psikologis
Depresi

11
Stres emosi
2) Risiko konstipasi
3) Konstipasi fungsional kronis
4) Risiko konstipasi fungsional kronis
5) Persepsi konstipasi
6) Diare
Batasan Karakteristik
Ada dorongan untuk defekasi
Bising usus hiperaktif
Defekasi feses cair >3 dalam 24 jam
Kram
Nyeri abdomen
Faktor yang Berhubungan
Fisiologis
Inflamasi gastrointestinal
Iritasi gastrointestinal
Kram
Malabsorpsi
Parasit
Psikologis
Ansietas
Tingkat stres tinggi
Situasional
Makan melalui selang
Melakukan perjalanan
Pemaparan pada kontaminan
Pemaparan pada toksin
Penyalahgunaan zat
Program pengobatan
7) Disfungsi motilitas gastrointestinal
8) Risiko disfungsi motilitas gastrointestinal

12
9) Inkontinesia defekasi
Batasan Karakteristik
Bau fekal
Dorongan defekasi
Ketidakmampuan mengeluarkan feses padat bahkan
mengetahui rektum penuh
Ketidakmampuan mengenali dorongan defekasi
Ketidakmampuan mengenali rektum penuh
Ketidakmampuan menunda defekasi
Kulit perianal kemerahan
Tidak perhatian terhadap dorongan defekasi
Faktor yang Berhubungan
Diare kronik
Imobilitas
Impaksi
Kebiasaan diet kurang
Lesi kolorektal
Peningkatan tekanan abdomen abnormal
Stresos
Kesulitan perawatan diri toileting
10) Gangguan pertukaran gas

Menurut SDKI (2016), masalah keperawatan untuk eliminasi alvi meliputi


sebagai beriku.
1) Inkontinensia fekal
Penyebab
Kerusakan susunan saraf motorik bawah
Penurunan tonus otot
Gangguan kognitif
Penyalahgunaan laksatif
Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rektum
Pascaoperasi pullthrough dan penutupan kolosomi

13
Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
Diare kronis
Stres berlebihan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
Tidak mampu mengontrol pengeluaran feses
Tidak mampu menunda defekasi
Objektif
Feses keluar sedikit-sedikit dan sering
Gejala dan tanda minor
Objektif
Bau feses
Kulit perianal kemerahan
Kondisi klinis terkait
Spina bifida
Atresia ani
Penyakit Hirschsprung
2) Konstipasi
Penyebab
Fisiologis
Penurunan motilitas gastrointestinal
Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
Ketidakcukupan diet
Ketidakcukupan asupan serat
Ketidakcukupan asupan cairan
Aganglionik (mis. Penyakit Hircsprung)
Kelemahan otot abdomen
Psikologis
Konfusi
Depresi
Gangguan emosional
Situasional

14
Perubahan kebiasan makan
Ketidakadekuatan toileting
Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
Penyalahgunaan laksatif
Efek agen farmakologis
Ketidakteraturan kebiasaan defekasi
Kebiasaan menahan dorongan defekasi
Perubahan lingkungan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
Defekasi kurang dari 2 kali seminggu
Pengeluaran feses lama dan sulit
Objektif
Feses keras
Peristaltik usus menurun
Gejala dan tanda minor
Subjektif
Mengejen saat defekasi
Objektif
Distensi abdomen
Kelemahan umum
Teraba massa pada rektal
Kondisi klinis terkait
Lesi/cedera pada medula spinalis
Spina bifida
Stroke
Skerosis multipel
Penyakit parkinson
Demensia
Ketidakseimbangan elektrolit
Hemoroid
Pasca operasi obstruksi bowel

15
Obesitas
Kehamilan
Pembesaran prostat
Abses rektal
Fisura anorektal
Tumor
3) Risiko konstipasi

3. Intervensi dan Implementasi


Berdasarkan NANDA (2003), diagnosis keperawatan untuk masalah
gangguan eliminasi alvi meliputi lima diagnosis. Namun, dalam
pembahasan kali ini akan diuraikan dua diagnosis umum, yakni
Inkontinensia alvi dan Konstipasi.
Secara umum, tujuan utam intervensi keperawatan untuk klien dengan
gangguan eliminasi adalah mempertahankan atau mengembalikan pola
defekasi yang normal, mempertahankan atau mengembalikan konsistensi
feses yang normal, serta mencegah resiko lain yang menyertai seperti
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kerusakan kulit, distensia
abdomen, dan nyeri.
1) Inkontinensia alvi yang berhubungan dengan:
a) Kerusakan sfingter rectum, sekunder akibat pembedahan
atau cedera pada anus atau rektum/neurupati perifer
b) Kerusakan kognitif
c) Kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder akibat
gangguan neuromuskular progresif, cedera medula
spinalis/sklerosis multipel
d) Overdistensi rectum sekunder akibat konstipasi kronis
e) Ketidakmampuan mengenali, menginterprestasikan atau
merespons isyarat defekasi sekunder akibat
depresi/kerusakan kognitif.

16
Kriteria Hasil

Individu akan mengeluarkan fases berbentuk lunak setiap dua atau tiga hari.

Indikator

a. Menjelaskan teknik defekasi


b. Menguraikan kebutuhan cairan dan diet

Intervensi Umum

a. Kaji faktor yang berperan menyebabkan inkontinensia alvi


1. Kurangnya jadwal evaluasi rutin
2. Kurangnya pengetahuan tentang teknik defekasi
3. Asupan cairan dan serat yang tidak adekuat
4. Aktivitas fisik yang tidak adekuat
5. Konstipasi
6. Penggunaan bantuan eliminasi (missal laksatif)
b. Kaji status neurologis dan kemampuan fungsional individu.
c. Rencanakan waktu yang tepat dan konsisten untuk defekasi.
d. Buat program defekasi harian selama lima hari atau sampai terbentuk
suatu pola. Kemudian alihkan ke program alternatif harian (pagi dan sore
hari).
e. Berikan privasi dan lingkungan yang tidak menyebabkan stres.
f. Ajarkan teknik defekasi yang efektif kepada klien. Posisi yang sesuai
untuk klien dengan kemampuan fungsional yang baik adalah tegak lurus
atau duduk. Sementara posisi untuk klien dengan gangguan kemampuan
fungsional (missal kuadriplegia) adalah miring kiri.
g. Untuk klien yang mampu memobilisasi ekstremitas atasnya, ajarkan
berbagai teknik yang mempermidah defekasi, seperti maneuver valsalva,
membungkuk, push up duduk, masase abdomen, dan latihan panggul di
lantai.
h. Buat catatan eliminasi atau lembar alir yang berisi jadwal defekasi yang
meliputi waktu defekasi, karakteristik fases , metode bantuan yang
digunakan, dan banyaknya fases.

17
i. Jelaskan tentang kebutuhan cairan dan diet yang baik untuk defekasi
(missal minum 8-10 gelas setiap hari, diet tinggi bulk dan serat).
j. Jelaskan tentang efek aktivitas terhadap peristalsis usus.
k. Bantu klien menentukan latihan yang sesuai dengan kemampuan
fungsionalnya.
l. Jelaskan tentang bahaya penggunaan pelunak fases, laksatif, supositoria,
dan enema kepada klien.
m. Jelaskan tentang tanda dan gejala impaksi fekal dan konstipasi.
n. Lakukan penyuluhan tentang program defekasi sebelum klien pulang.

Rasional

a. Untuk mempertahankan kontinensia usus, klien harus memiliki sensasi


anorektal yang utuh, mampu mengeluarkan feses secara sadar, mampu
mengontraksi otot puborektal dan sfingter anus eksternal, serta memiliki
akses yang baik ke fasilitas kamar mandi.
b. Konsisten dan volume feses penting untuk mencapai kontinensia. Feses
yang jumlahnya sedikit dan keras tidak mampu mendistensi atau
menstimulasi rectum sehingga tidak akan menimbulkan keinginan untuk
defekasi.
c. Latihan dapat meningkatkan motilitas pencernaan dan mempercepat fungsi
usus.
d. Latihan panggul diatas lantai dapat meningkatkan kekuatan otot
puborektal dan sfingter anus eksternal.
e. Stimulasi rektum dengan jari menimbulkan refleks peristalsis dan
membantu defekasi.
f. Laksatif dapat menyebabkan terjadinya defekasi yang tak terjadwal,
berkurangnya tonus kolon, dan konsisten feses yang tidak konsisten.
Enema dapat menyebabkan rengangan yang berlebihan pada bagian-
bagian usus dan menurunkan tonus usus. Pelunak feses tidak diperlukan
apabila asupan makanan dan cairan adekuat.
g. Upaya defekasi dapat dibantu berbagai teknik yang dapat memfasilitasi
gravitasi dan meningkatkan tekanan intraabdomen guna mengeluarkan
feses.

18
h. Konstipasi atau implikasi fekal yang berlangsung lama menyebabkan
distensi yang berlebihan pada rektum. Kondidi ini dapat menyebabkan
stimulasi refleks yang berkelanjutan dan mengakibatkan penurunan tonus
sfingter.
i. Inkontinensia alvi kerap menjadi masalah pada lansia yang tinggal dipanti
atau lansia yang menderita sakit kronis. Berbagai gangguan kognitif yang
terjadi dapat menghalangi pengenalan isyarat defekasi. Konstipasi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan kebocoran di sekeliling impliksi.
Penyebab lain inkontinensia alvi adalah ketidaknormalan sfingter rektum.

1. Konstipasi berhubungan dengan:


a. Defek stimulasi saraf, kelemahan otot dasar panggul, dan imobilitas
sekunder akibat cedera medulla spinalis/penyakit neurologis/demensia.
b. Nyeri saat defekasi (hemoroid, cedera punggung)
c. Efek samping obat (antidepresan, antasida, antikolinergik, anestetik,
zat besi, dan lain-lain).
d. Kebiasaan menggunakan laksatif.
e. Penurunan peristalsis, sekunder akibat imobilitas/ stress/ kehamilan/
kurang olahraga.
f. Pola defekasi yang tidak teratur.
g. Diet yang tidak adekuat (rendah serat, tiamin, roughage).
h. Asupan cairan yang tidak adekuat.
i. Ketidakmampuan mempersepsikan isyarat defekasi.

Kriteria Hasil

Individu akan melaporkan defekasi sedikitnya 2-3 sehari.

Indikator

a. Menguraikan berbagai komponen yang mendukung keefektifan defekasi.


b. Menjelaskan rasional perubahan gaya hidup.

19
Intervensi Umum

a. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi (misalnya jadwal


defekasi yang tidak teratur, latihan yang tidak adekuat, efek samping
pengobatan, ketidakseimbangan asupan makanan, stres).
b. Kaji ulang rutinitas harian klien.
c. Anjurkan klien untuk memasukan defekasi kedalam rutinitas harian.
d. Anjurkan klien untuk mencoba defekasi sekitar 1 jam setelah makan dan
upayakan untuk tetap berada di toilet selama waktu yang diperlukan.
e. Berikan privasi dan suasana yang nyaman saat defekasi (misalnya penutup
pintu, menyalakan televisi).
f. Jadwalkan latihan fisik yang sedang namun sering (jika tidak terdapat
kontraindikasi).
g. Lakukan latihan rentang gerak sendi pada klien yang terbaring di tempat
tidur.
h. Miringkan dan ubah posisi klien ditempat tidur, tinggikan panggul.
i. Tinjau ulang daftar makanan tinggi bulk (misal padi-padian, sereal, buah-
buahan, dan sayuran segar, kacang-kacangan dan lain-lain).
j. Diskusikan mengenai pilihan diet klien.
k. Sertakan sekitar 800 g buah dan sayuran ke dalam diet klien untuk
mencapai defekasi normal setiap hari.
l. Anjurkan klien untuk mengonsumsi sedikitnya 2 liter (8-10 gelas) cairan
setiap hari.
m. Anjurkan klien untuk mengonsumsi 1 gelas air panas setengah jam
sebelum sarapan guna membantu menstimulus defekasi.
n. Bantu klien mengambil posisi semijongkok untuk memudahkan
penggunaan otot abdomen dan menghasilkan efek gravitasi.
o. Catat feses yang keluar (warna, konsistensi, jumlah).
p. Beritahu klien tentang obat-obat yang menyebabkan konstipasi (misal
antasida, bismut, penyekat saluran kalsium, klonidin, levodopa, zat besi,
antiinflamasi, nonsteroid, opiat, sukralfat ).
q. Jelaskan kerugian penggunaan laksatif atau pelunak feses secara
berlebihan.

20
r. Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai indikasi.

Rasional

a. Pola defekasi yang normal harus mempertahankan dengan asupan serat


setiap hari, konsumsi cairan 6-8 gelas/hari, dan latihan harian. Selain itu,
klien juga harus menyadari perlunya defekasi secara rutin.
b. Aktivitas fisik yang teratur akan meningkatkan tonus otot yang di perlukan
untuk defekasi. Upaya ini meningkatkan sirkulasi sistem digestif yang
akan memperkuat peristalsis dan memudahkan defekasi (Maas dan Specht,
1991).
c. Asupan cairan yang adekuat (sedikitnya dua liter sehari) diperlukan untuk
mempertahankan pola defekasi serta memperbaiki konsistensi fases.
d. Diet tinggi serat yang seimbang akan menstimulasi peristalsis. Makanan
tinggi serat harus dihindari selama diare.
e. Refleks gastrokolon dan duodenokolonmenstimulasi massa peristalsis dua
atau tiga kali setiap hari, paling sering terjadi sesudah makan.
f. Kontraksi volunteer pada otot abdomen membantu pengeluara feses.
g. Frekuensi dan konsistensi feses berkaitan dengan asupan cairan dan
makanan. Makanan yang mengandung serat akan memperbesar ukuran
feses dan akan meningkatkan absorpsi air ke dalam feses. Asupan cairan
dan serat yang adekuat akan menghasilkan feses yang padat tetapi lunak
dengan bentuk yang normal dan akan mengurangi resiko feses yang keras,
kering, dan sulit dikeluarkan. Aktivitas fisik akan memperkuat peristalsis,
membantu pencernaan, dan memudahkan eliminasi.
h. Laksatif akan mengganggu program defekasi karena dapat menyebabkan
pengosongan usus yang berlebihan dan defekasi yang tidak terjadwal.
Apabila digunakan terus-menerus, laksatif dapat menyebabkan penurunan
tonus kolon dan retensi feses. Pelunak feses mungkin tidak diperlukan jika
asupan makanan dan cairan adekuat.
i. Tekanan intraabdomen dapat ditingkatkan dengan meninggikan kedua
kaki.

21
4. Evaluasi
Keefektifan perawatan bergantung pada keberhasilan dalam mencapai
tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dari perawatan secara optimal klien
akan mampu mengeluarkan feses yang lunak secara teratur tanpa merasa
nyeri. Klien juga akan memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk
menetapkan pola eliminasi normal dan untuk medemonstrasikan
keberhasilan yang berkelanjutan, yang di ukur berdasarkan interval waktu
tertentu dalam suatu periode yang panjang.
Klien akan mampu melakukan defekasi secara normal dengan
memanipilasi komponen-komponen alamiah dalam kehidupan sehari-hari
seperti diet, asupan cairan dan olahraga. Ketergantungan klien pada
tindakan bantuan untuk membantu defekasi seperti enema dan penggunaan
laksatif, menjadi minimal. Klien akan merasa nyaman dengan protocol
ostomi dan mengidentifikasi protocol tersebut sebagai sesuatu yang dapat
dipraktikkan secara pasti.

22
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heaather. 2015. NANDA International Inc. Nursing diagnose.


Jakarta : ECG
Huda A.N, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA.Medi Action Publishing.
Mubarak W I. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta : Salemba
Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI.
Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Jakarta : Kedokteran EGC.

23

You might also like