Professional Documents
Culture Documents
A. KONSEP RESEPTOR
Pada tahun 1970 farmakologi telah memasuki tahap baru yaitu penelitian
mengenai reseptor yang meliputi teori reseptor, mekanisme reseptor yang
melibatkan eksperimental labeling reseptor. Pendekatan pertama kali adalah
diterapkan pada penelitian reseptor asetilkolin nikotinik. Racun ular kobra
mengandung polipeptida yang berikatan sangat spesifik terhadap reseptor
asetilkolin. Senyawa yang dikenal sebagai a-toksin dapat dilabel dan digunakan
untuk assay reseptor pada jaringan atau ekstrak jaringan. Senyawa yang
termasuk golongan tersebut adalah -bungarotoksin, merupakan komponen
utama dari racun Bungarus multicinctus. Penanganan otot atau jaringan elektrik
dengan suatu detergen non-ionik digunakan untuk membuat protein reseptor
terikat membran yang mudah larut. Dengan preparasi berikutnya menggunakan
kromatografi afinitas dapat mengisolasi reseptor asetilkolin nikotinik.
Hal di atas merupakan salah satu penelitian mengenai reseptor yaitu
menyelidiki spesifisitas reseptor. Dari berbagai penelitian mengenai reseptor,
terdapat tiga sifat kerja reseptor terhadap agonjs yaitu pertama adalah
mempunyai potensi tinggi (sensivitas tinggi). Pada umumnya, obat bekerja pada
reseptor spesifik dengan konsentrasi yang sangat kecil misalnya histamin
nerinteraksi dengan reseptor H-1 dan dapat menstimulasi kontraksi otot polos
trakea marmut pada konsentrasi 10-6 M. Sifat yang kedua adalah spesifisitas
kimiawi. Stereoisomer suatu obat dapat mepengaruhi aktivitas biologi dari obat
yang bersangkutan. Kloramfenikol yang mempunyai 4 isomer hanya mempunyai
aktivitas biologi pada struktur D(-) treo. Bahkan beberapa obat seperti sotalol,
warfarin dan siklofosfamid yang mempunyai stereoisomer tidak hanya berbeda
pada efek farmakologi tapi juga berbeda pada jalur metabolismenya. Sifat yang
ketiga adalah spesifitas biologi. Efek farmakologi dari suatu obat dapat berbeda
pada beberapa jaringan, misalnya efinefrin menunjukkan efek yang kuat pada
otot jantung tapi lemah pada otot lurik.
Telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa reseptor merupakan
suatu komponen spesifik sel yang berinteraksi dengan suatu agonis sehingga
menimbulkan peristiwa-peristiwa biokimia yang pada akhirnya menghasilkan
respon fisiologi. Reseptor merupakan suatu makromolekul yang berupa
lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat. Sebagian besar dari
reseptor terdapat pada membran sel misalnya reseptor asetilkolin nikotinik,
reseptor insulin, dan sebagian kecil terdapat di dalam sel atau intisel misalnya
reseptor hormon steroid.
Fungsi dari reseptor adalah melalui perubahan permeabilitas membran
sel, pembentukan pembawa kedua (second messenger} misalnya cAMP,
diasilgliserol dan mempengaruhi transkripsi den atau DNA. Dari fungsi tersebut,
reseptor terlibat di dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang
dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu
agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang diterima ke dalam sel
dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permeabilitas
membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau mempengaruhi transkripsi
gen.
Kompiek obat-reseptor
Obat + Reseptor
Atau,
k1
[D] + [R] [DR]
k2
Dimana, k1 dan k2 merupakan konstanta kecepatan pembentukan dan peruraian
kompleks.
Berdasarkan hukum aksi massa, kecepatan pembentukan dan peruraian
yang direpresentasikan berturut-turut k1 [ D ] [ R ] dan k2 [ DR ]. Konsentrasi obat
atau [ D ] merupakan konsentrasi obat dalam biofase. Dalam percobaan
reseptor, biofase tersebut adalah medium dari organ atau jaringan terisolasi.
Pada ekuilibrium, kecepatan pembentukan dan peruraian kompiek adalah
seimbang :
K1 [D][R] = k2[DR] (1)
Sehingga,
k2 [D][R]
= KD = (2)
K1 [DR]
Jumlah total reseptor (RT) adalah jumlah reseptor yang berikatan dengan
reseptor membentuk komplek [ DR ] ditambah dengan jumlah reseptor bebas [R].
r
[D]2 = [KD]
1r
atau secara umum
r
[D]n = [KD] (6)
1 r
dimana n adalah rasio molekular ligan (obat) per sisi adsorpsi (reseptor), dan K
merupakan suatu konstanta yang identik dengan KD.
Agonis
Agonis merupakan obat beraksi pada reseptor sehingga menghasilkan
respon fisiologis yang meningkatkan atau menurunkan manifestasi tertentu dari
aktivitas sel atau sel itu sendiri dimana reseptor tersebut berinteraksi. Agonis
tersebut dapat berupa senyawa endogen atau eksogen. Senyawa endogen
adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh tubuh pada sistem homeostatis
tubuh misalnya insulin atau neurotransmiiter, sedangkan senyawa eksogen
adalah senyawa yang berasal dari luar tubuh misalnya parasetamol atau natrium
diklofenak.
[D] E
r = = (7)
[D] +KD Emaks
E [D]
= (8)
Emaks [ D ] + KD
Aktivitas intrinsik
Selain afinitas syarat agonis agar dapat menghasilkan efek adalah
aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik adalah kemampuan suatu obat untuk
menghasilkan efek atau respon jaringan. Fungsi dari aktivitas intrinsik adalah
menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan efek adalah dalam skala respon maksimum
jaringan.
Aktivitas intrinsik dinotasikan sebagai a yang merupakan besaran efek
per unit komplek obat-reseptor.
ED = [DR] atau EDmaks = [R]T (10)
ED maks
= (11)
ET maks
ED maks adalah efek maksimum obat sedangkan ET maks adalah respon maksimum
jaringan
Hubungan antara dosis dengan respon adalah
ET maks[D]
ED = (12)
[ D ] + KD
e[DR] e[D]
S = = (13)
[RT] [D] +KD
Stimulus berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang diduduki oleh obat
sehingga efek yang dihasilkan merupakan fungsi dari stimulus. Hubungan antara
stimulus dengan efek tidak selau tinier seperti pa.da persamaan berikut:
[ D ] / KD
S = e. dan E = f(S) (14)
[ D ] / KD + 1
Hubungan antara stimulus dengan efek / respon bukan merupakan sifat
dari agonis atau obat melainkan sifat dari jaringannya. Untuk agonis kuat
mempunyai nilai e yang besar, dan efek maksimum dapat dicapai tanpa harus
menduduki semua jumlah reseptor yang tersedia. Sisa reseptor tersebut tidak
diperlukan untuk mencapai efek masimum dinamakan spare reseptor atau
reseptor cadangan.
D. ANTAGONISME
Antagonisme merupakan suatu peristiwa pengurangan atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Penggolongan antagonisme adalah
sebagai berikut:
1. Antagonisme fisiologis
2. Antagonisme farmakokinetika
3. Anatgonisme farmakologi
4. Antagonisme kimiawi
Antagonisme farmakokinetika
Antagonisme farmakokinetika disebut juga dengan interaksi
farmakokinetika. Antagonisme atau interaksi tersebut dapat terjadi pada tahapan
proses farmakokinetika yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme /biotransformasi,
atau ekskresi (ADME). Terdapat beberapa faktor yang yang mempengaruhi
proses antaraksi farmakokinetika yaitu : (1) pada tahap absorpsi yaitu stabilitas,
kompleksasi dan dissolusi obat, serta fisiologi tubuh, (2) pada proses distribusi,
ikatan obat dengan protein mengambil peran penting dalam suatu antaraksi, (3)
Pada proses metabolisme yaitu induksi atau inhibisi enzim, (4) Pada proses
ekskresi yaitu reabsorpsi tubular dan sekresi tubular.
Perubahan pada level ADME dari obat kedua karena pemberian obat
pertama secara bersamaan mengakibatkan perubahan konsentrasi obat kedua
yang akan berinteraksi dengan reseptornya, dan membawa akibat pada efek
klinik obat tersebut. Sebagai contoh adalah pengaruh fenobarbital yang dapat
meningkatkan metabolisme warfarin sehingga konsentrasinya yang digunakan
untuk berinteraksi dengan reseptornya berkurang, dan akhirnya efek
antikoagulannya berkurang.
Antagomisme farmakologi
Antagonisms ini merupakan antagonisms yang melibatkan kerja atau efek
dari beberapa obat, yang timbul apabila obat dan antagonisnya bekerja pada
tempat kerja atau reseptor sama. Berbeda dengan antagonisms farmakokinetika,
antagonisme ini seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat-obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat
berdasarkan persamaan efek farmakodinamikanya. Berdasarkan sifatnya,
antagonisme farmakologi dibedakan menjadi dua yaitu (1) kompetitif dan (2) non-
kompetitif.
Antagonisme bersifat kompetitif apabila antagonis mengikat tempat ikatan
agonis pada reseptornya secara reversibel, dan efek tersebut dapat digeser oleh
pemberian agonis pada dosis yang tinggi. Dalam hal ini, penambahan dosis
agonis dapat mengatasi efek penghambatan antagonis tersebut. Dengan kata
lain, diperlukan dosis agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang
sama. Dari skema pada gambar 6, menunjukkan bahwa antagonis [A] dapat
menghambat efek farmakologi agonis [D] dengan berinteraksi secara reversibel
dengan reseptor agonis [R] membentuk komplek [AR]. Dalam hal ini, afinitas
agonis terhadap reseptornya menurun (gambar 7). Contoh dari antagonisme
kompetitif adalah asetilkolin dengan atropin yang bekerja pada reseptor
kolinergik muskarinik.
Dari skema pada gambar 6, dapat ditetapkan suatu konstanta disosiasi
komplek antagonis dengan reseptor yaitu
[A]
KA = (15)
[A] [R]
Dari persamaan 15 dan gambar 6, keberadaan antagonis mengakibatkan
agonis yang berinteraksi dengan reseptor berkurang sehingga mengakibatkan
efeknya juga berkurang. Pada antagonisme ini, untuk mendapatkan efek
maksimum seperti pada kondisi sebelum ada antagonis adalah penambahan
dosis atau kadar agonis yang lebih besar. Pada kurva logaritma dosis vs. respon
(KLDR) adanya antagonis dapat menggeser kurva sejajar ke kanan dan
mengakibatkan harga pD2 agonis menjadi lebih kecil (gambar 7).
Parameter yang digunakan untuk antagonis adalah pA2 yaitu logaritma
negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan
menjadi dua kalinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada
kondisi sebelum adanya antagonis. Nilai pA2 juga merupakan suatu afinitas
antagonis terhadap reseptornya. Nilai dapat ditetapkan dengan menggunakan
formula Schild seperti pada persamaan berikut:
Antagonisme kimiawi
Anatgonisme kimiawi terjadi manakala dua senyawa mengalami reaksi
kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat
berkurang. Sebagai contoh adalah penggunaan agen pengkelat dimerkaprol
yang mengikat pada logam-logam berat sehingga dapat menurunkan toksisitas
logam tersebut, dan penggunaan antibodi yang menetralisasi mediator protein
misalnya sitokin.
E. DESENSITISASI
Sering bahwa efek suatu obat mengalami penurunan ketika diberikan
jangka waktu yang lama dan berulang-ulang. Istilah desensitisasi disinonimkan
dengan takipilaksis. Mekanisme yang memperantarai peristiwa desensitisasi
adalah :
Perubahan reseptor
Kehilangan reseptor
Penurunan Mediator
Peningkatan degradasi metabolic
Adaptasi fisiologi
Perubahan reseptor
Diantara reseptor yang langsung berikatan dengan kanel ion,
desensitisasi adalah sering terjadi secara cepat dan nyata. Pada
neuromuscularjunction, terdapat kejadian bahwa desensitisasi disebabkan
karena perubahan lambat konformasi reseptor, menghasilkan ikatan yang kuat
atau rapat dari molekul agonis tanpa dapat membuka kanel ion. Perubahan yang
mirip adalah pada reseptor (-adrenergik yang tidak dapat mengaktivasi adenilat
siklase. Desensitisasi tersebut diakibatkan karena fosforilasi residu spes'rfik
dalam protein reseptor.
Kehilangan reseptor
Penggunaan jangka panjang agonis sering manghasilkan penurunan
bertahap dalam jumlah reseptor. Pada penelitian menggunakan kultur sel, jumlah
(-adrenergik berkurang hingga 10 % setelah 8 jam pemberian isoprenalin.
Namun, kehilangan reseptor tersebut adalah terbalikkan pada beberapa hari
selanjutnya. Peristiwa ini juga diakibatkan karena fosforilasi residu spesifik dalam
protein reseptor.
Penurunan Mediator
Amfetamin yang beraksi membebaskan noradrenalin maupun amin yang
lainnya dari ujung saraf autonom menunjukkan penekanan pada vesikel tempat
pelepasan noradrenalin untuk melepaskan senyawa tersebut.
Adaptasi fisiologi
Peniadaan efek obat dapat terjadi akibat respon homeostatis tubuh. Efek
penurunan tekanan darah oleh diuretik tiazid menjadi terbatas akibat aktivasi
bertahap pada sistem renin-angiotensin.
Pertanyaan
1. Jelaskan perbedaan teori pendudukan dan teori laju dalam
menerangkan hubungan interaksi obat-reseptor dengan efek yang terjadi!
2. Jelaskan perbedaan antara stimulus dengan respon, parameternya
dan hubungan antar keduanya!
3. Apa yang disebut dengan antagonis surmountabel dan antagonis ireversibel
?