You are on page 1of 4

3 serangkai

Tulisan ini mengajak pembaca mengkaji kitab Kaifa Hudimat Al-Khilafah


dan beberapa kitab lainnya mengungkapkan upaya Muhammad bin Saud
memanfaatkan gerakan Wahabi untuk mengguncangkan Khilafah
Utsmaniyah dari dalam. Kajian akan dilengkapi dengan berbagai referensi
lain yang relevan. Gerakan Wahabi dan penguasa Saudi yang muncul
awal kali pada abad ke-18 di tengah kondisi yang kurang menguntungkan
bagi Khilafah Utsmaniyah, baik internal maupun eksternal.

Secara eksternal, negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, dan


Italia telah dan sedang berkonspirasi untuk menghancurkan Khilafah
Utsmaniyah. Negara-negara Eropa itu berkali-kali berkumpul dan
bersidang membahas apa yang disebutnya Masalah Timur (al-masalah al-
syarqiyyah, eastern question) dengan tujuan untuk membagi-bagi
wilayah Khilafah.
Meski tidak berhasil mencapai kata sepakat dalam pembagian ini, namun
mereka sepakat bulat dalam satu hal, yaitu Khilafah harus dihancurkan.
(El-Ibrahimy, Inggris dalam Pergolakan Timur Tengah, hal. 27).

Sedangkan secara internal, kelemahan Khilafah mulai menggejala pada


abad ke-18 ini, disebabkan oleh buruknya penerapan hukum Islam,
adanya paham-paham asing seperti nasionalisme dan demokrasi yang
mengaburkan ajaran Islam dalam benak umat Islam, dan lemahnya
pemahaman Islam yang ditandai dengan vakumnya ijtihad. (An-Nabhani,
Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 177).

Agar Khilafah hancur, negara-negara Eropa itu melakukan serangan


politik (al-ghazwuz siyasi) dengan menggerogoti wilayah-wilayah
Khilafah. Selain Rusia yang yang telah mencaplok wilayah Turkistan tahun
1884 dari wilayah Khilafah, Perancis sebelumnya telah mencaplok Syam
(Ghaza, Ramalah, dan Yafa) tahun 1799.
Perancis juga telah merampas Al-Jazair tahun 1830, Tunisia tahun 1881,
dan Marakesh tahun 1912. Italia tak ketinggalan menduduki Tripoli
(Libya) tahun 1911. Sementara Inggris menguasai Mesir tahun 1882 dan
Sudan tahun 1898. (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 206-
207).

Demikian serangan militer telah dilancarkan Eropa untuk menghancurkan


Khilafah dengan cara melakukan disintegrasi wilayah-wilayahnya satu
demi satu. (Jamal Abdul Hadi Muhammad, Akhtha` Yajibu an Tushahhah
fi Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah, Juz II/9).

Berbagai cara ditempuh oleh Eropa untuk menghancurkan Khilafah dari


dalam, menurut kitab Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13; Abdur Rauf
Sinnu, An-Nazat Al-Kiyaniyat al-Islamiyah fi ad-Daulah al-Utsmaniyah,
hal. 91, ada empat cara yang digunakan selain upaya langsung dari luar,

1. Menghembuskan paham nasionalisme.


2. Mendorong gerakan separatisme.
3. Memprovokasi umat untuk memberontak terhadap Khilafah.
4. Memberi dukungan senjata dan dana untuk melawan Khilafah.

Di sinilah Inggris menggunakan cara-cara tersebut untuk memukul


Khilafah dari dalam, melalui antek-anteknya Abdul Aziz bin Muhammad
bin Saud (w. 1830) yang memanfaatkan gerakan Wahabi. Dan upaya ini
sangat mendapat dukungan dana dan senjata dari Inggris. (Kaifa Hudimat
Al-Khilafah, hal. 13).

Hubungan konspiratif segitiga antara Inggris, Abdul Aziz bin Muhammad


bin Saud, dan gerakan Wahabi ini diuraikan secara detail oleh Abul Asad
dalam kitabnya As-Suudiyyah wa Al-Ikhwan al-Muslimun (hal. 15).

Menurutnya, Abdul Aziz membangun ambisi politiknya atas dasar dua


basis, yaitu:
- Adanya dukungan internasional dari Inggris.
- Adanya dukungan milisi bersenjata dari gerakan Wahabi.

Dukungan Inggris terhadap Abdul Aziz ini terbukti misalnya dengan


adanya berbagai perjanjian rahasia antara Inggris dan Abdul Aziz tahun
1904.

Dalam kitabnya, Abul Asad mengatakan,hubungan ini (Inggris dan Abdul


Aziz) semakin kuat dengan berbagai perjanjian rahasia antara dua pihak
tahun 1904, di mana Abdul Aziz menerima dukungan materi, politik, dan
militer dari Inggris yang membantunya untuk meluaskan pengaruhnya di
Nejed serta menguasai kota Ihsa dan Qathif tahun 1913. (Abu Al-Asad,
As-Suudiyyah wa Al-Ikhwan al-Muslimun, hal. 16).

Adapun dukungan milisi dari gerakan Wahabi kepada Abdul Aziz, telah
terbentuk sebelumnya sejak tahun 1744 ketika terjadi kontrak politik
antara ayahnya (Muhammad bin Saud) dengan Muhammad bin Abdul
Wahhab.
Kontrak politik ini berlangsung di kota Diriyyah, sehingga sering disebut
Baiah Diriyyah (Tarikh Al-Fakhiri, tahqiq Abdullah bin Yusuf Asy-Syibl,
hal. 25).

Dengan kontrak politik itu, Muhammad bin Saud mendeklarasikan


dukungannya terhadap paham gerakan Wahabi dan menerapkannya
dalam wilayah kekuasaannya. Sedang gerakan Wahhabi yang sebelumnya
hanya gerakan dakwah kelompok, berubah menjadi gerakan dakwah
kekuasaan. Implikasinya, paham Wahabi yang semula hanya disebarkan
lewat dakwah murni, kemudian disebarkan dengan paksa menggunakan
kekuatan pedang kepada penganut mazhab lain, antara lain penganut
mazhab Syafii. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 16).

Dengan dukungan dana dan senjata dari Inggris, penguasa Saudi dan
kaum Wahabi memerangi dan menduduki negeri-negeri Islam yang
berada dalam kekuasaan Khilafah. Dengan ungkapan yang lebih tegas,
sebenarnya mereka telah memberontak kepada Khalifah dan memerangi
pasukan Amirul Mukminin dengan provokasi dan dukungan dari Inggris,
gembongnya kafir penjajah. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13).

Penguasa Saudi dan Wahabi telah menyerang dan menduduki Kuwait


tahun 1788, lalu menuju utara hingga mengepung Baghdad, menguasai
Karbala dan kuburan Husein di sana untuk menghancurkan kuburan itu
dan melarang orang menziarahinya. Pada tahun 1803 mereka menduduki
Makkah dan tahun berikutnya (1804) berhasil menduduki Madinah dan
merobohkan kubah-kubah besar yang menaungi kuburan Rasulullah SAW.
Setelah menguasai Hijaz, mereka menuju ke utara (Syam) dan mendekati
Hims. Mereka berhasil menguasai banyak wilayah di Siria hingga Halb
(Aleppo). (Muwaffaq Bani Al-Marjih, Shahwah ar-Rajul Al-Maridh, hal.
285).

Serangan militer ini sebenarnya adalah aksi imperialis Inggris, karena


sudah diketahui bahwa penguasa Saudi adalah antek-anek Inggris. Jadi,
Inggris telah memanfatkan penguasa Saudi yang selanjutnya juga
memanfaatkan gerakan Wahabi untuk memukul Khilafah dari dalam dan
mengobarkan perang saudara antar mazhab dalam tubuh Khilafah.

Hanya saja, seperti telah disebut di depan, para pengikut gerakan Wahabi
tidak begitu menyadari kenyataan bahwa penguasa Saudi adalah antek
Inggris. Mengapa? Karena hubungan yang terjadi bukanlah antara Inggris
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, melainkan antara Inggris dengan
Abdul Aziz, lalu antara Inggris dengan anak Abdul Aziz, yaitu Saud bin
Abdul Aziz. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 14).

Mungkin karena sebab itulah, banyak para penganut gerakan Wahabi


mereka lebih senang menyebut dirinya Salafi karena malu dengan fakta
sejarah dan menolak anggapan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab
telah memberontak kepada Khilafah Utsmaniyah.

Banyak kitab telah ditulis untuk membersihkan nama Muhammad bin


Abdul Wahhab dari tuduhan yang menurut mereka tidak benar itu.
Contohnya kitab Tashih Khathta` Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah karya
Asy-Syuwaiir; lalu kitab Bara`ah Da`wah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab min Tuhmah Al-Khuruj Ala Ad-Daulah Al-Utsmaniyah karya Al-
Gharib, juga kitab Kasyfu Al-Akadzib wa al-Syubuhat an Dawah Al-
Mushlih Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab karya Shalahudin Al
Syaikh. Termasuk juga kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, yang berjudul Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
karya Ash-Shalabi. (Pustaka Al-Kautsar, 2004).

Bahkan dalam buku yang terakhir ini, Ash-Shalabi mencoba membangun


konstruksi persepsi sejarah yang justru mengaburkan fakta sejarah yang
sesungguhnya. Ash-Shalabi mengatakan bahwa perang antara Khilafah
(yang diwakili oleh Muhammad Ali, yakni Wali Mesir) melawan gerakan
Wahabi pertengahan abad ke-19, adalah Perang Salib yang berbaju
Islam. (Ash-Shalabi, Ad-Daulah Al-Utsmaniyah Awamil An-Nuhudh wa
Asbab As-Suquth, hal. 623).

Maksudnya, Muhammad Ali dianggap representasi pihak Salib karena dia


dianggap antek Inggris dan Perancis, sementara gerakan Wahabi
dianggap representasi tentara Islam. Astaghfirullahal azhim.. ternyata
Wahabi membolak-balikan fakta,
Padahal, Muhammad Ali meski benar dia adalah antek Perancis tapi dia
memerangi Wahabi karena menjalankan perintah Khalifah, bukan
menjalankan perintah kaum Salib. Jadi, perang yang terjadi sebenarnya
adalah perang antara Khilafah dan kaum pemberontak yang didukung
Inggris, bukan antara kaum Salib melawan pasukan Islam. . (yma)

You might also like