You are on page 1of 5

Perlunya kurikulum yang mengedepankan karakter

Oleh : Aziz Muslihin

Kelas : XII IPA - 1

Bicara soal karakter bangsa memang tak akan ada habisnya. Karakter suatu
bangsa lekat dengan ciri khas suatu bangsa. Maka membahas karakter suatu bangsa
pasti akan meyentuh pula soal perilaku, adat, kebiasaan dan tingkat intelektual suatu
bangsa. Pertanyaan besarnya, apakah karakter bangsa adalah sesuatu yang diberikan
Tuhan atau bisakah karakter dibentuk?

Salah satu contoh yang menarik adalah bangsa Jepang. Seluruh bangsa sudah
sangat mengenal karakter bangsa Jepang yang identik dengan disiplin dan pekerja keras.
Berbagai persoalan yang dianggap masalah besar di negara lain, bagi bangsa Jepang itu
hal biasa. Misalnya, masalah transportasi massal kereta api.

Di Indonesia, mode transportasi massal ini sangat bermasalah. Misalnya, penuh


sesak atau harus berhimpitan. Masalah yang sama juga di alami oleh bangsa Jepang,
namun yang membedakan adalah cara mereka menghadapinya. Di Indonesia masalah
perkeretaapian memang semerawut ditambah lagi perilaku penumpangnya berlaku
negatif, seperti tidak sabaran, aksi vandalisme yang merusak sarana kereta api, dan tidak
tertib. Baik waktu masuk maupun keluar kereta.

Berbeda dengan karakter orang Jepang. Walaupun kereta api sangat penuh dan
sesak dengan penumpang, mereka tetap menunggu dengan sabar dan tertib. Kesabaran
mereka begitu tinggi dan tidak pernah melakukan aksi vandalisme. Karena, mereka
sadar, aksi vandalisme itu akan menyusahkan mereka juga. Itu semua adalah contoh
kecil betapa bangsa Indonesia dikenal berkarakter negatif, selain kebiasaan ngaret
yang sudah mendarah daging kepada setiap individu di negara ini.

Lantas, dari mana asala muasal karakter baik bangsa Jepang? Karakter yang
dimiliki bangsa Jepang itu memang warisan turun-temurun dari nenek moyang bangsa
Jepang, plus pendidikan karakter yang sangat kuat mengolah dan menempa bangsa
Jepang sejak usia dini. Mereka pun memiliki nilai-nilai luhur yang disebut Bushido.
Lalu, bagaimana Indonesia? Bangsa ini memiliki nilai-nilai luhur berasal dari
adat-istiadat, agama, dan mental yang sudah melekat sejak nenek moyang. Nilai-nilai
luhur itu kemudian diolah dan diramu oleh para pendiri bangsa, lalu dituangkan ke
dalam Pancasila. Lima dasar pancasila inilah intisari karakter luhur bangsa yang
seharusnya dipahami dan direalisasikan dalm kehidupan sehari-hari.

Banyak dari kita tak menyadari karakter bangsa ini tergerus sedikit demi sedikit
disebabkan kita tidak lagi memahami budaya nasional kita sendiri. Kita lebih asik
menikmati budaya luar. Padahal orang luar negeri pun mengakui keindahan dan
keluhuran budaya kita. Hal tersebut mempertegas bahwa pendidikan karakter bangsa
harus diberikan sejak dini dan dimulai dari keluarga. Bila anak bangsa tidak memahami
budayanya maka jangan disalahkan jika anak-anak bangsa tidak lagi mengenal bahasa
daerahnya, adat istiadat, agama, dan pakaian daerahnya.

Jika ini terjadi maka karakter mereka akan tergerus, dan mungkin akan hilang
sama sekali. Perilaku anak-anak bangsa akan berubah, tidak lagi berkarakter
berkebangsaan tapi berkarakter kebebasan yang sebebas-bebasnya seperti kebiasaan
bangsa Barat. Orangtua harus menularkan budaya nasional kepada anak-anaknya tanpa
henti. Biasakan anak-anak kita diperkenalkan dengan menu asli Indonesia, pakaian
nasional, bahasa daerah, dan segala hal yang mengenai Indonesia.

1
Pakar pendidikan anak DR. Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto menilai,
karakter bangsa ini bisa dilihat dari perilaku generasi muda pada masa sekolah. Karakter
tak elok seperti tawuran, kekerasan, pelecehan seksual yang sering diperagakan generasi
muda sangat tidak mencerminkan karakter bangsa yang luhur. Ini mengindikasikan
bahwa pendidikan di Indonesia belum mengangkat karakter.

2
Tujuan pendidikan nasional jelas telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam
menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Namun, penyelenggaraan
pendidikan telah mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan, di mana nilai-

1
Chili, Syahril, dkk. 2014. Majelis (Media Komunikasi dan Informasi Konstitusi). Jakarta: MPR RI

2
Anonim. 2014. Pendidikan Karakter . Dalam (http://www.pendidikankarakter.org/articles_004.html) Di
akses pada hari kamis pukul 20.31 WIB.
nilai kearifan lokal telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan
pribadi intelektual menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan
dalam menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman kemampuan telah
membelenggu tumbuh dan berkembangnya keragaman kemampuan sebagai
pencerminan beragamnya kekayaan budaya bangsa. Akibatnya, menipisnya tatakrama,
etika, dan kreatifitas anak bangsa menjadi fenomena yang datang.

Oleh karena itu perlu adanya kurikulum pendidikan yang mengedepankan soal
pendidikan karakter, terutama bagi anak-anak dan remaja. Sistem pendidikan Indonesia
melupakan etika. Bahkan masih belum mementingkan pendidikan spiritual. Masih
banyak kasus kekerasan dan negatif dari pelajar. Disini peran guru sebagai tenaga
pendidik sangat penting. Cobalah rangsang panca indera mereka dengan game atau
permainan yang mengedepankan emosional dan spiritual mereka. Itu efektif membuat
anak senang sekaligus berkarakter.

3
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut
Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan


berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal,
yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun;
kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam,
percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik
dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

3
Anonim. 2014. Pendidikan Karakter . Dalam (http://www.pendidikankarakter.org/articles_004.html) Di
akses pada hari kamis pukul 20.31 WIB.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model
pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan
acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat
kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good,
yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa
membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran
bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah
menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau
yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini
terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah
terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8
tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah
sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan
lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Peran orangtua dan rumah juga penting sebagai teladan. Sebab, rumah
merupakan sumber nilai-nilai moral, sumber kekuatan dan inspirasi. Di sinilah tempat
awal karakter seorang manusia terbentuk sebelum bertemu dengan dunia luar. Maka
dari itu, didiklah anak-anak dengan contoh dan teladan dengan memakai karakter yang
baik seperti persahabatan dan cinta.

4
Pakar dan praktisi pendidikan Prof. Arif Rahman, M.Pd mengatakan, dalam
suatu negara pasti sangat membutuhkan bangsa yang berkarakter kuat. Pendidikan
adalah dasar dari kehidupan dan bermasyarakat. Dalam dunia pendidikan pembentukan
karakter sangat diperlukan. Beliau sangat menyetujui bahwa pendidikan karakter harus
diberikan sejak dini, dan dimulai dari rumah. Begitu pula pendidikan keluarga yang
mengedepankan keteladanan yang baik sangat penting bagi tumbuh kembangnya

4
Chili, Syahril, dkk. 2014. Majelis (Media Komunikasi dan Informasi Konstitusi). Jakarta: MPR RI
karakter anak, dan itu akan terus berkembang dan menetap di saat besar dan dewasa
nanti.

Setelah pendidikan rumah, berlanjut kesekolah. Disini , selain mengajarkan


akademik, guru harus menjadi teladan yang baik untuk anak didiknya. Setelah itu baru
pendidikan di lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar memiliki potensi besar dalam
pembentukan karakter.

Referensi :

Anonim. 2014. Pendidikan Karakter . Dalam


(http://www.pendidikankarakter.org/articles_004.html) Di akses pada hari kamis pukul
20.31 WIB.

Chili, Syahril, dkk. 2014. Majelis (Media Komunikasi dan Informasi Konstitusi).
Jakarta: MPR RI

You might also like