You are on page 1of 11

atar Balakang

Globalisasi telah menimbulkan pengaruh yang sangat luas dalam dimensi masyarakat.
Malcolm Waters (Trisis ekonomi Indonesia baru usai, namun efek peningkatan harga minyak
dunia akhir-akhir ini telah berimbas pada negara dan rakyat Indonesia. Beban anggaran
pemerintah semakin berat, subsidi-subsidi dikurangi dan inflasi melambung tinggi. Akibatnya
adalah penurunan daya beli masyarakat, terutama masyarakat menengah kebawah. Data
terbaru dari BPS, diperkirakan jumlah penduduk miskin akan bertambah menjadi sekitar 36,8
juta (16,85%). Mereka akan sangat kesulitan memenuhi kebutuhan esensial sehari hari,
sehingga kebutuhan essensial yang seharusnya dipenuhi semua harus dipilih dengan
mengalahkan kebutuhan esensial lain atau menurunkan kualitasnya yang sebenarnya sudah
sangat rendah. Satu akibat dari masalah diatas adalah penurunan derajat kesehatan
masyarakat seperti peningkatan angka gizi buruk, kematian akibat penyakit menular,
kematian bayi dan ibu melahirkan.

Masalah diatas tidak mungkin dapat diatasi oleh pemerintah saja. Dukungan dari berbagai
stakeholder sangat diperlukan seperti profesi perawat. Perawat adalah satu profesi kesehatan
dengan jumlah terbanyak (60%) dan dengan distribusi terluas, memiliki peluang besar untuk
diberdayakan dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas, terjangkau dan
berkelanjutan hingga ke pelosok pedalaman dan daerah perbatasan. Tidak seperti profesi
kesehatan lain, perawat memiliki keunikan dalam memberikan pelayanan kesehatan, yaitu
peran pemberdayaan potensi keluarga dan masyarakat lokal melalui pendekatan pelayanan
kesehatan primer dan pendekatan sosial budaya yang holistik dan komprehensif. Sehingga,
pendekatan upaya peningkatan kesehatan masyarakat dapat dipadukan secara serasi dan
berimbang dengan upaya kesehatan perorangan. Seperti kita ketahui bahwa penyebab
penyakit dan kekurangan gizi bukan hanya akibat keterbatasan akses pelayanan kesehatan
dan keterbatasan sumber-sumber tetapi adanya budaya yang kurang mendukung terwujudnya
kesehatan masyarakat.
Perawat adalah sumber daya kesehatan terdekat dengan masyarakat yang telah dimiliki
pemerintah yang terlupakan untuk dilibatkan lebih besar dalam mengatasi problematika
kesehatan masyarakat. Sebenarnya, hanya memerlukan stimulus sederhana saja untuk
menggerakan mesin yang selama ini idle dibanding dengan menyediakan mesin kesehatan
primer baru yang berbiaya mahal. Upaya yang mestinya dilakukan adalah memberikan
kewenangan dan perlindungan hukum yang kuat agar perawat bisa menjadi pilar pelayanan
kesehatan primer di masyarakat. Melalui peraturan atau undang-undang, kewenangan dan
perlindungan diberikan kepada perawat perawat yang kompeten untuk bertanggungjawab di
lini depan pelayanan kesehatan dasar (primer) yang paling banyak dibutuhkan oleh
masyarakat luas. Menjadikan perawat yang saat ini ada untuk dapat tampil maksimal di
masyarakat tidaklah sulit dan mahal. Melalui kerjasama dengan pemerintah daerah, LSM dan
organisasi profesi dengan jaringan yang luas serta dukungan perawat yang saat ini sangat
tinggi, sistem registrasi, sertifikasi dan lisensi sebagai proses profesionalisasi perawat akan
berjalan dengan baik. Dalam waktu singkat, perawat profesional akan menyebar keseluruh
pelosok negeri untuk memberikan jaminan pelayanan praktik yang berkualitas sebagai hak
asasi manusia.
Sebagai gambaran, ketersediaan sarana kesehatan seperti puskesmas (7.550 unit), puskesmas
pembantu (22.002 unit) dan pusesmas keliling (6.132 unit) adalah masih jauh dari angka
ideal. Sementara, rasio penduduk dengan tenaga kesehatan pada tahun 2003 untuk tenaga
Perawat 108.53, Bidan 28.40 dan dokter 17.47 per 100,000 penduduk, penambahan tenaga
baru hingga tahun ini juga masih jauh dari angka ideal. Data diatas menunjukan bahwa perlu
kearifan pemerintah untuk memberikan pendekatan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang ada dan kemampuan anggaran pemerintah.
Menilik pengalaman negara seperti Inggris, Amerika dan Australia, mereka memberdayakan
perawat untuk menangani permasalahan kesehatan masyarakat di daerah dan pedesaan.
Keputusan negara-negara tersebut pastilah didasari atas pertimbangan ekonomis, sosial dan
filosofis yang terkadang tidak popular bagi tenaga kesehatan tertentu namun sangat populer
dan didambakan oleh rakyat banyak. Sudah saatnya pemerintah melindungi kesehatan rakyat
lebih baik.
Berbagai manfaat dapat diperoleh dari optimalisasi peran dan tanggung jawab perawat.
Manfaat utama adalah peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan yang luas hingga
pelosok tanah air. Karena pelayanan kesehatan paripurna dilakukan secara optimal di
sumbernya, maka biaya rujukan dan perawatan lanjutan akibat bertambah parahnya penyakit
pasien di rumah sakit dapat dihemat, subsidi bisa dialihkan untuk sektor kesehatan lain.
Pendekatan pelayanan kesehatan primer dapat dijadikan pintu masuk untuk memberikan
pendidikan kesehatan promotif dan prefentif melalui kontak sosial dan budaya untuk
merubah perilaku masyarakat dalam menerapkan pola hidup sehat. Sehingga, penyakit-
penyakit akibat kurangnya pengetahuan dan perilaku budaya tidak sehat seperti gizi buruk,
penyakit infeksi, kematian ibu dan bayi dapat lebih ditekan.
Bila hal diatas dapat tercapai, derajat kesehatan penduduk indonesia akan semakin
meningkat. Produktifitas penduduk meningkat dengan human development index yang baik
akan meningkatkan martabat bangsa. Peningkatan kompetensi perawat juga memberi peluang
masuknya devisa negara, mengingat kebutuhan perawat di negera-negara maju sangat besar
dan saat ini minat masyarakat Indonesia menjadi perawat masih cukup tinggi.
Akhirnya, masalah kesehatan utama penduduk Indonesia akan dapat ditekan melalui
Kepeloporan perawat melalui pelayanan kesehatan primer yang berkualitas dalam melayani
masyarakat Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang selama ini masih
menjadi kendala utama yang berdampak pada masalah biaya dan jarak transportasi dapat
diatasi, karena keberadaan perawat terdistribusi luas hingga pelosok desa dan daerah
perbatasan.
Sumber kutipan ada pd penulis
ilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi
ekonomi, ghttp://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/02/26/pemberdayaan-profesi-
perawat/lobalisasi politik, dan globalisaatar Balakang

Globalisasi telah menimbulkan pengaruh yang sangat luas dalam dimensi masyarakat.
Malcolm Waters (Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi,
yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Globalisasi yang
merupakan universalisasi nilai-nilai menyebabkan kearifan lokal menjadi luntur. Hal ini
menyangkut dengan moral bangsa yang juga akan terpengaruh dengan moral luar yang
tentunya akan lebih kuat mempengaruhi karena dalam globalisasi, negara-negara majulah
yang akan menguasai.
Dalam rangka pembangunan untuk meningkatkan daya saing, diperlukan suatu bentuk
moral yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup timur yang termahsyur
dengan sopan santun dan keramahtamahannya. Hal yang semacam inilah yang perlu dimiliki
mahasiswa. Tetapi dalam kenyataannya sebagian mahasiswa juga telah kehilangan moral.
Mahasiswa adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh akan
dibawa kemana negeri ini dibawa berlari. Apakah menuju kebangkitan yang begitu saat ini
begitu santer digalakkan atau justru menuju keterpurukan. Analisa dari kebangkitan dan
keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi agen of change saat ini. Agen of
change yang dimaksud adalah para mahasiswa.
Moralitas mahasiswa merupakan unsur penting dalam proses sejauh mana mahasiswa
berperan dalam pembangunan untuk menyambut kebangkitan. Moralitas dalam kajian ini
tidak hanya berkaitan dengan salah satu nilai religi (agama Islam-akhlak) saja, melainkan
secara umum.
Untuk itu dalam mengaplikasikan nilai-nilai moral muncul pertanyaan, apa
sebenarnya moral itu, apa yang menyebabkan kemerosotan moral, bagaimanakah kondisi
kemerosotan moral mahasiswa di Indonesia saat ini, dan bagaimana cara memperbaiki dan
menjaga moral mahasiswa?
Mahasiswa sebagai generasi dimana atap bangsa akan didirikan harus memiliki
moralitas tinggi agar dapat menjadi filter bagi pengaruh buruk dari globalisasi. Oleh karena
itu, mahasiswa perlu tahu pengertian tentang moral, tahu penyebab merosotnya moral, tahu
kondisi moral saat ini, dan tahu cara memperbaiki dan menjaga moral mereka.

Pengertian Moral
Secara etimologis moral berasal dari bahasa latin mores yang memiliki arti adat
kebiasaan, akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup (Poespoprodjo, 1989; BP-7, 1993; Soegito,
2002).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak,
budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk,
berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal
kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah
itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria
mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah
pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis
dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang
dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak. Menurut Driyarkara, moral atau kesusilaan
adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
kesempurnaan sebagai manusia atau tuntunan kodrat manusia (Driyarkara, 1966: 25).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa moral atau kesusilaan adalah
keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.

Penyebab Merosotnya Moral


Kemerosotan moral banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dalam masyarakat
sekitarnya. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk dari kurangnya pranata sosial dalam
mengendalikan perubahan sosial yang negatif. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian
besar mahasiswa adalah anak kost yang tentunya jauh dari pengawasan orang tua. Mayoritas
kost memang memiliki penjaga, atau yang disebut induk semang. Namun, ada pula yang
tidak disertai penjaga. Lingkungan seperti ini menyebabkan munculnya rasa bebas bertindak
dari mahasiswa yang kost tersebut.
Dunia malam yang mayoritas dinikmati mahasiswa menimbulkan masalah yang
begitu kompleks, seperti narkoba, alkhohol, seks bebas, hingga merembet ke kriminalitas.
Hampir setiap malam diskotik-diskotik dipenuhi pengunjung, dan sebagian besar dari mereka
adalah mahasiswa.
Pada kondisi budaya yang dapat dibilang tidak baik, para remaja mudah sekali
terpengaruh oleh hal-hal yang baru. Sebagai contoh adalah video porno. Memang sepertinya
tidak etis apabila kita menyebut video porno adalah sebuah kebudayaan. Karena pada intinya
kebudayaan adalah sesuatu karya manusia yang berguna bagi manusia. Untuk kasus video
porno ini dapat dikatakan sebagai budaya yang enyimpang.
Hal ini terjadi karena pengaruh media melalui tayangan-tayangan yang vulgar dan
cenderung untuk lebih mengarahkan konsumennya ke arah pornografi dan pornoaksi. Tidak
heran bila eksploitasi bentuk tubuh baik wanita maupun pria (terutama dari kalangan wanita)
selalu menjadi ukuran dalam segala hal. Tidak sulit saat ini untuk mendapatkan gambar-
gambar yang mempertontonkan bentuk tubuh lewat majalah atau harian porno, menonton
adegan-adegan kotor lewat VCD Porno, HP juga menjadi alat penyebar pornoaksi,
penampilan iklan yang menunjukkan kemolekan tubuh. Pelayanan seks lewat telepon juga
marak diiklankan dengan bebas dan amat vulgar.
Rusaknya moral via media juga tidak selalu berhubungan dengan pornografi dan
pornoaksi, tetapi juga berupa program yang menunjukan sarkasme dan kriminalisme. Secara
tidak langsung, tayangan ini terinternalisasi ke dalam diri penontonnya. Sebagai contoh dari
akibat dari hal ini adalah kasus perkelahian mahasiswa yang kerap terjadi. Penyebab
umumnya adalah karena hubungan percintaan dan minuman keras.
Secara garis besar, penyebab dari rusaknya moral generasi muda intelektual adalah
sebagai berikut: Tidak adanya pengawasan langsung dari pihak yang tepat. Lingkungan
sosial-budaya yang tidak sehat. Tayangan media massa yang tidak baik, kurangnya
pendidikan mengenai moral hinga tidak adanya kesadaran dari para mahasiswa untuk
memiliki ketahanan diri sebagai filter dari hal-hal yang negatif.

Demoralisasi Mahasiswa Saat Ini


Era modern ditandai dengan berbagai macam perubahan dalam masyarakat.
Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek), mental manusia, teknik dan penggunaannya dalam masyarakat,
komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan
tuntutan manusia . Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat
bersama dalam masyarakat, dan inilah yang kemudian menimbulkan perubahan masyarakat.
Perubahan ini sampai mengarah kepada perubahan mentalitas (moral). Khususnya, di
kalangan generasi muda (dalam hal ini mahasiswa) telah terlihat adanya pergeseran nilai dan
kecendrungan-kecendrungan pada aspek tertentu. Sangat disayangkan, era modern hanya
ditandai dengan gaya hidup yang serba hedonistis (keduniawian) dan budaya glamour (just
for having fun). Perilaku moral generasi muda telah melampaui batas-batas norma. Potret
buram generasi muda hari ini: mabuk-mabukkan, berlagak preman (premanisme), penganut
seks bebas (free sex), tawuran antar pelajar, terlibat narkoba, dan lain sebagainya. Kondisi
inilah yang disebut demoralisasi, yaitu proses kehancuran moral generasi muda.
Akhir-akhir ini permasalahan seks bebas di kalangan mahasiswa semakin
memprihatinkan, terutama yang kurang baik taraf penanaman keimanan dan ketaqwaannya.
Beberapa kasus video porno pasangan mahasiswa yang merebak di internet membuktikan
bahwa moral adalah sebuah hal yang tidak cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan
oleh sebagian mahasiswa.
Kemudian kasus pencurian telepon genggam oleh mahasiswa yang ketika ditanya, ia
mengaku butuh uang untuk membeli narkoba. Kemudian kasus lainnya beberapa mahasiswa
di salah satu universitas negeri di Semarang tertangkap basah sedang mesum di lingkungan
kampus. Dan banyak contoh kasus lain perilaku amoral mahasiswa yang kerap terjadi di
Indonesia ini.
Sebuah kasus yang menunjukan begitu rentannya pelajar dan mahasiswa mengalami
kerusakan moral adalah di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa sekitar 80% mahasiswi di sana telah kehilangan keperawanan. Dari hal
ini, kita mengetahui bahwa hampir tidak dapat dipisahkan antara kaum muda intelek dengan
pergaulan bebas.
Kondisi ini juga berimbas terhadap down-nya mental generasi muda. Gejalanya bisa
dilihat dari pesimisme generasi muda baik dalam mengeluarkan ide/gagasan ataupun dalam
menyikapi perkembangan. Tidak jarang ditemukan mahasiswa yang minder sendiri karena
ketidakmampuannya mengoperasikan teknologi informasi, seperti: komputer ataupun internet
atau juga mahasiswa yang terganggu mentalitas kejiwaannya karena tidak sanggup
berhadapan dengan kompleksitas persoalan hidup.
Telah terjadi pergeseran nilai hidup dari sebagian mahasiswa dari menuntut ilmu dan
berkarya ke menikmati hidup dan menikmati karya. Dengan kata lain kurangnya internalisasi
Tri Dharma Perguruan Tinggi di kalangan mahasiswa. Imbasnya, mahasiswa lebih suka
berdemo menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat
daripada berkarya untuk mengatasi tantangan yang dapat berguna bagi rakyat. Seharusnya
mahasiswa yang kreatif dan bermoral tinggi memiliki kepekaan yang lebih berupa tindakan
nyata dan langsung sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Demonstrasi yang akhir-akhhir ini kerap terjadi hampir selalu berakhir dengan
bentrokan. Bentrokan juga merupakan suatu bentuk dari tindakan amoral karena bertujuan
untuk menyakiti musuhnya. Di lain waktu juga terlihat amoralitas mahasiswa dimana
mahasiswa tidak memiliki rasa hormat terhadap orang lain ketika membakar foto Presiden.
Ini adalah potret buram betapa negeri ini masih perlu untuk belajar berdemokrasi
dengan bijak. Tidak semata-mata atas nama hak asasi manusia setiap orang boleh melakukan
apa saja yang ia ingin ia lakukan. Nilai-nilai Pancasila yang luhur merupakan ajaran moral
yang mendasar dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi pada
kenyataannya saat ini Pancasila justru banyak dipertanyakan relevansinya dalam era
moderenitas-globalisasi.
Pada hakikatnya ajaran moral Pancasila meliputi segala bidang, dari agama, sosial-
budaya, politik, hankam, pendidikan serta ekonomi. Namun, jauhnya relasi antara warga
dengan Pancasila ini telah menimbulkan masalah moral yang juga begitu kompleks di segala
bidang. Dalam hal ini, yang penulis soroti adalah bidang pendidikan. Kondisi pendidikan kita
saat ini jauh dari upaya untuk menjaga atau memperbaiki moral. Di dunia sekolah pada
kurikulum 1984, terdapat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang memiliki
esensi sebagai peljaran moral yang berdasar Pancasila. Namun, pada kurikulum 1994
pelajaran ini dihapuskan dan diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) dengan maksud untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, sementara itu pendidikan
tentang moral masuk ke dalam Pendidikan Agama yang pada penerapannya lebih pada
kehidupan beragama itu sendiri. Dan setelah itu, pada kurikulum 2004 PPKn juga diganti
dengan Pendidikan Kewarganegaraan saja tanpa Pancasila. Secara otomatis nilai-nilai moral
yang ada dalam Pancasila tidak lagi dipelajari dan ditanamkan pada diri siswa.
Di dunia perguruan tinggi moral bahkan tidak pernah disosialisasikan kepada
mahasiswa secara formal atau masuk ke dalam mata kuliah secara khusus. Moral tersubstansi
dalam MPK yaitu mata kuliah pengembangan kepribadian meliputi Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Hal ini cenderung membuat
mahasiswa kurang memahami pentingnya moral dalam kehidupan akademis mereka maupun
sebagai aplikasi di masyarakat kelak
Solusi
Kompleksitas demoralisasi mahasiswa saat ini memang memerlukan solusi yang tepat
agar kelestarian moral yang ada pada mahasiswa dapat terjaga. Mahasiswa adalah agen
pembangunan dan moral adalah perawat dari agen tersebut. Rusaknya moral butuh
penanganan dari berbagai aspek, meliputi sosial-budaya, agama, pendidikan, serta politik dan
hukum.
Pada aspek sosial-budaya dibutuhkan perbaikan kondisi sosial dan penyaringan
budaya (culture filtering) dalam lingkungan mahasiswa. Perbaikan tersebut dapat berupa
penataan sistem sosial dimana masing-masing komponennya berfungsi secara positif. Dan
bentuk culture filtering adalah berupa sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal yang
berfungsi positif dalam proses akulturasi kebudayaan.
Di bidang keagamaan, agama memiliki kearifan yang luhur dalam urusan moral.
Masing-masing agama memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi pada akhirnya bertujuan
untuk mengatur manusia agar tetap dalam jalan yang benar.
Dunia pendidikan adalah tempat dimana mahasiswa berkecimpung. Hakikat
pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya. Seutuhnya berarti tidak berperilaku
seperti binatang, dengan kata lain berperilaku sesuai akal pikiran dan hati nurani. Berperilaku
sesuai dengan akal, pikiran dan hati nurani berarti berdasarkan nilai-nilai moral. Diperlukan
pendidikan moral yang secara khusus merujuk pada soft skill mahasiswa sebagai dasar
berperilaku akademis
Politik dan hukum menyangkut kebijakan penguasa atau pemerintah. Pemerintah
seharusnya berperan aktif dalam upaya perbaikan moral. Peran aktif tersebut dapat berupa
program-program penyuluhan atau bimbingan. Lalu hukum yang tegas dan adil harus
ditegakan untuk memberikan efek takut bagi yang belum melanggar dan efek jera bagi yang
sudah dihukum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dasar solusi dalam upaya perbaikan moral.
Solusi-solusi tersebut yaitu:
Kualitas keimanan. Sebagai umat beragama, mahasiswa harus memiliki keimanan yang
teguh sebagai pegangan dalam berperilaku yang positif. Karena setiap agama pasti memiliki
nilai-nilai moral yang luhur dan arif.
Kualitas keilmuan. Mahasiswa di negeri ini harus memiliki intelegensi agar tidak mudah
dibodohi oleh kebudayaan asing yang buruk. Selain itu agar mahasiswa memiliki kemampuan
yang prima tekait bidang teknologi dan informasi. Dengan itu secara otomatis akan
memunculkan kondisi moral yang baik pula.
Kualitas keamalan. Mahasiswa harus memiliki etos kerja yang tinggi. Yang juga akan
menjauhkan mereka dari kegiatan yang kurang bermanfaat.

Moral yang merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku sudah mulai
tidak lagi digunakan sebagai penunjuk jalan berperilaku, terutama bagi mahasiswa yang
merupakan agen pembangunan. Demoralisasi kaum akademik ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya manusia baik untuk saat ini maupun untuk masa depan kelak.
Secara umum bentuk dari perilaku amoral mahasiswa adalah seks bebas, minuman keras,
narkoba, perkelahian atau juga tawuran, kriminalitas dan lain-lain. Semua hal tersebut
ditandai dengan budaya hura-hura, mengutamakan duniawi dan konsep just for having fun.
Implementasi solusi yang tepat untuk mengatasi demoralisasi mahasiswa adalah
berupa penanaman nilai-nilai keagamaan sehingga menumbuhkan keimanan pada masing-
masing agamanya, pembekalan ilmu yang cukup sebagai referensi dalam bertindak, dan yang
terakhir adala pengamalan mahasiswa yang memiliki ethos kerja tinggi dalam rangka
berkarya untuk masyarakat.

si budaya. Globalisasi yang merupakan universalisasi nilai-nilai menyebabkan kearifan lokal


menjadi luntur. Hal ini menyangkut dengan moral bangsa yang juga akan terpengaruh dengan
moral luar yang tentunya akan lebih kuat mempengaruhi karena dalam globalisasi, negara-
negara majulah yang akan menguasai.
Dalam rangka pembangunan untuk meningkatkan daya saing, diperlukan suatu bentuk
moral yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup timur yang termahsyur
dengan sopan santun dan keramahtamahannya. Hal yang semacam inilah yang perlu dimiliki
mahasiswa. Tetapi dalam kenyataannya sebagian mahasiswa juga telah kehilangan moral.
Mahasiswa adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh akan
dibawa kemana negeri ini dibawa berlari. Apakah menuju kebangkitan yang begitu saat ini
begitu santer digalakkan atau justru menuju keterpurukan. Analisa dari kebangkitan dan
keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi agen of change saat ini. Agen of
change yang dimaksud adalah para mahasiswa.

Moralitas mahasiswa merupakan unsur penting dalam proses sejauh mana mahasiswa
berperan dalam pembangunan untuk menyambut kebangkitan. Moralitas dalam kajian ini
tidak hanya berkaitan dengan salah satu nilai religi (agama Islam-akhlak) saja, melainkan
secara umum.
Untuk itu dalam mengaplikasikan nilai-nilai moral muncul pertanyaan, apa
sebenarnya moral itu, apa yang menyebabkan kemerosotan moral, bagaimanakah kondisi
kemerosotan moral mahasiswa di Indonesia saat ini, dan bagaimana cara memperbaiki dan
menjaga moral mahasiswa?
Mahasiswa sebagai generasi dimana atap bangsa akan didirikan harus memiliki
moralitas tinggi agar dapat menjadi filter bagi pengaruh buruk dari globalisasi. Oleh karena
itu, mahasiswa perlu tahu pengertian tentang moral, tahu penyebab merosotnya moral, tahu
kondisi moral saat ini, dan tahu cara memperbaiki dan menjaga moral mereka.

Pengertian Moral
Secara etimologis moral berasal dari bahasa latin mores yang memiliki arti adat
kebiasaan, akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup (Poespoprodjo, 1989; BP-7, 1993; Soegito,
2002).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak,
budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk,
berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal
kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah
itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria
mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah
pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis
dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang
dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak. Menurut Driyarkara, moral atau kesusilaan
adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
kesempurnaan sebagai manusia atau tuntunan kodrat manusia (Driyarkara, 1966: 25).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa moral atau kesusilaan adalah
keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.

Penyebab Merosotnya Moral


Kemerosotan moral banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dalam masyarakat
sekitarnya. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk dari kurangnya pranata sosial dalam
mengendalikan perubahan sosial yang negatif. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian
besar mahasiswa adalah anak kost yang tentunya jauh dari pengawasan orang tua. Mayoritas
kost memang memiliki penjaga, atau yang disebut induk semang. Namun, ada pula yang
tidak disertai penjaga. Lingkungan seperti ini menyebabkan munculnya rasa bebas bertindak
dari mahasiswa yang kost tersebut.
Dunia malam yang mayoritas dinikmati mahasiswa menimbulkan masalah yang
begitu kompleks, seperti narkoba, alkhohol, seks bebas, hingga merembet ke kriminalitas.
Hampir setiap malam diskotik-diskotik dipenuhi pengunjung, dan sebagian besar dari mereka
adalah mahasiswa.
Pada kondisi budaya yang dapat dibilang tidak baik, para remaja mudah sekali
terpengaruh oleh hal-hal yang baru. Sebagai contoh adalah video porno. Memang sepertinya
tidak etis apabila kita menyebut video porno adalah sebuah kebudayaan. Karena pada intinya
kebudayaan adalah sesuatu karya manusia yang berguna bagi manusia. Untuk kasus video
porno ini dapat dikatakan sebagai budaya yang enyimpang.
Hal ini terjadi karena pengaruh media melalui tayangan-tayangan yang vulgar dan
cenderung untuk lebih mengarahkan konsumennya ke arah pornografi dan pornoaksi. Tidak
heran bila eksploitasi bentuk tubuh baik wanita maupun pria (terutama dari kalangan wanita)
selalu menjadi ukuran dalam segala hal. Tidak sulit saat ini untuk mendapatkan gambar-
gambar yang mempertontonkan bentuk tubuh lewat majalah atau harian porno, menonton
adegan-adegan kotor lewat VCD Porno, HP juga menjadi alat penyebar pornoaksi,
penampilan iklan yang menunjukkan kemolekan tubuh. Pelayanan seks lewat telepon juga
marak diiklankan dengan bebas dan amat vulgar.
Rusaknya moral via media juga tidak selalu berhubungan dengan pornografi dan
pornoaksi, tetapi juga berupa program yang menunjukan sarkasme dan kriminalisme. Secara
tidak langsung, tayangan ini terinternalisasi ke dalam diri penontonnya. Sebagai contoh dari
akibat dari hal ini adalah kasus perkelahian mahasiswa yang kerap terjadi. Penyebab
umumnya adalah karena hubungan percintaan dan minuman keras.
Secara garis besar, penyebab dari rusaknya moral generasi muda intelektual adalah
sebagai berikut: Tidak adanya pengawasan langsung dari pihak yang tepat. Lingkungan
sosial-budaya yang tidak sehat. Tayangan media massa yang tidak baik, kurangnya
pendidikan mengenai moral hinga tidak adanya kesadaran dari para mahasiswa untuk
memiliki ketahanan diri sebagai filter dari hal-hal yang negatif.

Demoralisasi Mahasiswa Saat Ini


Era modern ditandai dengan berbagai macam perubahan dalam masyarakat.
Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek), mental manusia, teknik dan penggunaannya dalam masyarakat,
komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan
tuntutan manusia . Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat
bersama dalam masyarakat, dan inilah yang kemudian menimbulkan perubahan masyarakat.
Perubahan ini sampai mengarah kepada perubahan mentalitas (moral). Khususnya, di
kalangan generasi muda (dalam hal ini mahasiswa) telah terlihat adanya pergeseran nilai dan
kecendrungan-kecendrungan pada aspek tertentu. Sangat disayangkan, era modern hanya
ditandai dengan gaya hidup yang serba hedonistis (keduniawian) dan budaya glamour (just
for having fun). Perilaku moral generasi muda telah melampaui batas-batas norma. Potret
buram generasi muda hari ini: mabuk-mabukkan, berlagak preman (premanisme), penganut
seks bebas (free sex), tawuran antar pelajar, terlibat narkoba, dan lain sebagainya. Kondisi
inilah yang disebut demoralisasi, yaitu proses kehancuran moral generasi muda.
Akhir-akhir ini permasalahan seks bebas di kalangan mahasiswa semakin
memprihatinkan, terutama yang kurang baik taraf penanaman keimanan dan ketaqwaannya.
Beberapa kasus video porno pasangan mahasiswa yang merebak di internet membuktikan
bahwa moral adalah sebuah hal yang tidak cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan
oleh sebagian mahasiswa.
Kemudian kasus pencurian telepon genggam oleh mahasiswa yang ketika ditanya, ia
mengaku butuh uang untuk membeli narkoba. Kemudian kasus lainnya beberapa mahasiswa
di salah satu universitas negeri di Semarang tertangkap basah sedang mesum di lingkungan
kampus. Dan banyak contoh kasus lain perilaku amoral mahasiswa yang kerap terjadi di
Indonesia ini.
Sebuah kasus yang menunjukan begitu rentannya pelajar dan mahasiswa mengalami
kerusakan moral adalah di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa sekitar 80% mahasiswi di sana telah kehilangan keperawanan. Dari hal
ini, kita mengetahui bahwa hampir tidak dapat dipisahkan antara kaum muda intelek dengan
pergaulan bebas.
Kondisi ini juga berimbas terhadap down-nya mental generasi muda. Gejalanya bisa
dilihat dari pesimisme generasi muda baik dalam mengeluarkan ide/gagasan ataupun dalam
menyikapi perkembangan. Tidak jarang ditemukan mahasiswa yang minder sendiri karena
ketidakmampuannya mengoperasikan teknologi informasi, seperti: komputer ataupun internet
atau juga mahasiswa yang terganggu mentalitas kejiwaannya karena tidak sanggup
berhadapan dengan kompleksitas persoalan hidup.
Telah terjadi pergeseran nilai hidup dari sebagian mahasiswa dari menuntut ilmu dan
berkarya ke menikmati hidup dan menikmati karya. Dengan kata lain kurangnya internalisasi
Tri Dharma Perguruan Tinggi di kalangan mahasiswa. Imbasnya, mahasiswa lebih suka
berdemo menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat
daripada berkarya untuk mengatasi tantangan yang dapat berguna bagi rakyat. Seharusnya
mahasiswa yang kreatif dan bermoral tinggi memiliki kepekaan yang lebih berupa tindakan
nyata dan langsung sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Demonstrasi yang akhir-akhhir ini kerap terjadi hampir selalu berakhir dengan
bentrokan. Bentrokan juga merupakan suatu bentuk dari tindakan amoral karena bertujuan
untuk menyakiti musuhnya. Di lain waktu juga terlihat amoralitas mahasiswa dimana
mahasiswa tidak memiliki rasa hormat terhadap orang lain ketika membakar foto Presiden.
Ini adalah potret buram betapa negeri ini masih perlu untuk belajar berdemokrasi
dengan bijak. Tidak semata-mata atas nama hak asasi manusia setiap orang boleh melakukan
apa saja yang ia ingin ia lakukan. Nilai-nilai Pancasila yang luhur merupakan ajaran moral
yang mendasar dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi pada
kenyataannya saat ini Pancasila justru banyak dipertanyakan relevansinya dalam era
moderenitas-globalisasi.
Pada hakikatnya ajaran moral Pancasila meliputi segala bidang, dari agama, sosial-
budaya, politik, hankam, pendidikan serta ekonomi. Namun, jauhnya relasi antara warga
dengan Pancasila ini telah menimbulkan masalah moral yang juga begitu kompleks di segala
bidang. Dalam hal ini, yang penulis soroti adalah bidang pendidikan. Kondisi pendidikan kita
saat ini jauh dari upaya untuk menjaga atau memperbaiki moral. Di dunia sekolah pada
kurikulum 1984, terdapat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang memiliki
esensi sebagai peljaran moral yang berdasar Pancasila. Namun, pada kurikulum 1994
pelajaran ini dihapuskan dan diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) dengan maksud untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, sementara itu pendidikan
tentang moral masuk ke dalam Pendidikan Agama yang pada penerapannya lebih pada
kehidupan beragama itu sendiri. Dan setelah itu, pada kurikulum 2004 PPKn juga diganti
dengan Pendidikan Kewarganegaraan saja tanpa Pancasila. Secara otomatis nilai-nilai moral
yang ada dalam Pancasila tidak lagi dipelajari dan ditanamkan pada diri siswa.
Di dunia perguruan tinggi moral bahkan tidak pernah disosialisasikan kepada
mahasiswa secara formal atau masuk ke dalam mata kuliah secara khusus. Moral tersubstansi
dalam MPK yaitu mata kuliah pengembangan kepribadian meliputi Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Hal ini cenderung membuat
mahasiswa kurang memahami pentingnya moral dalam kehidupan akademis mereka maupun
sebagai aplikasi di masyarakat kelak

Solusi
Kompleksitas demoralisasi mahasiswa saat ini memang memerlukan solusi yang tepat
agar kelestarian moral yang ada pada mahasiswa dapat terjaga. Mahasiswa adalah agen
pembangunan dan moral adalah perawat dari agen tersebut. Rusaknya moral butuh
penanganan dari berbagai aspek, meliputi sosial-budaya, agama, pendidikan, serta politik dan
hukum.
Pada aspek sosial-budaya dibutuhkan perbaikan kondisi sosial dan penyaringan
budaya (culture filtering) dalam lingkungan mahasiswa. Perbaikan tersebut dapat berupa
penataan sistem sosial dimana masing-masing komponennya berfungsi secara positif. Dan
bentuk culture filtering adalah berupa sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal yang
berfungsi positif dalam proses akulturasi kebudayaan.
Di bidang keagamaan, agama memiliki kearifan yang luhur dalam urusan moral.
Masing-masing agama memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi pada akhirnya bertujuan
untuk mengatur manusia agar tetap dalam jalan yang benar.
Dunia pendidikan adalah tempat dimana mahasiswa berkecimpung. Hakikat
pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya. Seutuhnya berarti tidak berperilaku
seperti binatang, dengan kata lain berperilaku sesuai akal pikiran dan hati nurani. Berperilaku
sesuai dengan akal, pikiran dan hati nurani berarti berdasarkan nilai-nilai moral. Diperlukan
pendidikan moral yang secara khusus merujuk pada soft skill mahasiswa sebagai dasar
berperilaku akademis
Politik dan hukum menyangkut kebijakan penguasa atau pemerintah. Pemerintah
seharusnya berperan aktif dalam upaya perbaikan moral. Peran aktif tersebut dapat berupa
program-program penyuluhan atau bimbingan. Lalu hukum yang tegas dan adil harus
ditegakan untuk memberikan efek takut bagi yang belum melanggar dan efek jera bagi yang
sudah dihukum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dasar solusi dalam upaya perbaikan moral.
Solusi-solusi tersebut yaitu:
Kualitas keimanan. Sebagai umat beragama, mahasiswa harus memiliki keimanan yang
teguh sebagai pegangan dalam berperilaku yang positif. Karena setiap agama pasti memiliki
nilai-nilai moral yang luhur dan arif.
Kualitas keilmuan. Mahasiswa di negeri ini harus memiliki intelegensi agar tidak mudah
dibodohi oleh kebudayaan asing yang buruk. Selain itu agar mahasiswa memiliki kemampuan
yang prima tekait bidang teknologi dan informasi. Dengan itu secara otomatis akan
memunculkan kondisi moral yang baik pula.
Kualitas keamalan. Mahasiswa harus memiliki etos kerja yang tinggi. Yang juga akan
menjauhkan mereka dari kegiatan yang kurang bermanfaat.

Moral yang merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku sudah mulai
tidak lagi digunakan sebagai penunjuk jalan berperilaku, terutama bagi mahasiswa yang
merupakan agen pembangunan. Demoralisasi kaum akademik ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya manusia baik untuk saat ini maupun untuk masa depan kelak.
Secara umum bentuk dari perilaku amoral mahasiswa adalah seks bebas, minuman keras,
narkoba, perkelahian atau juga tawuran, kriminalitas dan lain-lain. Semua hal tersebut
ditandai dengan budaya hura-hura, mengutamakan duniawi dan konsep just for having fun.
Implementasi solusi yang tepat untuk mengatasi demoralisasi mahasiswa adalah
berupa penanaman nilai-nilai keagamaan sehingga menumbuhkan keimanan pada masing-
masing agamanya, pembekalan ilmu yang cukup sebagai referensi dalam bertindak, dan yang
terakhir adala pengamalan mahasiswa yang memiliki ethos kerja tinggi dalam rangka
berkarya untuk masyarakat.

You might also like