Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
mempengaruhi perjalanan penyakit DBD adalah daya tahan tubuh dan faktor
lingkungan. Upaya pengendalian terhadap vektor (nyamuk Aedes aegypt) harus
terus diupayakan disamping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD
dengan tujuan untuk menurunkan jumlah kasus morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit ini. Terapi spesifik untuk DBD sampai saat ini masih belum ada. Prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan
pengganti.1,2,5
Tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang akan mempermudah identifikasi apabila terdapat orang-orang yang
menunjukkan gejala DBD sehingga dapat mendapatkan penanganan yang tepat.
Tulisan ini juga diharapkan akan memberikan pengetahuan dan memberikan
peran khusus untuk membantu perkembangan ilmu kedokteran anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue
yang menyerang anak-anak dan dewasa dengan gejala demam, nyeri otot, nyeri
sendi, nyeri di perut, batuk, faringitis, sakit kepala, nafsu makan menurun, mual,
muntah, kemudian menimbulkan manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet
positif, petekie, purpura, ekimosis, hematom pada bekas injeksi, pendarahan
subkonjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena,
hematoschezia, dan hematuria; hepatomegali, trombositopeni; dan
hemokonsentrasi, yang kemudian dapat berkembang menjadi Dengue Shock
Syndrome (DSS) yang ditandai dengan kulit dingin, lembab, sianosis sekitar
mulut, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi 20 mmHg, dan hipotensi.6
2.2 Epidemiologi
Terdapat 9 negara yang merupakan daerah penyebaran DBD pada tahun
1950-an, tetapi pada tahun 2004 daerah penyebarannya sudah meliputi 100 negara
di dunia. Epidemi demam dengue pertama di Indonesia dilaporkan oleh David
Beylon di Batavia pada tahun 1779, namun DBD baru dikenal pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya dengan case fatality rate (CFR) sangat tinggi, yaitu 41,3%
dan sejak tahun 1994 penyakit itu telah menyebar ke seluruh provinsi di
Indonesia. DBD umumnya terdapat di daerah tropis terutama negara ASEAN dan
Pasifik Barat. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran kasus, antara lain
pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
tidak adanya kontrol nyamuk di daerah endemis dan peningkatan sarana
transportasi. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Suhu udara dan kelembaban di Indonesia tidak sama di setiap
tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit berbeda untuk setiap tempat.1,2,7
Penderita DBD umumnya berumur di bawah 15 tahun. Risiko tertinggi pada
kelompok umur 5-9 tahun dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
1:1,2. Sejak tahun 1980-an berdasarkan penelitian di Amerika Latin dan Asia
Tenggara menunjukkan pergeseran umur penderita DBD ke umur yang lebih tua.
3
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi oleh faktor status
imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Terdapat 2.993 kasus, 1.662 kasus
diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya (1.331) kasus berjenis kelamin
perempuan, dengan jumlah kematian 8 orang, menurun dibandingkan tahun 2010
sebanyak 35 orang pada tahun 2011. Penurunan kasus terjadi pada tahun 2012
namun tidak singnifikan menjadi 2.649 kasus, 1.517 diantaranya berjenis kelamin
laki-laki dan 1.132 berjenis kelamin perempuan.7,8,9
2.3 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B-Antrhopode
Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Empat serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dan
ditemukan bahwa DEN-3 merupakan serotipe yang paling sering menjadi
penyebab DBD di Indonesia. Keempat serotipe virus tersebut serupa namun
mempunyai sifat antigen yang berbeda sehingga infeksi oleh salah satu serotipe
hanya akan memberikan kekebalan seumur hidup untuk serotipe tersebut tetapi
tidak memberi kekebalan silang (cross protective immunity) untuk serotipe
lainnya.10,11
4
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
panas timbul.8,11
5
lambung, usus halus, sub-endokard, sub-kapsular hepar, paru, dan jaringan lunak
disebabkan oleh trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit, dan untuk
deteksi dini terhadap hal tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium.13
Trombositopeni pada DBD disebabkan oleh multifaktor. Trombositopeni
disebabkan oleh depresi sumsum tulang kemudian pada fase selanjutnya
kerusakan trombosit disebabkan oleh reaksi imunologis, adanya antigen dengue di
permukaan trombosit, adanya reaksi komplemen, dan sekuesterasi oleh hati pada
masa akut. Trombopati disebabkan oleh aktivasi trombosit dan adanya antigen
antibodi pada permukaan trombosit sehingga fungsi agregasi trombosit terganggu.
Perdarahan hebat pada DBD dikatakan juga berkaitan dengan KID (Koagulasi
Intravaskular Deseminata). Sampai saat ini belum ada suatu teori yang dapat
menjelaskan secara tuntas patogenesis DBD. Semua teori pada akhirnya
membahas terjadinya kebocoran vaskular dan gangguan hemostasis berupa
gangguan vaskular, gangguan trombosit, koagulopati, disfungi/aktivasi endotel
yang berhubungan dengan manifestasi klinik yang terjadi. 8,13,17
Menurut teori yang ada, terdapat dua teori yang sering digunakan, yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis
antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD dengan manifestasi
yang lebih berat. Respon antibodi yang akan terjadi akan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien. Kemudian terbentuklah virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya dapat menyebabkan
aktivasi sistem komplemen, agregasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Aktivasi 2 komplemen, yaitu C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium,
dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites).
6
Perembesan plasma tersebut mengakibatkan terjadinya hipovolemia yang
kemudian menyebabkan terjadinya syok. 13,17
Agregasi trombosit terjadi akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit yang mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosine di phosphate), sehingga trombosit akan melekat satu sama lain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial
System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III yang mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = Koagulasi Intravaskular Deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan
fungsi trombosit. Hal-hal di atas kemudian akan menyebabkan terjadinya
pendarahan masif yang dapat mengakibatkan syok. Aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan anoksia dan asidosis, yang dapat berakhir fatal.8
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) menyatakan bahwa
jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut
dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus maka hal tersebut
justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.12
7
positif jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 5cm x 5cm di lengan bawah
bagian depan.15
Pembesaran hati (hepatomegali) umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit. Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Pada renjatan
syok ditemui kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari
tangan dan kaki. Penderita menjadi gelisah disertai sianosis disekitar mulut. Nadi
cepat, lemah, kecil atau tak teraba. Tekanan nadi menurun, sistolik menurun
sampai 80mmHg atau kurang. Gejala klinis lain yang muncul adalah nyeri kepala
berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi mual, muntah dan
timbulnya ruam.15
2.8 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan atau dinyatakan sebagai penderita DBD apabila
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet
positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis) atau hasil
pemeriksaan serologis pada tersangka DBD, menunjukkan hasil positif pada
pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian (positif) IgD saja atau IgM dan IgG
pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).16
Klasifikasi demam berdarah dengue :16
8
Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet positif.
Derajat II : demam disertai gejala tidak khas dan disertai perdarahan spontan
dikulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat teraba dan
tekanan darah tidak terukur.
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya bersifat suportif dan simtomatis,
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Meminum
9
cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan
faktor protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit. Setiap pasien
tersangka DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah dengan pasien penyakit lain,
sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada
DBD tanpa penyulit adalah:5,17
1. Tirah baring.
2. Pemberian cairan, bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis, untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari
golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal
karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobse rvasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok,
yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan
dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap
keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan; serta Hb dan Ht setiap
4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam. Terapi
untuk dengue shock syndrome (DSS) bertujuan utama untuk mengembalikan
volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai
dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%,
Ringersintravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab
utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC,
heparin perlu diberikan.5,17
10
Bagan 1. Alogaritme tersangka DHF
11
Bagan 2 Tatalaksana Pasien Demam Berdarah Dengue
12
Bagan 4 Protokol DHF grade I-II
13
2.11 Komplikasi
Komplikasi dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) :18
1. Dengue Shock Syndrome
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan komplikasi yang sangat penting
diwaspadai karena angka kematiannya sepuluh kali lipat dibandingkan
dengan DBD tanpa syok. Keadaan syok dapat dilihat dari tekanan darah
sistolik <80mmHg, nadi <20mmHg, Oliguria sampai anuria karena
menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.
2. Ensefalopati
Ensefalopati umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan. Ensefalopati dengue dapat
menyebabkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen,
dapat juga disertai kejang.
3. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah
syok diobati dengan mengganti volume intravascular.
4. Udem Paru
Udem paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian
cairan yang berlebihan.
2.11Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.19
1. Pencegahan Primer
1) Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan
distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktudan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan ataukekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untukpelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan danpenggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untukmemantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
14
yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara
melihat atau memeriksa semua tempatatau bejana yang dapat menjadi tempat
berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup
dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air
tanpa mengambil jentiknya.
2) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi
nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor
yaitu15,16:
a. Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada
nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari
golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-
bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray)
terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan
terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos)
dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan
nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
b. Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis
dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian
hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa
jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis)
adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis
golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva
nyamuk.
c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain
dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat
kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah.
Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di
tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
15
3) Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun
pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun
system surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah,
namun system ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue
jangka panjang. Setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan
melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam pada surveilans pasif. Surveilans aktif
adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat
sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran
kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut
sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.15,16
2. Pencegahan Sekunder
16
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara15,16 :
a) Apabila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,
berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan
berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta
segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
b) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah
kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
c) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian
luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten,
disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : KDWS
Tanggal Lahir : 27 Januari 2006
Umur : 8 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : NW
Nama Ibu : KS
Alamat : Jalan Nusa Kambangan Gang XX No.5B
Tanggal MRS : Senin, 23 Juni 2014
Tanggal Keluar RS : Kamis, 26 Juni 2014
Tanggal Pemeriksaan : Sabtu, 28 Juni 2014
17
Anggota Keluarga :
Nama Umur Jenis Kelamin Status Pendidikan Pekerjaan
NW 39 tahun Laki-laki Ayah SMA Satpam
KS 39 tahun Perempuan Ibu SMEA Ibu Rumah Tangga
dan Penjahit
PWK 13 tahun Perempuan Kakak SMP Pelajar
kandung
KDWS Perempuan Pasien SD Pelajar
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Heteroanamnesis
Keluhan Utama:
Demam
1. Riwayat penyakit saat MRS (Senin, 23 Juni 2014) :
Demam dialami pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit yaitu Jumat, 20 Juni
2014. Demam dikatakan muncul mendadak pada siang hari pukul 12.00 WITA,
namun suhu demam pada saat itu tidak diukur. Pukul 17.00 WITA orang tua
pasien membawa pasien berobat ke bidan. Bidan memberikan obat penurun panas
yang namanya dikatakan lupa oleh orang tua pasien dan orang tua pasien diminta
untuk membawa pasien ke dokter jika demam belum turun dalam 3 hari kedepan.
Tiga hari setelah datang ke bidan, demam pasien dikatakan tidak menurun namun
suhu demam tidak pernah diukur. Pada tanggal 23 Juni 2014 pukul 08.30 WITA
pasien dibawa ke RSUP Sanglah dan langsung disarankan untuk MRS. Pada
pasien didapatkan riwayat mual dan muntah sejak demam dimulai dengan
frekuensi 3 kali per hari setiap setelah makan, dengan muntahan berisi makanan
dan minuman yang baru dikonsumsi dengan volume gelas. Pasien juga
didapatkan riwayat diare dengan frekuensi 5 kali sehari, dengan konsistensi
dikatakan lembek. Keluhan batuk, pilek, mimisan, dan gusi berdarah disangkal
oleh ibu pasien. Nafsu makan pasien dan aktivitas pasien dikatakan menurun
semenjak sakit.
Anamnesis pada saat kunjungan (Sabtu, 28 Juni 2014) :
Pada saat kunjungan, kondisi pasien dikatakan baik, namun pasien mengeluh
ekstremitas bawahnya masih terasa nyeri dan perih ketika terkena air. Ekstremitas
atas dan bawahnya dikatakan masih gatal dan berwarna kemerahan. Keluhan
demam, mual, muntah dan diare yang dahulu dikeluhkan pasien sudah tidak ada.
Pasien masih lemas sehingga belum bisa bermain bersama teman-temannya.
18
Nafsu makan dikatakan membaik dan tidak mengeluh sulit tidur. Buang air besar
1 kali sehari dengan konsistensi normal. Buang air kecil juga dikatakan baik,
berwarna kuning dengan frekuensi normal.
19
dikatakan tidak pernah dalam waktu 1 tahun ini. Ayah pasien mengatakan sudah
melapor kepada kelian banjar agar dilakukannya fogging namun belum
mendapatkan tanggapan. Keluarga pasien tidak pernah menggunakan obat anti
nyamuk dalam bentuk apapun dirumahnya.
6. Riwayat Kehamilan :
Saat masa kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-
obatan tertentu. Selama 9 bulan kehamilan ibu pasien melakukan ANC di dokter
kandungan dengan frekuensi 1 kali perbulan.
7. Riwayat Persalinan :
Pasien dilahirkan secara normal dibantu dokter dengan usia cukup bulan 40
minggu, berat badan lahir 3500 dan panjang badan 50 cm. Pasien dikatakan
langsung menangis dan tidak ada kelainan saat lahir. Pasien langsung
mendapatkan vitamin K dari dokter.
8. Riwayat Imunisasi :
Pasien telah mendapat imunisasi dasar yaitu BCG sebanyak 1 kali, DPT
sebanyak 5 kali, Polio sebanyak 4 kali, imunisasi Hepatitis B sebanyak 3 kali serta
campak sebanyak 1 kali. Secara keseluruhan pasien sudah mendapatkan imunisasi
dasar yang lengkap menurut rekomendasi Kermenkes 2013.
9. Riwayat Nutrisi :
Pasien setelah lahir diberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan
kemudian diteruskan sampai umur 1 tahun 3 bulan. Pemberian ASI dikatakan
sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand). Pasien diberikan susu formula sejak
umur 6 bulan sesuai dengan kebutuhan bayi dan bubur susu sejak umur 8 bulan
dengan frekuensi 3-5 kali perhari. Makanan tambahan berupa buah pisang dan roti
yang dilembekan mulai diberikan sejak umur 10 bulan masing-masing dengan
frekuensi 1 kali sehari. Makanan dewasa diberikan sejak umur 12 bulan dengan
frekuensi 3-4 kali perhari.
Konsumsi pasien sehari-hari di rumah biasanya (Food Recall) :
20
Nasi putih 2 mangkok kecil ( 300 gram) 437,4 kkal
Ayam sisit 1 porsi kecil 450 kkal
Telor puyuh 3 butir 109,4 kkal
Tempe goreng 4 potong kecil ( 50 gram) 74,5 kkal
Sayur kangkung 1 porsi kecil (70 gram) 44,6 kkal
Camilan (roti) 3-4 kali perhari 740,1 kkal
Jumlah kalori yang dikonsumsi dalam sehari adalah 1850 kkal.
21
Tekanan darah : 90/65 mmHg
Saturasi Oksigen : 96% pada udara ruangan
BB : 24 Kg
TB : 131 cm
BBI : 28 Kg
BB/U : persentil 25 (Gizi kurang)
TB/U : persentil 50 75 (Normal)
BB/TB : persentil 10 25 (Normal)
Waterlow : 85 % (Gizi kurang)
Status general
Kepala : normal
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, sekret -/-, reflek cahaya +/+, oedema -/-
THT : Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), cyanosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1 hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), JVP (-)
Thoraks :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-)
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : simetris, gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar - lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : petekie (+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : akral hangat (-), cyanosis (-), oedema (-), CRT < 3 detik
22
Tax : 36,0 oC
Tekanan darah : 100/60 mmHg
BB : 23 Kg
TB : 131 cm
BBI : 28 Kg
BB/U : persentil 25
TB/U : persentil 50 75
BB/TB : persentil 10 25
Waterlow : 82 % (Gizi kurang)
Status general
Kepala : Normal
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, sekret -/-, reflek cahaya +/+, oedema -/-
THT : Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), cyanosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1 hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), JVP (-)
Thoraks :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-)
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : S1S2 normal regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : simetris, gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Kulit : petekie (-)
Genitalia : tidak dievaluasi
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : akral hangat (-), cyanosis (-), edema (-), CRT < 3 detik
23
23/6/2014 24/6/2014 25/6/2014
WBC 2,86 1,96 2,2 103 / l 6.00-14.00
Neu 66,8 42,3 49,9 % 18.30-47.10
Lym 23,6 34,7 30,7 % 30.0-64.3
Mono 3,7 9,4 4,6 % 0.0-7.10
Eos 0,2 3,3 2,3 % 0.0-5.0
Baso 0,2 0,6 1 % 0.0-0.7
RBC 6,43 5,02 4,89 106 / l 4.10-5.3
HGB 17,1 14,1 13,6 g/dL 12.0-16.0
HCT 48,8 37,7 36,6 % 36.00-49.00
MCV 75,9 75,2 74,9 fL 78.00-102.0
MCH 26,6 28,1 27,8 g/dL 25.00-35.00
MCHC 35,1 37,4 37,1 g/dL 31-36
RDW 10,8 11,1 11 % 11.6-18.7
PLT 80 61 53 103 / l 140-440
MPV 7,6 7 7,4 fL 6.80-10.0
3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien saat di rumah sakit (23 Juni 2014)
MRS
Kebutuhan cairan 1580 ml/hari
IVFD D5 NS ~ 22 tetes makro/menit
Kebutuhan kalori 2240 kkal/hari
Kebutuhan protein 28 gram/hari
Diet nasi 3x1 porsi
Parasetamol 10 mg/kgBB/kali ~ 240 mg ~ cth II apabila Tax 38,0C,
Tax 37,5C 38,0C cukup di kompres hangat yang dapat diulang setiap
4 jam.
24
KIE keluarga pada saat kunjungan PBL hari Sabtu, 28 Juni 2014
Penjelasan mengenai penyakit demam berdarah dengue
Menyarankan kepada pasien untuk tetap beristirahat terlebih dahulu sampai
tubuhnya kembali pulih seperti sebelum menderita sakit.
Menyarankan keluarga pasien melakukan pencegahan terhadap penyakir
demam berdarah dengue dengan 3M yaitu menutup tempat penampungan
air, menguras air yang tergenang, mengubur barang-barang bekas, dan
menaburkan serbuk abate pada tempat penampungan dan genangan air.
Menyarankan keluarga agar melaporkan kembali kepada petugas setempat
seperti kelian banjar agar bisa dilakukan fogging secepatnya.
Melakukan pola hidup sehat dengan rajin berolahraga, beristirahat yang
cukup, mengkonsumsi makan-makanan yang bergizi seimbang untuk
memperbaiki status gizi dan menjaga kesehatan tubuh.
BAB IV
PEMBAHASAN
25
makan seadanya, dan tidak menghabiskan makanan. Pasien cenderung lebih
menyukai permen daripada makanan bergizi yang memberikan energi.
Perawatan kesehatan dasar
Pasien telah mendapatkan imunisasi dengan lengkap sesuai usia. Pasien
saat mengeluh sakit atau terlihat sakit, orang tua biasanya langsung membawa
anak berobat ke bidan atau puskesmas yang terletak dekat dengan rumah
pasien. Pasien yang telah mendapat pengobatan tidak menunjukkan
perbaikan, maka orang tua akan segera membawa anak kembali kontrol ke
dokter untuk yang kedua kalinya.
Keluarga
Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kakaknya. Keluarga sangat
menyayangi dan perhatian terhadap pasien. Kakak pasien akan
memperhatikan pasien disaat ibu dan ayah pasien sedang bekerja.
Lingkungan rumah
Pasien tinggal di lingkungan rumah yang cukup ramai dan agak tidak
memperhatikan lingkungan. Orang tua pasien juga memahami masalah
higiene dan sanitasi lingkungan. Sehari-hari keluarga pasien menggunakan air
sumur sebagai sumber air. Keluarga pasien tinggal di lingkungan rumah
kontrakan (kos-kosan) yang dalam satu lingkungan rumah terdapat 17 kepala
keluarga. Pemakaian toilet serta penggunaan dan pemeliharaan kamar mandi
tidak ditentukan. Menurut pengakuan ibu pasien, tetangga pasien
memmelihara kura-kura, sehingga air seringkali ditampung lebih dari sebulan
dan jarang dibersihkan. Hal ini bisa menjadi faktor risiko tempat tumbuhnya
jentik nyamuk. Di dalam rumah pasien tidak ditemukan tempat penampungan
air bersih yang dapat menjadi tempat jentik nyamuk. Selokan di depan rumah
pasien dikatakan sering tersumbat, saat kunjungan selokan tersebut tampak
kotor tercampur bahan limbah rumah tangga. Lingkungan rumah pasien
dikatakan tidak pernah melakukan gotong royong sehingga cenderung terlihat
kotor, dan tampak sampah yang dapat menampung air bersih. Hal ini dapat
menjadi sumber penyakit infeksi yang lain bagi warga.
Waktu bersama keluarga
26
Ayah pasien bekerja sebagai satpam, sehingga waktu bersama keluarga tidak
menentu, sedangkan ibu pasien adalah seorang penjahit di suatu usaha
pakaian. Orang tua pasien cenderung tidak memiliki waktu yang cukup
banyak untuk merawat dan memperhatikan anak-anak mereka, namun pasien
selalu diperhatikan oleh kakak perempuannya.
27
4.2 Analisis Bio-Psiko-Sosial
Biologis
Secara fisik pasien tampak sehat, namun status gizi pasien menurut grafik
pertumbuhan CDC termasuk gizi kurang. Dimana berat badan pasien saat ini
berbanding dengan berat badan idealnya menunjukkan hasil 82% dan hasil ini
menunjukkan kriteria gizi kurang. Pengetahuan orang tua untuk merawat
anaknya dinilai cukup.
Psikologis
Pasien mendapat cukup perhatian dari kedua orang tuanya terutama
masalah kesehatan dan perkembangannya. Orang tua terutama ibunya tetap
menjaga dan memperhatikan kesehatan pasien.
Sosial
Saat kunjungan terlihat pasien tengah bermain dengan tetangga pasien
yang sebaya, hal tersebut menunjukkan hubungan sosial pasien sudah baik,
terutama pada orang yang sebaya.
Lingkungan Rumah
Keluarga pasien tinggal di sebuah rumah sewaan dengan 1 lantai
berukuran sedang dimana rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang
tamu, 1 dapur, dan halaman. Pasien bersama ayah, ibu dan kakaknya tinggal
dalam 1 kamar. Lantai berkeramik dan tembok permanen. Tempat tidur
penderita merupakan tempat tidur kayu dengan kasur kapuk, penyinaran
kamar kurang baik dengan jendela dan ventilasi di satu sisi kamar. Kamar
tidak cukup terang pada siang hari apabila pintu dan jendela dibuka. Untuk
kebutuhan air sehari-hari, keluarga pasien menggunakan air dari sumur milik
pemilik rumah kontrakan. Lingkungan rumah pasien terlihat agak sesak,
dengan barang-barang yang bertumpuk, dan baju yang menggantung, yang
merupakan tempat dapat menjadi bagi tempat persembunyian nyamuk Aedes
aegypt.
28
Faktor risiko demam berdarah dengue yang ditemukan pada pasien ini antara
lain tempat penampungan air keluarga pasien yang berupa sumur bor, tidak
menentunya pembersihan toilet pada lingkungan tersebut karena dipakai bersama,
tetangga yang kurang perhatian terhadap air berih yang tergenang, selokan dan
sampah yang dapat menampung air bersih yang jarang dibersihkan dapat menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti, karena nyamuk ini senang
hidup di air yang bersih. Selain itu keluarga pasien memiliki rumah yang
berukuran sedang, sehingga kondisi barang- barang didalamnya kurang terurus,
bertumpuk-tumpuk dan penyinarannya kurang sehingga dapat menjadi sarang
nyamuk. Disalah satu sudut pekarangan rumah pasien juga terdapat tumpukan
barang-barang bekas berupa kayu-kayu yang sudah rusak. Disamping itu, di
lingkungan rumah pasien belum pernah diadakan fogging sejak setahun yang lalu
untuk membunuh nyamuk dewasa, dan belum dilakukan pemeriksaan jentik
secara rutin dan pemberian abate. Faktor risiko yang lain adalah dua tetangga
pasien yang juga terjangkit demam berdarah dan sudah dirawat saat pasien masuk
rumah sakit. Lingkungan di sekitar rumah pasien yang cukup kumuh dapat
menimbulkan penyakit infeksi lain bagi pasien serta masyarakat yang tinggal di
wilayah tersebut.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kondisi pasien saat ini sudah membaik, nafsu makan membaik, BAB dan
BAK normal, namun pada pasien masih terlihat adanya petekie dan terasa
gatal serta nyeri ketika beraktivitas. Pemeriksaan fisik dalam batas normal
(selain pada kulit) dan status gizi pasien masih kurang.
29
Dari hasil evaluasi pada saat kunjungan, aktivitas pasien kembali normal
namun pasien dikatakan masih sedikit lemas sehingga orang tua pasien
membatasi aktivitas anaknya untuk sementara waktu.
Adanya kasus demam berdarah pada tetangga pasien mengindikasikan
bahwa faktor pencetus demam berdarah dengue yang diderita oleh pasien
kemungkinan besar adalah karena lingkungan rumah dan sekitar rumah
pasien.
Dari hasil pengamatan, faktor risiko demam berdarah dengue yang
ditemukan dari lingkungan rumah pasien yaitu kamar mandi yang tidak
dibersihkan secara berkala, tetangga yang memiliki usaha dengan
menampung air, selokan dan sampah yang memiliki genangan air serta
kebersihan dan kerapian rumah yang kurang terjaga, sehingga menjadi
sarang nyamuk untuk berkembang biak dan beristirahat.
5.2 Saran
ASUH
Tetap berusaha untuk selalu meluangkan waktu menemani dan membimbing
perkembangan anak disela-sela kesibukan bekerja.
Menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah terutama yang merupakan
faktor risiko demam berdarah dengue dan berbagai penyakit yang lainnya.
Mengantisipasi musim hujan agar tidak terjangkit demam berdarah lagi
dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah serta gotong royong untuk
menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah dan memperhatikan tempat-
tempat penampungan air.
ASIH
Meningkatkan kekompakan dalam memberikan kasih sayang kepada anak
dan meningkatkan kepekaan terhadap segala permasalahan anak.
Tetap menjaga nutrisi pasien dan keluarga agar tetap baik sehingga
kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit tertentu tetap terjaga.
Menyarankan kepada kelian adat di lingkungan tempat tinggal pasien untuk
melaporkan kejadian demam berdarah dengue di tempat tinggal pasien
kepada Dinas Kesehatan sehingga dapat diadakan fogging.
ASAH
30
Menemani anak dalam bermain, memberikan mainan dan alat belajar yang
mendukung perkembangan anak sesuai dengan umurnya.
DAFTAR PUSTAKA
31
www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_DEMAM_
BERDARAH_DBD_2011.pdf
5. Chen K, Pohan H, Sinto R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan Pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus; (22): h.5-9
6. Rampengan TH, Laurentz I.R. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. 1993. h.135-149
7. Guha-Sapir, Debarati & Schimmer, Barbara. 2005. Dengue fever : new
paradigms for a changing epidemiology, Emerging Themes in Epidemiology
Vol.(2)
8. Rezeki Sri, Soegijanto Soegeng, Wuryadi Suharyono, Suroso Thomas. 2001.
Tata Laksana Demam Berdarah Dengue edisi 2 th. h.7-16
9. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2010-2013 [Diakses tanggal 29 Juni
2014] Diunduh dari diskes.baliprov.go.id/
10. Rampengan TH, Laurentz I.R. 1993. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 135-149
11. Mansjoer A., dkk. 2005. Demam Berdarah Dengue. Kapita Selekta
Kedokteran edisi ketiga jilid II. Jakarta. Media Aesculapius. h. 419-422.
12. Aryati. 2004. Diagnosis Laboratorium DBD Terkini. Medicinal Jurnal
Kedokteran; (4): h.12-13
13. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. 2005.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. h.2-9
14. Sutaryo & Mulatsih Sri. 2004. Trombositopeni dan Trombopati pada Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Sutaryo, Hagung W Pudjo, Mulatsih Sri,
penyunting. Tatalaksana Syok dan Perdarahan pada DBD. Medika Kakultas
Kedokteran UGM.Yogyakarta; h.20-23.
15. Yuswulandary, V dkk. 2013. Pedoman Pelaksanaan Penderita Demam
Berdarah Dengue. Universitas Sumatera Utara
16. Pedoman Pengobatan Dasar. 2007. Departemen Kesehatan RI
17. Rajapakse S, Rodgiro C, Rajapakse A. 2012. Treatment of Dengue Fever.
Dovepress. Infection and Drug Resistance; (5) p.103-12
18. Lardo S. 2013. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit.
CDK-208; (40) p.656-60
19. WHO. 1997. Dengue Hemorrhage Fever. Diagnosis, Treatment, Prevention
and Control. Second edition. Geneva. p.1-92
32
33