You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi


yang masih menjadi masalah kesehatan di berbagai daerah di dunia. Penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus dengue ini endemis di beberapa daerah tropis
dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. World Health
Organization (WHO) mencatatkan negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara sejak tahun 1968 hingga tahun 2009. Insiden
global penyakit ini semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. WHO
melaporkan bahwa terdapat kira-kira 50 100 juta kasus infeksi virus dengue
setiap tahunnya, dengan 250.000 500.000 kasus merupakan kasus DBD dan
24.000 diantaranya meninggal dunia.1
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya
pada tahun 1968, dan sejak saat itu penyakit ini menyebar luas ke seluruh daerah
di Indonesia. Jumlah kasus DBD hampir selalu meningkat di setiap tahunnya di
Indonesia, hal tersebut dapat terlihat dari kasus pada tahun 2008 dan 2009 secara
berurutan yaitu 137.469 kasus dan 158.912 kasus. Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatan penduduk. Angka kesakitan tertinggi terjadi pada propinsi DKI
Jakarta, Kalimantan Timur dan Bali pada tahun 2008. Provinsi Bali yang masih
memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional yaitu 55 per 100.000
penduduk berdasarkan rekapitulasi data kasus sampai tahun 2011.1,2,3,4
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypt yang
terinfeksi virus dengue. Nyamuk Aedes aegypt hidup di air bersih yang tergenang
seperti di kolam, tempat-tempat penampungan air (bak mandi, vas bunga, dan
lain-lain). Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat bervariasi mulai dari
asimtomatik sampai dapat mengancam nyawa seperti pada Dengue Shock
Syndrome (DSS). Umumnya DBD ditandai dengan adanya demam tinggi
mendadak, terkadang bifasik, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri otot atau sendi
dan timbulnya ruam-ruam di beberapa bagian tubuh. Faktor lain yang

1
mempengaruhi perjalanan penyakit DBD adalah daya tahan tubuh dan faktor
lingkungan. Upaya pengendalian terhadap vektor (nyamuk Aedes aegypt) harus
terus diupayakan disamping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD
dengan tujuan untuk menurunkan jumlah kasus morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit ini. Terapi spesifik untuk DBD sampai saat ini masih belum ada. Prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan
pengganti.1,2,5
Tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang akan mempermudah identifikasi apabila terdapat orang-orang yang
menunjukkan gejala DBD sehingga dapat mendapatkan penanganan yang tepat.
Tulisan ini juga diharapkan akan memberikan pengetahuan dan memberikan
peran khusus untuk membantu perkembangan ilmu kedokteran anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue
yang menyerang anak-anak dan dewasa dengan gejala demam, nyeri otot, nyeri
sendi, nyeri di perut, batuk, faringitis, sakit kepala, nafsu makan menurun, mual,
muntah, kemudian menimbulkan manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet
positif, petekie, purpura, ekimosis, hematom pada bekas injeksi, pendarahan
subkonjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena,
hematoschezia, dan hematuria; hepatomegali, trombositopeni; dan
hemokonsentrasi, yang kemudian dapat berkembang menjadi Dengue Shock
Syndrome (DSS) yang ditandai dengan kulit dingin, lembab, sianosis sekitar
mulut, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi 20 mmHg, dan hipotensi.6

2.2 Epidemiologi
Terdapat 9 negara yang merupakan daerah penyebaran DBD pada tahun
1950-an, tetapi pada tahun 2004 daerah penyebarannya sudah meliputi 100 negara
di dunia. Epidemi demam dengue pertama di Indonesia dilaporkan oleh David
Beylon di Batavia pada tahun 1779, namun DBD baru dikenal pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya dengan case fatality rate (CFR) sangat tinggi, yaitu 41,3%
dan sejak tahun 1994 penyakit itu telah menyebar ke seluruh provinsi di
Indonesia. DBD umumnya terdapat di daerah tropis terutama negara ASEAN dan
Pasifik Barat. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran kasus, antara lain
pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
tidak adanya kontrol nyamuk di daerah endemis dan peningkatan sarana
transportasi. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Suhu udara dan kelembaban di Indonesia tidak sama di setiap
tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit berbeda untuk setiap tempat.1,2,7
Penderita DBD umumnya berumur di bawah 15 tahun. Risiko tertinggi pada
kelompok umur 5-9 tahun dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
1:1,2. Sejak tahun 1980-an berdasarkan penelitian di Amerika Latin dan Asia
Tenggara menunjukkan pergeseran umur penderita DBD ke umur yang lebih tua.

3
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi oleh faktor status
imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Terdapat 2.993 kasus, 1.662 kasus
diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya (1.331) kasus berjenis kelamin
perempuan, dengan jumlah kematian 8 orang, menurun dibandingkan tahun 2010
sebanyak 35 orang pada tahun 2011. Penurunan kasus terjadi pada tahun 2012
namun tidak singnifikan menjadi 2.649 kasus, 1.517 diantaranya berjenis kelamin
laki-laki dan 1.132 berjenis kelamin perempuan.7,8,9

2.3 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B-Antrhopode
Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Empat serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dan
ditemukan bahwa DEN-3 merupakan serotipe yang paling sering menjadi
penyebab DBD di Indonesia. Keempat serotipe virus tersebut serupa namun
mempunyai sifat antigen yang berbeda sehingga infeksi oleh salah satu serotipe
hanya akan memberikan kekebalan seumur hidup untuk serotipe tersebut tetapi
tidak memberi kekebalan silang (cross protective immunity) untuk serotipe
lainnya.10,11

2.4 Vektor Demam Berdarah Dengue


Terdapat 3 faktor yang memegang peranan pada penularan virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopticus, atau Aedes
polynesiensis. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus yang berada
di kelenjar liur nyamuk berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuh
nyamuk maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation
period) sebelum menimbulkan penyakit di dalam tubuh manusia. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila bila nyamuk menggigit manusia

4
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
panas timbul.8,11

2.5 Patofisiologi dan Patogenesis


Virus dengue harus bersaing dengan sel penjamu (host) untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, terutama protein setelah menginfeksi host. Persaingan
tersebut tergantung dari daya tahan penjamu, bila daya tahan baik maka akan
terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka
perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Virus berkembang biak dalam sistem retikuloendotelial, dengan target
utama adalah APC (Antigen Presenting Cells) dimana pada umumnya berupa
monosit atau makrofag jaringan, seperti sel Kupffer dari hepar (hepatosit) di
dalam tubuh manusia. Virus bersirkulasi dalam darah perifer dalam sel
monosit/makrofag, sel limfosit B, dan sel limfosit T. Viremia timbul pada saat
menjelang tampak gejala klinis hingga 5-7 hari setelahnya.12 Patogenesis utama
yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma darah, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik.8
Penelitian terakhir membuktikan bahwa kompleks dan aktivasi sistem
komplemen berperan pada patogenesis DBD. Kompleks imun ditemukan antara
hari ke-5 dan hari ke-7 sakit, saat terjadi renjatan. Produksi aktivasi komplemen
C3a dan C5a mempunyai sifat anafilatoksin sebagai penyebab kerusakan dinding
kapiler. Gangguan pembuluh darah tersebut bersifat sementara. Kerusakan sistem
vaskuler akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
terhadap protein plasma dan efusi pada ruang serosa di daerah peritoneal, pleural,
dan perikardial. Menghilangnya plasma melalui endothelium ditandai oleh
peningkatan nilai hematokrit yang kemudian menyebabkan keadaan hipovolemik
dan menimbulkan renjatan. Renjatan yang ditanggulangi dengan tidak adekuat
dapat menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Kebocoran plasma juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan rontgen foto
thoraks dan ditemukan adanya efusi pleura paru kanan pada 66% penderita SSD
dan 19% penderita DBD tanpa renjatan. Perdarahan pada DBD yang terjadi di

5
lambung, usus halus, sub-endokard, sub-kapsular hepar, paru, dan jaringan lunak
disebabkan oleh trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit, dan untuk
deteksi dini terhadap hal tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium.13
Trombositopeni pada DBD disebabkan oleh multifaktor. Trombositopeni
disebabkan oleh depresi sumsum tulang kemudian pada fase selanjutnya
kerusakan trombosit disebabkan oleh reaksi imunologis, adanya antigen dengue di
permukaan trombosit, adanya reaksi komplemen, dan sekuesterasi oleh hati pada
masa akut. Trombopati disebabkan oleh aktivasi trombosit dan adanya antigen
antibodi pada permukaan trombosit sehingga fungsi agregasi trombosit terganggu.
Perdarahan hebat pada DBD dikatakan juga berkaitan dengan KID (Koagulasi
Intravaskular Deseminata). Sampai saat ini belum ada suatu teori yang dapat
menjelaskan secara tuntas patogenesis DBD. Semua teori pada akhirnya
membahas terjadinya kebocoran vaskular dan gangguan hemostasis berupa
gangguan vaskular, gangguan trombosit, koagulopati, disfungi/aktivasi endotel
yang berhubungan dengan manifestasi klinik yang terjadi. 8,13,17
Menurut teori yang ada, terdapat dua teori yang sering digunakan, yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis
antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD dengan manifestasi
yang lebih berat. Respon antibodi yang akan terjadi akan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien. Kemudian terbentuklah virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya dapat menyebabkan
aktivasi sistem komplemen, agregasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Aktivasi 2 komplemen, yaitu C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium,
dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites).

6
Perembesan plasma tersebut mengakibatkan terjadinya hipovolemia yang
kemudian menyebabkan terjadinya syok. 13,17
Agregasi trombosit terjadi akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit yang mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosine di phosphate), sehingga trombosit akan melekat satu sama lain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial
System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III yang mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = Koagulasi Intravaskular Deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan
fungsi trombosit. Hal-hal di atas kemudian akan menyebabkan terjadinya
pendarahan masif yang dapat mengakibatkan syok. Aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan anoksia dan asidosis, yang dapat berakhir fatal.8
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) menyatakan bahwa
jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut
dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus maka hal tersebut
justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.12

2.6 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi demam berdarah dengue biasanya berkisar antara 4-7 hari.
Gejala yang timbul dapat berupa demam tinggi mendadak bersifat bifasik (saddle
back fever) berlangsung 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke 3 yang kemudian
naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun. Manifestasi lain
yang dapat timbul berupa perdarahan yang dapat terjadi pada semua organ.
Perdarahan yang paling sering ditemukan adalah perdarahan kulit. Bentuk
pendarahan dapat berupa uji torniquet (rumple leede) positif dalam bentuk satu
atau lebih manifestasi perdarahan yaitu : petekie, purpura, ekimosis, konjungtiva,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri. Uji torniquet

7
positif jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 5cm x 5cm di lengan bawah
bagian depan.15
Pembesaran hati (hepatomegali) umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit. Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Pada renjatan
syok ditemui kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari
tangan dan kaki. Penderita menjadi gelisah disertai sianosis disekitar mulut. Nadi
cepat, lemah, kecil atau tak teraba. Tekanan nadi menurun, sistolik menurun
sampai 80mmHg atau kurang. Gejala klinis lain yang muncul adalah nyeri kepala
berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi mual, muntah dan
timbulnya ruam.15

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis DBD dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
penunjang yang tepat, antara lain15 :
Uji Inhibisi Hemaglutinasi (Haemaglutination Inhibition Test = HI test)
Uji fiksasi komplemen (Complemen Fixation Test = CF Test)
Uji Netralisasi (Neutralization Test = NT Test)
IgM Elisa terdeteksi mulai hari ke 3 5 meningkat sampai minggu ke 3 dan
menghilang setelah 30 90 hari
IgG Elisa mulai terdeteksi pada hari ke 14 pada infeksi primer sedangkan
pada infeksi sekunder mulai trdeteksi pada hari ke 2
Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RTPCR)
Trombositoppenia 100.000/pl
Kebocoran Plasma : peningkatan nilai hematokrit > 20%

2.8 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan atau dinyatakan sebagai penderita DBD apabila
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet
positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis) atau hasil
pemeriksaan serologis pada tersangka DBD, menunjukkan hasil positif pada
pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian (positif) IgD saja atau IgM dan IgG
pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).16
Klasifikasi demam berdarah dengue :16

8
Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet positif.
Derajat II : demam disertai gejala tidak khas dan disertai perdarahan spontan
dikulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat teraba dan
tekanan darah tidak terukur.

2.9 Diagnosis Banding


1. Demam Tifoid
Demam tifoid dapat dilihat melalui pola demam. Pada demam berdarah
dengue demam meningkat pada 2 hari awal dan akan menurun pada hari ke
3 5 sedangkan meningkat sangat tinggi setelah hari ke 3 5. 11
2. Morbili (Campak)
Campak dapat dijadikan sebagai diagnosis banding karena pada campak
juga terdapat ruam pada kulit. Ruam pada campak timbul pada hari ke 3
setelah itu semakin bertambah pada hari ke 6 - 7 dan warna merah akan
berubah menjadi kehitaman. ruam akan berkurang pada hari ke 4 5 dan
akan menghilang pada hari ke 6 pada DBD. 11
3. Demam Cikungunya
Penyakit ini memiliki periode demam yang lebih pendek dibandingkan
dengan DBD. Penderita Demam Cikungunya akan mengalami demam yang
mendadak, suhu lebih tinggi, sering diikuti dengan terjadinya ruam, infeksi
konjungtiva dan diikuti dengan nyeri sendi serta hasil uji torniquet positif.11
4. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI)
Perbedaan ITP dan demam berdarah dengue dimana demam cepat
menghilang dan pada fase penyembuhan trombosit lebih lambat kembali.11

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya bersifat suportif dan simtomatis,
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Meminum

9
cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan
faktor protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit. Setiap pasien
tersangka DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah dengan pasien penyakit lain,
sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada
DBD tanpa penyulit adalah:5,17
1. Tirah baring.
2. Pemberian cairan, bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis, untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari
golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal
karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobse rvasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok,
yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan
dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap
keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan; serta Hb dan Ht setiap
4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam. Terapi
untuk dengue shock syndrome (DSS) bertujuan utama untuk mengembalikan
volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai
dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%,
Ringersintravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab
utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC,
heparin perlu diberikan.5,17

10
Bagan 1. Alogaritme tersangka DHF

11
Bagan 2 Tatalaksana Pasien Demam Berdarah Dengue

Bagan 3. Protokol Demam Dengue

12
Bagan 4 Protokol DHF grade I-II

Bagan 5. Protokol DHF grade III-IV

13
2.11 Komplikasi
Komplikasi dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) :18
1. Dengue Shock Syndrome
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan komplikasi yang sangat penting
diwaspadai karena angka kematiannya sepuluh kali lipat dibandingkan
dengan DBD tanpa syok. Keadaan syok dapat dilihat dari tekanan darah
sistolik <80mmHg, nadi <20mmHg, Oliguria sampai anuria karena
menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.
2. Ensefalopati
Ensefalopati umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan. Ensefalopati dengue dapat
menyebabkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen,
dapat juga disertai kejang.
3. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah
syok diobati dengan mengganti volume intravascular.
4. Udem Paru
Udem paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian
cairan yang berlebihan.

2.11Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.19
1. Pencegahan Primer
1) Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan
distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktudan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan ataukekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untukpelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan danpenggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untukmemantau keefektifannya. Salah satu kegiatan

14
yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara
melihat atau memeriksa semua tempatatau bejana yang dapat menjadi tempat
berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup
dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air
tanpa mengambil jentiknya.
2) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi
nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor
yaitu15,16:
a. Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada
nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari
golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-
bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray)
terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan
terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos)
dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan
nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
b. Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis
dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian
hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa
jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis)
adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis
golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva
nyamuk.
c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain
dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat
kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah.
Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di
tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

15
3) Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun
pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun
system surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah,
namun system ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue
jangka panjang. Setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan
melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam pada surveilans pasif. Surveilans aktif
adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat
sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran
kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut
sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.15,16

4) Pemberantasan Sarang Nyamuk


Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah keseluruhan
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mencegah
penyakit DBD yang disertai pemantauan hasilhasilnya secara terus menerus.
Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan
kebersihan lingkungan serta perilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat
dan keluarga sejahtera. Membasmi jentik nyamuk dalam upaya mencegah
terjangkit DBD dikenal dengan istilah 3M, yaitu15:
a. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan
peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
b. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak
dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
c. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya
dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk
Aedes aegypti.

2. Pencegahan Sekunder

16
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara15,16 :
a) Apabila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,
berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan
berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta
segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
b) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah
kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
c) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian
luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten,
disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : KDWS
Tanggal Lahir : 27 Januari 2006
Umur : 8 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : NW
Nama Ibu : KS
Alamat : Jalan Nusa Kambangan Gang XX No.5B
Tanggal MRS : Senin, 23 Juni 2014
Tanggal Keluar RS : Kamis, 26 Juni 2014
Tanggal Pemeriksaan : Sabtu, 28 Juni 2014

17
Anggota Keluarga :
Nama Umur Jenis Kelamin Status Pendidikan Pekerjaan
NW 39 tahun Laki-laki Ayah SMA Satpam
KS 39 tahun Perempuan Ibu SMEA Ibu Rumah Tangga
dan Penjahit
PWK 13 tahun Perempuan Kakak SMP Pelajar
kandung
KDWS Perempuan Pasien SD Pelajar

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Heteroanamnesis
Keluhan Utama:
Demam
1. Riwayat penyakit saat MRS (Senin, 23 Juni 2014) :
Demam dialami pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit yaitu Jumat, 20 Juni
2014. Demam dikatakan muncul mendadak pada siang hari pukul 12.00 WITA,
namun suhu demam pada saat itu tidak diukur. Pukul 17.00 WITA orang tua
pasien membawa pasien berobat ke bidan. Bidan memberikan obat penurun panas
yang namanya dikatakan lupa oleh orang tua pasien dan orang tua pasien diminta
untuk membawa pasien ke dokter jika demam belum turun dalam 3 hari kedepan.
Tiga hari setelah datang ke bidan, demam pasien dikatakan tidak menurun namun
suhu demam tidak pernah diukur. Pada tanggal 23 Juni 2014 pukul 08.30 WITA
pasien dibawa ke RSUP Sanglah dan langsung disarankan untuk MRS. Pada
pasien didapatkan riwayat mual dan muntah sejak demam dimulai dengan
frekuensi 3 kali per hari setiap setelah makan, dengan muntahan berisi makanan
dan minuman yang baru dikonsumsi dengan volume gelas. Pasien juga
didapatkan riwayat diare dengan frekuensi 5 kali sehari, dengan konsistensi
dikatakan lembek. Keluhan batuk, pilek, mimisan, dan gusi berdarah disangkal
oleh ibu pasien. Nafsu makan pasien dan aktivitas pasien dikatakan menurun
semenjak sakit.
Anamnesis pada saat kunjungan (Sabtu, 28 Juni 2014) :
Pada saat kunjungan, kondisi pasien dikatakan baik, namun pasien mengeluh
ekstremitas bawahnya masih terasa nyeri dan perih ketika terkena air. Ekstremitas
atas dan bawahnya dikatakan masih gatal dan berwarna kemerahan. Keluhan
demam, mual, muntah dan diare yang dahulu dikeluhkan pasien sudah tidak ada.
Pasien masih lemas sehingga belum bisa bermain bersama teman-temannya.

18
Nafsu makan dikatakan membaik dan tidak mengeluh sulit tidur. Buang air besar
1 kali sehari dengan konsistensi normal. Buang air kecil juga dikatakan baik,
berwarna kuning dengan frekuensi normal.

2. Riwayat Penyakit Terdahulu :


Pasien belum pernah menderita keluhan yang serupa. Riwayat demam
berdarah sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat sesak napas saat berusia
2 tahun, namun dikatakan tidak pernah kambuh kembali semenjak mendapatkan
pengobatan pada waktu itu.

3. Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami masalah yang sama.
Riwayat asma, epilepsi dan alergi dalam keluarga disangkal.

4. Riwayat Sosial dan Lingkungan :


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien tinggal bersama
kedua orang tuanya di sebuah rumah kontrakan, dimana dalam 1 pekarangan
terdapat 17 kepala keluarga dan tersedia 3 kamar mandi. Sehari-hari pasien
dikatakan lincah dan riwayat perkembangan tidak tergangu. Sehari-hari ibu pasien
dominan memasak makanan dengan bahan-bahan makanan yang dicuci bersih
dengan air mengalir untuk disantap keluarga. Sumber air berasal dari sumur bor di
rumah pasien yang digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian.
Lingkungan rumah pasien tidak terlalu bersih, terdapat tumpukan barang-
barang yang sudah tidak terpakai seperti kayu-kayu bekas, kursi bekas serta
beberapa barang bekas lainnya di sudut pekarangan dan di depan rumah. Orang
tua pasien mengatakan tidak memiliki tempat penampungan air selain sumur air.
Orang tua pasien juga mengatakan terdapat salah satu tetangga mereka yang
memiliki penampungan air untuk memelihara penyu. Penampungan air tersebut
dikatakan didiamkan dan tidak pernah dibersihkan dalam waktu lebih dari
sebulan. Orang tua pasien mengaku tidak pernah menguras kamar mandi secara
berkala. Got di depan rumah pasien sampai saat ini dikatakan sering mampet
sehingga terdapat genangan air. Orang tua pasien mengaku tidak pernah dilakukan
kerja bakti di wilayah rumahnya. Terdapat riwayat demam berdarah pada tetangga
pasien sebanyak 2 orang. fogging di wilayah rumahnya terakhir kali dilakukan
sekitar 1 tahun yang lalu di saat banyak tetangga pasien menderita demam
berdarah. Pemeriksaan jentik nyamuk dan pemberian abate secara berkala juga

19
dikatakan tidak pernah dalam waktu 1 tahun ini. Ayah pasien mengatakan sudah
melapor kepada kelian banjar agar dilakukannya fogging namun belum
mendapatkan tanggapan. Keluarga pasien tidak pernah menggunakan obat anti
nyamuk dalam bentuk apapun dirumahnya.

5. Riwayat Pengobatan selama MRS :


Pasien sempat dibawa berobat ke bidan sejak mulai demam pada tanggal 20
Juni 2014 kemudian oleh bidan diberikan obat penurun panas yang namanya
dikatakan lupa oleh orang tua pasien, namun demam dikatakan tidak turun.

6. Riwayat Kehamilan :
Saat masa kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-
obatan tertentu. Selama 9 bulan kehamilan ibu pasien melakukan ANC di dokter
kandungan dengan frekuensi 1 kali perbulan.

7. Riwayat Persalinan :
Pasien dilahirkan secara normal dibantu dokter dengan usia cukup bulan 40
minggu, berat badan lahir 3500 dan panjang badan 50 cm. Pasien dikatakan
langsung menangis dan tidak ada kelainan saat lahir. Pasien langsung
mendapatkan vitamin K dari dokter.

8. Riwayat Imunisasi :
Pasien telah mendapat imunisasi dasar yaitu BCG sebanyak 1 kali, DPT
sebanyak 5 kali, Polio sebanyak 4 kali, imunisasi Hepatitis B sebanyak 3 kali serta
campak sebanyak 1 kali. Secara keseluruhan pasien sudah mendapatkan imunisasi
dasar yang lengkap menurut rekomendasi Kermenkes 2013.

9. Riwayat Nutrisi :
Pasien setelah lahir diberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan
kemudian diteruskan sampai umur 1 tahun 3 bulan. Pemberian ASI dikatakan
sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand). Pasien diberikan susu formula sejak
umur 6 bulan sesuai dengan kebutuhan bayi dan bubur susu sejak umur 8 bulan
dengan frekuensi 3-5 kali perhari. Makanan tambahan berupa buah pisang dan roti
yang dilembekan mulai diberikan sejak umur 10 bulan masing-masing dengan
frekuensi 1 kali sehari. Makanan dewasa diberikan sejak umur 12 bulan dengan
frekuensi 3-4 kali perhari.
Konsumsi pasien sehari-hari di rumah biasanya (Food Recall) :

20
Nasi putih 2 mangkok kecil ( 300 gram) 437,4 kkal
Ayam sisit 1 porsi kecil 450 kkal
Telor puyuh 3 butir 109,4 kkal
Tempe goreng 4 potong kecil ( 50 gram) 74,5 kkal
Sayur kangkung 1 porsi kecil (70 gram) 44,6 kkal
Camilan (roti) 3-4 kali perhari 740,1 kkal
Jumlah kalori yang dikonsumsi dalam sehari adalah 1850 kkal.

10. Riwayat Psikososial :


Berdasarkan pemeriksaan psikososial menggunakan PSC (Pediatric Symptom
Checklist) didapatkan nilai 2 dengan intrepetasi negatif (tidak terdapat gangguan
psikososial).

11. Riwayat Alergi :


Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat maupun
makanan tertentu.

12. Riwayat sosial ekonomi :


Keluarga pasien termasuk dalam kategori keluarga sederhana. Ayah pasien
seorang satpam yang bekerja disuatu kantor. Ibu pasien seorang ibu rumah tangga
dengan pekerjaan sampingan yaitu penjahit. Orang tua pasien tidak bersedia
menyebutkan nominal penghasilan mereka, namun penghasilan yang diperoleh
dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

3.3 Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan Fisik pada saat MRS yaitu pada tanggal 20 Juni 2014
Status Present :
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (E4V5M5)
Nadi : 110x/mnt
RR : 28x/menit
Tax : 36,8 oC

21
Tekanan darah : 90/65 mmHg
Saturasi Oksigen : 96% pada udara ruangan
BB : 24 Kg
TB : 131 cm
BBI : 28 Kg
BB/U : persentil 25 (Gizi kurang)
TB/U : persentil 50 75 (Normal)
BB/TB : persentil 10 25 (Normal)
Waterlow : 85 % (Gizi kurang)

Status general
Kepala : normal
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, sekret -/-, reflek cahaya +/+, oedema -/-
THT : Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), cyanosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1 hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), JVP (-)
Thoraks :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-)
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-)

Paru-paru
Inspeksi : simetris, gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar - lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : petekie (+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : akral hangat (-), cyanosis (-), oedema (-), CRT < 3 detik

2. Pemeriksaan Fisik pada saat kunjungan tanggal 28 Juni 2014


Status Present :
KU : baik
Kesadaran : compos mentis (E4V5M5)
Nadi : 92x/mnt
RR : 28x/menit

22
Tax : 36,0 oC
Tekanan darah : 100/60 mmHg
BB : 23 Kg
TB : 131 cm
BBI : 28 Kg
BB/U : persentil 25
TB/U : persentil 50 75
BB/TB : persentil 10 25
Waterlow : 82 % (Gizi kurang)

Status general
Kepala : Normal
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, sekret -/-, reflek cahaya +/+, oedema -/-
THT : Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), cyanosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1 hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), JVP (-)
Thoraks :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-)
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : S1S2 normal regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : simetris, gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Kulit : petekie (-)
Genitalia : tidak dievaluasi
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : akral hangat (-), cyanosis (-), edema (-), CRT < 3 detik

3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang pada saat MRS


a. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

23
23/6/2014 24/6/2014 25/6/2014
WBC 2,86 1,96 2,2 103 / l 6.00-14.00
Neu 66,8 42,3 49,9 % 18.30-47.10
Lym 23,6 34,7 30,7 % 30.0-64.3
Mono 3,7 9,4 4,6 % 0.0-7.10
Eos 0,2 3,3 2,3 % 0.0-5.0
Baso 0,2 0,6 1 % 0.0-0.7
RBC 6,43 5,02 4,89 106 / l 4.10-5.3
HGB 17,1 14,1 13,6 g/dL 12.0-16.0
HCT 48,8 37,7 36,6 % 36.00-49.00
MCV 75,9 75,2 74,9 fL 78.00-102.0
MCH 26,6 28,1 27,8 g/dL 25.00-35.00
MCHC 35,1 37,4 37,1 g/dL 31-36
RDW 10,8 11,1 11 % 11.6-18.7
PLT 80 61 53 103 / l 140-440
MPV 7,6 7 7,4 fL 6.80-10.0

b. Immunologi (25 Juni 2014)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DHF IgG Negatif Negatif
DHF IgM Positif Negatif

3.5 Diagnosis Klinis


Diagnosis MRS (23 Juni 2014) : Suspek DBD grade I (panas hari ketiga
mulai pukul 12.00 WITA) dd/ Demam Dengue + gizi kurang
Diagnosis pulang (28 Juni 2014) : DBD grade I (panas hari ketujuh mulai
pukul 12.00 WITA) + gizi kurang

3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien saat di rumah sakit (23 Juni 2014)
MRS
Kebutuhan cairan 1580 ml/hari
IVFD D5 NS ~ 22 tetes makro/menit
Kebutuhan kalori 2240 kkal/hari
Kebutuhan protein 28 gram/hari
Diet nasi 3x1 porsi
Parasetamol 10 mg/kgBB/kali ~ 240 mg ~ cth II apabila Tax 38,0C,
Tax 37,5C 38,0C cukup di kompres hangat yang dapat diulang setiap
4 jam.

24
KIE keluarga pada saat kunjungan PBL hari Sabtu, 28 Juni 2014
Penjelasan mengenai penyakit demam berdarah dengue
Menyarankan kepada pasien untuk tetap beristirahat terlebih dahulu sampai
tubuhnya kembali pulih seperti sebelum menderita sakit.
Menyarankan keluarga pasien melakukan pencegahan terhadap penyakir
demam berdarah dengue dengan 3M yaitu menutup tempat penampungan
air, menguras air yang tergenang, mengubur barang-barang bekas, dan
menaburkan serbuk abate pada tempat penampungan dan genangan air.
Menyarankan keluarga agar melaporkan kembali kepada petugas setempat
seperti kelian banjar agar bisa dilakukan fogging secepatnya.
Melakukan pola hidup sehat dengan rajin berolahraga, beristirahat yang
cukup, mengkonsumsi makan-makanan yang bergizi seimbang untuk
memperbaiki status gizi dan menjaga kesehatan tubuh.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Kebutuhan Dasar Anak


Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH)
Kebutuhan pangan/gizi
Pasien mendapatkan kebutuhan pangan/gizi yang cukup di dalam
keluarga. Pasien juga telah mendapatkan makanan yang diberikan mencakup
nasi lembek, tahu/tempe/telur, daging, sayur dan buah-buahan. Pasien telah
disediakan makanan bergizi yang cukup, namun seringkali pasien hanya

25
makan seadanya, dan tidak menghabiskan makanan. Pasien cenderung lebih
menyukai permen daripada makanan bergizi yang memberikan energi.
Perawatan kesehatan dasar
Pasien telah mendapatkan imunisasi dengan lengkap sesuai usia. Pasien
saat mengeluh sakit atau terlihat sakit, orang tua biasanya langsung membawa
anak berobat ke bidan atau puskesmas yang terletak dekat dengan rumah
pasien. Pasien yang telah mendapat pengobatan tidak menunjukkan
perbaikan, maka orang tua akan segera membawa anak kembali kontrol ke
dokter untuk yang kedua kalinya.
Keluarga
Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kakaknya. Keluarga sangat
menyayangi dan perhatian terhadap pasien. Kakak pasien akan
memperhatikan pasien disaat ibu dan ayah pasien sedang bekerja.
Lingkungan rumah
Pasien tinggal di lingkungan rumah yang cukup ramai dan agak tidak
memperhatikan lingkungan. Orang tua pasien juga memahami masalah
higiene dan sanitasi lingkungan. Sehari-hari keluarga pasien menggunakan air
sumur sebagai sumber air. Keluarga pasien tinggal di lingkungan rumah
kontrakan (kos-kosan) yang dalam satu lingkungan rumah terdapat 17 kepala
keluarga. Pemakaian toilet serta penggunaan dan pemeliharaan kamar mandi
tidak ditentukan. Menurut pengakuan ibu pasien, tetangga pasien
memmelihara kura-kura, sehingga air seringkali ditampung lebih dari sebulan
dan jarang dibersihkan. Hal ini bisa menjadi faktor risiko tempat tumbuhnya
jentik nyamuk. Di dalam rumah pasien tidak ditemukan tempat penampungan
air bersih yang dapat menjadi tempat jentik nyamuk. Selokan di depan rumah
pasien dikatakan sering tersumbat, saat kunjungan selokan tersebut tampak
kotor tercampur bahan limbah rumah tangga. Lingkungan rumah pasien
dikatakan tidak pernah melakukan gotong royong sehingga cenderung terlihat
kotor, dan tampak sampah yang dapat menampung air bersih. Hal ini dapat
menjadi sumber penyakit infeksi yang lain bagi warga.
Waktu bersama keluarga

26
Ayah pasien bekerja sebagai satpam, sehingga waktu bersama keluarga tidak
menentu, sedangkan ibu pasien adalah seorang penjahit di suatu usaha
pakaian. Orang tua pasien cenderung tidak memiliki waktu yang cukup
banyak untuk merawat dan memperhatikan anak-anak mereka, namun pasien
selalu diperhatikan oleh kakak perempuannya.

Kebutuhan emosi/kasih sayang (ASIH)


Hubungan emosi dengan kedua orang tua
Orang tua tidak pernah memaksakan kehendak kepada anaknya, jarang
memarahi anaknya karena pasien jarang rewel dan penurut. Untuk masalah
makanan, orang tua mengaku perlu sedikit memaksakan kehendak terhadap
anaknya agar anak mau makan sesuai kebutuhan guna mendapatkan gizi yang
optimal.
Hubungan kasih sayang dengan kedua orang tua
Hubungan anak orang tua dengan anak selalu dijaga oleh kedua orang tuanya
agar tetap hangat dan erat. Hubungan pasien dengan saudaranya yang lain
juga sangat erat. Walaupun ayah dan ibu sedang bekerja, namun selalu
menyempatkan diri untuk memberikan perhatian kepada anaknya. Anak tidak
pernah merasa kesepian karena ibu selalu perhatian untuk mengurusi kedua
anaknya walau harus tetap bekerja.

Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)


Ayah dan ibu membantu anak dalam proses perkembangan anak. Anak dilatih
untuk melakukan hal-hal sesuai dengan umurnya belajar untuk memenuhi
tugas-tugas yang didapatkan dari sekolah, anak diajarkan untuk mulai
mengerti tentang lingkungannya.
Ayah dan ibu memberikan pengertian pada pasien mengenai perjalanan dan
pencegahan penyakit DBD, keadaannya setelah pulang dari rumah sakit serta
apa saja yang aktivitas yang tidak boleh dan boleh dilakukannya dalam
sementara waktu agar kesehatannya pulih secara penuh.

27
4.2 Analisis Bio-Psiko-Sosial
Biologis
Secara fisik pasien tampak sehat, namun status gizi pasien menurut grafik
pertumbuhan CDC termasuk gizi kurang. Dimana berat badan pasien saat ini
berbanding dengan berat badan idealnya menunjukkan hasil 82% dan hasil ini
menunjukkan kriteria gizi kurang. Pengetahuan orang tua untuk merawat
anaknya dinilai cukup.
Psikologis
Pasien mendapat cukup perhatian dari kedua orang tuanya terutama
masalah kesehatan dan perkembangannya. Orang tua terutama ibunya tetap
menjaga dan memperhatikan kesehatan pasien.
Sosial
Saat kunjungan terlihat pasien tengah bermain dengan tetangga pasien
yang sebaya, hal tersebut menunjukkan hubungan sosial pasien sudah baik,
terutama pada orang yang sebaya.
Lingkungan Rumah
Keluarga pasien tinggal di sebuah rumah sewaan dengan 1 lantai
berukuran sedang dimana rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang
tamu, 1 dapur, dan halaman. Pasien bersama ayah, ibu dan kakaknya tinggal
dalam 1 kamar. Lantai berkeramik dan tembok permanen. Tempat tidur
penderita merupakan tempat tidur kayu dengan kasur kapuk, penyinaran
kamar kurang baik dengan jendela dan ventilasi di satu sisi kamar. Kamar
tidak cukup terang pada siang hari apabila pintu dan jendela dibuka. Untuk
kebutuhan air sehari-hari, keluarga pasien menggunakan air dari sumur milik
pemilik rumah kontrakan. Lingkungan rumah pasien terlihat agak sesak,
dengan barang-barang yang bertumpuk, dan baju yang menggantung, yang
merupakan tempat dapat menjadi bagi tempat persembunyian nyamuk Aedes
aegypt.

4.3 Faktor Risiko

28
Faktor risiko demam berdarah dengue yang ditemukan pada pasien ini antara
lain tempat penampungan air keluarga pasien yang berupa sumur bor, tidak
menentunya pembersihan toilet pada lingkungan tersebut karena dipakai bersama,
tetangga yang kurang perhatian terhadap air berih yang tergenang, selokan dan
sampah yang dapat menampung air bersih yang jarang dibersihkan dapat menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti, karena nyamuk ini senang
hidup di air yang bersih. Selain itu keluarga pasien memiliki rumah yang
berukuran sedang, sehingga kondisi barang- barang didalamnya kurang terurus,
bertumpuk-tumpuk dan penyinarannya kurang sehingga dapat menjadi sarang
nyamuk. Disalah satu sudut pekarangan rumah pasien juga terdapat tumpukan
barang-barang bekas berupa kayu-kayu yang sudah rusak. Disamping itu, di
lingkungan rumah pasien belum pernah diadakan fogging sejak setahun yang lalu
untuk membunuh nyamuk dewasa, dan belum dilakukan pemeriksaan jentik
secara rutin dan pemberian abate. Faktor risiko yang lain adalah dua tetangga
pasien yang juga terjangkit demam berdarah dan sudah dirawat saat pasien masuk
rumah sakit. Lingkungan di sekitar rumah pasien yang cukup kumuh dapat
menimbulkan penyakit infeksi lain bagi pasien serta masyarakat yang tinggal di
wilayah tersebut.

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Kondisi pasien saat ini sudah membaik, nafsu makan membaik, BAB dan
BAK normal, namun pada pasien masih terlihat adanya petekie dan terasa
gatal serta nyeri ketika beraktivitas. Pemeriksaan fisik dalam batas normal
(selain pada kulit) dan status gizi pasien masih kurang.

29
Dari hasil evaluasi pada saat kunjungan, aktivitas pasien kembali normal
namun pasien dikatakan masih sedikit lemas sehingga orang tua pasien
membatasi aktivitas anaknya untuk sementara waktu.
Adanya kasus demam berdarah pada tetangga pasien mengindikasikan
bahwa faktor pencetus demam berdarah dengue yang diderita oleh pasien
kemungkinan besar adalah karena lingkungan rumah dan sekitar rumah
pasien.
Dari hasil pengamatan, faktor risiko demam berdarah dengue yang
ditemukan dari lingkungan rumah pasien yaitu kamar mandi yang tidak
dibersihkan secara berkala, tetangga yang memiliki usaha dengan
menampung air, selokan dan sampah yang memiliki genangan air serta
kebersihan dan kerapian rumah yang kurang terjaga, sehingga menjadi
sarang nyamuk untuk berkembang biak dan beristirahat.

5.2 Saran
ASUH
Tetap berusaha untuk selalu meluangkan waktu menemani dan membimbing
perkembangan anak disela-sela kesibukan bekerja.
Menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah terutama yang merupakan
faktor risiko demam berdarah dengue dan berbagai penyakit yang lainnya.
Mengantisipasi musim hujan agar tidak terjangkit demam berdarah lagi
dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah serta gotong royong untuk
menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah dan memperhatikan tempat-
tempat penampungan air.
ASIH
Meningkatkan kekompakan dalam memberikan kasih sayang kepada anak
dan meningkatkan kepekaan terhadap segala permasalahan anak.
Tetap menjaga nutrisi pasien dan keluarga agar tetap baik sehingga
kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit tertentu tetap terjaga.
Menyarankan kepada kelian adat di lingkungan tempat tinggal pasien untuk
melaporkan kejadian demam berdarah dengue di tempat tinggal pasien
kepada Dinas Kesehatan sehingga dapat diadakan fogging.

ASAH

30
Menemani anak dalam bermain, memberikan mainan dan alat belajar yang
mendukung perkembangan anak sesuai dengan umurnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Jendela


Epidemiologi; (2): h.1-31
2. Depkes. Tata laksana DBD. [Diakses tanggal 30 Juni 2014] Diunduh dari
www.depkes.go.id/download/Tata%Laksana%DBD.pdf
3. Karyanti, M, Hadinegoro S. 2009. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. Sari Pediatri; (10): h.424-32
4. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Informasi Imum Demam Berdarah Dengue.
[Diakses tanggal 30 Juni 2014] Diunduh dari

31
www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_DEMAM_
BERDARAH_DBD_2011.pdf
5. Chen K, Pohan H, Sinto R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan Pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus; (22): h.5-9
6. Rampengan TH, Laurentz I.R. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. 1993. h.135-149
7. Guha-Sapir, Debarati & Schimmer, Barbara. 2005. Dengue fever : new
paradigms for a changing epidemiology, Emerging Themes in Epidemiology
Vol.(2)
8. Rezeki Sri, Soegijanto Soegeng, Wuryadi Suharyono, Suroso Thomas. 2001.
Tata Laksana Demam Berdarah Dengue edisi 2 th. h.7-16
9. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2010-2013 [Diakses tanggal 29 Juni
2014] Diunduh dari diskes.baliprov.go.id/
10. Rampengan TH, Laurentz I.R. 1993. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 135-149
11. Mansjoer A., dkk. 2005. Demam Berdarah Dengue. Kapita Selekta
Kedokteran edisi ketiga jilid II. Jakarta. Media Aesculapius. h. 419-422.
12. Aryati. 2004. Diagnosis Laboratorium DBD Terkini. Medicinal Jurnal
Kedokteran; (4): h.12-13
13. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. 2005.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. h.2-9
14. Sutaryo & Mulatsih Sri. 2004. Trombositopeni dan Trombopati pada Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Sutaryo, Hagung W Pudjo, Mulatsih Sri,
penyunting. Tatalaksana Syok dan Perdarahan pada DBD. Medika Kakultas
Kedokteran UGM.Yogyakarta; h.20-23.
15. Yuswulandary, V dkk. 2013. Pedoman Pelaksanaan Penderita Demam
Berdarah Dengue. Universitas Sumatera Utara
16. Pedoman Pengobatan Dasar. 2007. Departemen Kesehatan RI
17. Rajapakse S, Rodgiro C, Rajapakse A. 2012. Treatment of Dengue Fever.
Dovepress. Infection and Drug Resistance; (5) p.103-12
18. Lardo S. 2013. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit.
CDK-208; (40) p.656-60
19. WHO. 1997. Dengue Hemorrhage Fever. Diagnosis, Treatment, Prevention
and Control. Second edition. Geneva. p.1-92

32
33

You might also like