You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru (Alsagaff, 2009). ISPA menjadi perhatian bagi
anakanak (termasuk balita) baik dinegara berkembang maupun negara maju
karena anak-anak memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga akan
sangat rentan terserang ISPA, itulah yang menyebabkan angka prevalensi dan
gejala ISPA sangat tinggi bagi anak-anak dan balita (Riskerdas, 2013).
Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per
tahun (WHO, 2008). Prevalensi nasional ISPA 25% (16 provinsi di atas angka
rasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada bayi 2,2% dan balita 3%,
sedangkan angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. Angka
ISPA tertinggi pada balita (>35%), sedangkan terendah pada kelompok 15-24
tahun. Prevalensi cenderung meningkat lagi sesuai dengan meningkatnya umur,
antara laki-laki dan perempuan relatif sama dan sedikit lebih tinggi di pedesaan.
ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat
pengeluaran per kapita lebih rendah (Riskerdas, 2013). ISPA juga merupakan salah
satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40-60%
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat di bagian rawat
jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes RI, 2008).
Dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI
menetapkan 10 program prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat
untuk mencapai tujuan Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah
Program Pencegahan Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (Depkes RI, 2008). Secara umum terdapat tiga faktor risiko
terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku.
Faktor lingkungan meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap
hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi),
ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi: umur anak,
berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku
meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA (WHO, 2012; Prabu, 2009).

Berdasarkan tiga faktor risiko tersebut, salah satunya adalah faktor


lingkungan yang dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap
rokok. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam rumah dapat berdampak
negatif bagi anggota keluarga khususnya balita. Indonesia merupakan negara
dengan jumlah perokok aktif sekitar 27,6% dengan jumlah 65 juta perokok atau 225
miliar batang per tahun (WHO, 2008). Hasil survei yayasan Indonesia Sehat
menyebutkan risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara
14% untuk daerah perkotaan dan 24% untuk pedesaan. Pada setiap desa hampir
terdapat balita, berarti risiko balita terpapar asap rokok cukup tinggi.
Oleh karena itu, upaya kesehatan lingkungan dan upaya pemberantasan
penyakit berbasis lingkungan merupakan bagian dari upaya pembangunan
kesehatan yang menyeluruh, meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Hal ini berdasarkan pada tujuan pembangunan nasional di bidang
kesehatan, yaitu peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2010).
Berdasarkan data di atas, kasus ISPA masih menjadi salah satu dari
sepuluh besar penyakit terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan
kebiasaan merokok di dalam Rumah dengan kejadian ISPA pada bayi dan balita di
Desa Ciloang wilayah kerja Puskesmas Serang Kota tahun 2016.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada bayi dan balita di Desa Ciloang wilayah kerja Puskesmas
Serang Kota tahun 2016?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada bayi dan balita di Desa Ciloang wilayah kerja Puskesmas
Serang Kota tahun 2016.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui angka kejadian ISPA pada bayi dan balita di Desa Ciloang
wilayah kerja Puskesmas Serang Kota.
b. Mengetahui faktor risiko kejadian ISPA pada di wilayah kerja Puskesmas
Serang Kota.
c. Melakukan intervensi terhadap permasalahan sehingga diharapkan dapat
menurunkan angka kejadian ISPA pada anak di wilayah kerja Puskesmas
Serang Kota.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam memecahkan masalah
penyakit ISPA, serta sebagai bahan acuan untuk penelitian yang lebih
mendalam mengenai penyakit ISPA.
2. Bagi Instansi Puskesmas
Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan kebijakan yang harus diambil untuk
penanggulangan penyakit ISPA di wilayah kerja Serang Kota sehingga dapat
menurunkan angka kejadian kasus ISPA.
3. Bagi Masyarakat Setempat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyebab dan faktor risiko
kejadian ISPA sehingga masyarakat dapat mengetahui pentingnya perilaku
hidup sehat dan bersih dalam kehidupan sehari-hari, serta mengurangi bahkan
berhenti mengonsumsi rokok pada anggota keluarga baik di dalam maupun di
luar rumah untuk mencegah penyakit ISPA pada anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PROFIL PUSKESMAS SERANG KOTA


1. Gambaran Umum
Puskesmas Serang Kota terletak di tengah-tengah kota Serang sebagai
Ibu Kota Provinsi Banten, tepatnya di Jl. Jend. A. Yani No. 159, Serang,
memiliki 3 (tiga) Kelurahan terdiri dari 46 (empat puluh enam) RW dan 169
(seratus enam puluh sembilan) RT dengan gambaran luas wilayah pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Luas Wilayah Menurut Kelurahan
No KELURAHAN LUAS WILAYAH
1. Cipare 1,68 KM
2. Sumur Pecung 3,96 KM
3. Sukawana 1,77 KM
JUMLAH 7,41 KM
2. Analisa Geografi Kependudukan
Jumlah penduduk Puskesmas pada tahun 2012 sejumlah 51.591 Jiwa,
sebagian besar mata pencahariannya Pegawai Negeri Sipil. Untuk pendidikan
sebagian besar Sekolah Menengah Atas. Untuk data penduduk seluruhnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tempat & Jenis Kelamin
NO KELURAHAN LAKI- PEREMPUAN JUMLAH
LAKI
1. Cipare 13.770 13.239 27.009

2. Sumur Pecung 11.008 10.593 21.601

3. Sukawana 2.339 2.181 4.520


JUMLAH 27.117 26.013 53.130
3. Struktural, Sarana dan Fasilitas Puskesmas Serang Kota
Tabel 3. Data Fasilitas Kesehatan Puskesmas DTP Serang Kota Tahun
2016
NO FASILITAS JUMLAH
1 Puskesmas 1
2 Puskesmas Pembantu 1
3 Poskesdes 1
4 Mobil Ambulance/Pusling 2
5 Rumah Bersalin 3
6 Rumah Sakit Ibu & Anak (Budi Asih) 1
7 Praktek Dokter Bersama 23
8 Praktek Dokter Umum 9
9 Rumah Sakit Bedah 1
10 Praktek Bidan Swasta 6
Tabel 4. Jumlah Tenaga Struktural

NO KATEGORI TENAGA JUMLAH


1 Kepala Puskesmas 1
2 Kasubag Tata Usaha 1
TOTAL 2
Tabel 5. Jumlah Tenaga Fungsional

NO KATEGORI TENAGA JUMLAH

1 Dokter Umum 2

2 Dokter Gigi 1

3 Perawat 8

4 Perawat Gigi 1

5 Bidan 10

6 Asisten Apoteker & Apoteker 2

7 Analis 2

8 Sanitarian 1

9 Azki/TPG 1

10 Pekarya/Rekam Medis 6

11 Pelaksana 2

12 Fisioterapi 0
13 Tenaga Sukarela (R/R) 4

14 Magang 1

15 Cleaning Service 1

16 Juru Masak 1

17 Penjaga Malam 1

TOTAL 44

Sarana Transportasi
1. Sepeda Motor : 11 buah
2. Ambulans : 2 buah
Fasilitas di Puskesmas DTP Serang Kota
Puskesmas DTP Serang Kota terdiri dari 3 Gedung, yaitu :
1. Gedung A
Fasilitas di Gedung A terdiri dari :
a. Pendaftaran
b. BP Umum
c. BP PTM
d. MTBS
e. Apotek
f. Klinik Sanitasi
g. Klinik Paru
h. Koperasi
2. Gedung B
Fasilitas di Gedung B terdiri dari :
a. Laboratorium
b. BP Gigi
c. Fisioterapi
d. Klinik Rosela (LJASS)
e. Klinik Gizi
f. Gudang Farmasi
g. Ruang Kepala Puskesmas
h. Ruang Tata Usaha
i. Perpustakaan
j. Mushola
k. Aula
3. Gedung C
Fasilitas di Gedung C terdiri dari :
a. UGD
b. Rawat Inap
c. Ruang Bersalin
d. Ruang Nifas
e. KIA/KB
f. Imunisasi
g. USG
h. Klinik IVA
4. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
Indikator 10 Besar Penyakit di Puskesmas Serang Kota merupakan
informasi yang penting untuk mengatahui cakupan pelayanan kesehatan di
Puskesmas, khususnya dalam penanganan kasus penyakit. Kasus 10 Besar
penyakit terbanyak di Puskesmas Serang Kota April- Juni 2016:
Tabel 6. Daftar kunjungan 10 penyakit terbanyak
No. Penyakit Kunjungan
April Mei Juni
1. ISPA 641 647 654
2. Batuk 579 324 579
3. Demam 301 303 301
4. Hipertensi 268 263 268
5. Gangguan Kulit 173 171 173
6. Gastritis 157 165 165
7. Gangguan gigi 157 157 157
8. Penyakit pulpa 125 125 125
9. Sakit kepala 115 115 115
10. Faringitis 112 1112 112
Grafik 1. Penemuan Kasus ISPA pada Balita di PKM Serang Kota tahun 2014

7000

6000

5000

4000

3000

2000

1000

0
Bukan Pneumonia Pnemonia Meninggal

Grafik 2. Penemuan ISPA berdasarkan kelompok umur di PKM Serang Kota


tahun 2014
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
<1 tahun 1-4 tahun >5 tahun
Tabel 7. Jumlah kunjungan ISPA dan Pneumonia tahun 2014

Tabel 8. Laporan bulanan program P2 ISPA Puskesmas Serang Kota


Januari- Desember 2014

Dalam melaksanakan kegiatan program ISPA dan pneumonia,


Puskesmas DTP Serang Kota telah melakukan tatalaksana anak batuk dan
kesukaran bernapas yaitu dengan menilai anak batuk dan atau kesukaran
bernapas, membuat klasifikasi dan menentukan tindakan sesuai untuk 2
kelompok umur balita (kelompok umur <2 bulan dan kelompok umur 2 bulan-
<5 tahun), menentukan pengobatan dan rujukan, memberi konseling bagi ibu,
memberi pelayanan tindak lanjut, dan menjalin kerjasama dengan Dinas
Kesehatan Kota Serang untuk pengadaan alat laboratorium, radiologi, ataupun
pemeriksaan lainnya sebagai penunjang diagnosis.
Untuk mencegah kasus baru dan menekan pertambahan kasus ISPA
dan pneumonia, perlu dilakukan tindakan antara lain sebagai berikut :
a. Pertemuan lintas sectoral dan lintas program untuk mensosialisasikan
penyakit ISPA dan pneumonia
b. Kunjungan ke rumah penderita untuk memberikan informasi kepada orang
tua dan keluarga agar penyakit tersebut tidak terjadi pada anggota keluarga
yang lain
c. Promosi Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
B. ISPA
1. Definisi
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan
Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya
Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung
hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari. Biasanya
diperlukan waktu penyembuhan 5 14 hari (Nurrijal, 2009).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia
tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, pharingitis, tonsilitis dan
penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan
pneumonia. Pharingitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita
(Depkes, 2008).
2. Etiologi
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang
komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA
terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, riketsia dan jamur. Virus penyebab
ISPA antara lain golongan mikrovirus (termasuk di dalamnya virus influenza,
virus pra-influensa dan virus campak) dan adenovirus. Bakteri penyebab ISPA
misalnya: streptokokus hemolitikus, stafilokokus, pneumokokus, hemofils
influenza, bordetella pertusis dan karinebakterium diffteria (Achmadi, dkk.,
2004 dalam Arifin, 2009). Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.
Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya
lemah.
Golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk di dalamnya virus para-influenza, virus influenza, dan virus campak)
dan adenovirus. Virus para-influenza merupakan penyebab terbesar dari
sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian
atas. Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sidroma saluran
pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus
influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas
bagian atas dari pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulany, 1995
dalam Arifin, 2009).
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa
batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala.
Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti
batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala
tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian anak yang
menderita radang paru (pneumonia), bila infeksi paru ini tidak diobati dengan
antibiotik akan menyebabkan kematian (Fuad, 2008).
4. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah pharing atau dengan suatu tangkapan refleks
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan
tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan
dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus
yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran
cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk. Adanya infeksi virus merupakan
predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut
terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan
atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Rech, 2009).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan
juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Rech, 2009).
Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah,
sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Rech, 2009). Penanganan penyakit
saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran
nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian
besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada
umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas
sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA
(sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas
(Siregar, 1994). Dari uraian diatas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat
dibagi menjadi empat tahap, yaitu (1) Tahap patogenesis, penyebab telah ada
tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.(2). Tahap dini penyakit,
dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk. (3)
Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah. (4) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.
Timbul gejala demam dan batuk. (5) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi
empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi
kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia (Siregar, 1995).
5. Faktor Risiko
Faktor faktor yang berperan pada kejadian ISPA adalah sebagai berikut :
a. Faktor host (diri)
1) Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita
ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Hidayat, 2009).
2) Jenis Kelamin
Anak perempuan lebih tinggi dari lakilaki di negara Denmark
(Hidayat, 2009).
3) Status gizi
Kekurangan Kalori Protein (KKP) mengakibatkan ketahanan tubuh
menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan
keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah
satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut
adalah status gizi anak (Hidayat, 2009).
4) Status imunisasi
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita
ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain
yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan
peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Hidayat,
2009).
5) Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa
pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada
penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel
epitel yang mengalami diferensiasi.
6) Pemberian ASI
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-
bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber
nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme
yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis
membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif
melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke
permukaan saluran pernafasan atas (Hidayat, 2009).
b. Faktor Lingkungan
1) Rumah merupakan stuktur fisik, Anak-anak yang tinggal di apartemen
memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak-anak
yang tinggal di rumah culster di Denmark (Hidayat, 2009).
2) Kepadatan Hunian
Seperti luas ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat
diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al
(2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded)
mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat.
3) Status sosioekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi
yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan
masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan antara status
ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang
bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status
sosioekonomi (Hidayat, 2009).
4) Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai
kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari
keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat
bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok
(Hidayat, 2009).
6. Klasifikasi
a. Lokasi anatomis terbagi menjadi Infeksi Pernafasan bagian atas yang terdiri
dari infeksi akut yang menyerang hidung hingga pharing dan infeksi
pernafasan bagian bawah yang menyerang pharing hingga alveoli paru
paru.
b. Derajat keparahan penyakit. WHO (2008) telah merekomendasikan
pembagian ISPA menurut derajat keparahannya berdasarkan gejala-gejala
klinis yang timbul. Adapun pembagiannya sebagai berikut: (a). ISPA
ringan, ditandai dengan satu atau lebih gejala batuk, pilek dengan atau tanpa
demam. (b). ISPA sedang meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau
lebih gejala seperti pernafasan cepat, wheezing, sakit telinga, keluar secret
dari telinga, dan bercak kemerahan. (c) ISPA Berat, meliputi gejala
sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala penarikan sela iga kedalam
sewaktu inspirasi, kesadaran menurun, bibir / kulit pucat kebiruan, dan
stridor saat istirahat serta adanya selaput membran difteri (Heriyana, 2009).
Depkes membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda klinis yang
didapat yaitu: (a). Untuk anak umur 2 bulan 5 tahun, diklasifikasikan
menjadi Pneumonia berat, tanda utama adanya tanda bahaya, yaitu tak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi buruk. Adanya
tarikan dinding dada ke belakang. Nafas cuping hidung suara rintihan
sianosis (pucat). Pneumonia (tidak berat), tanda: Tak ada tarikan dinding
dada ke dalam disertai nafas cepat: Lebih dari 50 kali / menit untuk usia 2
bulan 1 tahun. Lebih dari 40 kali / menit untuk usia 1 tahun 5 tahun.
Bukan Pneumonia, tanda tanda : Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Tak ada nafas cepat: Kurang dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan1
tahun. Kurang dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 5 tahun. (b). Anak
umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi Pneumonia berat, tanda
adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, wheezing, demam. Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit atau
lebih, tarikan dinding dada.Bukan Pneumonia,tidak ada nafas cepat. Tak
ada tarika dinding dada kedalam (Heriyana, 2009).
7. Penatalaksanaan
a. Anak dan keluarga diajarkan untuk menggunakan tisu atau tangannya untuk
menutup hidung dan mulutnya ketika batuk/bersin.
b. Anak yang sudah terinfeksi pernafasan sebaiknya tidak berbagi cangkir
minuman, baju cuci atau handuk.
c. Mencuci tangan dan jangan menyentuh mata atau hidung.
d. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau anggota
keluarga lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin
dapat dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan dengan
anggota keluarga lain yang sedang sakit ISPA.
e. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan / rumah.
f. Hindari anak dari paparan asap rokok (R. Hartono-Dwi Rahmawati H,
2012).
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak
adalah anak dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada
penderita.
b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, Demam atau dingin. Tanda
bahaya pada umur 2 bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk.
c. Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat,
harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada
penderita umur 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat
dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari serta
analgetik pengobatan demam dan wheezing bila ada, pengontrolan dalam 2
hari atau lebih cepat. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik
dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus
diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan.
Penderita di rumah untuk penderita Pneumonia umur 2 bulan
sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :
1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya
setelah sembuh.
2) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan
pemberian ASI.
3) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana.
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet
kotrimoksasol 480 mg, kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500
mg dan tablet paracetamol 100 mg (R.Hartono-Dwi Rahmawati H,
2012).
C. MEROKOK DAN PEROKOK PASIF
Merokok merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar
terhadap kesehatan. Banyak pengetahuan tentang bahaya merokok dan kerugian
yang ditimbulkan oleh tingkah laku merokok, meskipun semua orang tahu akan
bahaya merokok, perilaku merokok tampaknya merupakan perilaku yang masih
ditoleransi oleh masyarakat (Depkes RI, 2010).
Nikotin yang diterima dalam tubuh melalui rokok, mempengaruhi hampir
semua sistem neurotransmiter. Pemakaian jangka lama nikotin melalui rokok
menyebabkan perubahan struktural pada otak dengan peningkatan jumlah reseptor.
Akibat akut penggunaan nikotin meliputi peningkatan denyut jantung, tekanan
darah dan aliran dari jantung dan penyempitan pembuluh darah. Pengaruh merokok
lainnya yang dapat ditimbulkan terutama oleh komponen asap, tetapi dalam batas
tertentu dipengaruhi oleh nikotin juga, meliputi penurunan kadar oksigen di dalam
darah karena naiknya kadar karbon monoksida, meningkatkan jumlah asam lemak,
glukosa, kortisol dan hormon lainnya di dalam darah dan peningkatan risiko
mengerasnya arteri dan pengentalan darah (yang berkembang menjadi serangan
jantung, stroke) dan karsinogenesis (Depkes RI, 2010).
Kategori perokok dibagi berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi
(dalam batang perhari) menjadi: perokok ringan (10 batang perhari selang waktu
60 menit setelah bangun pagi); perokok sedang (11-21 batang perhari selang waktu
31-60 menit setelah bangun pagi); perokok berat (21-30 batang perhari selang
waktu 6-30 menit setelah bagun pagi); perokok sangat berat (> 31 batang perhari,
selang waktu 5 menit setelah bangun pagi) (Mutadin, 2014).
Perokok pasif adalah orang yang ikut menghirup asap rokok yang
dikeluarkan oleh perokok aktif pada saat merokok. Menghirup asap rokok orang
lain lebih berbahaya dibandingkan menghisap rokok sendiri. Bahkan bahaya yang
harus ditanggung perokok pasif tiga kali lipat dari perokok aktif. Penyakit yang
dapat diderita perokok pasif ini tidak lebih baik dari perokok aktif (Sapphire, 2009).
Asap rokok lingkungan (ETS) terdiri asap arus utama (mainstream smoke,
MS) dan asap arus samping (sidestream smoke, SS). Asap arus utama adalah asap
yang dihisap dari batang rokok, disaring oleh paru-paru perokok dan dihembuskan
ke udara. Di dalam tubuh si perokok MS meninggalkan sisa partikel-partikel di
saluran nafas besar si paru-paru. Asap arus samping (SS) adalah asap yang beredar
langsung ke udara yang berasal dari api yang menyala kecil di ujung rokok di antara
dua hisapan. Partikel SS sangat mempunyai diameter yang lebih kecil daripada
partikel MS, sehingga partikel SS sangat mungkin untuk tersimpan di dalam alveoli
yang paling jauh dari paru-paru. Merokok di ruang tertutup akan meningkatkan
konsentrasi partikel asap rokok sebagian di antaranya adalah toksik (beracun) (Rad
Marssy, 2007).
Paparan asap rokok lingkungan (salah satu keluarga adalah perokok)
setelah bayi lahir menyebabkan peningkatan resiko penyakit pernafasan akut pada
anak. Juga terbukti ada hubungan antara orang tua perokok khususnya dengan
penyakit saluran nafas bawah akut pada tahun kedua dan tahun ketiga kehidupan
anak. Paparan asap rokok akan meningkatkan batuk malam hari, ngorok, infeksi
pernafasan selama 2 tahun pertama kehidupan (Rad Marssy, 2007).
Perokok pasif merupakan salah satu resiko untuk terjadinya SIDS. Bayi
yang terpapar dengan kadar asap rokok dari ibu yang merokok lebih 20 batang
sehari akan mengalami perubahan struktur nafas di mana terjadi penebalan dinding
saluran nafas yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas hebat dan
mengakibatkan kematian mendadak (Rad Marssy, 2007). Konsentrasi zat
berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun yang terhisap
melalui asap rokok perokok aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam
tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap. Namun konsentrasi
racun perokok aktif bisa meningkat jika dia kembali menghirup asap rokok yang ia
hembuskan. Kandungan rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari
ujung rokok yang sedang dihisap. Sebab asap yang dihasilkan berasal dari
pembakaran tembakau yang tidak sempurna. Asap rokok mengandung sekitar 4000
bahan kimia, dan 43 diantaranya merupakan bahan kimia yang bersifat karsinogen
(zat kimia yang menimbulkan kanker). Dari begitu banyaknya bahan kimia, yang
dihirup perokok aktif hanya 15 persen. Sementara 85 persen lain dilepaskan dan
dihirup para perokok pasif (Sapphire, 2009).
Seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar resiko
anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk
asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko
untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang
tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma
pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (EPA Development, 2009).
D. HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA
ANAK
Ketahanan saluran pernafasan tehadap infeksi maupun partikel dan gas
yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada
orang sehat yaitu bagaimana keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia,
makrofag alveoli dan antibodi. Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas
yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal
itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah
asap rokok dan gas CO2 (polutan utama dalam pencemaran udara), sindroma imotil,
pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih). Makrofag banyak
terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap
rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag untuk dapat membunuh bakteri
(Pugud, 2008).
Asap rokok dapat mengganggu kemampuan macrophage alveolar untuk
membunuh bakteri, sebuah proses yang dikenal sebagai fagositosis. Hasil penelitian
terhadap ekstrak asap rokok juga didapatkan bahwa ekstrak asap rokok juga
mempengaruhi proses alveolar macrophage. Selain itu, terdapat pula penelitian
yang menguji sel-sel yang terpapar ekstrak asap rokok dengan glukokortikoid,
antiinflamasi yang umum digunakan untuk mengobati kondisi pernafasan. Hasilnya
menunjukkan bahwa obat tidak memberikan jaminan pemulihan hambatan proses
fagositosis macrophage alveolar yang disebabkan oleh asap rokok. Sehingga pada
penderita ISPA yang terpepar asap rokok akan membutuhkan waktu yang lebih
lama dalam penyembuhan (Marcy TW, 2007).
Asap rokok yang dihisap, baik oleh perokok aktif maupun perokok pasif
akan menyebabkan fungsi ciliary terganggu, volume lendir meningkat, humoral
terhadap antigen diubah Sehingga selama penderita ISPA masih mendapatkan
paparan asap rokok, proses pertahanan tubuh terhadap infeksi tetap akan terganggu
dan akan memperlama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhannya (Marcy
TW, 2007). Penelitian yang menghubungkan antara jumlah perokok dan rokok
yang dihisap pada keluarga penderita ISPA menunjukkan bahwa semakin tinggi
jumlah perokok dan rokok yang dihisap keluarga, maka akan semakin
memperparah episode ISPA yang diderita oleh penderita (Lubis, 2009).
E. KERANGKA KONSEP

Faktor Host:
Usia
Jenis Kelamin
Status Imunisasi
ASI Ya

Kejadian ISPA

Tidak
Tidak Ada
Faktor Lingkungan:
Kebiasaan Merokok
di dalam rumah
Ada

Keterangan :
: variabel bebas

: variabel terikat

F. HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan kejadian
ISPA pada bayi dan Balita di Desa Ciloang wilayah kerja Puskesmas Serang Kota
tahun 2016.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian analitik observasional
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan data primer yang
diperoleh dari subyek penelitian secara langsung dan data sekunder dari Profil
Puskesmas Serang Kota.
B. Ruang Lingkup Kerja
Ruang lingkup kerja penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Serang
Kota Desa Ciloang Posyandu Payus yang melibatkan ibu yang mempunyai balita.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita dalam rentang usia
2 bulan 5 tahun yang bertempat tinggal dan masuk dalam wilayah kerja
Puskesmas Serang Kota
2. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita dalam rentang usia 2
bulan 5 tahun, baik yang ISPA maupun non-ISPA, yang bertempat tinggal
dan menetap di Desa Ciloang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
simple random sampling. Besar sampel penelitian dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Z2 PQ
n=
d2

1.962 x 0.35 x (1 0.5)


n=
0.152

n = 38.8 = 40 sampel

Keterangan :

n = Besar sampel
z = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu (1.96 pada
0.05)
P = Nilai proporsi penyakit ISPA (P = 0.35)
Q = 1-P
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (15%)
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
a. Setiap ibu yang memiliki balita dengan rentang usia 2 bulan 5 tahun
yang berada di Desa Ciloang posyandu Payus.
b. Setiap ibu yang memiliki balita yang sedang menderita ISPA ataupun
tidak.
c. Setiap ibu yang memiliki balita yang bersedia menjadi subyek
penelitian.
2. Kriteria Eksklusi
Setiap ibu yang memiliki balita yang tidak bersedia menjadi subyek
penelitian.
E. Variabel Penelitian
a) Variabel Bebas : Kebiasaan merokok di dalam rumah
b) Variabel Terikat : Kejadian ISPA pada anak
F. Definisi Operasional
1. Kebiasaan merokok di dalam rumah
a. Definisi :
Ada tidaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yang
aktif merokok, dan telah merokok sekurang kurangnya selama 1
tahun.
b. Kriteria :
Ada dan tidak ada yang merokok di dalam rumah
c. Alat Ukur :
Kuesioner

d. Skala :
Nominal

2. ISPA
a. Definisi :
Seorang balita yang sedang menderita penyakit Infeksi saluran
pernafasan dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan,
pilek, demam dan sakit kepala.
Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan gejala klinis : (Nelson)
1) Nasopharingitis Akut : gejala meliputi panas, pilek, hidung
tersumbat, iritasi pada mucosa hidung dan pharing, pusing, malaise,
nafsu makan turun.
2) Pharingitis Akut : gejalanya yang menonjol adalah nyeri
tenggorokan dan sakit menelan yang mungkin didahului oleh pilek
atau gejala influenza lainnya. Nyeri ini kadang sampai ke telinga
(otalgia) karena adanya nyeri alih (referred pain) oleh N IX.
Hyperemia pada jaringan limfoid dinding belakang pharing yang
kadang disertai folikel bereksudat menandakan adanya infeksi
sekunder pada permukaannya mungkin terlihat alur-alur secret
mukopurulen.
3) Rhinitis : Ingus kental umumnya menunjukkan telah ada infeksi
sekunder oleh bakteri. Rinitis alergi maupun rhinitis vasomotor
mudah dibedakan dari rhinitis infeksi karena ingus yang putih dan
encer yang hanya keluar saat serangan saja. Pada rhinitis atropi ingus
kental diserta krusta berwarna hijau.
b. Kriteria :
Ya dan Tidak
c. Alat Ukur :
Kuesioner
d. Skala :
Nominal
G. Instrumen Pengambilan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
merupakan jenis data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya.
Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner meliputi data demografi, pekerjaan,
kebiasaan merokok di dalam rumah dan kejadian ISPA. Serta disertai dengan
penyuluhan mengenai penyakit ISPA dan bahaya merokok di dalam rumah.
H. Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Dilakukan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi tentang rentang usia
anak, jenis kelamin anak, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penggunaan
kayu bakar, penggunaan obat nyamuk bakar, imunisasi dasar, asi ekslusif,
kebiasaan merokok di dalam rumah, kategori perokok serta kejadian ISPA. Data
disajikan dalam bentuk tabel frekuensi distribusi untuk semua variabel yang
diteliti.
2. Analisis Analitik
Analisis bivariat dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan
antara variabel bebas dan variabel terikat yang terdapat dalam hipotesis
penelitian. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-square tabel 2x2.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Ciloang. Penelitian ini diawali
dengan membagikan kuesioner yang kemudian diisi oleh para responden.
Kuesioner disebarkan kepada 40 responden, terdiri dari laki-laki 47,5% (19
responden) dan perempuan 52,5% (21 responden).
Tabel 9. Distribusi Karakteristik Ibu Balita Responden Penelitian

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)


Pendidikan Orangtua SD 11 27.5
SMP 16 40
SMA 13 32.5
Pekerjaan Orangtua Buruh 21 52.5
Pegawai Swasta 17 42.5
Tidak Bekerja 1 2.5
PNS 1 2.5
Usia Anak 2 bulan 1 tahun 19 47.5
>1 tahun 5 tahun 21 52.5
Jenis kelamin Perempuan 21 52.5
Laki-laki 19 47.5
Pengetahuan Ibu Mengenai Baik 19 47.5
ISPA Kurang baik 21 52.5
Penggunaan Kayu bakar Ya 6 15
Tidak 34 85
Penggunaan anti nyamuk Ya 11 27.5
bakar Tidak 29 72.5
ASI Ekslusif Ya 28 70
Tidak 12 30
Imunisasi Dasar Lengkap 31 77.5
Tidak lengkap 9 22.5
BBL 2500 gr 33 82.5
< 2500 gr 7 17.5
Kebiasaan merokok dalam Ada 31 77.5
rumah Tidak ada 9 22.5
Kategori Perokok Ringan 24 77.4
Sedang 7 22.6
Kejadian ISPA ISPA 25 62.5
Non ISPA 15 37.5
Sumber : Data primer terolah 2016
Berdasarkan Tabel 6. didapatkan hasil bahwa usia balita yang menjadi
responden yaitu > 1 tahun 5 tahun 52.5% (21 responden), 2 bulan 1 tahun
47.5% (19 responden). Pendidikan terakhir orangtua responden terbanyak
adalah SMP 40% (16 responden), SMA 32,5% (13 responden), SD 27,5% (11
responden). Pekerjaan orangtua responden pada umumnya buruh 52,5% (21
responden), pegawai swasta 42,5% (17 responden), PNS 2,5% (1 responden),
dan tidak bekerja 2,5% (1 responden). Sebagian besar tidak tersedia cerobong
asap di dapur dan penggunaan kayu bakar saat memasak. Rata-rata balita
mendapatkan ASI ekslusif 70% (28 responden) dengan berat badan lahir 2500
gram 82,5% (33 responden) dan imunisasi dasar lengkap pada balita 77,5% (33
responden).
Saat pengambilan data melalui kuisioner didapatkan ada anggota
keluarga yang memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah 77,5% (31
responden) rata-rata ayah, kakek dan paman. Kategori perokok yang banyak
yaitu perokok ringan 77,4% (24 responden) dan perokok sedang 22,6% (7
responden). Data menunjukkan bahwa balita yang sedang menderita ISPA
62,5% (25 responden) diantaranya laki-laki 25% (10 responden) dan perempuan
37,5% (15 responden) sedangkan yang tidak menderita ISPA 37.5% (15
responden).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menghubungkan antara variabel
bebas yaitu kebiasaan merokok di dalam rumah dengan variabel terikat yaitu
kejadian ISPA sehingga didapatkan hasil yang terdapat dalam tabel 7.
Tabel 10. Nilai Signifikansi Hubungan Variabel Bebas dan Variabel
Terikat
Variabel p*
Kebiasaan merokok di dalam rumah 0,001
Kejadian ISPA
*bermakna apabila p < 0,05
Sumber : Data primer terolah 2016
Pengujian terhadap data yang diperoleh tidak memenuhi syarat uji chi-
square karena terdapat 1 cell (25%) yang memiliki expected count < 5, sehingga
dilanjutkan dengan uji fisher dengan hasil uji statistik p = 0,001 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari ( = 0,05). Jadi, hasil penelitian ini secara
statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara merokok
dengan kejadian ISPA.
B. Pembahasan
Peneliti menggambarkan karakteristik responden yang telah bersedia
menjawab dan berpartisipasi dalam penelitian. Dari demografi responden
penelitian berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa balita yang menderita ISPA
pada jenis kelamin perempuan lebih besar dari balita laki-laki. Pada balita laki
laki penderita ISPA sejumlah 10 sedangkan pada perempuan jumlah penderita 25
balita. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat
Nur di Padang yang menyatakan bahwa jumlah penderita ISPA perempuan lebih
besar daripada laki laki dikarenakan anak perempuan mempunyai faktor risiko
yang lebih tinggi untuk menderita ISPA dibanding dengan lakilaki yaitu
kemungkinan karena daya tahan anak lakilaki lebih besar dibandingkan dengan
anak perempuan. Dalam penelitian oleh Nur Hidayat juga dilaporkan bahwa
penelitian penelitian di negara maju, seperti Jerman ternyata didapatkan bahwa
anak perempuan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak lakilaki
(Hidayat, 2009).
Imunisasi dasar Bayi dan Balita Posyandu Payus sebagian besar sudah
lengkap sesuai usia. Kebanyakan kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusi, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam
upaya pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi berat (Prabu, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan orangtua responden sebagian
besar dengan pendidikan SMP yaitu 16 responden (40%). Pendidikan ini nantinya
akan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dalam bersikap hidup
yang bersih dan sehat serta sikap dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
ada disekitarnya. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang
untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya
hidup sehari-hari, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoadmodjo,
2007).
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan responden dengan pekerjaan
orang tua responden adalah buruh yaitu 21 responden (52,5%). Seseorang yang
bekerja pengetahuannya akan lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tidak
bekerja karena dengan bekerja seseorang akan mempunyai banyak informasi dan
pengalaman.
Hasil penelitian, didapatkan anggota keluarga yang memiliki kebiasaan
merokok di dalam rumah menunjukkan sebagian besar didapatkan responden
dengan perokok ringan yaitu 24 responden (77,4%). Hal ini menunjukan dengan
semakin berat kebiasaan merokok di dalam rumah maka semakin besar juga potensi
anak menderita ISPA. Keterpaparan asap rokok pada anak sangat tinggi pada saat
berada dalam rumah. Disebabkan karena anggota keluarga biasanya merokok
dalam rumah pada saat bersantai bersama anggota, misalnya sambil menonton TV
atau bercengkerama dengan anggota keluarga lainnya, sehingga balita dalam rumah
tangga tersebut memiliki risiko tinggi untuk terpapar dengan asap rokok.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,001 dengan
demikian p value < 0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok
di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada bayi dan balita. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati dan Juwarni (2012), yang
menyatakan ada hubungan antara perilaku merokok orang tua terhadap kejadian
ISPA pada anak. Hal ini menunjukan dengan semakin berat perilaku merokok
orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya menderita ISPA.
Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Winarni, Basirun dan Safrudin (2010), berdasarkan hasil penelitian menunjukan
bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Sempor II. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang atau buruk
perilaku merokok maka akan semakin tinggi angka kejadian ISPA pada balita dan
semakin baik perilaku merokok maka kejadian ISPA akan semakin kecil.
ISPA dapat disebabkan oleh karena adanya paparan dari virus maupun
bakteri misalnya bakteri dari genus streptococcus, haemophylus, staphylococcus,
dan pneumococcus, dan jenis virus influenza, parainfluena, dan rhinovirus. Selain
dari virus, jamur dan bakteri, ISPA juga dapat disebabkan karena sering menghirup
asap rokok, asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak biasanya minyak tanah
dan, cairan amonium pada saat lahir (Utami, 2013). Asap rokok dari orang tua atau
penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam
ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan
toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan
pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan
gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh
keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya
apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Trisnawati dan Juwarni, 2012).
Adanya asap rokok prokarsinogen, nikotin, neuroteratogen, CO, tar dan
polysiklik apabila terpapar pada balita, dapat terjadi kerusakan pada saluran
pernafasan dan bahkan paru-nya. Apabila hal itu terjadi maka akan mengakibatkan
iritasi pada saluran pernafasan dan bahkan paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh
bakteri, atau kuman pathogen maka akan menimbulkan Infeksi. Sehingga balita
dapat terkena ISPA atau bahkan TB paru (Rad, 2007).
C. Keterbatasan
Saat melakukan pengambilan data berupa kuisioner tempat yang tersedia
sangat terbatas, sehingga orangtua responden mengisi kuisioner dimana saja,
menulis sambil berdiri, jongkok dan duduk di halaman posyandu. Ditambah lagi
Posyandu Payus memang kurang layak karena belum adanya bangunan yang kokoh
(menumpang di rumah warga). Waktu pengambilan sampel juga terbatas karena
dilakukan bersamaan dengan pemberian vitamin A dan pengukuran tinggi serta
berat badan balita. Penyuluhan yang diberikan juga terbatas karena keadaan dan
tempat yang tidak memadai.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Karakteristik responden di Desa Ciloang wilayah kerja Puskesmas Serang
Kota sebagian besar umur responden > 1 tahun - 5 tahun, pendidikan
terakhir orang tua responden sebagian besar adalah SMP, pekerjaan orang
tua responden sebagian besar adalah pekerjaan buruh, dan jenis kelamin
sebagian besar responden adalah perempuan.
2. Pengetahuan orang tua responden mengenai ISPA masih kurang dan ini
menjadi faktor yang dapat meningkatkan kejadian ISPA pada anak.
3. Kebanyakan anggota keluarga dari responden memiliki kebiasaan
merokok di dalam rumah, hal tersebut dapat meningkatkan kejadian ISPA
pada anak yang tinggal dalam satu rumah.
4. Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok orang tua dan anggota
keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota.
B. SARAN
1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan agar dapat meningkatkan
perencanaan dalam penanganan ISPA melalui pendidikan kesehatan kepada
masyarakat dan masukkan data bagi RAPBD.
2. Bagi tenaga kesehatan agar dapat lebih memperhatikan manajemen yang
terukur, sistematis kepada orangtua dan anak, agar dapat mencegah kejadian
ISPA.
3. Kepada mahasiswa kedokteran dan bidang kesehatan yang lain, agar
sekiranya dapat mengembangkan penelitian ini lebih mendalam tentang
deteksi dini ISPA.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 2004. Perokok Pasif Menanggung Resiko Lebih Besar Dibandingkan


Perokok Aktif. Available at: http// www.depkes.go.id/jkt/berita [2 Juli
2009].
Alsagaff, H dan Mukty, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga Universit y Press.
Depkes R.I. 2008 Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP.
Jakarta.
Depkes, R.I. 2010. ISPA Pembunuh utama balita. Available at:
http://www.dinkesdki.go.id/penyakit.htm#ispa [14 Juni 2008].
EPA Development. 2009. Fact Sheet: Respiratory Health Effects of Passive
Smoking. Available at: www.epa.gov/smokefree/pubs/etsfs.html [10
November 2009].
Hidayat N. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Ispa Pada Balita Di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang. Available at: http://www.springerlink.com [11 Oktober 2009
].
Heriyana. 2009. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada anak kurang 1
tahun di RSUD Labuang Baji Kota Makasar. Available at: http://www.
Fkm.undip.ac.id.
Lubis, Imran. 1991. Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). Jakarta : Depkes RI.
Mutadin. 2014. Tipe-tipe Perokok. Available at:
http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/6/jhptump-a-peppyfathu-295-2-
babii.pdf [22 Juni 2014].
Notoatmojo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka cipta
: Jakarta.
Nurrijal, 2009. Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Available at: .
http://www.springerlink.com [23 Agustus 2009].
Prabu. 2009. Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Available at:
http://prabu.wordpress.com/2009/01/04/infeksi-saluran-pernafasan-akut-
ispa [11 november 2011].
Pugud, 2008. Patofisiologi ISPA. Available at: http://www.fkm. undip.ac.id [25
Agustus 2009].
Rad Marssy. 2007. Bahaya Asap Rokok terhadap Bayi dan Anak. Available at:
http://radmarssy.wordpress [5 November 2009].
R. Hartono-Dwi Rahmawati H. 2012. Penatalaksanaan ISPA pada Balita.
Available at: http://eprints.ung.ac.id/4857/5/2013-1-14201-841409009-
bab2-27072013041332.pdf [17 Juli 2014]
Sapphire, 2009. Bahaya Perokok Pasif. Available at: http://www.sendgarp.com [17
Juli 2009].
Trisnawati, Y. & Juwarni. 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua dengan
Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang
Kabupaten Purbalingga. Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto.
Utami, S. 2013. Studi Deskriptif Pemetaan Faktor Resiko ISPA Pada Balita Usia
0-5 Tahun Yang Tinggal Di Rumah Hunian Akibat Bencana Lahar Dingin
Merapi Di Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Available at:
http://lib.unnes.ac.id/18897/1/6450408121.pdf. Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang [22 Maret 2014].
Winarni, Basirun A.U. & Safrudin A.N.S. 2010. Hubungan Antara Perilaku
Merokok Orang Tua dan Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu
Rumah dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Sempor II Kabupaten Kebumen. Jurusan Keperawatan Stikes
Muhammadiyah Gombong.
World Health Organization. 2008. Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Available at:
http://www.who.int/csr/resources/publications/AMpandemicbahasa.pdf
[14 Desember 2011].
World Health Organization. 2012. Data and Statistics. Available at:
http://www.who.int/gho/child_health/en/index.html [24 September 2012].
LAMPIRAN

KUESIONER

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DI DALAM RUMAH TERHADAP


KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI
DAN BALITA DI DESA CILOANG WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SERANG KOTA

INFORMED CONSENT

Berdasarkan maksud dan tujuan sebagaimana diinformasikan, maka saya yang


bertandatangan di bawah ini:

Nama :

Usia :

Jenis kelamin :

Alamat :

No Telephone / HP :

Dengan penuh kesadaran menyatakan bersedia untuk menjadi responden guna


pengumpulan untuk penelitian yang berjudul Hubungan Kebiasaan Merokok di
Dalam Rumah Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Bayi dan Anak di Desa Ciloang Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota

Serang, Agustus 2016

()
LAMPIRAN
KUESIONER

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DI DALAM RUMAH TERHADAP


KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI
DAN BALITA DI DESA CILOANG WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SERANG KOTA

Petunjuk : a. Isilah pertanyaan yang tersedia dengan menandai jawaban


b. Isi garis titik sesuai jawaban responden

A. KARATEKRISTIK SUBYEK

No. Urut Responden :

01. Nama Kepala Keluarga :


02. Pendidikan Ibu :
a. Tidak sekolah/DO
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. PT/DIPLOMA
03. Pekerjaan Bapak/Ibu :
a. PNS
b. Pegawai swasta
c. Buruh
d. Tidak Bekerja
04. Nama anak :
05. Usia anak :
06. Status anak : a. ISPA
b. Non ISPA
07. Jenis kelamin : a. Laki - laki
b. Perempuan

B. VARIABEL YANG DITELITI

08. Apakah yang diketahui mengenai ISPA?


a. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
b. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
c. Tidak Tahu
09. Apa sajakah gejala ISPA yang anda ketahui?
a. Batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit
kepala
b. Buang air besar cair, nyeri perut, mata cowong
10. Berdasarkan hasil Diagnosa dokter atau paramedik pada catatan medis, anak
dinyatakan :
a. ISPA
b. Tidak ISPA
11. Apakah anak pernah menderita ISPA ?
a. Ya Pernah
b. Tidak pernah
12. Apakah keluhan yang terjadi pada anak saat menderita ISPA?
a. Batuk, pilek, demam, nafsu makan menurun
b. Pilek, ingus encer atau kental dan kesulitan bernafas
c. Sakit tenggorokan, sakit menelan dan nyeri telinga
13. Apakah Ibu mengunakan bahan bakar tumbuhan (kayu/ arang) dalam
memasak sehari-hari ?
a. Ya,
b. Tidak pernah
14. Apakah dapur ibu mempunyai cerobong asap ?
a. Ya.
b. Tidak.
15. Apakah ibu selalu menggunakan anti nyamuk bakar saat anak sedang tidur?
a. Ya.
b. Tidak.
16. Apakah ibu selalu membawa anak ke dapur bila sedang memasak menggunakan
kayu bakar ataupun kompor?
a. Ya.
b. Tidak.
17. Apakah anak ibu mendapatkan ASI ekslusif ?
a. Ya, selama 6 bulan
b. Tidak, selama < 6 bulan
18. Imunisasi anak menurut umurnya :
a. Lengkap
b. Tidak lengkap
19. Berapakah Berat Badan anak ibu pada saat lahir ?
a. 2500 gr
b. < 2500 gr
20. Adakah anggota keluarga ibu punya kebiasaan merokok dalam rumah?
a. Ya
b. Tidak
21. Siapa yang merokok dalam rumah?
a. Ayah
b. Ibu
c. Lain-lain, sebutkan .............
22. Berapa batang sehari?
a. > 31 batang perhari, selang waktu 5 menit setelah bangun pagi
b. 21-30 batang perhari selang waktu 6-30 menit setelah bagun pagi
c. 11-21 batang perhari selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi
d. 10 batang perhari selang waktu 60 menit setelah bangun pagi

Responden

(..........................)
Kebiasaan merokok dalam rumah * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA Total


ISPA TIDAK ISPA ISPA
Kebiasaan merokok MEROKOK Count 24 7 31
dalam rumah % of Total 60.0% 17.5% 77.5%
TIDAK MEROKOK Count 1 8 9
% of Total 2.5% 20.0% 22.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 13.085(b) 1 .000
Continuity
10.409 1 .001
Correction(a)
Likelihood Ratio 13.528 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear
Association 12.758 1 .000
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.38.

Pengetahuan ibu mengnai ISPA * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
ISPA TIDAK ISPA Total
Pengetahuan ibu BAIK Count 8 11 19
mengnai ISPA % of Total 20.0% 27.5% 47.5%
KURANG Count 17 4 21
% of Total 42.5% 10.0% 52.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.423(b) 1 .011
Continuity
4.872 1 .027
Correction(a)
Likelihood Ratio 6.611 1 .010
Fisher's Exact Test .021 .013
Linear-by-Linear
Association 6.262 1 .012
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.13.

Penggunaan kayu bakar * Kejadian ISPA Crosstabulation


Kejadian ISPA Total
ISPA TIDAK ISPA ISPA
Penggunaan KAYU BAKAR Count 3 3 6
kayu bakar % of Total 7.5% 7.5% 15.0%
TIDAK KAYU BAKAR Count 22 12 34
% of Total 55.0% 30.0% 85.0%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .471(b) 1 .493
Continuity
.052 1 .819
Correction(a)
Likelihood Ratio .458 1 .498
Fisher's Exact Test .654 .400
Linear-by-Linear
Association .459 1 .498
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.25.

ASI eksklusif * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA Total


ISPA TIDAK ISPA ISPA
ASI eksklusif ASI EKSLUSIF Count 18 9 27
% of Total 45.0% 22.5% 67.5%
TIDAK ASI EKSLUSIF Count 7 6 13
% of Total 17.5% 15.0% 32.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .615(b) 1 .433
Continuity
.190 1 .663
Correction(a)
Likelihood Ratio .608 1 .435
Fisher's Exact Test .498 .329
Linear-by-Linear
Association .600 1 .439
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.88.

Imunisasi dasar * Kejadian ISPA Crosstabulation


Kejadian ISPA Total
ISPA TIDAK ISPA ISPA
Imunisasi LENGKAP Count 19 12 31
dasar % of Total 47.5% 30.0% 77.5%
TIDAK LENGKAP Count 6 3 9
% of Total 15.0% 7.5% 22.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .086(b) 1 .769
Continuity
.000 1 1.000
Correction(a)
Likelihood Ratio .087 1 .768
Fisher's Exact Test 1.000 .546
Linear-by-Linear
Association .084 1 .772
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.38.

Penggunaan anti nyamuk bakar * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA Total


ISPA TIDAK ISPA ISPA
Penggunaan ANTI NYAMUK Count 4 7 11
anti nyamuk BAKAR % of Total 10.0% 17.5% 27.5%
bakar
TIDAK ANTI NYAMUK Count 21 8 29
BAKAR % of Total
52.5% 20.0% 72.5%

Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.422(b) 1 .035
Continuity
3.018 1 .082
Correction(a)
Likelihood Ratio 4.342 1 .037
Fisher's Exact Test .065 .042
Linear-by-Linear
Association 4.312 1 .038
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.13.

Berat badan lahir * Kejadian ISPA Crosstabulation


Kejadian ISPA Total
ISPA TIDAK ISPA ISPA
Berat badan <2500 GRAM Count 4 1 5
lahir % of Total 10.0% 2.5% 12.5%
>2500 GRAM Count 21 14 35
% of Total 52.5% 35.0% 87.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .747(b) 1 .388
Continuity
.137 1 .711
Correction(a)
Likelihood Ratio .810 1 .368
Fisher's Exact Test .633 .369
Linear-by-Linear
Association .728 1 .394
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.88.

Pendidikan Orang tua * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA Total


ISPA TIDAK ISPA ISPA
Pendidikan RENDAH Count 20 7 27
Orang tua % of Total 50.0% 17.5% 67.5%
TINGGI Count 5 8 13
% of Total 12.5% 20.0% 32.5%
Total Count 25 15 40
% of Total 62.5% 37.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.748(b) 1 .029
Continuity
3.350 1 .067
Correction(a)
Likelihood Ratio 4.699 1 .030
Fisher's Exact Test .041 .034
Linear-by-Linear
Association 4.630 1 .031
N of Valid Cases 40
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.88.
Pengisian Kuesioner

Penyuluhan
s

You might also like