You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis merupakan salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian
tertinggi di dunia dan merupakan masalah kesehatan yang penting di tingkat global,
regional, nasional, maupun lokal. Pada tahun 2015 tercatat 10,4 juta jiwa terkena
penyakit TB dan 1,8 juta jiwa meninggal akibat penyakit tersebut (termasuk 0,4 juta
jiwa disertai dengan HIV). 95% kasus TB terdapat pada Negara berkembang WHO
2017).
India merupakan Negara dengan kasus TB tertinggi didunia, disusul oleh
Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan (WHO 2017). Angka kematian
dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis di Indonesia sangatlah tingi.
Estimasi prevalensi TB di Indonesia adalah sekitar 690.000 pada tahun 2011, dan
perkiraan jumlah kematian akibat TB adalah sebanyak 64.000 kematian per tahun. TB
merupakan penyebab tersering kematian pada seseorang dengan HIV positif. Pada
tahun 2015, di dunia 1 dari 3 pasien dengan HIV meninggal akibat TB. Dan kasus yang
lebih serius saat ini adalah kasus Multidrug-resistant TB (MDR TB). Secara global di
seluruh dunia, kasus MDR TB mencapai 480.000 orang (Depkes 2016).
Menurut profil kesehatan DKI Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan
prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai bertambahnya umur dan prevalensi
tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi TB paru 20% lebih tinggi pada laki-
laki dibandingkan perempuan, tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan
perkotaan dan empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan
pendidikan tinggi.
Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 menunjukkan Jumlah
penderita TB Paru Klinis (Suspek ditemukan) di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 64.781
penderita. Dari jumlah tersebut 9.684 diantaranya merupakan kasus baru TB paru
dengan BTA+. Jakarta Pusat dengan 1.356 kasus baru, Jakarta Utara 1.239 kasus baru,
Jakarta Barat 1.947 kasus baru, Jakarta Selatan 2.097 kasus baru, Jakarta Timur 3.033
kasus baru, dan Kepulauan Seribu terdapat 12 kasus baru. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Jakarta Timur merupakan wilayah dengan jumlah TB Paru terbesar di Provinsi
DKI Jakarta diikuti oleh wilayah Jakarta Selatan dan Barat.
Hasil survey prevalensi TB tahun 2004 mengenai pengetahuan, sikap, dan
perilaku menunjukkan bahwa 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85%

1
mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat
menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51%
keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TBC gratis (Depkes
2011). Dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa masih ada keluarga yang belum
memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit tuberkulosis.

1.2 Data Geografis

1.3 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka yang akan menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penyakit
Tuberkulosis Paru dan Upaya Pencegahannya di Puskesmas Pekojan I Jakarta Barat.

1.4 Tujuan Umum


Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyakit
Tuberkulosis paru dan upaya pencegahannya di Puskesmas Pekojan I Jakarta Barat.

1.5 Tujuan Khusus


1. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyakit Tuberkulosis paru
di Puskesmas Pekojan I Jakarta Barat
2. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit
Tuberkulosis paru di Puskesmas Pekojan I Jakarta Barat

1.6 Manfaat
1. Sebagai pengetahuan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru
mengingat Jakarta Barat memiliki angka kasus baru yang cukup tinggi
2. Sebagai bahan informasi mengenai pentingnya upaya pencegahan Tuberkulosis
paru dalam rangka menurunkan angka penularan Tuberkulosis paru di wilayah
Pekojan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengetahuan
1.1.1 Definisi
Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan merupakan hasil Tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu subyek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan,

2
pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat berperan untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang.
1.1.2 Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
(kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden. Pengukuran tingkat pengetahuan dimaksudkan untuk
mengetahui status pengetahuan seseorang dan disajikan dalam tabel distribusi
frekuensi. Selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban benar dari
masing-masing pertanyaan diberi nilai 1 jika salah diberi nilai 0.
Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban
dengan skor yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya
berupa persentasi dengan rumus yang digunakan sebagai berikut:

Secara umum tingkat pengetahuan dapat dibagi menjadi 3, yaitu :


1. Kategori Baik : 79-100 %
2. Kategori Cukup : 56-78 %
3. Kategori Kurang : <56%

1.2 Tuberkulosis
1.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

1.2.2 Patogenesis
Patogenesis tuberkulosis paru terbagi menjadi dua, yaitu tuberkulosis
primer dan tuberkulosis post-primer. Pada tuberkulosis primer, penularan
tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksius ini terisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila kuman
menetap di jaringan paru, kuman tersebut bertumbuh dan berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag dan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil yang disebut sarang primer atau afek primer. Dari sarang primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan

3
diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer bersama-sama dengan limfangitis regional disebut sebagai kompleks
primer.
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis post-primer,
biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama
yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah
yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan.

1.2.3 Gejala Klinis


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
Batuk 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
2. Gejala sistemik
Demam
Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
2.1.1 Pemeriksaan dan Diagnosis
Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan yang berbentuk cairan ditampung dalam pot yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.

4
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka
terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan
identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan
dalam beberapa situasi :
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance)
oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan
tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan
dalam pengobatan MDR dapat dicegah.
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur
prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru dilihat dari gejala organ yang terkena, misalnya
kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti
sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan

5
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru

2.1.2 Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang
dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek
yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu

6
fase awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun perincian OAT program
adalah sebagai berikut :

No Kategor OAT Keterangan


. i
1. I 2HRZE/4H3R3 - Penderita baru BTA (+)
- Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
yang sakit berat
- Pendeerita ekstra paru berat
2. II 2HRZES/HRZE/ - Kambuh (relaps) BTA (+)
5H3R3E3 - Gagal (failure) BTA (+)
3. III 2HRZ/4H3R3 - Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
- Penderita ekstra paru ringan
4. IV - H seumur hidup - Penderita dengan TB kronis
- Obat yang masih - Penderita dengan MDR - TB
sensitif + Quinolon
5. Sisipan HRZE - Bila penderita oleh K I dan K II
pada akhir fase awal/intensif masih
BTA (+)
Tabel 2.1 Regimen Terapi OAT

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat agar dicapai kesembuhan dan mencegah
resistensi serta mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia
menggunakan panduan OAT:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3

7
Dosis Kategori 1

BB TAHAP INTENSIF TAHAP LANJUTAN


Penderita SELAMA 2 BULAN SELAMA 4 BULAN
TIAP HARI TIAP HARI 3 X SEMINGGU
(Kg)
TABLET 4 FDC TABLET 2 FDC TABLET 2 FDC
R150+H75+Z400+E275 R150+H75 R150+H150
30 -37 2 tablet 2 tablet 2 tablet
38 -54 3 tablet 3 tablet 3 tablet
55 -70 4 tablet 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet 5 tablet

Tabel 2.2 Dosis Kategori I

Dosis Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)


TAHAP INTENSIF
BERAT SELAMA 3 BULAN TAHAP
BADAN LANJUTAN 3 X
TIAP HARI TIAP HARI
SEMINGGU
2 BULAN 1 BULAN
SELAMA 5
BULAN
30 -37 2 tab 4 FDC 2 Tab 4 FDC 2 Tab 4 FDC
+ 2 ml Strepto + 2 Tab
38 -54 3 Tab 4 FDC Etambutol
3 tab 4 FDC 3 Tab 4 FDC
55 -70 + 3 ml Strepto 4 Tab 4 FDC + 3 Tab
Etambutol
>71 4 tab 4 FDC 5 Tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC
+ 4 ml Strepto + 4 Tab
Etambutol
5 tab 4 FDC 5 Tab 4 FDC
+ 5 ml Strepto + 5 Tab
Etambutol
Tabel 2.3 Dosis Kategori II

8
Nama Obat Efek Samping
1. Isoniazid (INH) Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut kering,
nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan
methemoglobinemia
2. Rifampisin Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi
imunitas
3. Etambutol Neuritis optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,
disuria, malaise dan demam
4. Pirazinamid Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual
muntah, disuria, malaise dan demam
5. Streptomisin Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal
Tabel 2.4 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Pemantauan efek samping obat dapat dilakukan dengan
cara :
Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping
Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil
OAT.

Efek samping OAT dapat dibedakan menjadi efek samping berat dan efek
samping ringan. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi
sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik sedangkan untuk efek
samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak.
Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obatan simptomatik
atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu
selama pengobatan. Dalam hal ini pengobatan OAT dapat diteruskan.

Penyebab Efek Samping Penatalaksanaan


Rifampisin Tidak nafsu makan, mual, Semua OAT diminum

9
sakit perut malam sebelum tidur
Warna kemerahan pada air Perlu penjelasan kepada
seni pasien
Purpura dan renjatan (syok) Hentikan Rifampisin
Pirazinamid Nyeri sendi Beri aspirin
INH Kesemutan sampai rasa terbakar Beri vitamin B6
di kaki (piridoxin) 100mg/hari
Streptomisin Tuli Ganti dengan Etambutol
Gangguan keseimbangan Ganti dengan Etambutol
Etambutol Gangguan pengelihatan Hentikan Etambutol
Semua OAT Ikterus tanpa penyebab lain Hentikan OAT sampai
Bingung dan muntah-muntah ikterus hilang dan
(permulaan ikterus karena lakukan tes fungsi hati
obat)
Tabel 2.5 Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan


dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak
secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk
TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Penilaian hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan kepada:
sembuh, pengobatan lengkap, gagal, defaulted (lalai berobat), meninggal, dan
pindah (transfer out).
Sembuh : Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap : Adalah pasien yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh
atau gagal.
Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Default (Putus berobat) : Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

10
Meninggal : Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

BAB III
METODE

3.1 Penentuan Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh
peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis
dan mudah. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner.

3.2 Desain Penelitian


Penelitian ini dianalisis secara deskriptif (analisa univariat). Metode deskriptif
merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menggambarkan masalah yang
terjadi pada masa sekarang atau yang sedang berlangsung. Penelitian ini merupakan
penelitian yang mendeskripsikan suatu masalah yang terjadi pada warga Kelurahan
Pekojan I, Jakarta Barat.

3.3 Populasi Pengumpulan Data

11
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Pekojan I Jakarta
Barat.

3.4 Sampel Pengumpulan Data


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah stratified random
sampling yatu teknik penarikan sampel dengan membagi populasi sasaran di dalam
strata (golongan) menurut karakteristik tertentu yang dianggap penting oleh peneliti.

3.5 Jenis dan Sumber Data


3.5.1 Jenis Data
1. Data Kualitatif
Data kualitatif diperoleh melalui wawancara dan kuesioner yang
dilakukan di Kelurahan Pekojan I. Data kualitatif yang didapatkan berupa :
Informasi yang didapatkan mengenai pengetahuan tentang penyakit
Tuberkulosis paru dan upaya pencegahannya.
Informasi mengenai latar belakang pendidikan masyarakat yang
mempengaruhi pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis paru dan
upaya pencegahannya.
Ketersediaan informasi yang mendukung pengetahuan masyarakat
mengenai pengetahuan pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis paru
dan upaya pencegahannya.
Informasi mengenai hubungan sosial masyarakat dengan lingkungan
sekitar yang mempengaruhi pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis
paru dan upaya pencegahannya.
2. Data kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau bilangan. Data
kuantitatif yang didapatkan yaitu data puskesmas tentang angka kejadian
penyakit tersering di puskesmas Kelurahan Pekojan I Jakarta Barat.

3.5.2 Sumber Data


Sumber data dalam pengumpulan data ini adalah para responden yaitu
warga di Kelurahan Pekojan I Jakarta Barat.
a. Data primer

12
Data yang langsung didapatkan dari hasil pengamatan langsung ke rumah
warga melalui wawancara terpimpin, analisis, dan observasi di Kelurahan
Pekojan I Jakarta Barat.
b. Data sekunder
Dari data yang didapat dari Puskesmas Pekojan I, berupa data 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas Kelurahan Pekojan I.
c. Data tersier
Data yang didapat dari buku dan internet mengenai penyakit Tuberkulosis
paru dan upaya pencegahannya.

3.6 Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah wawancara dengan
menggunakan instrumen kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data-data.

3.7 Pengolahan Data dan Analisa Data


Untuk pengolahan data tentang Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru dan Upaya Pencegahannya di Puskesmas
Pekojan I Jakarta Barat digunakan cara manual dan bantuan software pengolahan
data menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel, serta menggunakan analisa
univariat untuk menganalisa data-data yang sudah didapat.
Analisa Univariat adalah analisis tiap variabel yang dinyatakan dengan
menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel atau
grafik. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen yaitu pengetahuan
dan variabel dependen yaitu penyakit Tuberkulosis paru dan upaya pencegahannya.

13
BAB IV
HASIL ANALISA

4.1 Analisa Univariat


4.2 Intervensi Pemecahan Masalah
4.3 Hasil Intervensi

14
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian kemungkinan penyebab masalah rendahnya


pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis paru dan upaya pencegahannya di
Kelurahan Pekojan I dengan menggunakan metode pendekatan masalah maka
didapatkan penyebab masalah yang paling mungkin, adalah latar belakang pendidikan
yang masih rendah, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan TB,
faktor ekonomi, kurangnya pengalaman dan informasi mengenai Tuberkulosis, serta
kurangnya ketersediaan fasilitas mencuci tangan, sehingga mempengaruhi angka
kejadian diare pada warga tersebut.

5.2 Saran
1. Promosi kesehatan tentang penyakit TB paru dan pencegahannya agar ditingkatkan
kembali, seperti membuat media promosi deteksi dini TB paru. Sehingga dapat
menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan
penyakit TB paru
2. Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan melalui ACF (Actife Case Finding)
dan Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu dan petugas kesehatan
3. Petugas kesehatan tetap memberikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat
untuk melakukan pengobatan teratur bagi penderita TB

15

You might also like