You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Rabies sering disebut penyakit anjing gila, karena binatang atau hewan
penular rabies (HPR) yang utama adalah anjing yang umumnya terlihat agresif. Penyakit
menular akut yang menyerang susunan saraf pusat ini dapat terjadi pada manusia dan hewan.
Rabies yaitu penyakit zoonosis yang artinya penyakit yang ditularkan melalui hewan ke
manusia dimana virus ini menyerang sistem saraf pusat. Penyakit rabies pada manusia
memiliki nama cantik Lyssa dalam bahasa Yunani, yang artinya kegilaan. Hal tersebut
karena rabies ini disebabkan oleh virus RNA dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae,
virus berbentuk seperti peluru yang bersifat neurotropis, menular dan sangat ganas. Infeksi
virus akut mematikan ini disebarkan melalui perantara hewan yang terinfeksi (Zakaria,2005;
Susanto,2009).
Rabies telah dikenal sejak 4000 tahun lalu, di mana risiko tertinggi penyakit ini ada di
negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Indonesia, sampai tahun 2007, rabies masih
tersebar di 24 propinsi, hanya 9 propinsi yang bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Bali, Papua
Barat dan Papua. Kejadian rabies pertama kali di Indonesia ditemukan oleh Schoorl tahun
1884 pada seekor kuda, disusul oleh Esser tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi dan
tahun 1890 oleh Penning pada anjing di Jakarta. Kemudian tahun 1909, Lier menemukan 2
kasus rabies pada kucing di daerah Bondowoso dan Jember, tetapi pada manusia pertama kali
dilaporkan pada tahun 1907. Kasus rabies pada manusia di Indonesia 95% ditularkan oleh
anjing dan sisanya (5%) oleh kucing, kera dan sebagainya (Naipospos, 2004).
Kematian manusia akibat gigitan anjing di daerah endemik rabies diperkirakan
mencapai 55.000 kematian per tahun. Biaya penanganan rabies di Afrika dan Asia
diperkirakan mencapai US$ 583.500.000 per tahunnya, yang sebagian besar merupakan biaya
profilaksis pasca paparan (Post Exposure 2 Prophylaxis (PEP)). Disamping itu, kerugian
akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata
penting di dunia, seperti Bali, mungkin terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi
(Knobel et al., 2005).
Provinsi Bali secara historis dikenal sebagai kawasan yang bebas rabies. Bali
merupakan provinsi terbaru tertular rabies di Indonesia dan Bali dinyatakan tertular secara
resmi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember
2008. Secara laboratorium, rabies pada anjing di Bali didiagnosis pertama kali pada tanggal

1
27 Nopember 2008 yaitu pada satu ekor anjing asal Kelurahan Kedonganan. Dengan
mengkaji kasus pada tiga manusia dan hewan serta masa inkubasi, maka rabies diduga masuk
ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Provinsi Bali sekitar bulan April 2008.
Selanjutnya dalam beberapa bulan rabies terus menyebar ke kabupaten lain, sampai akhirnya
pada bulan Juni 2010 semua kabupaten/kota di Provinsi Bali sudah dinyatakan tertular rabies
(Putra et al., 2009).
Data epidemiologi selama tahun 2014 menunjukkan bahwa dari 1.286 sampel otak
hewan penular rabies (HPR) yang diuji di Balai Besar Veteriner Denpasar, 130 diantaranya
positif rabies. Dari bulan Januari sampai dengan Desember 2014, 3 kasus rabies ditemukan di
101 desa dari 723 desa di Bali dengan korban meninggal terkait gigitan anjing dan diduga
kuat akibat rabies adalah dua orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat
luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, sehingga faktor-faktor risiko yang berasosiasi
terhadap kejadian rabies di Bali perlu diteliti. Upaya untuk mengendalikan rabies dengan
vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-
daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat. Demikian juga halnya yang terjadi
di Bali. Telah terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies (Adjid et al.,
2005).
Berdasarkan literature di atas maka penulis ingin membuat makalah mengenai Rabies
untuk lebih mengetahui mengenai penyakit rabies dan penularannya serta cara mencegahnya
untuk dapat mengurangi kejadian rabies.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rabies

Rabies atau yang dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit
infeksi virus akut yang bersifat zoonosis yang menyerang saraf pusat yang disebabkan
oleh genus Lysavirus. Zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke
manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate)
100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan
melalui luka gigitan atau jilatan terutama ditularkan oleh anjing, kucing dan kera
(Depkes RI, 2000b).

2.2. Etiologi Rabies

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus
Lyssa. Virus rabies adalah single stranded RNA yang berbentuk peluru berukuran 180 x
75 m atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan
melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleokapsid
dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada
permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada
membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran
panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5
nm. Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1 merupakan
penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat labil dan tidak viable
bila berada diluar inang. Virus peka atau menjadi tidak aktif bila terpapar sinar
ultraviolet, zat pelarut lemak, disinfektan, alkohol 70 %, yodium, fenol dan klorofrom.
Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C
virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau
pada suhu 40 C dapat tahan selama bebarapa tahun. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestic (Jawetz,2010).

Virus rabies mengandung lipida yang mudah dilarutkan dengan pelarut lemak seperti
sabun, ether, kloroform, ethanol 45-70 %, dan preparat iodine. Sifat dari virus rabies
sendiri dapat bertahan hidup pada bangkai hewan yang tertular rabies selama 24 hari dan
di dalam air sampai 3 tahun. Penyakit rabies dapat ditularkan pada hewan berdarah panas

3
yaitu anjing, kucing, kera, rakun, kelelawar. Namun, di Indonesia kelelawar tidak dapat
menularkan rabies dikarenakan jenis kelelawar yang ada di Indonesia merupakan
pemakan buah (Dharmawan, 2009).

Penyakit rabies memiliki virus yang tahan terhadap pemanasan dengan derajat celcius
tertentu. Seperti pada pemanasan 56oC, virus dapat bertahan sampai 30 menit dan dalam
kondisi pemanasan kering sampai dengan 100oC masih dapat tahan hidup selama 2-3
menit. Dan jika disimpan dalam gliserin 50%, virus dapat tahan hidup sampai satu tahun.
Di dalam gliserin yang tidak diencerkan, virus dapat tahan hidup beberapa lama dalam
suhu kamar dan tahan berbulan-bulan dalam temperatur 4oC. Dalam keadaan kering
beku dengan penyimpanan 4oC virus dapat tahan sampai bertahun-tahun, dan
penyimpanan suhu -70oC virus tahan sampai waktu tak terbatas. Di dalam air liur
dengan suhu udara panas, virus dapat tahan selama 24 jam. Waktu paruh kurang lebih 4
jam pada temperatur 40oC, dan 30 detik pada temperatur 60oC (Dharmawan, 2009).

Berdasarkan sifatnya, virus rabies dibagi menjadi 2 jenis, yaitu virus liar dan virus
fixed. Virus liar adalah virus yang diisolasi di alam dari penderita rabies. Memiliki masa
tunas dan daya tular yang bervariasi dan mempunyai kemampuan untuk memasuki
kelenjar air ludah. Sedangkan, virus fixed adalah virus yang didapat dari cara pembiakan
virus liar di laboratorium pada hewan percobaan. Virus fixed memiliki masa tunas yang
lebih pendek dan tidak memasuki kelenjar air ludah, selain itu virus ini tidak memiliki
kemampuan membentuk badan Negri (Akoso, 2007).

Gambar 2.1. Struktur Virus Rabies


Sumber : http://alitputraiputu.blogspot.co.id/2013/09/rabies-dan-pembantaian-
massal-anjing-di_19.html

4
2.3. Sejarah Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal sejak
ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik
anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman
kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan
oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah
masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air
(hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan (Atmawinata, 2006).

Penyakit rabies telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia sejak tahun 1889 pada
seekor kerbau di Bekasi dan rabies pada manusia pertama kali dilaporkan oleh E.V. de
Haan pada tahun 1894 (Soeharsono, 2002). Terdapat dua macam siklus penularan rabies
yaitu siklus silvatic (cylvatic cycle) dan siklus rabies di lingkungan pemukiman
penduduk (urban cycle). Siklus urban rabies biasanya terjadi pada anjing liar yang bebas
tanpa pemeliharaan khusus (Putra et al, 2009).

Di Provinsi Bali kasus rabies pertama kali pada bulan November tahun 2008
ditemukan di Kedonganan Kabupaten Badung. Hal ini tertuang dalam keputusan Menteri
Pertanian No. 1637.I/2008 tertanggal 1 Desember 2008 yang menyatakan Bali secara
resmi tertular rabies. Pada kajian kasus rabies manusia dan hewan, diperkirakan penyakit
rabies masuk ke semenanjung bukit Kabupaten Badung pada bulan April tahun 2008
(Putra et al., 2009a). Pada awalnya kasus penyakit rabies dilaporkan hanya terjadi pada
daerah Semenanjung Badung, tetapi kemudian tersebar ke semua wilayah Bali (Putra et
al., 2009b). Penyakit rabies saat itu terus menyebar menular secara cepat hingga bulan
Juni 2010 di seluruh kota dan Kabupaten Bali. Penyempurnaan program penanganan
kasus rabies telah dilakukan (Putra, 2010; Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2010). Tetapi,
pada kenyataanya kasus rabies tidak dapat dikendalikan (Putra dan Gunata, 2009).

2.4. Masa Inkubasi dan Patogenesis Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala,
raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh
seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.
Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk

5
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya (Depkes RI, 2008).

Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi rabies pada hewan berkisar antara 3 sampai 6 minggu 9 setelah gigitan
hewan rabies (Depkes RI, 2008). Pada manusia 2 sampai 8 minggu dan paling lama 1
tahun. Masa inkubasi tergantung dari lokasi gigitan (akan semakin pendek jika gigitan
semakin dekat dengan kepala), bila gigitan terdapat di banyak tempat, umur, virulensi
(banyaknya virus yang masuk melalui gigitan / jilatan), banyaknya saraf pada luka
gigitan (C.Bell, Palmer, & M.Payne, 1995; Depkes RI, 2008; Mahendrasari, 2009).

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap
tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung
serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas pada semua
bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap selsel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak (Depkes RI, 2000b). Setelah memperbanyak diri dalam
neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan
pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir
tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-
jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000b).

Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah pada
gigitan daerah lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki.
(Jackson,2003. WHO,2010).

6
Gambar 2.2. : Patogenesis Virus Rabies
Sumber : http://jambultedong99.blogspot.co.id/2016/01/penyebaran-virus-rabies-
virologi.html

2.5. Tanda-tanda Rabies pada Hewan


Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi peradangan otak
(encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada manusia keinginan
untuk menyerang orang lain pada umumnya tidak ada (Hiswani, 2003).

Menurut Hiswani tahun 2003, tanda klinis pada anjing dikenal dalam tiga bentuk
yaitu:

a. Bentuk ganas (furious rabies)

Bentuk rabies ganas memiliki masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati
dalam 2 sampai 5 hari setelah tanda-tanda rabies terlihat. Tanda dan gejala
biasanya tidak menuruti lagi perintah pemilik, air liur keluar berlebihan, hewan
menjadi ganas, menyerang, atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekor
dilekungkan ke bawah perut diantara dua paha, kejang-kejang kemudian lumpuh,
biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau paling lama 12 hari setelah
penggigitan.

7
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies)

Bentuk rabies diam disini terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar
keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. Tanda dan gejala biasanya
bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, kejang-kejang berlangsung singkat
bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka
dan air liur keluar berlebihan, dan kematian terjadi dalam waktu singkat

c. Bentuk asymptomatis

Bentuk asymptomatis disini memperlihatkan kejadian dimana hewan tiba-tiba


mati dengan tidak menunjukan gejala-gejala sakit.

Menurut Hiswani tahun 2003 selain dari ketiga bentuk tanda klinis rabies pada anjing
dan kucing bisa dijumpai tanda-tanda lain yang sering terlihat sebagai berikut :

a. Pada fase prodromal hewan mencari tempat-tempat yang dingin dan menyendiri,
tetapi dapat lebih menjadi agresif dan nervous. Reflek cornea berkurang/hilang, pupil
meluas dan kornea kering.

b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada disekitarnya dan
memakan barang yang aneh-aneh. Dengan berlanjutnya penyakit, mata mejadi keruh
dan selalu terbuka.

c. Pada fase paralisa cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek hilang dan
mati.

Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah, gugup, liar dan
adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya
hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis terlihat biasanya temperatur
normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari biasa, sering menguak dan ini merupakan
tanda yang spesifik bagi hewan yang menderita rabies (Hiswani, 2003).

8
2.6. Tanda-tanda Rabies pada Manusia
Ada 4 stadium pada manusia bila terkena rabies, antara lain :

1. Stadium Prodromal

Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar,
kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari
(Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010).

2. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka,
kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang
sensorik (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010).

3. Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala


hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan
stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini
ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.
Pada stadium tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai
dengan saat-saat responsif. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai
penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-
otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot (Depkes RI, 2000b; Hendrawan,
2010).

4. Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-


kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan (Depkes RI, 2000b; Hendrawan,
2010).

9
2.7. Pencegahan Rabies

Kasus zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara penanganannya
dan pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia, vaksin rutin
diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan,
pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya. Selain itu, menurut Mahendrasari
tahun 2009, pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara :

1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara
dengan baik dapat diserahkan ke Dinas Peternakan atau para pecinta hewan.

2. Mendaftarkan anjing ke Kantor Kelurahan/Desa atau Petugas Dinas Peternakan


setempat.

3. Pada hewan virus rabies dapat ditangkal dengan vaksinasi secara rutin 1-2 kali
setahun tergantung vaksin yang digunakan, ke Dinas Peternakan, Pos Kesehatan
Hewan atau Dokter Hewan Praktek.

4. Semua anjing/kucing yang potensial terkena, divaksin setelah umur 12 minggu, lalu
12 bulan setelahnya, dilanjutkan dengan tiap 3 tahun dengan vaksin untuk 3 tahun,
untuk kucing harus vaksin inaktif.

5. Penangkapan/eliminasi anjing, kucing, dan hewan lain yang berkeliaran di tempat


umum dan dianggap membahayakan manusia.

6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing, dan hewan yang
dicurigai menderita rabies.

7. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies.

8. Menempatkan hewan didalam kandang, memperhatikan serta menjaga kebersihan


dan kesehatan hewan.

9. Setiap hewan yang berisiko rabies harus diikat/dikandangkan dan tidak membiarkan
anjing bebas berkeliaran.

10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2 meter bila
tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.

11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui di jalan

10
12. Daerah yang sudah bebas rabies, harus mencegah masuknya anjing, kucing atau
hewan sejenisnya dari daerah yang tertular rabies.

13. Pada area terkontaminasi dilakukan desinfeksi dari pemutih pakaian untuk
menginaktifkan virus dengan cepat.

2.8. Cara Penanganan Rabies

Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure Praphylaxis), yaitu: (1)
perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan
pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari saliva yang
mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan
air (sebaiknya air mengalir) selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan diberi
antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida
atau 1% centrimonium bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu
sekali, maka dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan secara intramuskuler ditempat
yang jauh dari tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian
serum/vaksin antitetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik.
Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:
1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang
intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya.
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki.
Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.
3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan
luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR
dan SAR.
Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan
hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine,
suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid cell
vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies vaccine
(PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell vaccine (PCEC) yang
mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine

11
(SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV), suatu non-nerve
tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi
ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve tissue
vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia (WHO,2009).

Gambar 2.3. : Panatalaksanaan Rabies


Sumber : Depkes, 2011

2.9. Manfaat VAR dan SAR pada Manusia

Vaksin anti rabies merupakan vaksinasi untuk memberikan perlindungan kekebalan


terhadap virus rabies. Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan
maupun bagi manusia, yakni : Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian, vaksin
harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi, vaksin harus mampu memberikan
perlindungan kekebalan yang lama, vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya, vaksin

12
harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama, dan vaksin harus selalu
tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan (Depkes RI, 2000b).

Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus
didasarkan atas tindakan tajam. Terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang
termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet
(erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki (Depkes RI, 2000b).
Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka
berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak
(multipel). Pada pemberian suntikan VAR biasanya akan timbul reaksi lokal yang tidak
berarti seperti kemerahan, gatal-gatal dan pembengkakan. Efek samping dari pemberian
SAR yaitu terjadi serum sickness dengan gejala panas dan urtica dan terjadi syok
anafilatik (Depkes RI, 2000b).

13
BAB III

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil mengenai rabies antara lain :

1. Rabies adalah penyakit infeksi virus akut yang ditularkan dari hewan ke manusia ini yang
dikenal dengan istilah zoonosis dimana sebagian besar ditularkan oleh anjing, dan sebagian
kecil oleh kucing dan kera.
2. Masa inkubasi rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata
1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan akibat
gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan
sistem kekebalan tubuh.
3. Gejala klinik dibagi menjadi 4 stadium: (a) Stadium prodormal: gejalanya lemas, sulit makan,
dan anoreksia, (b) Stadium rangsangan; ditandai panas dan kesemutan pada luka gigitan serta
cemas dan reaksi berlebihan akibat rangsangan sensorik, (c) Stadium ketiga; terjadi
perubahan perilaku berteriak, menjambak rambut, berlari, dan melompat-lompat, takut air,
takut udara, takut cahaya, peningkatan lakrimasi dan salvias, (d) Stadium terakhir : lumpuh
dan meninggal.
4. Penanganan Rabies pertama kali adalah membasuh luka dengan air mengalir dan sabun
kurang lebih 15 menit kemudian diberi betadine dan diusahakan untuk tidak menjait luka
apabila memungkinkan. Lalu selanjutnya arahkan ke smas untuk bisa mendapatkan
perawatan lebih lanjut tentang VAR.

14
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular Pada Hewan Dan
Manusia.kanisius. Yogyakarta. hal 15,53,61,84,145,171

Atmawinata, E. 2006, Kiat Bebas Flu Burung, Penerbit Yrama Widya. Bandung. Indonesia
(hal 41-73).

Bell, John C, Stephen R Palmer, dan Jack M Payne, (1995). Zoonosis, Infeksi yang
Ditularkan dari Hewan ke Manusia (The Zoonosis, Infections Transmitted from Animal
to Man). Alih Bahasa : Karel Sinagih, Peter I Anugerah, Huriawati Hartanto. Editor :
Sandy Qlintang. Jakarta : EGC.

Current WHO Guide for Rabies Pre and Post-exposure prophylaxis in Humans, 2009.
http://www.who.int/rabies/ PEProphylaxisguideline.pdf

Darmawan, E, 2009, Ruang Publik dalam Arsitektur Kota, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang.

Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan


Hewan Tersangka Rabies di Indonesia. 4th ed. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jendral PPM & PL. Jakarta . 2000.

Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

Direktorat Kesehatan Hewan, 2010. Workshop Improving Response to Rabies in Bali, Flores
and Indonesia Through Indovet Plan Development, Denpasar, Bali, March 21-24th 2010.

Hiswani, 2003, Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat yang
Kejadiannya Sangat Erat dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan, USU, Medan.

Jackson, A. C., 2003. Rabies virus infection: An update. J. Neuro Virol. 9: 253- 258.

Jawetz E., Melnick JL, Adelberg EA.. Medical Microbiology, 25th ed.. Mc Graw Hill, New
York, 2010.

Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda MEG, Shaw A, Zinsstag J,
Meslin F. 2005.Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull WHO 83(5): 360-
368.
Naipospos, B, 2004. Pertanian Campuran Harga Mati Bagi Lingkungan. Sinar Tani Edisi 28,
Januari Pebruari 2004 No. 3032, Jakarta.

Putra AAG, Gunata IK, Supartika I KE, Semaraputra AAG, Soegiarto, Scott-Orr H. 2009.
Satu Tahun Rabies di Bali. Bul Vet 21(75): 14-27.

Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L, Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Semara
Putra, A.A.G., Soegiarto dan Scott-Orr, H. 2009. Situasi Rabies di Bali : Enam Bulan
Pasca Program Pemberantasan. Buletin veteriner, 2009, vol. XXI No. 74: 13-26.

15
Putra, A.A.G., dan Gunata, I.K. 2009. Epidemiologi Rabies: Suatu Kajian Terhadap Wabah
Rabies di Bali. Makalah disajikan pada Workshop Kesehatan Hewan Regional VI,
diselenggarakan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, di Mataram pada tanggal 9 Juni 2009.

Susanto CE. Penyakit Rabies Makin Meluas, 2009 diunduh pada Minggu, 09 Juli 2017 pukul
09.30 WITA melalui http://www.mediaindonesia.com

Zakaria F, Yudianingtyas DW, Kertayadnya G. Situasi Rabies di Beberapa Wilayah


Indonesia Timur Berdasarkan Hasil Diagnose Balai Besar Veteriner Maros. Maros.
2005.

16

You might also like