You are on page 1of 4

WUJUDKAN SELF EMPOWERMENT PADA PASIEN DIABETES

MELLITUS MELALUI SELF CARE MANAGEMENT DAN


FUNCTIONAL FOOD AND NUTRACEUTICAL
Oleh: Ahmad Zaenal Abidin, S.Kep., Ns.

Perkembangan penyakit degeneratif saat ini kian meningkat khususnya


penyakit diabetes mellitus. Penyakit diabetes mellitus ini menyerang segala usia
mulai dari anak-anak hingga lansia. Peningkatan kadar gula darah hingga
mencapai 126 mg/L menjadi ciri khas seseorang yang memiliki diabetes mellitus.
Kebanyakan individu cenderung takut dengan penyakit diabetes mellitus, sebab
penyakit ini dapat menimbulkan kematian.
Diabetes mellitus (DM) sendiri terbagi menjadi 2 jenis yakni diabetes
mellitus (DM) tipe 1 dan diabetes mellitus (DM) tipe 2. Perbedaan tipe tersebut
menentukan pula perlakuan pengobatannya. Penyakit DM tipe 1 lebih
memerlukan tahapan pengobatan secara klinis, sementara penyakit DM tipe 2
lebih mengutamakan manajemen emosional pada pasien karena adanya penyakit
tersebut (Paddison et al, 2010; Darmansyah et al, 2013).
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang
memerlukan adanya kemampuan individu dari pasien dalam mematuhi program
perawatan penyakitnya yang telah dianjurkan oleh dokter dan perawat. Seiring
waktu dari tahun ketahun jumlah penderita DM cenderung meningkat (Kusnanto,
2013).
Sebagaimana prediksi dari World Health Organization (WHO) bahwa akan
ada peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus yang cukup besar pada tahun-
tahun mendatang. Di Indonesia, WHO memprediksikan tejadi kenaikan dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 dan komposisinya lebih
banyak terjadi pada usia muda dan produktif (WHO, 2012; Kusnanto, 2013).
Selaras dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) juga
memprediksikan pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah penyandang DM dari
7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data
diatas menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3
kali lipat pada tahun 2030 (PERKENI, 2011 dalam Kusnanto, 2013).
Diabetes mellitus terjadi adanya gangguan kronis dari metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. Gangguan ini terjadi akibat perbedaan antara
jumlah insulin yang dibutuhkan oleh tubuh dan jumlah insulin yang tersedia. Sel
beta pankreas memproduksi insulin dari C-peptida, yang disimpan dalam granul
sekresi dari sel beta dan dilepaskan ke dalam aliran darah pada saat kadar glukosa
darah meningkat. Insulin mengangkut glukosa dan asam amino melintasi
membran sel tubuh, terutama sel otot dan lemak. Mekanisme ini akan
meningkatkan penyimpanan hati glikogen, bahan penyimpanan karbohidrat
kepala, dan membantu dalam metabolisme trigliserida, asam nukleat, dan protein
(Sommers, Johson, & beery, 2007 dalam Nursalam et al, 2016).
Defisisensi insulin pada diabetes mellitus menyebabkan glukagon
meningkat sehingga terjadi pemecahan gula baru (Glukoneogenesis) yang
menyebabkan metabolisme lemak meningkat kemudian menjadi proses
pembentukan keton (Ketogenesis). Sehingga terjadi peningkatan keton di dalam
plasma yang menyebabkan ketonuria (Keton di dalam urine) dan kadar natrium
menurun serta pH serum menurun yang menyebabkan asidosis (Sylvia Price,
2000)
Selain itu, defisiensi insulin menyebabkan penggunaaan glukosa oleh sel
menjadi menurun, sehingga kadar glukosa darah dalam plasma tinggi
(hiperglikemia). Jika hiperglikeminya parah dan melebihi ambang ginjal maka
timbul glukosuria. Glukosuria ini akan menyebabkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan timbul rasa haus (polidipsi)
sehingga terjadi dehidrasi. Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori
negatif sehingga menimbulkan rasa lapar (poliphagi). Penggunaaan glukosa oleh
sel menurun mengakibatkan produksi metabolisme energi menjadi menurun
sehingga tubuh menjadi melemah (Sylvia Price, 2000)
Hiperglikemia dapat mempengaruhi pembuluh darah kecil (arteri kecil)
sehingga suplai makanan dan oksigen ke perifer menjadi berkurang yang akan
menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh. Karena suplai makanan dan oksigen
tidak adekuat yang mengakibatkan terjadinya infeksi dan terjadi ganggren atau
ulkus. Gangguan pembuluh darah memyebabkan aliran drah ke retina menurun
sehingga suplai makanan dan oksigen berkurang, akibatnya peradangan menjadi
kabur. Salah satu akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan
pada struktur dan fungsi ginjal sehingga terjadi nefropati. Diabetes mempengaruhi
syaraf-syaraf perifer, sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat sehingga
mengakibatkan neuropati (Sylvia Price, 2000)
Terjadinya penyakit ini didukung oleh beberapa faktor yakni genetik
(keturunan), pernah mengalami gangguan toleransi glukosa, kehamilan, pernah
melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, infeksi virus (DM tipe 1), obesitas (DM tipe
2), stres fisiologis atau emosional, gaya hidup kurang gerak (DM tipe 2),
pengobatan seperti diuretik tiazid, kortikosteroid adrenal, dan kontrasepsi oral
(Bunners & Suddarth, 2000). Berdasarkan beberapa faktor resiko tersebut ada tiga
yang dapat dikontrol pada pasien laki-laki ataupun perempuan yakni obesitas,
stres fisiologis atau emosional, dan gaya hidup kurang gerak. Ketiga faktor resiko
ini dapat dikontrol dengan pola hidup yang sehat dengan perencanaan makan dan
latihan jasmani dapat menjaga kadar glukosa darah agar tetap terkontrol. Tentunya
keberhasilan metode tersebut tidak hanya ditentukan oleh peran tenaga kesehatan
namun perlu adanya peran dari pasien itu sendiri, pasien tersebut mampu dan mau
atau tidak untuk mematuhi metode tersebut.
Beberapa metode pengontrolan kadar gula darah nonfarmakologis saat ini
telah banyak diteliti mulai dari metode diet diabetes sampai senam diabetes.
Banyaknya varian metode menjadikan pasien diabetes mellitus memiliki banyak
pilihan yang sesuai dengan yang diinginkan. Sebagaimana beberapa metode
berikut ini, yakni self empowerment, self care management, dan functional food
and nutraceutical. Pertama, metode self empowerment, menurut Nuari &
Kartikasari (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa metode ini berfokus
pada kemampuan individu atau pasien diabetes untuk memiliki kontrol atas hidup
mereka sendiri dan menentukan pilihan mengenai kesehatan. Metode ini disebut
juga dengan psychological empowerment dimana kapasitas individu
direalisasikan untuk membangun kepercayaan, meningkatkan harga diri dan
mengembangkan mekanisme koping untuk meningkatkan keterampilan pribadi.
Metode ini perlu adanya rasa tanggung jawab individu atas dirinya, perawat atau
tenaga medis hanya sebagai promotor edukasi bagi pasien.
Menurut Tomey dan Alligood (2006) menjelaskan bahwa strategi
empowerment dikembangkan pada diabetes untuk meningkatkan kontrol mereka
terhadap penyakinya dengan cara meningkatkan aktivitas fisik, memperbaiki pola
makan sehat dan meningkatkan kesehatan mental yang lebih baik dan sejahtera.
Seorang perawat harus mampu memberdayakan penderita diabetes untuk
menerapkan lima pilar dalam pengelolaan DM dengan menggunakan landasan
model promosi kesehatan (Health promotion model). Health promotion model
merupakan model bagi perawat untuk mengeksplorasi proses biopsikososial yang
kompleks, dengan memotivasi individu untuk berperilaku tertentu, dan ditujukan
untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nuari dan Kartikasari yakni diabetes
empowerment education mampu meningkatkan self empowerment pasien diabetes
mellitus (DM) tipe 2 (Nuari & Kartikasari, 2015).
Metode pertama dapat dikombinasikan dengan metode kedua yakni self
care management, yang mana metode ini berperan sebagai media yang dapat
digunakan oleh penderita diabetes mellitus dalam mengelola secara mandiri
penyakitnya sampai pada akhirnya dapat memperbaiki kondisi psikologis
sehingga koping menjadi lebih konstruktif. Selain itu, metode ini bertujuan untuk
memperbaiki kondisi sosial sehingga hubungan interpersonal meningkat dan
memperbaiki kondisi spiritual, yang membuat penderita lebih bertawakal serta
dapat menerima keadaanya dan selalu berupaya untuk melakukan perawatan dan
pengobatan yang optimal demi mencapai kesembuhan. Salah satu terapi yang
menggunakan metode ini adalah terapi SEFT atau spiritual emotional freedom
technique (Kusnanto, 2013).
Akan tetapi Pasavic (1980) menuturkan bahwa self management individu
bergantung pada edukasi, pemberdayaan dan self monitoring mereka dalam usaha
mengevaluasi hasil dari self care yang telah dilakukan. Memberdayakan individ
secara mandiri sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, memperbaiki
sikap serta mengbah perilaku. Modul self care management dapat memfasilitasi
peningkatan pengetahuan penderita tentang DM dan pengelolaannya secara
komprehensif, membentuk sikap yang utuh (total attitde), dan merubah perilaku
sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya dalam menghadapi penyakit kronis
sehingga akan berpengaruh pada perbaikan kondisi kesehatan secara optimal.
Pengaruh pemberian modul self care management terhadap perbaikan aspek
psikososial dan spiritual penderita diabetes mellitus sampai saat ini masih belum
jelas (Kusnanto, 2013). Metode kedua ini juga membutuhkan tanggung jawab dari
individu untuk mematuhi setiap item dari metode ini.
Metode ketiga, metode ini dapat pula dikombinasikan atau menjadi
pelengkap dari kedua metode yakni metode functional and nutraceutical. Metode
ini merupakan bagian dari keperawatan komplementer, dimana makanan dapat
digunakan sebagai terapi atau media perawatan. Individu perlu mengetahui fungsi
makanan yang akan konsumsi bagi tubuh, baik sebagai bahan makanan yang
mengoptimalkan kesehatan maupun sebagai bahan makanan untuk mencegah
penyakit. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan makanan sebagai media
terapi dan perawatan adalah harus berdasarkan evidence (Snyder & lindquist, n.d.
dalam Nursalam et al, 2016). Dapat diartikan bahwa perlu adanya penelitian pada
kandungan bahan makanan dan reaksi di dalam tubuh, baik tubuh yang sehat
maupun sakit. Salah satunya penggunaan tepung pisang dan sukun dalam
makanan sebagai pengganti tepung terigu dalam penelitian yang dilakukan oleh
Nursalam et al (2016) terbukti dapat menurunkan kenaikan kadar glukosa darah
sewaktu pada penderita diabates mellitus. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh
kadar serat dan kalium yang tinggi pada tepung pisang dan sukun apabila
dibandingkan dengan tepung terigu.
Ketiga metode diatas dapat berhasil dengan kemauan dan kemampuan
inidvidu dalam bertanggung jawab atas kesehatan dirinya, sehingga pengontrolan
gluokasa darah dapat dilakukan. Selain itu, kesadaran individu atas kesehatannya
juga dipengaruhi oleh pengetahuan individu itu sendiri, oleh karenanya adanya
support educative dari perawat atau tenaga kesehatan tentang metode alternatif
selain farmakologis sangatlah berperan penting. Serta mengkombinasikan ketiga
metode diatas yakni mewujudkan self empowerment melalui self care
management dan functional food and nutracetical bagi pasien diabetes mellitus
akan memberikan hasil yang lebih baik karena ketiga metode tersebut saling
berkaitan dan mendukung satu sama lain dalam mengontrol kadar glukosa.

Referensi:
1. AF, Darmansyah et al. 2013. Efektivitas Supportive Educative Terhadap
Peningkatan Self Regulation, Self Efficacy, dan Self Care Agency Dalam
kontrol Glikemik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Ners Vol. 8 No. 2:
253-270.
2. Kusnanto. 2013. Meningkatkan Respons Psikososial-Spiritual Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 Melalui Aplikasi Modul Self Care Management.
Jurnal Ners Vol. 8 No. 1: 47-55.
3. Nuari, Nian Afrian & Melani Kartikasari. 2015. Peningkatan Self
Empowerment dan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe II dengan
Pendekatan Dee Berbasis Health Promotion Model. Jurnal Ners Vol. 10 No. 2:
279-288.
4. Nursalam, et al. 2016. Efek Mie Pisang dan Sukun Terhadap Glukosa Darah
Sewaktu. Jurnal Ners Vol. 11 No. 2: 246-250.

You might also like