You are on page 1of 76

ARTI WARNA DALAM LOGO PERDATIN

Logo PERDATIN terdiri dari 5 (lima) macam warna (merah, hitam, biru muda, putih, kuning emas) memberikan arti
bahwa PERDATIN berdasarkan Pancasila.

Warna merah melambangkan berani


Warna hitam melambangkan bijaksana
Warna biru muda melambangkan waspada
Warna putih melambangkan suci
Warna kuning emas melambangkan mulia
Dari warna-warna yang terbaca dari luar ke dalam, PERDATIN mempunyai anggota yang menuju profesi yang suci dan
mulia.

ARTI DAN LAMBANG

BENTUK LOGO

Berbentuk lingkaran dengan tepi berupa daun mahkota bunga berwarna merah berjumlah 9 (sembilan) buah,
membatasi pita melingkar bertuliskan PERSATUAN DOKTER ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF dengan huruf-
huruf warna hitam, melingkari bulatan warna biru muda di dalamnya tergambar aeskulap warna putih dan
petir warna kuning emas dan terbaca kredo WASPADA DASA NETRA dengan huruf-huruf warna putih.
ARTI LOGO

Daun mahkota bunga berjumlah 9 (sembilan) diartikan bunga wijayakusuma, sebagai lambang penghidupan
(resusitasi), jumlah 9 (sembilan) sesuai dengan tahapan resusitasi jantung paru otak (ABCDEFGHI).
Tulisan PERSATUAN DOKTER ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF merupakan nama dari organisasi, terbaca
sentripetal (dari dalam ke luar) diartikan bahwa orgsnisasi serta anggotanya diharapkan mampu bersifat
terbuka menjalin hubungan keluar dengan baik dengan IDI, IKABI, POGI, PABOI, PKGDI, dan lain-lain
organisasi profesi.
Bulatan warna biru diartikan air (tirta kamandhanu) merupakan lambang terapi cairan, bersama-sama
dengan petir yang diartikan muatan listrik, mengandung pengertian terapi elektrolit.
Aeskulap warna putih berarti anestesiologi merupakan salah satu cabang dari Ilmu Kedokteran.
Kredo WASPADA DASA NETRA terbaca sentrifugal (dari luar ke dalam) mengandung arti bahwa organisasi
serta anggota PERDATIN diharapkan selalu introspeksi (mawas diri), dan didalam bekerja menjalankan profesi
dituntut selalu bekerja dengan penuh kewaspadaan seakan dengan sepuluh mata.

Return of spontaneous circulation (ROSC) is resumption of sustained perfusing cardiac activity associated with
significant respiratory effort after cardiac arrest. Signs of ROSC include breathing, coughing, or movement and a
palpable pulse or a measurable blood pressure.
1
successful resuscitation or ROSC is defined for all rhythms as the restoration of a spontaneous perfusing rhythm
that results in more than an occasional gasp, fleeting palpated pulse, or arterial waveform.
Good post-arrest care involves maintaining blood pressure and cerebral perfusion, adequate sedation, cooling and
preventing hyperthermia, considering antiarrhythmic medications, optimization of tissue oxygen delivery while
avoiding hyperoxia, getting patients to PCI who need it, and looking for and treating the underlying cause.

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

BERLIN DEFINITION
ARDS is an acute diffuse, inflammatory lung injury, leading to increased pulmonary vascular permeability, increased
lung weight, and loss of aerated lung tissue[with] hypoxemia and bilateral radiographic opacities, associated with
increased venous admixture, increased physiological dead space and decreased lung compliance.
Four key components must be present for the diagnosis of ARDS:
the syndrome must present acutely
hypoxemia, measured as PaO2/FIO2 ratio <200 (the ratio is >450 in healthy persons)
bilateral infiltrates on chest radiograph
cannot be due to cardiac failure (elevated left atrial pressure), as evidenced by either clinical examination or a
PCWP >18 cm H2O
The signs and symptoms of ARDS often begin within two hours of an inciting event, but can occur after 13 days.
Signs and symptoms may include shortness of breath, fast breathing, and a low oxygen level in the blood due to
abnormal ventilation.
Diffuse compromise of the pulmonary system resulting in ARDS generally occurs in the setting of critical illness. ARDS
may be seen in the setting of severe pulmonary (pneumonia) or systemic infection (sepsis), following trauma,
multiple blood transfusions, severe burns, severe pancreatitis, near-drowning, drug reactions, or inhalation
injuries. Some cases of ARDS are linked to large volumes of fluid used during post-trauma resuscitation.

Damage control resuscitation (DCR)

Damage control resuscitation (DCR) is a strategy that seeks to prevent or mitigate hypothermia, acidosis, and
coagulopathy through combined treatment paradigms. Damage control resuscitation comprises early hemorrhage
control, hypotensive resuscitation (permissive hypotension), hemostatic resuscitation (minimization of crystalloid
fluids and fixed ratio blood product transfusion), prevention or alleviation of hypothermia (through warming
measures), and amelioration of acidosis through judicious use of blood products and hemodynamic resuscitation
endpoints. In short, the goal of DCR is to stop hemorrhage and prevent or reverse the three components of the lethal
triad (coagulopathy, metabolic acidosis, hypothermia).
Damage control resuscitation (DCR) represents the natural evolution of the initial concept of damage control surgery.
It currently includes early blood product transfusion, immediate arrest and/or temporization of ongoing hemorrhage
(i.e., temporary intravascular shunts and/or balloon tamponade) as well as restoration of blood volume and
physiologic/hematologic stability. As a result, DCR addresses the early coagulopathy of trauma, avoids massive
crystalloid resuscitation and leaves the peritoneal cavity open when a patient approaches physiologic exhaustion
without improvement.
Damage control resuscitation (DCR) is a systematic approach to the management of the trauma patient with
severe injuries that starts in the emergency room and continues through the operating room and the intensive
care unit (ICU)
DCR involves haemostatic resuscitation, permissive hypotension (where appropriate) and damage control surgery
DCR aims to maintain circulating volume, control haemorrhage and correct the lethal triad of coagulopathy,
acidosis and hypothermia until definitive intervention is appropriate

STAGES OF DAMAGE CONTROL RESUSCITATION


Recognition
must be approached from all services (pre-hospital, ED, anaesthesia, surgery, ICU, haematology)
Haemostatic resuscitation

2
early transfusion to maintain reduce coagulopathy
circulating volume keep warm
minimisation of crystalloid use prevent acidemia
Rapid movement to the operating theatre (OT)
scoop and run approach
address immediate life threats prehospital or in the emergency department
permissive hypotension may be tolerated in penetrating vascular trauma pending surgical
repair
avoid unnecessary delays in transit to the OT
Initial surgery
short time in OT partially resect organs
limited focused surgery to control staple off and remove injured bowel
haemorrhage and decontaminate fibrin sealants
pack leave abdomen open

Move to ICU
restore near normal physiology optimise ventilation
corect lethal triad: rewarm, correct plan re-operation once stable
acidosis and correct coagulopathy
Re-operation at 24-36 hours
remove packs formally close abdomen
definitive surgery
COMPLICATIONS
new onset or uncontrolled surgical bleeding
abdominal compartment syndrome
inability to wake and wean
non-life threatening injuries not dealt with or missed (needs secondary survey/full
examination)

TOTAL INTRAVENOUS ANAESTHESIA (TIVA)


Total intravenous anaesthesia (TIVA) can be defined as a technique of general anaesthesia using a
combination of agents given solely by the intravenous route and in the absence of all inhalational
agents including nitrous oxide.

VAPORIZER
Vaporizer adalah salah satu komponen dari mesin anestesi yang berfungsi untuk menguapkan zat
anestesi cair yang mudah menguap. Alat ini dilengkapi dengan angka penunjuk (dial) yang berfungsi
untuk mengatur besar kecil konsentrasi zat anestesi yang keluar. Anestetik volatil (spt halothan,
isoflurane, desflurane atau sevoflurane) harus diuapkan sebelum diberikan ke pasien. Vaporizer
mempunyai knob yang dikalibrasikan untuk konsentrasi yang secara tepat menambahkan anestetik
volatil ke campuran aliran gas dari seluruh flowmeter. Terletak antara flowmeter dan common gas
outlet. Lebih lanjut, kecuali mesin hanya bisa menampung satu vaporizer, semua mesin anestesi
harus mempunyai alat interlocking atau ekslusi untuk mencegah penggunaan lebih dari satu
vaporizer secara bersamaan.

3
Cara kerja penguapan vaporizer
Pada temperatur tertentu, melekul dari zat volatil dalam tempat tertutup akan berdistribusi dalam
fase cair dan gas. Molekul gas menghantam dinding kontainer, menciptakan tekanan uap dari zat
itu. Makin tinggi temperaturnya, makin tinggi kecendrungan molekul berubah dari cair ke gas, dan
makin tinggi tekanan uapnya. Penguapan memerlukan energi, yang didapat dari kehilangan panas
dari fase cair. Ketika penguapan berlangsung, temperatur zat cair turun dan tekanan uap menurun
hingga terdapat kalor yang dapat masuk ke sistem. Vaporizer memiliki ruangan dimana gas
pembawa akan larut bersama zat volatil.

Macam-macam vaporizer
1. Fluotec vaporizer
Ini termasuk vaporizer yang akurat, tetapi keakuratannya dipengaruhi oleh suhu, lamanya
penggunaan, jumlah obat halothane yang berefek didalamnya, dan aliran gas yang diberikan.
Semakin besar faktor-faktor yang mempengaruhi semakin besar konsentrasi uap yang dikeluarkan.
Selain dari pada itu ada sedikit perbedaan pada pengeluaran uap halothane jika gas yang dipakai
pendorong uap itu berbeda, yaitu jika yang dipakai oksigen saja, pada angka konsentrasi 0,5 1,0 %,
konsentrasi uap halothane yang keluar lebih tinggi sedikit dari angka itu dari pada kalau gas yang
dipakai itu nitrouse oxide 70 %, sedangkan pada angka 2, 3, dan 4 % pengeluaran uap halothane
lebih tinggi gas nitrous oxide 70 % dari pada oksigen. Ini adalah pengaruh dari kekentalan gas.
2. Goldman vaporizer
Ini adalah vaporizer sederhana yang tidak menggunakan kendali suhu, biasanya dipakai secara
selang seling dengan nitrous oxide-oksigen pada mesin Boyle atau mesin Walton dan Mc Kesson.
Selanjutnya vaporizer ini berkembang menjadi vaporizer Mark II.
3. Vaporizer copper kettle
Ini sebuah vaporizer yang sangat efesien yang dibuat pada tahun 1952. Pada vaporizer ini
digunakan alat pengukur atas berbagai aliran gas oksigen yang diberikan yang melewati cairan
halotan dan hasil campuran uap anestesi yang dikeluarkan dapat diketahui sesuai dengan hasil
pengukuran oleh vaporizer. Copper Kettle dapat digunakan untuk menguapkan eter, halothane,
trilene atau metoksifl
Vaporizer ketel tembaga tidak lagi digunakan secara klinis, bagaimanapun juga, mengerti cara
kerjanya akan memberikan pemahaman terhadap pemberian zat volatil. Diklasifikasikan sebagai
measured-flow vaporizer (atau flowmeter-controlled vaporizer). Didalam ketel tembaga, sejumlah
gas pembawa akan melewati zat anestetik yang dikontrol oleh flowmeter, Katup ini akan ditutup
ketika sirkuit vaporizer tidak dipakai. Tembaga digunakan sebagai bahan konstruksi karena sifat
spesifik panasnya. (Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 gr substansi sebesar 1oC) dan
konduktifitas termal yang baik (kecepatan konduktifitas panas melewati zat) membantu kemampuan
vaporizer untuk tetap pada temperatur yang konstan. Seluruh gas yang memasuki vaporizer
melawti cairan anestesi dan akan bercampur dengan uap. 1 ml cairan anestetik sama dengan 200
ml uap anestesi. Karena tekanan uap dari zat anestesi lebih besar dari yang tekanan parsial yang
dibutuhkan untuk anestesia, gas yang sudah bercampur akan meninggalkan ketel harus diencerkan
terlebih dahulu sebelum mencapai pasien.
Sebagai contoh , tekanan uap halotan adalah 243 mmHg pada 20oC, jadi konsentrasi halotan ketika
keluar dari ketel tembaga pada 1 atmosfer adalah 243/760, atau 32%. Jika 100ml oksigen
memasuki ketel, sekitar 150 ml gas akan keluar, yang sepertiganya adalah uap halotan. Sebagai
kontras, tekanan parsial yang hanya 7mmHg atau kurang dari 1% konsentrasi (7/760) pada 1

4
atmosfer yang dibutuhkan untuk anestesi. Untuk memberikan 1% konsentrasi halotan, 50 ml uapo
halotan dan 100ml gas pembawa yang meninggalkan ketel tembaga harus di encerkan dengan 4850
gas yang lain (5000-150 =4850). Setiap 100 ml oksigen yang melewati vaporizer halothan akan
memberikan konsentrasi halotan 1 % jika total aliran gas pada sirkuit pernafasan sebesar 5L/mnt.
Jadi, jika total aliran sudah ditetapkan, aliran melewati vaporizer akan menentukan konsentrasi akhir
dari zat anestesi. Isofluran mempunyai tekanan uap yang hampir sama. Jadi terdapat hubungan
yang sama antara aliran ketel tembaga, aliran gas total, dan konsentrasi zat anestetik.
Bagaimanapun juga, jika aliran gas total turun tanpa disengaja (cth. Kehabisan suplai nitrous oksida),
konsentrasi volatil anestetik akan naik dengan cepat ke tingkat yang berbahaya.
4. HALOX VAPORIZER
Vaporizer ini bekerja seperti vaporizer Copper Ketlle terbuat dari kaca. Disini digunakan alat
pengukur suhu sehingga dapat diketahui suhu dari halothane. Disini dibuat gambaran untuk
membaca berapa uap halothane yang keluar sesuai dengan suhu dan aliran gas yang diberikan, baik
oksigen maupun nitrous oxide.

5. DRAGER VAPORIZER
Ini adalah vaporizer dengan kompensasi suhu yang dapat mengeluarkan konsentrasi yang tetap
dan akurat pada aliran gas antara 0,3 12 lt/menit. Alat ini tidak terpengaruh oleh tekanan yang
ditimbulkan oleh ventilator, alat ini sangat akurat.
6. OXFORD MINIATUR VAPORIZER
Vaporizer ini dapat digunakan secara tersendiri atau digabungkan dengan mesin EMO inhaler
dengan konsentrasi 0-3,5 %
7. PENLON DRAWOVER VAPORIZER MARK II
Ini adalah vaporizer kompensasi suhu yang efesien pada aliran gas antara 4-14 lt/menit, dan dapat
memberikan konsentrasi 6 %.
8. BLEASE UNIVERSAL VAPORIZER
Ini merupakan perkembangan dari Garned Vaporizer yang dapat dipakai untuk semua anestesi
yang mudah menguap.
9. EMO draw over apparatus
EMO ( Epstein Mac-Intosh Oxford) inhaler khusus untuk obat inhalasi eter.

REGIONAL ANESTESI
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar syaraf
sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi epidural, spinal dan
kombinasi spinal epidural, spinal anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang
subarahnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural. ( Brunner &
suddarth, 2002 ).
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk
mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat
memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka
perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB dan komplikasi
yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi
penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal

5
ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan
berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubahubah
dengan mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat
jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan
glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik (Gwinnutt,
2011).

Anatomi
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
- 7 vertebra servikal - 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
- 12 vertebra thorakal - 4 vertebra kogsigeal(menyatu pada dewasa)
- 5 vertebra lumbal
Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror.
Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di daerah leher dan
lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama dengan otot pendukung
membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk
intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Dorsal,
ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan tambahan
stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui
ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang berdekatan (Morgan et.al
2006) .Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan menembus : kulit, subkutis,
ligament supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, durameter,
ruang subarahnoid. (Morgan et.al 2006)

Indikasi Spinal Anestesi (Yuswana, 2005)


a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya atau
pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi

Kontra indikasi Spinal Anestesi (Latief, 2001)


a. Absolut
1) Pasien menolak 6) Hipotensi, blok simpatik
2) Infeksi tempat suntikan menghilangkan mekanisme
3) Hipovolemik berat, syok kompensasi
4) Gangguan pembekuan darah, 7) Fasilitas resusitasi minimal atau
mendapat terapi antikoagulan tidak memadai
5) Tekanan intracranial yang
meninggi
b. Relatif (latief, 2001)
1) Infeksi sistemik (sepsis atau 3) Kelainan psikis
bakterimia) 4) Pembedahan dengan waktu lama
2) Kelainan neurologis 5) Penyakit jantung

6
6) Nyeri punggung 7) Anak-anak karena kurang
kooperatif dan takut rasa baal

Persiapan spinal Anestesi


Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi
umum, daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. (
Latief, 2001) Selain itu perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Izin dari pasien (Informed consent)
b. Pemeriksaan fisik. Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time) dan PTT (Partial
Thromboplastine Time).
d. Obat-obat Lokal Anesthesi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik Grafity) yaitu rasio
densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas cairan spinal pada suhu
370C. Barisitas penting diketahui karena menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian
blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas
dapat diartikan sebagai berat dalam gram dari 1ml cairan(gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas
berbanding terbalik dengan suhu(Gwinnutt, 2011).
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan menjadi tiga
golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada berat jenis
cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar
obat anestesi lokal benarbenar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah harus
1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5% (Gwinnutt, 2011).
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat jenis cairan
serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui
variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi
hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain, dibukain. (Gwinnutt, 2011).
3) Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan densitas cairan
serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka
obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar
deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% (Viscomi 2004).
Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan respon
endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di
minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang
pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).

Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2001)


a. Peralatan monitor
b. Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
c. Peralatan resusitasi / anestesi umum.

7
d. Jarum spinal
1. Prosudur spinal anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai dan pada
tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum
memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai
contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbka, cairan
preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk
anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).
Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif),
sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka
pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
a. Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi
mendekati perut, kepala ke arah dada.
b. Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-
pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
c. Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack
Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi
dengan doek bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter
jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran
punctureheadache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh,
likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili
meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Keuntungan dan kerugian spinal anestesi


Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah, sederhana, dan penggunaan alat
minim, non eksplosif karena tidak menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar, pasien
sadar saat pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak ada,
perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih segar atau tenang dibandingkan
anestesi umum.
Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk induksi dan waktu
pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang efektif block saraf sehingga pasien mungkin
membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada kemungkinan komplikasi
neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien
mendengar berbagai bunyi kegiatan operasi dalam ruangan operasi. (Morgan et.al 2006)

8
Komplikasi spinal anestesi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara, batuk kering yang
persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi urine dan kerusakan saraf permanen
(Bunner dan Suddart, 2002 ; Kristanto 1999).

Komplikasi pasca anestesi


Komplikasi anestesi adalah penyulit yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Penyulit dapat ditimbulkan belakangan
setelah pembedahan. Komplikasi anestesi dapat berakibat dengan kematian atau cacat menetap jika
todak terdeteksi dan ditolong segera dengan tepat. Kompliaksi kadang-kadang datangnya tidak
diduga kendatipun anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi anestesi tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Thalib, 1999).

Teknik Spinal Anestesi


1. Teknik Median (metode midline)
Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus dengan lantai. Ini untuk
memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel dengan lantai dan akan tetap pada posisi garis
tengah walaupun penusukan lebih dalam (Gambar 3). Processus spinosus vertebrae di lokasi yang
akan digunakan dipalpasi, dan akan menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan
dan menganestesi kulit seperti di atas, jarum dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah
processus vertebra mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke
arah cephalad. Jaringan sub kutan akan memberikan sedikit tahanan terhadap jarum. Setelah
dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan
terasa meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam. Jika terasa jarum
memnyentuh tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan
tulang pada tusukan yang lebih dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis tengah dan
menyentuh processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari garis tengah dan mengenai
lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali. Saat jarum menembus ligamentum
flavum, akan terasa tahanan yang meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural
dibedakan. Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum menembus
ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi
hingga menembus membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran
LCS. (Morganet.al 2006)
2. Teknik (metode) Paramedian
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke prosesus spinosus superior dari
tingkat yang ditentukan. Karena teknik lateral ini sebagian besar menembus ligamen interspinous
dan otot paraspinous, jarum akan menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak
tampak berada di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25 sudut ke arah garis
tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering kali lebih halus
dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang dangkal
dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian medial lamina yang
lebih rendah dan harus diarahkan terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang

9
yang ditemukanlebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral lamina yang lebih rendah
dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih ke arah garis tengah.(Morgan et.al 2006)

Isoflurane (FORANE)
Deskripsi
Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya cepat, tidak
iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran, Isoflurane berefek
bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat kompatibel dengan epineprin. Efek
penurunan tekanan darah sama besarnya dengan halotan, hanya berbeda dalam mekanisme
kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah, terutama dengan mendepresi miokardium dan
sedikit vasodilatasi. Ethrane menurunkan tekanan darah dengan mendepresi miokardium dan
vasodilatasi perifer. Isoflurane menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan
hampir tidak mendepresi miokardium.

Indikasi
Untuk inhalasi umum inhalasi baik sebagai induksi maupun maintenance anestesi.

Kontra Indikasi
Sangat sensitive terhadap obat anestesi halogen.
Diketahui atau dicurigai mudah mengalami demam yang hebat (malignant hyperthermia).
Pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat halogen lainnya dan terjadi ikterus atau
gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa pasca anestesi.
Kasus obstetric.
Nonselective MAO Inhibitor.

Farmakologi
Isofluran merupakan suatu eter metil etil berhalogenasi yang tidak menyala.
Mempunyai tekanan uap sekitar 238 mm Hg pada 20 C dan mendidih pada 48,5 C(760 mm
Hg tekanan atmofer). Dalam hal ini isoflurane serupa dengan anestetik volatil lainnya dan
dapat diberikan melalui vaporisator standar.
Memiliki MAC dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70 % oksida nitrosa sebesar 0,5
%.
Koefisien partisi darah/gas adalah 1,4. Kelarutan yang menengah dalam darah ini
dikombinasi dengan potensi yang tinggi berarti suatu induksi anestesia yang cepat.
Setelah pemberian 30 menit ratio konsentrasi alveoler terhadap konsentrasi yang diinspirasi
adalah 0,73.

10
Dosis
Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni, dan menjadi 0,5 % bila diberikan bersama Nitrous Oxide 70
% dalam oksigen. Isoflurane harus diberikan menggunakan vaporizar
MAC
KONSENTRASI OXYGEN KONSENTRASI N2O
UMUR 100 % 70 %

Bayi s/d 12 bulan 1,60 - 1,85 % 0,49 - 0,69 %


1 s/d 5 tahun 1,50 - 1,60 % 0,49 - 0,67 %
6 s/d 10 tahun 1,40 % 0,58 %
11 s/d 15 tahun 1,16 % 0,53 %
16 s/d 20 tahun 1,25 - 1,30 % 1,49 - 0,63 %
21 s/d 40 tahun 1,10 - 1,20 % 0,43 - 0,57 %
41 s/d 60 tahun 1,00 - 1,10 % 0,33 - 0,41 %

Premedikasi
Obat anticholinergis seperti sulfas atropin mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek
depresi pada sekresi saliva dan lendir saluran nafas, tapi mungkin meningkatkan efek isoflurane yang
lemah untuk meningkatkan denyut jantung.

Induksi
Isoflurane memiliki bau yang sedikit menyengat maka bila digunakan sebagai induksi
sebaiknya dimulai dengan konsentrasi 0,5%.
Konsentrasi 1,30 3,00 % biasanya akan membawa kedalam stadium anestesi pembedahan dalam
waktu 7 - 10 menit.
Dianjurkan agar induksi sebaiknya menggunakan obat barbiturat yang bekerja cepat dengan dosis
hipnosis atau propofol atau midazolam untuk menghindari terjadinya batuk dan spasme laring
selama induksi bila induksi hanya dengan isoflurane dan oxygen atau isoflurane dan nitrous oxide 70
%.
Tekanan darah mungkin sedikit menurun selama induksi tetapi hal ini akan kembali normal setelah
terjadi stimulasi pembedahan.

Maintanance
Stadium anestesi pembedahan dapat dipertahankan dengan memberikan konsentrasi
isoflurane diberikan hanya dengan oxigen 100 % atau dengan Nitrous Oxide kurang dari 70 %.maka
konsentrasinya ditambah 0,5 1,00 %, selama maintenance dapat terjadi penurunan tekanan darah
yang ada hubungan dengan kedalaman anestesi, semakin lebih dalam stadium anestesi semakin
besar penurunan tekanan darahnya.
Bila tidak ada faktor lain yang menyebabkan penurunan tekanan darah, terjadi hypotensi ini dalah
akibat dari terjadinya vasodilatasi perifer.
Kedalaman anestesi yang berlebihan dengan tanda-tanda penurunan tekanan darah yang banyak
dapat diatasi dengan menurunkan konsentrasi isoflurane.

11
Recovery
Konsentrasi isoflurane dapat dikurangi menjadi 0,5 % pada saat mulai penjahitan kulit luka
bedah, lalu 0 % pada akhir penjahitan luka bedah.
Bila digunakan obat pelemas otot dan efeknya masih ada maka harus dilakukan pemulihan fungsi
otot sehingga pasien bernafas spontan secara adekuat dan diberikan oxigen murni sampai kesadaran
pulih penuh.

Efek samping
Hypotensi, Depresi pernafasan, Arrythmia, Kenaikan leukosit, Menggigil, Rasa mual dan
muntah, Kenaikan denyut nadi yang ringan, Broncospasme, Gangguan fungsi hepar

Penatalaksanaan
Isoflurane harus disimpan dalam kamar dengan suhu 15 30 C. waktu kadaluarsa 5 tahun.

American Society of Anesthesiologists (ASA)


a. Penilaian Status Fisik Menurut ASA
Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu klasifikasi status
fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi.
Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status
lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian ditambahkan.
Kelas Status Fisik
Seorang pasien yang normal dan sehat, selain penyakit yang akan
ASA I
dioperasi.
ASA II Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang belum
ASA III
mengancam jiwa.
Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam
ASA IV
jiwa.
Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan dalam waktu 24 jam
dengan atau tanpa pembedahan, kategori ini meliputi penderita
ASA V yang sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang tidak
terkontrol, begitu juga penderita usia lanjutdengan penyakit
terminal.

b. Penilaian Tampakan Faring dengan Skor Mallampati


Dalam anestesi, skor Mallampati, juga Mallampati klasifikasi, digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu
didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial.

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade :
1. Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
2. Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak terlihat

12
3. Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
4. Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat

BARBITURAT
Anastesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tiada rasa sakit. Anastesi
digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan
nyeri (analgesik) serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi).
Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah dilakukan
sejah zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan opium secara oral. Tahun 1846, William
morton, di Boston, pertama kali menggunakan obat anastesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri
operasi. Pada tahun yang sama, Jame Simpson, di Skotlandia, menggunakan kloroform yang 20
tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era
tahun 1790. pada tahun 1930 an, dunia anastesi mulai mengenal anastesi modern dengan
pemberian obat-obat golongan barbiturat (tiopental) yang digunakan untuk efek hipnotik dan
sedatif yang diberikan secara intravena.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang
ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali
benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis
terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis, contohnya Barbiturat.

A. Deskripsi Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak
digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti
konvulsi yang masih banyak digunakan.
Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.
Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat
berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam
waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi
yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa
oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang
mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.

Pada SSP
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya.
Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps
GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai
mediator.
Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi
sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine,

13
namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis
tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.

Pada susunan saraf perifer


Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi
nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian
oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.

Pada pernafasan
Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian
barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik
menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh
langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk,
bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel
pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang.
Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah
hipoksia.

Pada Sistem Kardiovaskular


Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular.
Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian
barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara
mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia
sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.

Pada Saluran Cerna


Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya
sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang
waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi
barbiturat.

Pada Hati
Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati. Induksi
enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone
stroid, garam empedu, vitamin K dan D.

Pada Ginjal
Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada
keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.

B. Farmakokinetik
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam
darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta
mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta,

14
ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar.7
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian
secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam
plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan
fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada
kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital
diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada
manusia.
Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir
pada semua obat golongan barbiturat.

C. Indikasi
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya
tiopental dan fenobarbital.
1. Tiopental
Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
Sedasi pada analgesik regional
Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
2. Fenobarbital
Untuk menghilangkan ansietas
Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
Untuk sedatif dan hipnotik

D. Kontra Indikasi
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia,
penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu,
karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.

E. Efek Samping
Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat
terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat.
Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama
fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi.
idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri,
dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.

15
Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas
dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal
pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan
degeneratif hati.
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO
juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

F. Posologi
Tabel 1. Nama obat, Bentuk sediaan dan Dosis Hipnotik Sedatif
Nama obat Bentuk sediaan Dosis dewasa (mg) Sedatif Hipnotik
Amobarbital K,T,I,P 30-50 2-3xd 65-200
Aprobarbital E 40 3xd 40-160
Butabarbital K,T,E 15-30 3-4xd 50-100
Pentobarbital K,E,I,S 20 3-4xd 100
Sekobarbital K,T,I 30-50 3-4xd 50-200
fenobarbital K,T,E,I 15-40 2-3xd 100-320
Dimodifikasi dari Goodman and Gilman, 1990
Keterangan :
K : kapsul, E : eliksir, I : injeksi, L : larutan, P : bubuk, S : supositoria, T : tablet

G. Intoksikasi
Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada
anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat
umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital
adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma
letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi
barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.
Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan
kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu
setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan
bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala
intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali,
oligiuria dan anuria.

H. Pengobatan Intoksikasi
Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik
suportif yang umum.
Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24
jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab
barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan
obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci
lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon
(setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi
nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus
dimulai bila diindikasikan.
Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita
dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal
ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine

16
I. Interaksi Obat
Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan
susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan
dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat
anti depresan golongan trisiklik.

SYOK
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang mengakibatkan
hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia pada syok terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga
dapat timbul kerusakan ireversibel pada jaringan organ vital. Bila terjadi kondisi seperti ini penderita
meninggal dunia.
Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok
dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler, kegagalan
kuncup jantung, infeksi sistemik berat, reaksi imun yang berlebihan dan reaksi vasovagol. Dan syok
dapat terjadi setiap waktu pada penderita. Penanggulangan didasarkan pada diagnosis dini yang
tepat.

Definisi dan Penyebab Syok


Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan
ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme
homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan
homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan
keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-
menerus di unit terapi intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut :


1. Hipotensi : tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (Tekanan Arteri Rata-rata) kurang
dari 60 mmHg, atau menurun 30 % lebih.
2. Oliguria : produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang
jelek.

Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik dan syok anafilaksis.
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
seperti hematotoraks, ruptura limpa dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang
besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
a. Gastrointestinal : peritonitis, pankreatitis dan gastroenteritis
b. Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang
mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen
di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan

17
asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak
dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus
perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta
perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan
urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

B. Gejala dan Tanda Klinis


Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya
volume cairan yang hilang dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan
faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan
cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukup
besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga
dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah
lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk
mengenali tanda-tanda syok, yaitu :
Kulit dingin, pucat dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan
dengan berkurangnya perfusi jaringan.
Takhikardia : peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis
penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan.
Hipotensi : karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan
curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri
turun tidak di bawah 70 mHg.
Oliguria : produk urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang
dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya
tanda-tanda dehidrasi seperti :
(1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme
anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain
berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung
(decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis
metabolik, ketonuria) dan pada hidrasi berat.

Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar,
glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian
HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0-
7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4 % selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan
2/2 x berat badan x kelebihan basa.

A. Resusitasi Cairan
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk
mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang
hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan

18
keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler.
Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.
Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) Osmotik
(mOsm/L)
Ringer Laktat 130 4 190 3 28* 273
Ringer Asetat 130 4 109 3 28: 273
NaCl 0,9 % 154 - 154 - - 308
*Sebagai laktat : Sebagai asetat

Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat
dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai.
Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20
ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah dan bila perlu Cross test. Perdarahan
berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan
pengganti yang terbaik adalah transfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan
darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus
diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan
akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau
cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis dan
pankreatitis akuta.

C. Pemilihan Cairan Intravena


Pemilihan cairan intravena sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parerenteral telah dikembangkan menurut
kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Tetapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu
aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer
Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi
cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam
sesudah cedera luka bakar.

Larutan parerental pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid dan darah.
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain
mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping.
Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga
pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik,
hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan
cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45 %
dalam larutan Dextrose 5 % digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensibel.

19
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama
adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh
jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan
resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan
asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan
akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.

HALOTAN

A. PENDAHULUAN
Kata anestesi menggambarkan suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara. Anestesi
dibagi menjadi dua golongan besar yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada anestesi umum,
hilangnya rasa sakit pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Sedangkan pada anestesi lokal, hilangnya rasa sakit hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai
hilangnya kesadaran.
Anesthesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler, subkutan, per-
oral, per-rektal. Anestesi lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi, field block, blok saraf tepi,
intravena (Biers technique), caudal, epidural dan spinal analgesi.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang bersifat heterogen, yang
mendepresi system saraf pusat ( SSP ) secara reversible dengan spectrum yang hampir sama dan
dapat dikontrol.
Sifat sifat anestetik umum yang ideal adalah :
Bekerja cepat, induksi dan pemulihan baik
Cepat mencapai anestesi yang dalam
Batas keamanan baik
Tidak bersifat toksik
Tujuan pemberian obat obatan anestesi adalah untuk menghilangkan nyeri, memblokir
reaksi reflek pada proses pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot ( relaksasi )
Obat obatan anestesi yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara
keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika,
analgetika dan relaksansia otot.

B. ANESTHESI UMUM SECARA INHALASI


1. Pengertian
Obat obatan inhalasi diberikan sebagai uap melalui saluran nafas. Keuntungannya adalah
absorpsi yang cepat melalui paru paru. Pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu setiap waktu
dapat dihentikan. Obat anestesi inhalasi umumnya digunakan untuk memelihara anestesi.
Suatu anestetik inhalasi disebut ideal bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Tidak toksik pada organ
Efek samping kardiovaskular dan respirasi minimal

20
Efek pada system saraf pusat reversible tanpa efek simultant
Efektif pada oksigen konsentrasi tinggi
Dapat digunakan pada vaporizer standar

Obat anestesi yang diberikan akan masuk kedalam sirkulasi darah yang selanjutnya
menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak vaskularisasinya
yaitu otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi
dipengaruhi oleh respirasi, sirkulasi dan sifat fisik obat itu sendiri. Pada pemberian anestesi perlu
diperhatikan efek obat terhadap organ-organ vital, seperti jantung, hepar, paru dan ginjal.
Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk gas dan berbentuk cair yang melalui alat penguap
akan diubah menjadi gas. Obat obatan anestesi yang diberikan secara inhalasi antara lain N2O (
Nitrouse Oxide ), halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.

2. Jenis Obat
a. Halothane (Fluothane)
1) Deskripsi
Halothane dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951, merupakan zat anestesi
yang sangat poten dan tidak berwarna, dapat meningkatkan tekanan intra kranial serta dapat
menyebabkan relaksasi uterus. Halothane dapat menimbulkan terjadinya halothane hepatitis,
terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek (pemberian berkali-kali dalam jangka
waktu pendek). Induksi dan pemulihan cepat tidak menyebabkan iritasi, tidak mengakibatkan mual,
dan berefek bronchodilator. Mendepresi jantung, menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi
miokard bila ada epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil
metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluoracetat, gas chlorodifluoroetilen serta
chlorotrifluoroetilen.
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarna yang mudah
menguap dan berbau harum.
2) Indikasi
Untuk induksi anestesi dan maintenance pada anak-anak dan dewasa bersama-sama dengan
oxygen atau nitrous oxide 70%-oxygen.

3) Farmakologi
System Cardiovascular
1. Menurunkan tekanan arteri
2. Menimbulkan depresi langsung pada miocardium
3. Melebarkan pembuluh darah dalam otot otot dan juga arteri coronaria
4. Blokade ganglion simpatikus
5. Depresi pusat vasomotor
6. Menimbulkan bradikardi yang mengakibatkan penurunan cardiac output
7. Menimbulkan hambatan pada baroreseptor
Hal diatas dapat menimbulkan hipotensi yang diperparah oleh :

21
a. Obat-obatan ganglion blocker
b. Perubahan posisi tidur dimana tubuh bagian atas lebih tinggi dari bagian kaki (postural
hipotention)
c. Kehilangan darah
d. Pelepasan cathecolamin

Gangguan irama denyut jantung :


1. Sifat mudah dirangsang dari miocardium menjadi meningkat :
Timbul ventrikuler extrasistole, ventrikel tachicardi dan bahkan ventrikuler fibrilasi.
Faktor faktor yang menambah kemungkinan terjadinya gangguan irama denyut jantung termasuk :
Retensi CO2
rangsangan rasa sakit pada stadium anestesi yang ringan,
penyuntikan atropin dan adrenalin.
Pernah terjadi cardiac arrest setelah pemberian infiltrasi adrenalin pada anestesi halothane.
Pemberian adrenalin yang cukup aman ialah jika adrenalin diberikan dalalm konsentrasi 1 : 100.000
dan dosis nya 10 ml diberikan dalam jangka waktu 10 menit secara infiltrasi dan tidak melebihi 30 ml
dalam waktu 1 jam.

2. Bradicardi yang mungkin disertai dengan hipotensi.


Atropin yang diberikan secara intravena dapat meningkatkan denyutan jantung dan menimbulkan
kenaikan tekanan darah, tapi pemberiannya harus secara pelan- pelan karena bila terlalu cepat
justru akan menyebabkan ventrikuler disritmia.
Sistem Pencernaan
Kelenjar liur, kelenjar lendir, dan cairan lambung tidak mengalami rangsangan oleh halothane.
Gerakan peristaltik usus dihambat oleh halothane, tapi terjadinya rasa mual dan muntah pada masa
pasca anestesi kadang-kadang hebat.
Susunan Syaraf Pusat
Halothane menimbulkan anestesi yang kuat pada SSP, tapi bila diberikan dalam konsentrasi
rendah daya analgesiknya rendah. Halothane meningkatkan aliran darah dalam otak dan
meningkatkan tekanan cairan cerebrospinalis.
Sistem Pernafasan
Halothane menimbulkan depresi pernafasan. Frekuensi pernafasan bertambah tapi volumenya
menurun. Bila induksi dilakukan dengan halothane dan udara biasa, tanpa oxygen, maka dapat
terjadi gangguan saturasi oxygen akibat dari hypoventilasi dan harus dilakukan nafas buatan. Untuk
mendapatkan tekanan oxygen dalam arteri yang cukup hendaknya halothane diberikan bersama
oxygen 35% atau lebih. Halothane menimbulkan pelebaran pada bronchus sebagai akibat dari
blokade pada refleks bronkhokonstriksi.
Halothane tidak merangsang pada bronkhus dan refleks pharink dan laring dengan cepat
menghilang. Sekresi lendir saluran nafas tidak terangsang.
Sistem Otot

22
Relaksasi otot perut dapat dicapai dengan stadium yang cukup dalam dan otot yang pertama
mengalami relaksasi adalah otot masester pada mulut sehingga hal ini memudahkan tindakan
laringoskopy.
Uterus
Halothane dapat menimbulkan atonia uteri dan pendarahan post partum jika digunakan dalam
kasus obstetrik.
Hal ini membahayakan dan jangan menggunakan halothane dalam kasus obstetrik, namun untuk
tindakan versi extraksi halothane sangat memuaskan.
Halothane, walaupun diberikan hanya dalam konsentrasi 0,5% dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak pada tindakan curretage uterus, bahkan sewaktu diberikan oxytocin sekalipun.
Liver
Pada tahun 1958 pernah dilaporkan terjadinya nekrosis liver yang hebat setelah pemberian
anestesi inhalasi, juga dapat terjadi halothane hepatitis subklinis.
Setelah dilakukan penelitian retrospektif oleh American National Academy of Sciences pada tahun
1964, maka disimpulkan bahwa terjadinya kegagalan fungsi hepar akibat halothane itu tidak jauh
berbeda dengan yang ditimbulkan oleh obat anestesi halogen yang lain, dan pasien dengan penyakit
saluran empedu itu bukan pasien yang mudah mendapat gangguan seperti ini.
Namun demikian, pandangan yang paling baru terhadap masalah ini adalah bahwa ada pengaruh
dari halothane yang menyebabkan terjadinya halothane-hepatitis.
Terjadinya ikterus yang sehubungan dengan anestesi halothane adalah hepatocellular. Para ahli
sepakat untuk tidak memberikan anestesi halothane secara berulang sebelum lewat 28 hari, dan bila
ditemukan ikterus pasca anestesi halothane, hal ini dianggap sebagai kontraindikasi untuk waktu
yang akan datang.
Beberapa teori dari mekanisme terjadinya halothane-hepatitis yaitu :
1. Oxidase metabolit halothane dapat mempengaruhi antigenitas dari membran hepatocyte,
yang mengakibatkan rusaknya immunology antibody.
2. Faktor genetic dapat mempengaruhi produksi antibody.
3. Produk dari metabolisme reduktif dapat menimbulkan keracunan langsung.

Sensitif silang antara halothane dengan obat anestesi halogen yang lain juga dapat terjadi.
Ketidakmurnian halothane juga bisa terjadi dengan terbentuknya dichlorohexafluorobutene sampai
0,03% dalam vaporizer dan hal ini toxic untuk liver dan ginjal.
Fungsi Ginjal
Halothane akan menurunkan aliran darah ke ginjal dan menurunkan filtrasi glomerolus sehingga
produksi urine menurun, ini semua akibat dari hypotensi yang terjadi oleh pengaruh halothane.

METABOLISME DARI HALOTHANE


Suatu percobaan pada tikus yang diberi suntikan halothane secara intravena menunjukkan
terjadinya penumpukan halothane dalam liver. Pada penyuntikan ulangan ditemukan peningkatan
yang cepat dari konsentarsi halothane dalam liver, hal ini menujukkan terjadinya rangsangan dari
sistem induksi enzym. Kenyataan yang terjadi pada manusia adalah metabolisme enzym terjadi

23
dengan terbentuknya trifluoracetylethanolamide-chlorobromodofluoroethylene, bromide, chloride
dan trifluoroacetic acid dalam urine. Yang terakhir ini merupakan hasil metabolisme oxidasi utama
dari halothane dan relatif non toksik. Motabolit akan dikeluarkan dari tubuh dalam waktu yang
lambat, sampai 3 minggu baru bisa terbebas.

EFEK HORMONAL
Terjadi peningkatan kadar hormon pertumbuhan di dalam plasma selama anestesi dengan
halothane, respon adrenocortical muncul melalui rangsangan kelenjar pituitrin anterior. Serum
thyroxine juga meningkat, tetapi hormon thyroid stimulating dari pituitrin tidak meningkat, tetapi
sensitifitas pasien terhadap insulin itu meningkat, maka bila ada pasien diabetes yang mendapat
insulin menjalani anestesi dengan halothane harus hati-hati karena dapat terjadi hypoglicaemia yang
hebat.

KEUNTUNGAN
1. Induksi cepat dan halus
2. Tidak iritasi pada saluran nafas
3. Dapat menimbulkan pelebaran bronkhus
4. Menimbulkan vasodilatasi
5. Recovery relatif cepat
KERUGIAN
1. Obat ini sangat kuat sehingga mudah terjadi over dosis
2. Daya analgesiknya rendah
3. Dapat menimbulkan relaksasi uterus dan resiko perdarahan yang hebat pada kasus-kasus
obstetrik
4. Menimbulkan hypotensi, yang mungkin tak diduga menjadi berat
5. Dapat menimbulkan dysrhethmia jantung
6. Dapat menimbulkan menggigil pasca anestesi yang kadang-kadang menjadi hebat
7. Kemungkinan toksis pada liver terutama pada pemberian berulang

4) Dosis
Induksi
Induksi diberikan bersama oxygen atau nitrous oxide70%-oxygen mulaidari konsentrasi 0,5% dan
secara bertahap dinaikkan sampai konsentrasi 2-4%. (terutama pada anak-anak).
Alternatif lain dapat diberikan obat barbiturat yang bekerja cepat dengan dosis hypnosis secara
intravena, tetepi penyuntikan dilakukan secara perlahan-lahan karena efek depresi pada system
cardiovaskuler dan pernafasan dari obat ini menjadi lebih kuat bila diberikan terlalu cepat, atau obat
anestesi intravena yang lain, dan kemudian dilanjutkan dengan inhalasi halothane-oxygen atau
halothane N2O 70%-oxygen dengan konsentrasi sampai 2-4%.
Maintenance
Untuk mempertahankan stadium anestesi bedah konsentrasi halothane diturunkan menjadi 0,5 -
2,0% bersama oxygen atau N2O 70%.

24
5) Efek samping
Recovery
Recovery dari anestesi dengan halothane terjadi cukup cepat. Terjadinya rasa mual dan
muntah pada masa pasca bedah / anestesi kadang-kadang hebat, maka harus dilakukan pengawasan
dan perawatan yang seksama untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat muntah (umpamanya :
aspirasi ), terutama pada pasien yang waktu puasa pra bedah tidak cukup, kurang dari 8 jam
(dewasa), seperti pada kasus bedah akut.
Selain daripada itu pengamatan atau monitoring harus dilakukan sesuai standar monitoring.
Terjadinya menggigil pada masa pasca bedah sering terjadi pada anestesia dengan
halothane. Ini ada hubungannya dengan meningkatnya tonus otot secara menyeluruh baik yang
bersifat sementara atau menetap.
Seringkali hal ini juga ada hubungannya dengan turunnya suhu badan pasien selama pembedahan.
Untuk mencegah hal ini dapat diberikan uap hangat ke dalam sirkuit pernafasan selama
pembedahan.

6) Penatalaksanaan
Penggunaan Bersama Obat Pelemas Otot
Bila obat pelemas otot yang diberikan itu mempunyai efek blokade pada ganglion maka
penggunaanya bersama halothane harus dipertimbangkan karena akan memperberat efek
hypotensi. Obat pelemas otot Pancuronium cukup baik digunakan bersama halothane. Halothane
dapat melawan efek dari suxamethonium, tetapi secara klinis hal ini tidak penting.
Cara Pemberian
Halothane sebaiknya diberikan bersama oxygen atau nitrous oxide 70%-oxygen dan
sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar dihasilkan
konsentrasi uap yang akurat dan mudah dikendalikan, meskipun banyak jenis vaporizer yang dapat
digunakan untuk halothane sesuai system dan teknik anestesi yang digunakan.
Premedikasi
Karena halothane menimbulkan depresi pernafasan maka pemberian obat analgesik opium jangan
digunakan untuk premedikasi, kecuali akan dilakukan teknik pengendalian pernafasan selama
anestesi.
Pemberian atgropine bukan untuk mencegah sekresi lendir dan salivasi tetapi bermanfaat untuk
mencegah terjadinya bradicardi dan penurunan cardiac output selama anestesi.
Bila akan diberikan obat pelemas otot sebaiknya dipilih obat yang tidak menimbulkan blokade pada
ganglion.
Tergantung dari system dan teknik anestesi yang akan digunakan, maka pemberian halothane itu
dapat dilakukan seperti berikut :
High Gas Flow System
Sistem ini menimbulkan penghamburan halothane dan polusi ruangan dengan uap halothane,
namun banyak praktisi yang menyukai system ini karena diangap lebih aman daripada system semi

25
closed atau closed system, karena konsentrasi halothane yang diberikan itu sama seperti yang
ditunjuk dalam vaporizer.
- Karena halothane memiliki daya anestesi yang kuat maka kedalaman anestesi dapat
dicapai secara cepat dengan halothane.
- Karena halothane memiliki daya analgesik yang rendah maka mungkin diperlukan
tambahan obat analgesik secara suntikan.
Low Gas Flow System dengan Rebreathing
Halothane dapat diberikan dengan system to-and-fro atau system circle absorbtion baik semi-
closed maupun closed system.
Para Praktisi telah melakukan teknik ini dengan memberikan aliran oxygen murni 1 liter/menit
dengan konsentrasi halothane 2 3 % itu memberikan hasil yang memuaskan untuk maintenance
anestesi. Cara ini lebih ekonomis dan tidak menimbulkan polusi.

Sevoflurane
1) Deskripsi
Adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan yang mudah menguap,berbau harum, dan
tidak mudah terbakar.
Sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam
darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi
berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan
berjalan dengan cepat.
Dibandingkan dengan Desfluran, Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05).
Desfluran mempunyai kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan
Desfluran, maka obat anestesi inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah Sevofluran.
Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian iritasi saluran nafas
serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi inhalasi (baik untuk pediatrik atau
dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas, spasme laring, eksitasi lebih rendah
daripada halotan, sehingga VIMA dengan Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan
halotan.
Bangun dari anestesi, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih cepat dengan
sevofluran dari pada dengan halotan. Sevofluran mendepresi SSP, kardiovaskuler dan respirasi
paralel dengan isofluran.
Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik pada
ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia. Aman digunakan untuk operasi bedah
saraf, pasien dengan kelainan serebral, bedah Caesar, pasien dengan risiko miokardial iskhemia,
penyakit hepar, penyakit ginjal.

26
2) Indikasi
Digunakan untuk induksi dan maintenance pada anestesi umum.

3) Kontra Indikasi
a. pasien yang diketahui sensitive terhadap sevoflurane
b. pasien yang diketahui atau dicurigai secara genetik mudah menderita demam yang hebat
(malignant hipertrofi )
c. pasien dengan hipovolemia yang berat
d. pasien dengan hipertensi intracranial

4) Farmakologi
Sevoflurane merupakan suatu eter isopropil berflourinasi yang tidak menyala. Mempunyai
tekanan uap sekitar 162 mm Hg pada 20 C dan mendidih pada 56,5 C, dalam hal ini sevofluran
serupa dengan anestertik volatil lainnya dan diberikan melaui vaporisator standar.kurang poten
dibanding isofluran dengan MAC dalam oksigen sebesar 0,66 %.
Koefisian partisi darah / gas pada 37 C adalah 0,59, kelarutan yang menengah dalam darah ini
menimbulkan induksi anestesia yang cepat. Sevoflurane kurang bersifat iritan terhadap saluran
pernafasan bagian atas dibanding desfluran, pada induksi menyebabkan lebih sedikit batuk dan
laringospasme. Setelah pemberian 30 menit, ratio konsentrasi alveolar terhadap konsentrasi yang
diinspirasi adalah 0,85 dibandingkan dengan 0,99 untuk oksida nitrosa dan 0,73 untuk isoflurane.

5) Dosis
Sevoflurane harus diberikan dengan menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk
sevoflurane agar konsentrasi yang dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan.
a. Dosis untuk premedikasi
Premedikasi harus dipilih dan dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan pasien.
b. Dosis untuk induksi
Sevoflurane dapat diberikan pada anak atau orang dewasa dengan dosis disesuakan dengan individu
pasien Baik dari segi umur maupun status fisik pasien,alternatif lain bisa dengan pemberian obat
barbiturat yang bekerja cepat atau obat intravena lain kemudian dilanjutkan dengan inhalasi
sevoflurane,jika induksi langsung diberikan dengan sevoflurane maka dapat dilakukan dengan
campuran oxygen saja atau dengan campuran oxygen dan N2O, pada pasien dewasa yang diberi
sevoflurane sampai 5% akan masuk pada stadium bedah dalam waktu 2 menit, sedang pada anak
anak sevoflurane dengan konsentrasi 7% akan masuk ke stadium bedah dalam waktu kurang dari 2
menit sedangkan pasien yang tidak mendapat premedikasi dapat diberikan sevoflurane untuk
induksi sampai 8 %.
c. Dosis untuk maintenance
Setelah dicapai stadium bedah konsentrasi sevoflurane diturunkan untuk mempertahankan stadium
anestesi,dengan konsentrasi antara 0,5 3,00 % dalam oxygen dan N2O.

6) Efek samping

27
Dapat menimbulkan depresi system cardiovaskuler dan respirasi seperti obat-obatan
anestesi halogen yang lain.
Menimbulkan rasa mual dan muntah pada masa pasca bedah/anestesi sama seperti obat
anestesi inhalasi lain.
Pada anak-anak sering terjadi hypotensi.
Pada orang tua dapat terjadi hypotensi dan bradikardi.
Dapat terjadi tetapi jarang: somnolen, menggigil, rasa pusing, bradikardi, salivasi
meningkat, gangguan respirasi, hypertensi tachycardia, laringismus, demam, sakit kepala,
hypothermia.
Terjadi kadang-kadang : arrhythmia, peningkatan LDH, peningkatan SGPT, hypoxia, apnoe,
leukositosis, ventriculer extrasystole, supraventricular extrasystole, asthma, retensio urinae,
peningkatan creatinin, glycosuria, atrial fibrilasi, AV Block, begeminus, leukopeni.
Dapat terjadi tetapi sangat jarang : kejang-kejang terutama pada anak-anak. Juga
terjadinya melignant hyperthermia dan kegagalan fungsi ginjal akut.

7) Penatalaksanaan
Kedalaman anestesi berubah dengan cepat , segera setelah ditingkatkanya konsentrasi uap yang
dihirup oleh pasien.hilangnya kesadaran dapat dicapai dalam 5 kali tarikan nafas tunggal dengan
induksi sevoflurane sebanyak 2%, kelarutan darah / gas yang rendah (0,68) menghasilkan induksi
dan recovery yang cepat, karena bau yang enak maka jadi pilihan induksi untuk pasien anak dan
dewasa.

Obat Pelumpuh Otot

I. Latar Belakang
Sebelum ditemukan obat penawar pelumpuh otot, penggunaan obat pelumpuhotot sangat
terbatas. Sejak ditemukan obat penawar pelupuh otot dan opioid, maka penggunaan pelupuh otot
dan opioid hampir rutin. Anestesi tidak perlu dalam, hanya sekedar pasien tidak sadar, analgesik
dapat diberikan dosis tinggi, dan pemberian obat pelumpuh otot dapat memberikan efek relaksasi
pada otot lurik. Ketiga kombinasi ini dikenal dengan istilah trias anestesi the triad of anesthesia.

II. Definisi
Obat pelumpuh otot merupakan obat yang di gunakan untuk melemaskan atau
merileksasikan otot. Obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestesi, tetapi obat ini sangat
membantu dalam membantu pelaksanaan anestesi umum, antara lain memudahkan dan
mengurangi cidera tindakan laringoskopi dab intubasi trakea serta memberikan relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.

III. Fisiologi Transmisi Syaraf Otot.


Transmisi rangsang syaraf ke otot terjadi melalui hubungan syaraf otot. Hubungan ini terdiri
atas bagian ujung syaraf motor yang tidak brtlapis mielin dan membran otot. Ujung syraf motor

28
merupakan gudang pesendian kalsium, vesikel atau asetil kolin, mitokondria, dan retikulum
endoplasmik. Pada membran otot terdapat reseptor asetilkolin.
Asetilkolin merupakan bahan perangsang syaraf (neurotransmiter) yang dibuat dalam ujung
syaraf motor dan disimpan dalam kantong atau gudang yang disebut vesikel.Ada 3 bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, cadangan belum siap pakai, dan bentuk siap pakai. Faktor faktor
yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin adalah kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenasi, suhu,
analgetik lokal, antibiotik golongan aminoglikosida.
Potensial membran ujung syaraf motor terjadi karena membran bersifat permiabel terhadap
ion kalium ekstrasel dari pada natrium. Pada saat pelepasan asetilkolin (transmiter saraf) yang dipicu
oleh kalsium, membran tersebut menjadi lebih permiabel terhadap ion natrium dan kalsium
sehingga kalsium dan natrium masuk sedangkan kalium keluar sel, maka terjadi reaksi depolarisasi.
Bila depolarisasi ini cukup kuat maka akan diikuti oleh kontraksi otot. Setelah itu akan terjadi
repolarisasi membran ujung syataf motor karena kerja asetilkolin cepat di hidrolisis oleh asetilkolin-
esterase menjadi asetil dan kolin.

IV. Obat Pelumpuh Otot Ada 2 Jenis, yaitu:


1. Depolarisasi
Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya
kehilangan tespon berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Pulihnya fugsi syaraf otot sangar
tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase.

2. Hambatan Kompetisi Atau Blok Non Depolarisasi


Terjadi karena aseptor asetilkolon diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh otot non
depolarisasi sehingga prses depolarisasi membran otot tidak terjadi dan otot menjadi
lumpuh(lemas). Pemulihan fungsi syaraf oror kembali jika molekul obat yang menduduki teseptor
asetikolin telah berkutang, antaralain terjadi karena terjadi karena eliminasi dan atau distribusi.
Pemulihan dapat lebih cepat dibantu dengan memberikan obat antikolineseterase (neostigmin) yang
menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.

Hambatan Lain
a. Hambatan fase II atau blok desentisisasi/bifasik (blok ganda).
Disebabkan karena pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi yang berulang-ulang
sehingga fase I (depolarisasi ) membran berubah menjadi fase II (non depolarisasi ). Mekanisme
perubahan ini belum diketahui. Pemberian suksinil kolin hingga dosis 500 mg daat
menyebabkanhambatan fase II. Hambatan ini tidak dapat diatasi dengan memberokan obat
antikolinesterase.
b. Hambatan campuran
Terjadi karena memberikan penyuntikan obat pelumpuh otot depolarisasi dan non
depolarisasi dilakukan secara simultan.

29
V. Jenis-Jenis Obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan susunan molekul maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokur arin, metokurarin,atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, piekuronium, ropakuronium, roluronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin :alkuronium.

Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi :


Jenis obat Dosis awal Dosis rumatan Durasi Efek samping
(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Nondepol long-acting:
1. D-tubokurarin 0.40-0.60 0.10 30-60 Histamin +, hipotensi,
(tubarin) 0.08-0.12 0.15-0.020 30-60 natural
2. Pankuronium 0.20-0.40 0.05 40-60 Vagolitik, takikardi,
3. Metakurin 0.05-0.12 0.01-0.015 40-60 tensi >
4. Pipekuronium 0.02-0.08 0.005-0.010 45-60 Histamin -, hipotensi
5. Doksakurium 0.15-0.30 0.05 40-60 Kardiovaskuler stabil
6. Alkurium(alloferin) Kardiovaskuler stabil
Vagolitik, takikardi
Nondepolintermediate
acting:
1. Gallamin (flaxedil) 4-6 0.5 30-60 Histamin +, hipotensi
2. Atrakurium 0.5-0.6 0.1 20-45 Aman untuk hepar dan
(tracrium) 0.1-0.2 0.015-0.02 25-45 ginjal
3. Vekuronium 0.6-1.0 0.10-0.15 30-60
(norcuron) 0.15-0.20 0.02 30-45
4. Rokuroniuim Isomer atrakurium
(esmeron)
5. Cistacuronium
Nondepol short-
acting: 0.20-0.25 0.05 10-15 Histamin +, hipotensi
1. Mivakurium 1.5-2.0 0.3-0.5 15-30
(mivacron)
2. Repokuronium
Depol short-acting:
1. Suksinilkolin 1.0 3-10 Lihat teks
(scolin)
2. Dekametonium

30
Pilihan pelumpuh otot
Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
Gangguan faal hati : atrakurium
Miestenia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
Bedah singkat : atrakurium, rokkuronium, mivakuronium
Kasus obstetri : semua dapat digunakan kecuali gallamin

Tanda kekurangan pelumpuh otot :


Cegukan (hiccup)
Dinding perut kaku
Ada tahanan pada inflasi paru

Ciri kelumpuhan otot non depolarisasi dan depolarisasi


1. Non depolarisasi
Tidak ada fesikulasi otot
Berpotensi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhilasi eter, halotan, enfluran,
isofluran.
Menunjukan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik.
Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2. Depolarisasi
Fasikuklasi otot ada.
Berpotensi dengan antikolinesterase.
Kelumpuhan berkurang dengan menberikan obat pelumpuh otot non depolarisasi, dan
asidosis.
Tidak menunjukan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik.
Belum dapat diatasi dengan obat spesifik.

Obat - Obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi


1. Tubokurarin klorida (Kurarin).
Penggunaan : relaksasi otot
Farmakologi :
Merupakan obat penyekat neuromuskuler non depolarisasi aksi menengah. Obat ini
berkompetisi untuk resoptor kolinergik pada lempeng akhir motorik. Hipotensi yang berkaitan
dengan dosis klinis merupakan akibat sekunder dari blokade ganglion otonomik dan pelepasan
histamin. Dosis yang berulang dapat mempunyai efek komulatif.
Farmakokinetik :
Awitan aksi: kurang dari 2 menit
Efek puncak: 2-6 menit
Lama aksi: 25-90 menit

31
Interaksi/toksisitas: efek dipotensiasi oleh anestetik volatil, antibiotik aminoglikosid, anestetik lokal,
diuretik, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion, asidosis respiratorius, hipokalemia;
peningakatan blokade neuromuskuler akan terjadi pada pasien dengan miastenia gravis atau fungsi
adrenokorteks yang tidak adekuat; efeknya diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase seperti
noestigmin, endrofoniuim, dan piridostigmin; restistensi pada pemakaian bersamaan dengan
penitoin dan pada pasien dengan cidera bakar dan paresis; dosis prapengobatan dari d-tubokurarin
menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan memperpendek lamanya blokade
neuromuskuler suksinilkolin; dosis prapengobatan menutunkan waktu awitan blokde maksimal
sampai dengan sekitar 30 60 detik; peningkatan resistensi atau reversi dari efek pada penggunaan
teofulin dan pada pasien dengan cedera bakar dan paresis; mengurangi kebutuhan MAC untuk
anestetik volatil.
Dosis : intubasi : i.v. 0,3 0,6 mg/kg
Pemeliharaan : i.v. 0,05 0,3 mg/kg (10% - 50% dari dosis intubasi).
Infus : 1 6 g/kg/menit.
Prapengobatan : i.v. 10% dari dosis intubasi yang diberikan 3 5 menit sebelum
dosis relaksan depolarisasi/ nondepolarisasi.
Cara pemberian : terutama melalui i.v., kadang-kadang i.m.
Eliminasi : Ekskresi terutama melaui ginjal dan sebagian melaui hepar.
Kemasan : suntikan, 3 mg /ml
Penyimpanan : suhu kamar (150 - 300 C). Jangan biarekan membeku.
Pengencceran untuk infus: 15 mg dalam 100 ml D5W (0,15 mg/ml).
Pedoman/peringatan:
Pantau respon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat asthma bronchial dan reaksi
anafilaktoid.
Efek reversi dengan antikoliesterase seperti piridostigmin bromida, neostigmin, atau
edrofuniom bersamaan dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkat blokade neuromuskuler yang cukup
untuk menyebabkan hipoventilasi pada beberapa pasien.

Reaksi samping utama:


Kardiovaskuler : hipotensi, vaso dilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus.
Pulmoner : hipoventilasi, apnoe, bronchospasme, laringospasme, dispnoe.
Muskulus skeletal : blok tidak adekuat, blok diperpanjang.
Dermatologik : ruam, urtikaria.

2. Galamin (Flaxedil)
Penggunaan : relaksaan otot non depolarisasi
Farmakologi :
Lama kerja obat berkisar 15-20 menit. Mula kerja sangat berhubungan dengan aliran darah
otot. Mempunyai efek yang lenah terhadap ganglion syaraf dan tidak menyebabkan pelepasan

32
histamin. Memiliki sifat seperti atropin yang menyebabkan takikardi walaupun pada dosis kecil
(20mg). Karena itu glamin cukup baik dipakai bersama dengan halotan. Kenaikan tekanan darah
dapat terjadi, tetapi ringan. Galamin dapat menembus sawar utero plasenta tetapi tidak sampai
mempengaruhi kontraksoi uterus.
Faramakokinetik:
Awitan aksi : 1 - 2 menit
Efek puncak : 3 - 5 menit
Lama aksi : 25 90 menit
Interaksi/toksisitas: efek dipotensiasi oleh prapemberian soksinilkolin, anastetik volatil, antibiotik
haminoglikosida, anestetik lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion,
hipotermia, hipokalemia, dam asidosis respiratoriuas; blokade neuromuskuler yang ditingkatan akan
terjadi pada pasien dengan miastenia gravis ataiu fungsi adrenokorteks yang tidak adekuat; efek
diantagonis oleh inhibitor antikolinerterase seperti noestigmin, edrofonium, dan piridostigmin; dosis
prapengobatan dari gelamin menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan
memperpendek lamanya blokade noeuromuskuler dari suksinilkolin; dosis prapengobatan
menurunka waktu awitan dari blokde maksimal sekitar 30 60 detik; peningkatan tahanan atau
reversi efek pada penggunaan teofilin dan pasien dengan cidera bakar dan paresis.
Eliminasi : Ekskreasi terutama melaui ginjal dan sebagian melaui empedu.
Dosis:
Intubasi : i.v. 1 1,5 mg/kg
Pemeliharaan : i.v. 0,1 0,75 mg/kg (10% - 50% dari dosis intubasi )
Prapengobatan : i.v. 10% dari dosis intubasi diberikan 3 5 menit sebelum dosis relaksan
depolarisasi / nondepolarisasi.
Kemasan : suntikan, 20 mg/ml (hanya untuk penggunaan i.v.)
Penyimpanan : suhu kamar ( 150 300 C ). Jangan biarkan membeku.
Reaksi samping utama:
Kardiovaskuler : takikardi, aritmia, hipotensi.
Pulmoner : hipoventilasim apnoe.
Muskuloskeletal : blok yang tidak adekuat , blok yang diperpanjang.

Pedoman/peringatan:
1. Pantau respon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2. Penggunaannya merupakan kontra indikasi pada pasien dengan miastenia gravis dan
gangguan fungsi ginjal.
3. Efek reversi ( ballik ) dengan antikolinesterase seperti neostigminm edrofonium, atau
piridostigmin bromida bersama dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
4. Pada beberapa pasien dosis prapengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat blokade
noeuromuskuler yang cukup untuk menyebebkan hipoventilasi.

33
3. Alkurinium klorida/alkurium (Alloferine)
Merupakan sintetik toksiferin, suatu alkaloid dari tanaman strycnos toksifera. Kemasan
dibuat dalam ampul berisi 2 ml yang mengandung 10 mg alkuronium klorida. Larutan tidak dapat
dicampur bersama tiopental.
Farmakologi :
Mulai kerja pada menit ke-3 untuk selama 15 20 menit. tempat sibersifat pelepas histamin
jaringan, tetapi dapat menghambat ganglion simpatik sehingga dapat menimbulkan hipotensi
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung. Alkuronium dapat berpotensi ringan dengan
N2O-tiopental-narkotik
Eliminasi:
Ekskresi terutama melalui ginjal (70%) salam bentuk utuh dan sebagian melalui empedu.
Dosis :
Dosis relaksasi pembedahan : 0.15 mg/kgBB/i.v. (dewasa)
0.125-0.2mg/kgBB/i.v. (anakanak)
Dosis intubasi trakea : 0.3 mg/kgBB/i.v

Penyimpanan : simpan pada suhu ruangan dan hindarkan dari cahaya matahari secara
langsung.

4. Pankuronium bromida (pavulon)


Merupakan steroid sintesis adlah obat pelumpuh otot non depolarisasi yang banyak dipakai di
Indonesia. Kemasan dalam bentuk ampul berisi 2 ml larutan yamg mengandung pankuronium
bromida 4 mg.
Farmakologi :
Mula kerja pada menit ke 2-3 untuk selama 30 40 menit. Berikatan kuat dengan globulin plasma
dan berikatan sedang dengan albumin. Memberikan efek komulasi pada pemberian berulang. Oleh
karena itu dosis pemeliharaan / rumatan harus di kurangi dan waktu pemberian harus diperpanjang.
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamin dan hipertensi karena memiliki efek
inotropik positif serta takikardi karena efek vagolitik. Sebanyak 15 40% pankuronium dalam tubuh
mengalami metabolisme deasetilasi.
Farmakokinetik:
Awitan aksi : 1 3 me nit
Efekpuncak : 3 5 menia
Lama aksi : 40 65 menit
Interaksi/toksisitas:
Bolkade neuromuskuler dipotensiasi oleh amonigliosida, antibiotik, anestetik local, diuretic ansa,
magnesium, litium, obat-obtan penyekat ganglionik, hipotermia, hipokalemia, asidosis pernapasan,
dn peberian suksinilkolin sebelumnya; kebutuhan dosis berkrang ( sekitar 30% 45%) dan lamanya
blokde neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik voletil; menghambat
pseudokolinesterase, dan dosis prapengobatan memperpanjang lamanya blockade neouromuskuler;
dosis pengobatan mengurngi waktu awitan blockade maksimal dengan sekitar 30 - 60 detik;

34
meningkatn resiko aritmia pada pasien yang mendapatkan antidepresi trisiklik dan anestetik volatile;
kelumpuhan kambuhan terjadi dengan kuinidin; blockade neuromuskuler ditingkatkan pada pasien
dengan miastenia garvis atau fungsi adrenokortikol yang tidak adekuat; efeknya diantagonis oleh
inhibitor antikolnesterase seperti noestigmin edrofunium, piridostigmin; tahanan meningkat atau
efeknya direversi pada penggunaan teofilin dan pada pasien dengan cedera baker dan paresis.
Eliminasi:
Ekskresi terutama melalui ginjal (60 80%) dan sebagian melalui empedu (20 40%).
Dosis :
Dosis intubasi trakea : 0.04 0,1 mg/kg
Dosis pemeliharaan : 0,01-0,05 mg/kgBB(10%-50% dari dosis intubasi)
Prapengobatan : i.v. 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5 menit sebelum dosis
relaksan depolerisasi/nondepolarisasi
Pedoman peringatan :
1. Pantau respons dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2. Efek reversi denga antikolinsteresae seperti noestigmin, edofonium, atau piridostigmin
bromida bersama dengan atropin atau glikopirolat.
3. Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada
beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.
4. Kelumpuhan yang diperpanjang dapat terjadi setelah dihentikannya infus jangka panjang pada
pasien perawatan intensive kususnya pada mereka yang gagal ginjal ketidak seimbangan elektrolit
atau pemakaian bersama kortikosteroid atau aminoglikosida. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
miopati akut dan blokade noeuromuskuler persisten sebagai akibat sekunder dari penumpukan
metabolik aktif terutama pankoronium 3-desasetil.
Reaksi samping utama:
Kardiovaskuler : takikardi, hipertensi.
Pulmuner : hipoventrilasi, apnoe, bronchospasme.
GI : salivasi.
Alergik : kemerahan, rekasi anafilaktik.
Muskuloskletal : blok yang tidak adekuat, blok yang diperpanjang.

Penyimpanan : stabil hingga tanggal kadaluarsa (cth: stabil 18 bulan) jika didinginkan (20-80 C). Stabil
pada suhu kamar (180-220 C).

5. Atrakurium Besilat (tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolirasasi yang relatif baru yang mempunyai setruktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Beberapa keunggulan
atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain :
a. Metabolisme terjadi di dalam darah (plasma)terutama melalui reaksi kimia yang disebut
elimiasi Hoffman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal.
b. Tidak memberi efek kumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

35
Kemasan:
Dibuat dalam kemasan ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat atau 10mg/ml.
Farmakologi :
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosisi yang dipakai. Pada umumnya mula keraja
atrikurium pada dosis intubasi 2-3 menit, sedang dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan
syaraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah kerja obat berakhir) atau dibantu dengan
pemberian obat antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi obat pilihan dalam geriatraik atau
dengan kelainana jantung, hati dan ginjal berat.
Eliminasi: plasama(hoffman, hidrolisi ester), hati, ginjal.
Farmakokinetik:
Awitan aksi : kurang dari 3 menit
Efek puncak : 3-5 menit
Lama aksi : 20 35 menit
Interaksi/toksisitas : blokade nouromuskuler dipotensiasi oleh amino glokosida, antibiotik, anestetik
lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obat penyekat ganglion, hipotermia, hipokalemia dan
asidosis pernapasan, dan pemberian suksinilkolin sebelumnya; kebutuhan dosis berkurang (sekitar
30% - 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik volatil; dosis
prapengobatan atrakurium mengurangi vasikulasi tetapi menurunkan intensitas dan memperpendek
lamanya blokade neoromuskoler dari suksinikolin; dosis prapengobatan mengurangi waktu hingga
awitan dari blokade maksimal sampai sekitar 30 60 detik; peningkatan blokade neouromuskoler
akan terjadi pada pasien dengan miastenia gravis atau fungsi adrenokortikal yang tak adekuat;
efeknya diantagonisir oleh inhibitor antikolibesterase, seperti noestigmin, edrofonium, dan
piridistigmin; peningkatan resistensi atau reversi efek dengan penggunaan teofilin dan pada pasien
dengan luka bakar dan paresis.
Dosis :
Dosis intubasi : 0.5-0.6 mg/kg BB/i.v.
Dosis relaksasi otot : 0.5-0.6 mg/kgBB/i.v.
Dosis pemeliharaan : 0.1-0.2 mg/kgBB/i.v.

Pedoman peringatan :
1. Pantau respons dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat asthma bronchial dan reaksi
anafilaktoid.
3. Efek reversi dengan antikoliesterase seperti piridostigmin bromida, neostigmin, atau
edrofuniom bersamaan dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
4. Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada
beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.
5. Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada
beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.

36
Penyimpanan: dinginkan (20 80 C). Jangan biarkan membeku. Pada saat pengangkatan dari
pendinginan kesuhu ruang, gunakan dalam 14 hari jika didinginkan kembali.

6. Vekuronium (norcuron)
Juga merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang baru dan merupakan homolog
pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dengan lama kerja yang singkat. Tidak memiliki
efek kumulasipada pemberian erulang per infus. Tidak menyebabkan perubahan fungsi
karduiovaskuler yang bermakan.
Kemasan: dibuat dalam bentuk ampul. Berisi bubuk vekuronium 4 mg. Pelarut yang dapat dipakai
antara lain akuades, garam fisiologik, ringer laktat atau dextrose 5% sebanyak 2 ml.
Farmakologi :
Mula kerja terjadi pada menit ke 2-3 dengan lama kerja sekitar 30 menit. Analog monokuartener dari
pankoronium ini merupakan suatu obat penyekat neouromuskuler non depolariasasi dengan lama
kerja menengah, vekuronium berkompetisi dengan reseptor kolinergik pada lempang akhiran
motorik. Sepertiga lebih potens dari pada pankuronium, tetapi lamanya neouromuskuler lebih
singkat dari pemulihannya lebih cepat. Dengan infus kontinyu (6jm), pemulihan dapat diperpanjang
karena akumulasi metabolik aktif. Waktu awitan berkurang dan lama kerja di perpanjang dengfan
dosis yang bertambah. Tidak ada perubahan secara klinis yang bermakna dalam parameter
hemodinamik. Jika pekuronium dikombinasikan dengan opioid ( cth: sufentanil, fentanil) maka efek
fagotonik dapat menimbulkan bradikardi. Pekuronium secara klinis tidak melepaskan kosentrasi
histamin yag bermakna.
Farmakokinetik:
Awitan aksi : kurang dari 3 menit
Efek puncak : 3 5 menit
Lama aksi : 25 30 menit
Interaksi/toksisitas: blokade nouromuskuler dipotensiasi oleh amino glokosida, antibiotik, anestetik
lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obat penyekat ganglion, hipotermia, hipokalemia dan
asidosis pernapasan, dan pemberian suksinilkolin sebelumnya; kebutuhan dosis berkurang (sekitar
30% - 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik volatil;
kelumpuhan rekurens dapat terjadi pada kuinidin; peningkatan blokade neuromuskoler dapat terjadi
pada pasein miastenia gravias atau fungsi adrenokorteks ytang tidak adekuat; efek vekuronium
diantagonis oleh inhibitor asetilkolin esterase seperti neostigmin, dan piridostigmin; dosis
prapengobatan dari gelamin menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan
memperpendek lamanya blokade noeuromuskuler dari suksinilkolin; dosis prapengobatan
menurunka waktu awitan dari blokde maksimal sekitar 30 60 detik; peningkatan tahanan atau
reversi efek pada penggunaan teofilin dan pasien dengan cidera bakar dan paresis.
Dosis :
Intubasi : i.v. 0,08 0,1 mg/kg
Pemeliharaan : i.v. 0,01 0,05 mg/kg ( 10% - 50 % dari dosis intubasi)
Prapengobatan : i.v. 10 % dari dosis intubasi diberikan 3 5 menit sebelum dosis relaksan non
depolarisasi/depolarisasi.

37
Penyimpanan: bubuk suhu kamar ( 150 300 C). Lindungi dari cahaya. Jika direkonstisusikan
dengan air steril untuk disuntikan, laruatan stabil selam 24 jam didinginkan atau pada suhu kamr.
Jika direkonstitusi sengan D5w, NS, atau D5 NS, larutan stabil selama 24 jam, jika didinginkan ( 2 0 -
80C).
Pengenceran: untuk infus 20 mg dalam 100 ml D5W ( 0,2 mg/l).

Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi


1. Suksametonium (succinyl choline)
Kemasan :
falkon berisi bubuk putih 100 mg atau 500 mg. Pengenceran dapat memakai garam fisiologik
atau akuades steril 5 atau 25 ml sehingga membenrtuk larutan 2%.
Indikasi : sebagai pelumpuh otot jangka pendek.
Kegunaan : terutama untuk mempermudah /fasilitas intubasi trakea karena mula kerja yang
cepat dan lama kerja yang sengkat. Juga dapat dipaki untuk memelihara relaksasi otot dengan cara
pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermiten.
Dosis : i.v. 0,7 1 mg/kg ( 1,5 mg/kg degan prapengobatan nondepolarisator), untuk anak-
anak intubasi 1-2 mg/kgBB/i.v., untuk neonatus dan bayi 2-3 mg/kg,
Cara pemberian: I.V./I.M/ intra lingual/ intra bukal.
Mula kerja : 1-2 menit dengan lama kerja 3-5 menit.
Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dahulu dengan obat pelumpuh otot
depolarisasi dosis relaksasi otot misalnya pankuronium 1 mg (prekurarisasi). Untuk penakaian
kontinyu per infus, buat larutan dengan konsentrasi 1 mg/ml (250 mg dalam 250 ml larutan). Dosisi
pemeliharaan obat adalah 1-2 ml/mnt. Botol infus harus diberi lebel yan jelas dan sisa larutan
sesudah dipakai harus segera dibuang.
Komplikasi dan efek samping :
1. Bradikardi, bradiaritmia dan asistol terutama pada pemberian berulang atau terlalu cepat
serta pada anak-anak.
2. Takikardia dan takiaritmia.
3. Lama kerja yang memanjang terutama kadar enzim kolinesterase plasma berkurang
4. Peninggian tekanan intraokuler, hati-hati pada glaukoma.
5. Blok fase II terutama pada pemberian berulang atau dosis tinggi.
6. Lama kerja yang memanjang terutama pada penyakit hati parenkimal, kaheksia dan anemia
(hipoproteinemia).
7. Hiperkalemia, karena itu harus berhati-hati pada luka bakar atau gagal ginjal.
8. Nyeri otot pasca fasikulasi.

38
Antagonis Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
Neostigmin metilsulfat (prostigmine).
Farmakologik :
Merupakan antikolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan dapat
menimbulkan akumulasi asetilkolin. Obat ini mengalami metabolisme terutama oleh kolinesterase
serum dan bentuk obat utuh sebagian besar diekskresi melalui ginjal.
Efek samping :
Mempunyai efek nikotinik, muskarinik dan merupakan stimulan otot langsung. Efek muskarinik
antara lain; menyebabkan bradikardi, hiperperistaltik dan spasme saluran cerna, pembentukan
sekret jalan nafas dan kelenjar air liur, bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika
urinaria.
Cara mengatasi masalah yang timbul dalam pemberian obat :
Sebagian efek ini dapat dihambat dengan atropin sulfat.
Dosis : 0.5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersama-sama atropin dengan dosis 1-1,5
mg.

VI. Barbiturat
Barbiturate selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedative.
Sectara kimiawi barbiturate merupakan derivate asam barbiturate ( 2,4,6
trioksoheksahidropiremidin). Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan depresi susunan saraf
pusat, efek hipnotik dan sedative serta efek lainanya ditimbulkan bila pada posisi lima ada gugusan
alkyl atau aril.

Sekobarbital ( seconal ):
Penggunaan : pemedikasi, sedasi hypnosis, antikonfulsan.
Dosis : premedikasi/sedasi. i.m 4-5 mg/kg (satu tempat tidak boleh lebih dari 250 mg).
Per oral 100 300 mg ( anak anak 2 6 mg kg/bb, dosis maksimum 100 mg). Per rectal 4 5 mg/kg
( encerkan larutan yang dapat disuntikan dengan air hingga suatu konsentrasi 10 15 mg/ml).
Hipnosis : titrasi i.v, dosis rerata 50 100 mg, jangan remelebihi 50 mg per periode 15 menit, dosis
total lebih dari 250 mg tidak dianjurkan. Antikonvulsan : lambat i.v. atau i.m ; 250 350 mg ( 5,5
mg/kg), ulangi setiap 3 4 jam sesuai indikasi.
Eliminasi : hati.
Kemasan : suntikan 50 mg/ml, tablet 100 mg, capsul 50 mg dan 100 mg, suntikan rectal 50
mg/ml.
Penyimpanan : suntikan/suntikan rectal; didinginkan (20 80 C). lindungi dari cahaya. Tablet/capsul;
suhu kamar (15o 300 C).
Farmakologi :
Barbiturate beraksi pendek ini mendepresi kortek sensorik, mengurngi aktifitas motorik, mengubah
fungsi cerebral, dan menimbulkan rasa mengantuk yang tergantung dosis, sedasi, dn hypnosis.
Dengan adanya nyeri akut atau kronis dapat menimbulkan eksitasi paradoksik pada menula dan anak

39
anak. Dosis induksi mmenimbulkan depresi pernapasan dan mengurangi tahanan vakuler dan
perifer, tekanan arteri, curah jantung, tekanan perfusi koroner.
Farmakokinetik:
Awitan aksi : i.v. hammpir segera; pengobatan peroral 10 30 menit; i.m/ rectal, 15 30 menit.
Efek puncak : i.v. 1 menit
Lama aksi : i.v. 15 menit ( bangun ), 3 4 jam ( efek sedative ); pengobatan oral/ i.m./ rectal, 6
8 jam ( efek sedative).
Interaksi/toksisitas; mempotensiasi SSP dan efek depresi sirkulasi narkotik, seatif hipnotk, alcohol,
anestetik volatile; mengurangi efek antikoagulan oral, digoksin, penyekat beta, kortikosteroid,
kuinidin, teofilin; aksi diperpanjang inhibitor MAO, klorampenikol; suntikan arteri atau
ekstravaskuler menibulkan nekrosis, gangrene.

Pedoman/peringatan :
Penggunaannya merupakan kontra indikasi pada pasien dengan riwayat porpiria yang
manifest atau laten atau status asthmatukus dan dengn adanya nyeri akut atau kronis.
Menggunakan dengan hati hati pada pasien dengan hipertensi, hipovolema, penyakit
jantung iskemik, insufisiensi adrenokortikal akut, uremia, dan septicemia, dan untuk
persalinan obstetric.
Kurangi dosis pada pasien manula, hipovolemik, dan pasien bedah beresiko tinggi dan pada
penggunaan bersama fentolamin ( 5 10 mg dlm 10 ml ns ) dan jika perlu, blok simpatis.
Terapi suntikan intraarteri melaui infiltrasi local fentolamin ( 5 10 mg dalam 10 ml ns ) dan,
jika perlu, bloksmpatis.
Gunakan rute i.v. Hanya dalam keadaan darurat.

Reaksi samping utama :


Kardiovaskuler : brakikardi, hipotensi.
Pulmoner : depresi pernafasan, apnoe, laringospasme, bronchospasme.
Pada SSP : somnolensi, eksiasi paradoksik, ataksi, kebingugan.iapp
Pada GI : mual, muntah, konstipasi, diare.
Alergik : ruam, urtikaria, edema angioneurotik.
Dermatologi : nikrosis, gangren pda suntikan intra arteri.

ANESTESI LOKAL
1.PENGERTIAN
Obat anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang mampu menghambat konduksi saraf
perifer, apabila obat ini disuntikkan didaerah perjalanan serabut saraf dengan dosis tertentu, tidak
akan menimbulkan kerusakan permanen pada serabut saraf tersebut.Sifat hambatan pada saraf
umumnya bersifat total ada juga bersifat selektif, hal ini sangat tergantung pada dosis atau
konsentrasi obat yang digunakan.

40
2.STRUKTUR ANESTESI LOKAL
Obat lokal anestesi terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofilik dimana gabungan dari garam
yang larut dalam air dan alkaloid yang larut dalam lemak yang dipisahkan oleh rantai karbon.
Kelompok hidrofilik biasanya seperti dietilamin dan lipofilik biasannya terdiri dari cincin aromatik
yang tidak tersaturasi. Secara terapetik penggunaan lokal anestesi membutuhkan keseimbangan
antara kelarutan dalam lemak dan kelarutan dalam air. Pada hampir semua keadaan, golongan ester
(-CO-) misalnya kokain, benzokain, procain atau Golongan amida (-NCHC) misalnya lidocain,
mepivacain dan bupivacain berikatan dengan hydrocarbon kecincin aromatic. Ikatan ini adalah
sebagai dasar klasifikasi obat-obat anestesi yang menghasilkan blockade konduksi impuls saraf
sebagai anestesi lokal ester atau anestesi lokal amida. Anestesi lokal golongan ester terutama
dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase. Golongan amida terutama dimetabolisme di hati
oleh enzim-enzim mikrosomal (reaksi N-dealkilasi dan hidroksilasi).
Eliminasi obat lokal anestesi diikuti oleh kembalinya konduksi saraf secara spontan dan
komplit tanpa bukti adanya kerusakan struktur saraf oleh efek obat anestesi. Di indonesia yang
paling banyak di gunakan adalah lidocain dan bupivacain.

3.MEKANISME KERJA
Obat anestesi lokal mencegah proses terjadinya depolarisasi membran saraf pada tempat
suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak akan dapat bereaksi dengan asetil kholin
sehingga membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel dan tidak terjadi perubahan potensial.
Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala
macam rangsangan atau sensasi tidak sampai kesusunan saraf pusat. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya parastesia sampai analgesia dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok.
Proses hilangnya efek obat anestesi lokal dimana obat yang berada di luar saraf akan
diabsorbsi oleh sistem pembuluh darah kapiler. Serat saraf akan melepaskan ikatannya dengan obat
anestesia lokal, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi obat di dalam dengan di
luar sel. Setelah obat diabsorbsi oleh sistem sirkulasi, didistribusikan ke organ-organ lain.
Detoksifikasi dan eliminasi.

4.CARA-CARA PEMBERIAN ANESTESI LOKAL


1. Infiltrasi 5. Intravenous lokal analgesia
2. Field Block 6. Topikal analgesia
3. Nerve Block 7. Central Neural Block.
4. Refregeration analgesia

5.EFEK SAMPING ANESTESI LOKAL.


Selain efek farmakologi tersebut di atas, obat anestesi lokal juga menimbulkan efek pada sistem
organ lain oleh karena mengalami proses absorbsi dan distribusi kedalam sirkulasi dan jaringan
tubuh.
a.Terhadap sistem saraf pusar.
Obat anestesi lokal melewati barier darah otak sehingga menunjukkan efek stabilisasi yang
sama pada sel-sel neuron di otak. Efek stabilisasi ini bisa dimanfaatkan untuk mengobati pasien yang
mengalami status epileptikus.

41
b.Terhadap kardiovaskuler.
Pada jantung mempunyai efek stabilisasi jaringan konduksi jantung, memperpanjang
periode refrakter, memperpanjang waktu konduksi dan menekan kepekaan otot jantung. Oleh
karena itu obat ini bermanfaat untuk mengobati disritmia ventrikuler. Pada pembuluh darah
mempunyai efek langsung pada arteriole sehingga menimbulkan vasodilatasi dengan demikian akan
terjadi penurunan tekanan darah pada pemberian langsung secara intravena.
c.Terhadap sistem respirasi.
Pada dosis kecil akan merangsang pusat nafas, sehingga frekuensi napas meningkat. Pada
dosis lebih besar akan menimbulkan depresi pusat nafas sehingga terjadi penurunan frekuensi nafas
dan volume tidal, sampai henti nafas. Mempunyai efek spasmolitik yang menyebabkan dilatasi
bronkus.

6.GEJALA DAN TANDA TOKSISITAS.


Pada toksisitas ringan : pasien tampak pucat, gelisah, mual, telinga berdenging, mata
berkunang-kunang, selanjutnya diikuti kejang-kejang, bradikardi, hipotensi dan depresi nafas. Pada
toksisitas berat akan terjadi kolaps kardiovaskuler, henti nafas dan koma.
Terapi obat lokal anestesi yang menyebabkan kejang termasuk ventilasi paru-paru pasien dengan
oksigen karena hipoksemia dan asidosis dapat terjadi dalam beberapa detik. (Moore dll 1980). Yang
paling penting pemberian oksigen diberikan seawal mungkin pada saat tanda-tanda toksisitas
muncul. Hiperventilasi dibutuhkan dalam usaha mencegah pengiriman obat anestesi lokal keotak.
Sebaliknya hal ini malah memperlambat pelepasan anestesi lokal dari otak. Pemberian
benzodiazepine intravena seperti midazolam dan diazepam efektif dalam menekan kejang yang
disebabkan oleh obat lokal anestesi.

7.JENIS-JENIS OBAT ANESTESI LOKAL


Berdasarkan ikatan kimia, obat anestesi lokal dibagi menjadi :
1.Derifat Ester : Kokain, Prokain 1%2%, Klorprokain.
2.Derivat Amide : Lidokain 1%2%, Prilokain, Mepivakain, Bupivacain 0,25% 0,5%.

PROKAIN
Diperkenalkan pertama kali oleh Einhorn pada tahun 1905. Nama lain dari preparat ini
adalah : Novocain atau Neokain. Nama kimia para aminobenzoic acid aster dari diethylamino.
Selama lebih dari 50 tahun obat ini merupakan obat pilihan, namun terdesak oleh obat anestesi lokal
lain yang ternyata lebih kuat dan lebih aman yaitu lidocain.

LIDOKAIN
Sering disebut dengan nama dagang : lidokain atau xylokain. Pertama kali disintesis oleh Lofgren
pada tahun 1943.
Farmakodinamik:
Lidokain(xilokain) digunakan secara luas dengan pemberian Topikal dan suntikan. Anastesi
terjadi lebih cepat,lebih kuat,lebih lama dan lebih extensi yang di timbulkan oleh prokain. Lidokain
merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% digunakan untuk Anastesi infiltrasi, sedangkan larutan
1-2% untuk anetesi blok dan topikal.Anestetik ini efektif bila digunakan tanpa vasokontriktor, tetapi
kecepatan absorbsi dan toxisitasnya bertambah dan masa lebih pendek. Lidokain merupakan obat

42
terpilih bagi mereka yang hypersensitf terhadap prokain dan epineprin. Lidokain dapat menimbulkan
kantuk.
Farmakokinetik:
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak.
Didalam hati, lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidasi fungsi ganda membentuk
monoetilglisin xilidit dan glisin xilidid, yang kemudian dapat dimetabolisme lebih lanjut. Kedua
metabolit tersebut ternyata memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75 % dari xilidid akan
diekskresi bersama urine dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi, 2-6 dimetil anilin.
Awitan aksi : infiltrasi 0,51 menit; epidural 515 menit.
Efek puncak : infiltrasi/epidural < 30 menit
Lama aksi : infiltrasi 0,5 1 jam; bila dicampur dengan epineprin lama aksi 2 6 jam;
epidural 1 3 jam.
Dosis : Anestesi Lokal
Topikal 0,6 3 mg / kg bb (larutan 2% - 4%),
blok saraf tepi / infiltrasi 0,5 5 mg / kg bb (larutan 0,5 2 %).
Eliminasi : hati, paru
Kemasan : pemberian parenteral ; blok saraf tepi/ infiltrasi : 0,5%, 1%, 1,5% , 2% dengan atau
tanpa epineprin.
Penyimpanan : suhu kamar 30 derajat celcius, lindungi dari cahaya.
Indikasi :
Prosedur yang membutuhkan kerjasama dengan penderita seperti perbaikan tendon,
pembedahan mata serta pemeriksaan gerakan faring.

Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum.


Kontraindikasi :
Alergi atau hipersensitifitas terhadap obat anestesi lokal sebagian besar disebabkan oleh
kelebihan dosis Infeksi lokal atau iskemi pada tempat suntikan.

Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.

BUPIVAKAIN HCL
Sangat populer disebut dengan marcaine. Disintesis pada 1957 oleh Ekstam dkk, digunakan
pertama kali di klinik oleh Teliuvuo pada tahun 1963.
Farmakodinamik
Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi
perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan menghantarkan inpuls.
Kemajuan anestesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat
saraf yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sbb : 1.Otonomik. 2.Nyeri. 3.Suhu. 4.Raba.
5.Propriosepsi. 6.Tonus otot skelet. Penambahan epineprin tidak memperbaiki kualitas analgesia
tetapi hanya meningkatkan lama efek konsentrasi bupivakain 0,5% secara marginal.
Farmakokinetik
Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat diautoklaf berulang.
Potensinya 3 4 x dari lidokain, dan lama kerjanya 2 5 x lidokain. Sifat hambatan sensorinya lebih
dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih
banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh.
Awitan aksi : Infiltrasi 2 10 menit, epidural 4 17 menit

43
Efek puncak : Infiltrasi dan epidural, 30-45 menit, spinal 15 menit
Lama aksi : Infiltrasi/epidural/spinal ; 200 400 menit (diperpanjang dengan epineprin)
Dosis :
Untuk infiltrasi lokal digunakan larutan 0,25%
Blok saraf kecil digunakan larutan 0,25%
Blok saraf yang lebih besar digunakan larutan 0,5%
Blok epidural digunakan larutan 0,5% - 0,75%
Blok spinal digunakan larutan 0,5%
Dosis : 1 2 mg/kg bb

Eliminasi : Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh
sebagian besar dalam bentuk metabolik.
Kemasan : Suntikan 0,25%, 0,5%, 0,75%.

Penyimpanan : Suhu kamar ( 15 derajat 30 derajat celcius ) hindari dari cahaya.


Kontraindikasi :
Tidak disarankan untuk blok paraservikal obstetrik. Obat dapat menyebabkan bradicardi.
Pasien dengan hipersensitifitas terhadap anestetik lokal tipe amida.
Pasien mengalami syok hipovolemi, septikemia, infeksi pada tempat suntikan, atau
koagulopati, suntikan epidural kaudal atau intratekal harus dihindari.

Mesin Anestesi
1. Pengertian
a. Mesin anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya yang digunakan untuk
memberikan anestesi umum secara inhalasi ( Muhadi M, 1989 )
b. Suatu alat yang digunakan untuk menyalurkan gas atau campuran gas anastetik yang aman
ke rangkaian anestesi yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa gas dari
pasien. ( Said.A Latief, dkk, 2001). Rangkaian mesin anestesi banyak sekali ragamnya mulai
dari yang sederhana sampai yang diatur dengan komputer
2. Fungsi Mesin Anestesi
Fungsi mesin anestesi ( mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang
aman kerangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa
campuran gas dari pasien.
Mesin yang aman dan ideal adalah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
Ruang rugi ( dead space ) minimal
Mengeluarkan CO2 dengan efesien
Bertekanan rendah
Kelembaban terjaga dengan baik
Penggunaannya sangat mudah dan aman
Mesin anestetik adalah teman akrab anestesis atau anestesiologis yang harus selalu siap pakai, kalo
akan dipergunakan. Mesin anestetik modern dilengkapi langsung dengan ventilator mekanik dan
alat pantau.

44
Tidak ada alat yang sangat dihubungkan dengan praktek anestesi dibandingkan
dengan mesin anestesi. Yang paling dasar, anestesiologis mengunakan mesin anestesi untuk
mengontrol pertukaran gas pasien dan memberikan anastetik inhalasi. Mesin anestesi modern telah
lebih canggih dan memiliki banyak komponen keamanan, breathing circuit, monitor dan ventilator
mekanis, dan satu atau lebih mikroprosessor yang dapat mengintegrasi dan memonitor seluruh
komponen. Monitor dapat ditambahkan secara eksternal dan sering masih dapat diintegrasikan
secara penuh. Lebih lanjut, modular desainnya memberikan banyak pilihan configurasi dan pilihan
dari satu jenis produk. Penggunaan mikroprosessor memberikan pilihan seperti mode ventilator
yang canggih, perekaman otomatis, dan networking dengan monitor lokal atau jauh dan juga dengan
sistem informasi rumah sakit. Ada dua produsen utama mesin anestesi di Amerika, Datex-Ohmeda
(GE Healthcare) dan Draeger Medical. Fungsi yang benar dari alat sangat penting bagi keselamatan
pasien.
3. Komponen Dasar Mesin Anestesi
Secara umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu :
a. Komponen 1
1. Sumber gas
2. Penunjuk aliran gas ( PAG ) atau flowmeter
3. Dan alat penguap ( vaporizer )
4. Oksigen flush control yang dapat mengalirkan O2 murni 35-37 Liter/menit tanpa melalui
meter aliran gas pada keadaan darurat
b. Komponen 2
1. Sirkuit nafas : system lingkar, system magill
c. Komponen 3
1. Alat yang menghubungkan sirkuit nafas dengan pasien : sungkup muka (face mask), pipa
endotrakeal ( ETT )
d. Keterangan Komponen Satu
1) Sumber gas
Tersimpan dalam tabung-tabung khusus dibawah tekanan tinggi.dapat disimpan dalam bentuk gas
(O2, udara ) maupun dalam bentuk cair ( N2O, CO2, C6H6 ). Masing-masing tabung gas mempunyai
alat pengukur tekanan ( regulator ) khusus. Regulator ini menunjukkan tekanan gas didalam tabung
dan dapat menurunkan tekanan, dengan pertolonganpressure reducting valve( katup penurun
tekanan ). Mesin anestesi bekerja efektif pada tekanan 50-60 PSI atau 3-4 atm.
Sebelum membuka tabung gas, yakinlah bahwa regulator sudah benar-benar terpasang dan sudah
ada hubungan antara regulator dan PAG atau flowmeter. Tabung gas dapat dibuka dengan cara
memutar logam ( berbentuk kotak kecil yang ada dipuncak tabung ) kearah berlawanan dengan arah
jarum jam dengan alat pembuka khusus atau alat lain.
Pada rumah sakit besar dengan banyak kamar operasi, mungkin tidak dijumpai tabung-tabung gas
tersebut karena telah dibuat dengan system sentral.

45
Table.Berbagai macam gas anestesi, warna tabung, bentuk gas dan tekanan jenuh.
Jenis Warna tabung Dalam bentuk Tekanan (Psi) Tekanan(atm)

O2 Putih/hijau gas 1800-2400 120-160


N2O Biru Cair 745 50
Air Hitam/putih Gas 1800 120
Cyclopropan Jingga Cair 75 5
CO2 Abu-abu cair 838 56

2) Alat penunjuk aliran gas ( PAG/flowmeter )


Berbentuk tabung gelas yang didalamnya terdapat indikator pengukur yang umumnya berbentuk
bola atau berbentuk rotameter.Skala yang tertera umumnya dalam L/menit dan ml/menit.
Sebelum membuka flowmeter perhatikan dulu gas apa yang akan diputar ( tidak jarang terjadi
bahwa kita bermaksud membuka O2, tanpa sengaja kita membuka N2O )
Flowmeter dapat dibuka dengan cara memutar tombol pemutar kearah berlawanan dengan arah
jarum jam. Bila indikator berbentuk bola, maka angka laju aliran ( flowmeter) dibaca setinggi bagian
tengah bola dan bila memakai rotameter dibaca setinggi bagian atas rotameter.

3) Alat penguap ( vaporizer )


Berfungsi untuk menguapkan zat anestesi cair yang mudah menguap ( volatile anesthetic agent )
yang biasanya dilengkapi dial untuk mengatur besar kecilnya konsentrasi zat anestesi yang keluar.
Alat penguap ini ada yang terbuat dari :
a) Gelas dengan komponen pengatur dari logam : vaporizer Goldman, Boyle
b) Logam keseluruhannya misalnya : Fluotec mark II, mark III.EMO, OMV, Copper Kettle.
Penempatan vaporizer.
a) Dapat diletakkan diluar sirkuit nafas, terletak diantara flowmeter dan lubang keluar gas
b) Dapat diletakkan didalam sirkuit nafas
c) Dapat lebih 2 vaporizer yang akan dipakai, maka vaporizer untuk zat anestesi cair yang lebih
mudah menguap diletakkan lebih dekat dengan flowmeter.
Pada umumnya zat anestesi cair mempunyai alat penguapannya sendiri, Tetapi ada alat penguap
yang dapat dipakai untuk menguapkan beberapa zat anestesi.
Contoh : Fluotec Mark II, Mark III hanya untuk halothane dan EMO khusus untuk eter. Copper kettle
dapat untuk eter, halothane, trilene Metoksifluran.

e. Keterangan Komponen Dua


1) Canester dan Isinya
a) Pengertian
Canester adalah bagian dari mesin anetesi yang berisi sodalyme dan berfungsi sebagai
penampung kapur penyerap gas CO2 atau CO2 absorber.
b) Jenis Canester
Jenis canester yang ada :
(1). Single canester
Kelebihan dari single canester adalah lebih murah dan ringan.Sedangkan kekurangan yang
didapat pada single canester efisiensi penyerapan rendah, hal tersebut dapat memperlambat induksi
dan pemulihan serta meningkatkan komsumsi anestesi.

46
Dimana soda kapur cenderung menetap yang memungkinkan penyaluran gas tidak maksimal
sehingga menyebabkan rebreathing.
(2). Double canester
Kelebihan dari double canester adalah penyerapan CO2 lebih lengkap.Dimana aliran gas
ekspirasi masuk ke tabung canester bagian atas dan sebagian besar CO2 diabsorbsi.Carbondioksida
yang tersisa kemudian diabsorbsi oleh tabung bagian bawah. Ketika tabung bagian atas itu habis
atau berubah warna, tabung bagian bawah dipindahkan ke atas kemudian canester yang telah habis
tadi diganti dengan yang baru dan dipasang di bagian bawah. Susunan ini memberikan efesiensi yang
optimal dan ekonomis dalam penyerapan karbondioksida.
Kekurangan dari double canester adalah :
(a) lebih berat dan lebih mahal daripada model single canester.
(b) Tidak stabil jika digunakan secara close system
(c) Perubahan lambat dalam konsentrasi anastesi yang terinspirasi dengan aliran rendah.
(d) Soda kapur dan katup dalam system meningkatkan penolakan untuk bernafas.
(e) Memungkinkan penghirupan debu soda kapur.

c) Isi dari canester


Canester berisi dengan sodalyme yang berupa butir kapur atau kapur barium hidroksida
yang akan bisa menetralisir asam karbonat. Reaksi dan produk yang ada meliputi panas, air dan
kalsium carbonat.Kapur soda merupakan absorben yang lebih sering diketemukan dan mampu
menyerap sampai 23 liter CO2/ 100 gr absorben.Perubahan warna dari pH seperti yang ditunjukkan
dengan indicator warna karena terjadinya peningkatan konsentrasi ion hydrogen menunjukkan
dikeluarkannya absorben. Absorben bias digantikan bila 50-70% mengalami perubahan warna.
Contohnya perubahan warna pada CO2 absorben dapat berupa merah muda berubah menjadi putih,
yang putih berubah menjadi ungu.
d) Kandungan sodalyme
(1). Kalsium Hidroksida Ca(OH)2 : 70-80%
(2). Sodium Hidroksida NaOH : < 3,5 %
(3). Air H2O : 12-19%
e) Ukuran :
(1). 2,5 5,0 mm
(2). 4,0 8,0 mm
f) Bentuk bentuk soda kapur :
(1). Bentuik pellet.
(2). Bentuk cylinder.
(3). Bentuk regular.
g) Sirkuit Nafas
Aliran gas dari sumber gas berupa campuran O2 dan gas anestesi akan mengalir melalui
vaporizer dan bersama campuran zat anestesi cair tersebut keluar.Campuran O2, zat anestesi (gas
dan uap) ini lazim kita sebut aliran gas segar (AGS)atau Fresh Gas Flow (FGF). FGF ini selanjutnya
masuk ke sirkuit nafas pasien.
Sirkuit nafas pasien tersebut adalah:
(1). Sistem lingkar : terjadi rebrething
(a) Paling banyak ada pada mesin anestesi

47
(b) Komponen system lingkar : Sungkup muka, konektor Y, katup searah, canister, katup ekspirasi,
kantong cadangan (reservoir bag), pipa berlekuk (kurogeted)
(c) Pada system lingkar dapat bervariasi mengenai:
(i) Letak masuknya FGF
(ii) Letak Reservoir bag
(iii) Letak katup ekspirasi
(iv) Letak katup searah

(2). Rebreathing system


Rebreathing systems are used for animals weighing over 10 pounds. The following diagram
shows the parts of a rebreathing system which allows recirculation of exhaled gases to the animal.
Each breath contains exhaled gas that has had the carbon dioxide removed and fresh oxygen and
anesthetic added.

Oxygen source with pressure gauge - Oxygen is supplied to the animal. It also is the carrier gas that
brings the inhaled anesthetic to the pet.
1. Pressure reducing valve - This valve decreases the high pressure from the oxygen tank to a
usable level.
2. Flowmeter - This allows the anesthetist to determine the rate the oxygen will flow to the
animal.
3. Oxygen flush valve - This valve allows oxygen to flow directly to the animal bypassing the
anesthesia. It is used to quickly increase the amount of oxygen and decrease the anesthesia
in the system. This is done at the end of the anesthesia or if the animal is at too deep of a
plane of anesthesia during the surgery.
4. Vaporizer - The vaporizer converts the liquid anesthetic to a gas state and adds controlled
amounts of the gas anesthetic to the oxygen that is flowing through the machine.
5. Inhalation valve - This allows the gases to flow only to the animal and not back to the
vaporizer, by way of a one-way valve.
6. Inhalation hose - This hose carries the gases to the animal.
7. Connecting port - The rebreathing system has a Y piece which connects the inhalation hose,
endotracheal tube, and exhalation hose.
8. Endotracheal tube - This tube is placed into the animal's trachea (windpipe) to allow the
oxygen and gases to be breathed into the lungs.
9. Exhalation hose - This hose carries the gases the animal breathed out back to the anesthetic
machine.
10. Exhalation valve - This allows the exhaled gases to flow only into the anesthetic machine,
not back to the animal, by way of a one-way valve.
11. Rebreathing (reservoir) bag - This is an inflatable rubber bag which allows the accumulation
of fresh and expired gas during exhalation so that a reservoir of gas is available for the next
breath. The bag also acts as a safety device to prevent rapid pressure increases in the
system. It can be manually squeezed to 'bag' an animal as needed during surgery to assist
breathing.
12. Pop-off valve - This is a pressure relief valve that allows the release of waste gases and extra
pressure from the system into the scavenger hose.

48
13. Scavenger hose - This hose carries waste gases (e.g., oxygen, nitrous oxide, inhalation
anesthetic, and carbon dioxide) out of the system and out of the building.
14. CO2 absorber canister - Any gases that do exit through the pop-off valve pass through the
carbon dioxide absorber before returning to the animal. The chemicals in the container
remove carbon dioxide from the gases that pass through it.
(3). System magill dan mapleson serta variasinya : Rebrething tidak ada atau minimal sekali
(a) Keuntungan:
Ringan (bila dihubungkan dengan pipa ET atau sungkup muka tidak merupakan beban berat
seperti pada system lingkar)
Mudah dibersihkan dan disterilkan karena dapat dilepas satu demi satu
Sederhana : mudah dipasang dan dipakai
Kelainan fungsi alat minimal; hanya biasa terjadi pada katup ekspirasi
Tidak mahal
(b) Kerugian:
Banyak panas dan kelembaban hilang akibat tidak adanya rebrething
Aliran (flow) yang diperlukan tinggi guna mencegah rebrething sehingga pemakaian zat-zat
anestesi boros dan menimbulkan polusi udara.
(c) Perbandingan system Rebrething dan Non Rebrething dapat dilihat pada tabel:
Comparison of systems
The two types of systems have their advantages and disadvantages. These are taken into account by
the veterinarian when he or she decides which system to use for each individual animal.
Advantages of Rebreathing Systems Advantages of Nonrebreathing Systems
Less oxygen and anesthetic gases are used Depth of anesthesia can be changed
because of the lower flow rates more rapidly
Less waste gases are produced Less resistance occurs during
The animal's heat and moisture from respirations (small animals may have
respirations are conserved difficulty inhaling with enough force to
draw air through a rebreathing system)

Nonrebreathing system
The nonrebreathing system is used for those animals that are typically under about 10 pounds.
These smaller animals need a higher flow of gases to prevent rebreathing of carbon dioxide. In this
type of system, little or no exhaled gases are returned to the animal, but exit through the pop-off
valve into the scavenger hose. A nonrebreathing system is usually not used in the larger pets, since
the high gas flow wastes oxygen and anesthetic. High flow rates also lead to heat and fluid loss from
the pet. Heated and humidified exhaled gases are replaced in the respiratorysystem by an inspired
gas mixture that is cool and dry. The following is a diagram of a nonrebreathing system.

The first three parts are the same as with the rebreathing system.
a. Oxygen source with pressure gauge
b. Pressure reducing valve
c. Flowmeter
d. It is at this point that the system changes. The nonrebreathing system does not have each of
the parts of a rebreathing system. It does have:

49
e. Vaporizer - The vaporizer converts the liquid anesthetic to a gas state and adds controlled
amounts of the gas anesthetic to the oxygen that is flowing through the machine.
f. Inhalation hose - The gases exit the vaporizer and go directly into a hose for delivery to the
animal.
g. Connecting port - This connects the inhalation and exhalation hoses to the endotracheal
tube.
h. Endotracheal tube - This tube is placed into the animal's trachea to allow the oxygen and
gases to be breathed into the lungs.
i. Exhalation hose - Exhaled gases pass through this tube directly to the reservoir bag.
j. Rebreathing/reservoir: bag-Exhaled gases pass into the reservoir
k. Pop-off valve - This is a pressure relief valve that allows the release of waste gases and extra
pressure from the system into the scavenger hose.
l. Scavenger hose - Exhaled gases pass from the reservoir bag and out of the system (and
building) through the scavenger hose.
h) Sirkuit Nafas Untuk Anak
Peralatan anestesi untuk anak hanya berbeda pada sirkuit nafasnyaserta alat-alat yang
menghubungkan dengan pasien,sedangkan komponen yang lain tetap sama dengan dewasa.
Pada anak sirkuit nafas yang dipakai hendaknya:
Memiliki resistensi yang rendah dan ruang rugi sekecil mungkin terutama pada anak dengan
BB 20 kg atau kurang
Dapat berupa system lingkar dengan desain sendiri ( dengan diameter dan panjang pipa
berlekuk lebih kecil dan katup searah dan katup eksprasi lebih ringan)
Yang lazim dipakai adalah system T pice atau modipikasinya (Jackson Rees)
Jenis yang lain umumnya merupakan pengembangan dari Jackson Rees (misal dengan
memasang katup ekspirasi), tetapi secara klinis perbedaan pemakaiannya tidak banyak.
Aliran FGF yang digunakan 2,5-3 kali volume semenit.

Beberapa variasi yang mungkin ditemukan di daerah :


(1). System terbuka
Alat ini hanya terdiri dari 3 komponen yaitu: sungkup muka ( khusus karena terdiri dari
rangka kawat yang dibalut dengan kassa). Obat anestesi diberikan dengan cara meneteskan ke
sungkup muka ( eter ), dapat digunakan tanpa O2.
(a) Trilene inhaler : alat ini hanya terdiri dari alat penguap dan suungkup muka, tanpa sirkuit nafas.
Katup nafas telah terpasang pada alat tersebut.
(b) System EMO (Ebstein, Macintosh, Oxford )terdiri dari 3 komponen yaitu:
(i) Vaporizer berupa EMO inhaler
(ii) Kantong dan sirkuit nafas dengan katup satu arah
(iii) Sungkup muka dan pipa nafas
Dapat dipakai tanpa O2 bila eter saja yang digunakan. Kantong nafas ( bellow) dapat mengembang
sendiri walaupun tidak ada aliran gas.
f. Keterangan Komponen Tiga
Adaptor atau konektor, sungkup muka, pipa endotrakeal, pipa oropharingeal, pipa nasopharyngeal,
(terbuat dari logam atau plastic).
1) Bayi sampai dewasa:
a) Sungkup muka : ukuran bayi sampai dewasa

50
Model : Rendell Baker, Ohio, dll
b) Pipa trachea : Naso trakea ( banyak terbuat dari plastic), Orotrakea (banyak terbuat dari karet
atau spiral) dilengkapi dengan atau tanpa balon. Sediakan selalu 3 macam ukuran, pipa yang paling
besar dapat masuk dengan satu nomor diatas dan dibawah.
2) Untuk anak :
3) Model : Oxford, Cole, tanpa balon.
4. Aliran Gas Pada Mesin Anestesi
Aliran gas dan zat-zat anestesi didalam sirkuit anestesi dapat digambarkan secara sederhana sebagai
berikut :
Uap obat anestesi dihisap masuk lewat paru-paru kemudian menembus membran alveoli
kapiler kemudian masuk aliran darah kapiler menuju sirkulasi oleh jantung bagian kiri
menuju ke otak. Kemudian obat akan menembus kapiler di jaringan otak dan kemudian
masuk kedalam sel-sel otak sehingga pasien menjadi tidak sadar. Bila uap obat anestesi
dihentikan kadar obat pada alveolar akan turun sehingga menimbulkan penurunan pada
kadar obat dalam darah dan kadar obat pada otak akan menurun dan pasien akan kembali
sadar.

MANAJEMEN VENTILATOR
A. Pengertian
Ventilator mekanik bisa diberikan pada pasien melalui berbagai perlengkapan mekanik yang
B. Tujuan
Life support selama gagal nafas akut, terapi support fungsi cardiopulmoner suboptimal atau
terapi support gagal ventilasi kronik.
Idealnya, support ventilator mekanik untuk :
Mempertahankan ventilasi alveolar untuk memastikan eliminasi CO2 adekuat
Mempertahankan oksigenasi arterial untuk memastikan keadekuatan suplai oksigen ke
jaringan
Meminimalkan resiko efek dari peningkatan tekanan dan volume pada paru ( seperti baro /
volutrauma) dan sistem kardiovaskuler.
Memenuhi kenyamanan pasien
Memberikan rekondisi sesuai kerja load (workload) seperti fase istirahat selama pemulihan

C. Indikasi
1. Gagal Nafas hiperkapne, akibat :
1. Menurunnya pusat respirasi 5. Hipermetabolisme sehingga
2. Meningkatnya dead space mengakibatkan peningakatan
3. Shunt kanan kiri produksi CO2
4. Gagal mekanik

2. Gagal nafas hipoksia, akibat:


1. Shunt kanan kiri 3. Kelainan difusi
2. Mismatch ventilasi 4. ARDS

51
D. Kontraindikasi
a. Documented refusal to be mechanically ventilated as per an advance directive
signed by the patient or an acceptable surrogate
b. Device-specific contraindications may exist. Refer to the operators manual
and/or procedure

E. Peralatan
1. Resusitator manual dan face mask sesuai 12. Device-specific patient interface and
ukuran circuit including a water trap system capable
2. EKG monitor dan of
3. Alat pengukur oksimetri 13. closed disposal of condensation (when
4. Suction set necessary)
5. Intubasi set 14. Catatan : Pada pediatrik circuit shall
6. Stetoskop beutilized on pts. weighing < 20kg.
7. Oxygen analyzer 15. Test lung
8. Pressure monitor 16. ventilasi Continuous Ventilation Record
9. Volume monitor 17. Universal precautions attire
10. Timepiece 18. Kalibrasi perlengkapan dan
11. Sistem pelembaban / humidification mempertahankan dokumentasi sebagai
system bagian spesifikasi

Potensial Komplikasi:
1. Barotrauma pulmoner
2. Pneumonia, akibat ventilator
3. Kardiovaskuler compromise
4. Peningkatan TIK

Rapid Sequence Intubation (RSI)


OVERVIEW
Rapid sequence intubation (RSI) is an airway management technique that produces inducing
immediate unresponsiveness (induction agent) and muscular relaxation (neuromuscular
blocking agent) and is the fastest and most effective means of controlling the emergency
airway
the cessation of spontaneous ventilation involves considerable risk if the provider does not
intubate or ventilate the patient in a timely manner
RSI is particularly useful in the patient with an intact gag reflex, a full stomach, and a life
threatening injury or illness requiring immediate airway control
modified RSI is a term sometimes used to describe variations on the classic RSI approach
(e.g. ventilation during apnea, titration of induction agents); modified approaches tend to
trade an increased risk of aspiration for other benefits (e.g. prevent respiratory acidosis due
to apnea from compounding severe metabolic acidosis)

52
INDICATIONS FOR INTUBATION AND MECHANICAL VENTILATION
Indications
A airway protection and patency
B respiratory failure (hypercapnic or hypoxic), increase FRC, decrease WOB, secretion
management/ pulmonary toilet, to facilitate bronchoscopy
C minimise oxygen consumption and optimize oxygen delivery (e.g. sepsis)
D unresponsive to pain, terminate seizure, prevent secondary brain injury
E temperature control (e.g. serotonin syndrome)
F For humanitarian reasons (e.g. procedures) and for safety during transport (e.g.
psychosis)
The decision to perfrom RSI in the out of theatre setting involves weighing the pros and cons:

For Against
Lack of airway protection despite patency urgent need to OT and theatre is availableanatomically or
(swallow, gag, cough, positioning , and pathologically difficult airway (e.g. congenital deformity,
tone)hypoxia laryngeal fracture)
hypoventilation close proximity to OT
need for neuroprotection (e.g. target PaCO2 paediatric cases (especially <5 years of age)
35-40 mmHg) hostile enviroment
impending obstruction (e.g. airway burn, poorly functioning team
penetrating neck injury) lack of requisite skills among team
prolonged transfer emergency surgical airway is not possible (e.g. neck trauma,
combativeness tumour)
humane reasons (e.g. major trauma
requiring multiple interventions)
cervical spine injury (diaphragmatic
paralysis)

FACTORS THAT MAKE EMERGENCY INTUBATION DIFFICULT


RSI is useful if the following are present (from Richard Levitans Airwaycam.com):
1. Dynamically deteriorating clinical situation, i.e., there is a real need for speed
2. Non-cooperative patient
3. Respiratory and ventilatory compromise
4. Impaired oxygenation
5. Full stomach (increased risk of regurgitation, vomiting, aspiration)
6. Extremely short safe apnea times
7. Secretions, blood, vomitus, and distorted anatomy

PROCESS OF RSI
Remembered as the 9Ps:
Plan Preoxygenation
Preparation (drugs, equipment, Pretreatment (optional; e.g. atropine,
people, place) fentanyl and lignocaine)
Protect the cervical spine Paralysis and Induction
Positioning (some do this after Placement with proof
paralysis and induction) Postintubation management

53
Some add a 10th P for (cricoid) pressure after pretreatment but this procedure is optional and has
many drawbacks

Ideally, minimise instrumentation and suctioning prior to intubation to avoid stimulation of the
patients gag reflex.
ROLES DURING RSI
The airway team should be a minimum of 3 people:
airway proceduralist
airway assistant
drug administrator
The team leader may perform one of the above roles if necessary, but should ideally be a separate
stand alone role.
Other roles include:
person to perform MILS if indicated
person to perform cricoid pressure (if deemed necessary)
scribe
In the event of a failed airway, another person may take on the role of the airway proceduralist and
role re-allocation must be clearly communicated to the team.

PREPARATION FOR RSI


Preparation requires control over:
self
patient
others
environoment
Maintain a sterile cockpit environment when communicating the airway plan to the team, ideally
through use of a call and response checklist otherwise one of these two mnemonics will help:
SOAPME
O2 MARBLES
SOAPME
Suction
at least one working suction, place it between mattress and bed
Oxygen
NRBM and BVM attached to 15 LPM of O2, preferably with nasal prongs for apneic
oxygenation
Airways
7.5 ET tube with stylet fits most adults, 7.0 for smaller females, 8.0 for larger males, test

54
balloon by filling with 10 cc of air with a syringe
Stylet placed inside ET tube for rigidity, bend it 30 degrees starting at proximal end of
cuff (i.e. straight to cuff, then 30 degree bend)
Blade Mac 3 or 4 for adults curved blade
Miller 3 or 4 for adults straight blade
Handle attach blade and make sure light source works
Backups ALWAYS have a surgical cric kit available!
have video laryngoscope, LMA and bougie at bedside
Pre-oxygenate 15 LPM NRBM
Monitoring equipment/Medications
Cardiac monitor, pulse ox, BP cuff opposite arm with IV
Medications drawn up and ready to be given
End Tidal CO2
O2 MARBLES is an alternative for the equipment and planning:
Oxygen
masks (NP, NRB, BVM); monitoring
airway adjuncts (e.g. OPA, NPA, LMA); Ask for help and difficult airway trolley
RSI drugs; Resus drugs
BVM; Bougie
Laryngoscopes; LMA
ETTs; ETCO2
Suction; State Plan
IDEAL RSI INDUCTION AGENT
Does not exist (unfortunately!), but if it did it would:
smoothly and quickly render the patient unconscious, unresponsive and amnestic in one
arm/heart/brain circulation time
provide analgesia
maintain stable cerebral perfusion pressure and cardiovascular haemodynamics
be immediately reversible
have few, if any, side effects

DRUG DOSAGES FOR RSI


Regarding doses given below:
doses shown are for intravenous (IV) administration
IBW = ideal body weight, TBW = total body weight
doses may need to be adjusted in the hypotensive or shocked patient
Induction agents
Ketamine 1.5-2 mg/kg IBW
Etomidate 0.3-0.4 mg/kg TBW
Fentanyl 2-10 mcg/kg TBW
Midazolam 0.1-0.3 mg/kg TBW
Propofol 1-2.5 mg/kg IBW + (0.4 x TBW) (others simply use 1.5 mg/kg x TBW as the general
guide)
Thiopental 3-5 mg/kg TBW
Neumuscular blockers:

55
Suxamethonium 1-2 mg/kg TBW
Rocuronium 0.6-1.2 mg/kg IBW
Vecuronium 0.15-0.25 mg/kg IBW
INDUCTION AGENTS
Ketamine
Dose: 1.5 mg/kg IV (4mg/kg IM)
Onset: 60-90 sec
Duration: 10-20 min
Use: any RSI, especially if hemodynamically unstable (OK in TBI, does not increase ICP
despite traditional dogma) or if reactive airways disease (causes bronchodilation)
Drawbacks: increased secretions, caution in cardiovascular disease (hypertension,
tachycardia), laryngospasm (rare), raised intra-ocular pressure
Thiopentone
Dose: 3-5 mg/kg IV TBW
Onset: 30-45 sec
Duration: 5-10 min
Use: any RSI if haemodynamically stable, status epilepticus
Drawbacks: histamine release, myocardial depression, vasodilation, hypotension, must NOT
be injected intra-arterially due to risk of distal ischaemia, contra-indicated in porphyria
Propofol
Propofol 1-2.5 mg/kg IBW + (0.4 x TBW) (others simply use 1.5-2.5 mg/kg x TBW as the
general guide)
Onset: 15-45 seconds
Duration: 5 10 minutes
Use: Haemodynamically stable patients, reactive airways disease, status epilepticus
Drawbacks: hypotension, myocardial depression, reduced cerebral perfusion, pain on
injection, variable response, very short acting
Fentanyl
Dose IV 2-10 mcg/kg TBW
Onset: <60 seconds (maximal at ~5 min)
Duration: dose dependent (30 minutes for 1-2 mcg/kg, 6h for 100 mcg/kg)
Use: may be used in a low dose as a sympatholytic premedication (e.g. TBI, SAH, vascular
emergencies); may used in amodified RSI approach in low doses or titrated to effect in
cardiogenic shock and other hemodynamically unstable conditions
Drawbacks: respiratory depression, apnea, hypotension, slow onset, nausea and vomiting,
muscular rigidity in high induction doses, bradycardia, tissue saturation at high doses
Midazolam
Dose: 0.3mg/kg IV TBW
Onset: 60-90 sec
Duration: 15-30 min
Use: not usually recommended for RSI, some practitioners use low doses of midazolam and
fentanyl for RSI of shocked patients
Drawbacks: respiratory depression, apnea, hypotension, paradoxical agitation, slow onset,
variable response
Etomidate

56
0.3mg/kg IV
onset: 10-15 seconds
Use: suitable for most situations including haemodynamically unstable, other than sepsis or
seizures
Drawbacks: adrenal suppression, myoclonus, pain on injection, not available in Australia
PARALYTIC AGENTS
Suxamethonium (aka succinylcholine)
Dose: 1.5 mg/kg IV (2 mg/kg IV if myasthenia gravis) and 4 mg/kg IM (in extremis)
Onset: 45-60 seconds
Duration: 6-10 minutes
Use: widely used unless conra-indicated; ideal if need to extubate rapidly following an
elective procedure or to assess neurology in an intubated pateint
Drawbacks: numerous contra-indications (hyperkalemia, malignant hyperthermia, >5d after
burns/ crush injury/ neuromuscular disorder), bradycardia (esp after repeat doses),
hyperkalemia, fasciculations, elevated intra-ocular pressure, will not wear off fast enough to
prevent harm in CICV situations
Rocuronium
Dose: 1.2 mg/kg IV IBW
Onset: 60 seconds
Use: can be used for any RSI unless contra-indication or require rapid recovery for
extubation after elective procedure or neurological assessment; ensures persistent ideal
conditions in CICV situation (i.e. immobile patient for cricothyroidotomy) can be reversed
by sugammadex
Drawbacks: allergy (Rare)
Vecuronium
Dose: 0.15 mg/kg IV (may be preceded by a 0.01 mg/kg IV priming dose 3 minutes earlier)
Osent: 120-180 econds
Duration: 45-60 minutes
Use: not recommended for RSI, unless no suxamethonium or rocuronium cannot be used
can be reversed by sugammadex
Drawbacks: allergy (rare), slow onset, long duration
RSI IN DIFFICULT SETTINGS
Ensure 360 degree access to the patient
consider scoop and run (e.g. from prehospital envirnoment to ED, or from ward to
recovery/ ICU)
RSI is rarely practical in the position that the patient is found, whether that be prehospital or
on the ward
airway equipment (e.g. prehospital kit dump), monitors and the airway assistant are
typically on the patients right
RSI in an ambulance
intubation of a patient on the ground:
best eye line for intubator if intubator is lying prone
prone intubator is at a mechanical disadvanatge, this can be overcome by
perfroming intubatiion with the patient in the left lateral position- but this is more
technically challenging and the intubator should have left elbow padding

57
ideally avoid intubation on the ground
can place patient on spine board or equivalent and raise
can perform with intubator kneeling (use knee pads)
RSI in aircraft
have a low threshold for RSI prior to take off
in aircraft there is variable access to the airway and the whole patient so intubation should
be avoided if possible
in confined space aircraft, the approach is to pre-oxyegnate and then land for RSI (PALM
may be performed if needed)
in non-confined space airacraft landing may still be the preferred option
intubation in an aircraft may be needed in certain settings (e.g. resuce from a hostile
environment)
RSI in a ward environment
consider transfer to recovery/ ICU for RSI
exercise crowd control
adjust and move beds and other equipment as required
ensure access to the patient
consider the needs of other patients nearby

OBSTRUCTIVE SLEEP APNOEA


OVERVIEW
Obstructive sleep apnea (OSA) syndrome is defined by the following features:
cessation of airflow from nose/mouth for >10s
resulting in intermittent respiratory arrests with hypoxaemia
interruption of REM sleep
>5 episodes/h
PATHOPHYSIOLOGY
patency of the oropharyngeal airway is due to activity of paired sets of upper airway muscles
during normal respiratory activity muscles (e.g. soft palate, pharyngeal walls, tongue)
prevent otherwise floppy structures from being sucked into the airway
obstruction during sleep may be due to a combination of factors:
(1) reduced airway size
enlarged tonsils/adenoids, macroglossia, myxoedema, acromegaly, malignancy, structurally small
airway
(2) decreased neuromuscular tone
reduced tone occurs in REM sleep, particularly in postural muscles of the pharynx and palate
3) neuromuscular incoordination
the normal coordination of increased upper airway tone with inspiration is lost
RISK FACTORS
Children
tonsillar hypertrophy
congenital syndromes
hypotonia

58
Adults
smoking acromegaly
ETOH DM
CORD CHF
airway pathology cushings
CVA polio
HISTORY (STOPBANG)
Snoring (ask the patients partner!) BMI (increased)
Tired Age (middle aged)
Obstruction (apnoea) Neck circumference
Pressure (HTN) Gender (males > females)
Symptoms of pulmonary hypertension and right heart failure
e.g SOBOE, ankle swelling, chest pain, tightness

PMH
OSA is a multi-system disease
CNS: decreased cognition, decreased mood, CVA, accidents, headaches, somnolence,
glaucoma
CVS: HT, IHD, PHT, right heart failure, AF
RESP: hypoxaemia, hypercapnia, cor pulmonale, decreased FRC
ENDO: DM, impotence
HAEM: polycythaemia
Meds:
inhalers, medications for above problems
SH:
occupation sedentary occupation
diet high energy consumption
exercise regular exercise

EXAMINATION
BMI >30
Airway
large tongue Mallampati 3-4
full pharyngeal, palate, and tonsillar neck circumference >40cm
fat pads limited atlanto-occipital movement
stridor on breathing while conscious large amount of breast tissue
and upright (collapsing of pharyngeal
tissue)
Breathing
decreased SpO2 on RA
increased RR
cyanosis
Circulation
hypertension, tachycardia

59
signs of heart failure: elevated JVP, right ventricular heave, apex displaced, murmurs, ankle
swelling, enlarged liver
INVESTIGATIONS
FBC: polycythaemia
U+E: renal impairment
ECG: right heart strain
ABG: PO2 on RA
ECHO: PHT, right heart function
Sleep study/Polysomnograph
SpO2, nasal airflow, EEG, EMG, respiratory and abdominal muscle movement, ECG
apnoea index = <5/hr mild, >30/hr severe
MANAGEMENT
CPAP (bring in from home while an inpatient)
continue normal respiratory medications
RHF treatment
life style modification (weight loss, stop smoking, decrease ET-OH)
surgical options
weight reduction
adenoidectomy, ect
avoid premedication (sedation)
plan for difficult mask ventilation +/- intubation

NONINVASIVE VENTILATION (NIV)


Noninvasive ventilation (NIV) refers to the administration of ventilatory support without using an
invasive artificial airway (endotracheal tube or tracheostomy tube). The use of noninvasive
ventilation (see the video below) has markedly increased over the past two decades, and
noninvasive ventilation has now become an integral tool in the management of both acute and
chronic respiratory failure, in both the home setting and in the critical care unit. Noninvasive
ventilation has been used as a replacement for invasive ventilation, and its flexibility also allows it to
be a valuable complement in patient management. Its use in acute respiratory failure is well
accepted and widespread. It is the focus of this review. The role of noninvasive ventilation in those
with chronic respiratory failure is not as clear and remains to be defined.
The key to the successful application of noninvasive ventilation is in recognizing its capabilities and
limitations. This also requires identification of the appropriate patient for the application of
noninvasive ventilation (NIV). Patient selection is crucial for the successful application of noninvasive
ventilation. Once patients who require immediate intubation are eliminated, a careful assessment of
the patient and his or her condition determines if the patient is a candidate for noninvasive
ventilation. This requires evaluation on several levels, and it may involve a trial of noninvasive
ventilation. The following variables and factors help identify patients who may be candidates for
noninvasive positive-pressure ventilation.
Absolute contraindications are as follows:
Coma
Cardiac arrest
Respiratory arrest

60
Any condition requiring immediate intubation
Other contraindications (rare exceptions) are as follows:
Cardiac instability - Shock and need for pressor support, ventricular dysrhythmias,
complicated acute myocardial infarction
GI bleeding - Intractable emesis and/or uncontrollable bleeding
Inability to protect airway - Impaired cough or swallowing, poor clearance of secretions,
depressed sensorium and lethargy
Status epilepticus
Potential for upper airway obstruction - Extensive head and neck tumors, any other tumor
with extrinsic airway compression, angioedema or anaphylaxis causing airway compromise
Other considerations that may limit application are as follows:
Implementation - Staff learning curve and time requirements (nursing and respiratory
therapy), potential for delay in definitive therapy (limit trials of therapy)
After eliminating unsuitable candidates for noninvasive ventilation, successful application of
noninvasive ventilation mandates close assessment and selection of patients and identification of
conditions best suited for treatment. Not all patients with diagnoses capable of management with
noninvasive ventilation (eg, chronic obstructive pulmonary disease [COPD]) are suitable candidates
for treatment with noninvasive ventilation. Patients with mild disease or very severe distress may
not benefit from noninvasive ventilation, which is best suited for patients with a moderate severity
of illness.
Patient inclusion criteria are as follows:
Patient cooperation (an essential component that excludes agitated, belligerent, or
comatose patients)
Dyspnea (moderate to severe, but short of respiratory failure)
Tachypnea (>24 breaths/min)
Increased work of breathing (accessory muscle use, pursed-lips breathing)
Hypercapnic respiratory acidosis (pH range 7.10-7.35)
Hypoxemia (PaO 2/FIO 2 <200 mm Hg, best in rapidly reversible causes of hypoxemia)
Not all respiratory conditions are suitable for treatment with noninvasive ventilation. Conditions
that have garnered the most experience and success are generally conditions that also respond
relatively quickly to treatment, for which noninvasive ventilation provides an important adjunctive
support to other simultaneously administered therapeutics. These are listed below and are
discussed in subsequent sections. Be aware that the list and indications continues to change as more
experience is accumulated in these and newer conditions.
Suitable clinical conditions for noninvasive ventilation (most patients) are as follows:
Chronic obstructive pulmonary disease
Cardiogenic pulmonary edema
Suitable clinical conditions for noninvasive ventilation (selected patients) are as follows:
After discontinuation of mechanical ventilation (COPD)
Community-acquired pneumonia (and COPD)
Asthma
Immunocompromised state (known cause of infiltrates)
Postoperative respiratory distress and respiratory failure
Do-not-intubate status
Neuromuscular respiratory failure (better in chronic than acute; avoid if upper airway issues)

61
Decompensated obstructive sleep apnea/cor pulmonale
Cystic fibrosis
Mild Pneumocystic carinii pneumonia
Rib fractures
Use with caution in the following clinical conditions:
Idiopathic pulmonary fibrosis (exacerbation)
Acute respiratory distress syndrome (consider helmet ventilation)

NEAR-DROWNING

Near-drowning is a term used to describe almost dying from suffocating under water. It is the last
stage before actual drowning, which often results in death. Near-drowning victims still require
medical attention to prevent related health complications.
Most people who nearly drown are young children, but drowning accidents can happen to anyone of
any age.
Near-drowning occurs when youre unable to breathe under water for a significant period of time.
During near-drowning, oxygen intake decreases and major body systems shut down from the lack of
oxygen flow. In some cases (particularly in young children), this can happen in a matter of seconds.
The process typically takes longer in adults.
Its important to remember that its possible to revive a person who has been underwater for a long
time.
The majority of near-drowning cases are attributed to accidents that occur near or in the water. The
most common causes of near-drowning include:
an inability to swim alcohol consumption while swimming
panic in the water or on a boat
leaving children unattended near concussion, seizure, or heart attack
bodies of water while in water
falling through thin ice suicide attempt
Its a misconception that youre safe if youre larger than a body of water. You can drown in just a
couple of inches of water.
Symptoms of Someone Who Nearly Drowned
Someone who has nearly drowned may be unresponsive. Other symptoms include:
cold or bluish skin cough
abdominal swelling shortness or lack of breath
chest pain vomiting

Treatment for Near-Drowning


Always call 911 before attempting CPR or other drowning treatments.
Near-drowning most often occurs when no lifeguard or medical professional is present. You may
attempt to rescue the person from water, but only if its safe for you to do so. Use safety objects,
such as life rings and throw ropes, to help the victim if theyre still conscious.
You should only enter the water to save an unconscious person if you have the swimming skills to
safely do so.

62
Its important to start rescue breathing as soon as possible if the person has stopped breathing. CPR
involves giving oxygen to the person through mouth-to-mouth movements. Chest compressions are
equally important because they help increase oxygen flow through the blood to prevent fatal
complications.
Be very careful when handling the person and performing CPR, as they could have a neck or spinal
injury. Do not move or turn their neck. Stabilize the neck by taping it to a stiff board (backboard) or
placing towels or other objects around the neck to support it.
If the person has near-drowned in cold water, remove their wet clothes and cover them in warm
blankets or clothing to prevent hypothermia. Be careful not to move the neck while removing
clothing.
Resuscitation may still be possible even if someone has been underwater for quite some time.

Adenosine
Adenosine adalah anti-arrhythmic yang bekerja dengan cara memperlambat konduksi elektrik dalam
jantung, memperlambat detak jantung, dan menormalkan irama jantung.
Adenosin merupakan nukleosida purin yang terbentuk dari pemecahan adenosin trifosfat (ATP). ATP
merupakan sumber energi utama dari sel untuk sistem transpor dan banyak enzim.Kebanyakan ATP
diubah menjadi ADP, yang akan dihidrolisis lebih jauh menjadi AMP. Banyak ADP dan AMP di
refosforilasi dalam mitokondria dengan menggunakan enzim dengan bantuan oksigen.Jika banyak
ATP yang dihidrolisis dan tidak terlalu banyak oksigen, maka beberapa AMP akan diubah menjadi
adenosin menggunakan enzim.

Indikasi:
Untuk mengobati supraventricular tachycardia, gangguan irama jantung.

Dosis:
6 mg dengan kecepatan bolus IV diberikan selama 1-2 detik
Jika tidak efektif dalam 1-2 menit, boleh berikan dosis kedua: 12 mg bolus IV

Efek Samping:
Efek CV (kemerah-merahan); Efek CNS (sakit kepala, lightheadedness); Efek berturut-turut (dyspnea,
dada terasa tidak nyaman); Efek lainnya (ketidaknyamanan di kepala, leher dan rahang).

Instruksi Khusus:
Berkontra-indikasi pada pasien dengan sumbatan jantung parah dan sindrom sinus, atrial
flutter, A-fib & VT.
Jauhi dari pasien dengan penyakit bronchoconstrictive hati.
Pasien dengan kadar Theophylline, Caffeine atau Theobromine dalam darah yang signifikan
mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Dobutamin
Dobutamin adalah salah satu obat katekolamin sintetis yang berfungsi merangsang reseptor beta-1
pada organ jantung. Obat ini digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung
sehingga volume darah yang dipompa meningkat. Tidak seperti katekolamin lainnya, efek samping

63
pada jantung yang disebabkan dobutamin termasuk minim sehingga dapat menurunkan risiko detak
jantung yang tidak teratur.
Dobutamin dapat digunakan untuk mengatasi gagal jantung yang menyertai syok kardiogenik dan
syok septik dengan gangguan fungsi ventrikel jantung. Pada pasien anak-anak (bayi baru lahir hingga
usia 18 tahun), obat ini digunakan pada pasien dengan volume output jantung sedikit akibat baru
melalui operasi jantung dan kardiomiopati (lemah jantung).

Tentang Dobutamin

Jenis obat Obat jantung

Golongan Obat resep

Manfaat Terapi penunjang untuk meningkatkan kontraksi jantung

Dikonsumsi oleh Dewasa dan anak

Bentuk Suntik

Peringatan:
Wanita yang sedang hamil dan menyusui tidak dianjurkan untuk mendapat obat ini sebelum
ada persetujuan dari dokter
Pasien bayi dan anak-anak perlu mendapat persetujuan dari dokter sebelum diberikan obat
ini
Pasien syok kardiogenik yang disertai hipotensi yang parah, diabetes, dan glaukoma sudut
tertutup.
Penderita hipertiroidisme, iskemik jantung, atau yang baru mengalami serangan iskemik
jantung.
Penderita yang sensitif atau memiliki alergi terhadap kandungan obat-obatan atau makanan
tertentu, bahan pengawet, bahan pewarna, dan bulu hewan.
Penderita yang sedang menjalani perawatan lain pada waktu yang sama, termasuk terapi
suplemen, pengobatan herba, atau pengobatan pelengkap lainnya.
Segera temui dokter jika terjadi reaksi alergi atau overdosis saat menggunakan dobutamin.
Dosis Dobutamin

Kondisi Dosis awal

Dewasa
2.5-10 mikrogram (mkg)/kg/menit.
Rentang dosis: 0.5 - 40 mkg/kg/menit.
Usia bayi hingga 18 tahun
Dosis awal: 5 mkg/kg/menit.
Dosis disesuaikan dengan respons tubuh 2-20
Gagal Jantung Akut mkg/kg/menit.

Dosis dobutamin akan disesuaikan dengan usia, berat badan, kondisi fisik, jumlah urine dan respons
pasien terhadap pengobatan. Dokter akan meninjau dosis dan pengobatan secara teratur agar tetap
sesuai dengan kondisi pasien.

64
Pemberian Dobutamin dengan Benar
Perhatikan larutan obat sebelum disuntik. Larutan harus jernih. Jangan gunakan jika larutan memiliki
warna, mengandung sesuatu yang mengapung dalam cairan, atau wadahnya bocor. Dobutamin
harus diberikan sesuai instruksi dokter.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Dobutamin
Sama seperti obat-obatan lain, dobutamin berpotensi menyebabkan efek samping. Beberapa reaksi
alergi atau efek samping yang dapat terjadi antara lain:
Mual Aritmia, atau gangguan pada detak
Pusing jantung
Demam Angina, atau sakit di area dada
Tremor Takikardia, atau detak jantung yang
Hipertensi berdetak di atas normal pada kondisi
beristirahat
Segera hentikan penggunaan obat ini dan beri tahu dokter jika Anda merasakan gejala-gejala di atas
maupun gejala-gejala lain yang dicurigai berhubungan dengan dobutamin.

Epinefrin dan norepinefrin


Epinefrin dan norepinefrin juga disebut noradrenalin dan adrenalin adalah hormon katekolamin
yang memainkan peran penting dalam regulasi internal tubuh dengan otak. Noradrenalin (identik
dengan norepinefrin), adalah neurotransmitter utama dari sistem saraf simpatik, bertanggung jawab
untuk tonik dan perubahan refleksif kardiovaskular.
Epinefrin dan norepinefrin memiliki fungsi, meliputi:
Meningkatkan tingkat metabolisme, terutama dari otot rangka dan jantung
Meningkatkan denyut jantung
Meningkatkan tekanan darah
Glikogenolisis di sel hati, glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah
Glikogenolisis di sel-sel otot, glukosa dimetabolisme dan digunakan sebagai sumber energi.
Lipolisis di adiposit, Asam lemak dilepaskan ke aliran darah
Bronkodilator adalah sebuah substansi yang dapat memperlebar luas permukaan bronkus
dan bronkiolus pada paru-paru, dan membuat kapasitas serapan oksigen paru-paru
meningkat.
Pirau darah dari organ-organ internal dan kulit, darah masuk ke organ penting (otak, otot,
hati)
Ringkasan
Norepinefrin dan Epinefrin adalah hormon katekolamin.
Norepinefrin adalah neurotransmitter utama dari saraf simpatis pada sistem kardiovaskular.
Epinefrin adalah hormon utama yang disekresi oleh medula adrenal.
Sistem noradrenergik simpatik memainkan peran utama dalam tonik dan perubahan
refleksif dalam nada kardiovaskular.
Adrenalin merupakan penentu utama dari tanggapan terhadap tantangan metabolik atau
global untuk homeostasis.
Tanggapan adrenalin untuk stres yang lebih erat terkait dengan respon sistem hipotalamus-
hipofisis-adrenocortical dari sistem saraf simpatik.

65
Sistem noradrenergik simpatik aktif bahkan ketika individu sedang beristirahat dan
mempertahankan kinerja tingkat tonik kardiovaskular.
Adrenoseptor dalam membran sel efektor menentukan efek fisiologis dan metabolisme
katekolamin.
Beta-adrenoseptor menengahi efek stimulasi dari katekolamin pada tingkat dan kekuatan
denyut jantung; stimulasi vaskular alpha-adrenoseptor menghasilkan vasokonstriksi dan
meningkatkan tekanan darah, serta stimulasi dari pembuluh darah beta-adrenoseptor
terutama beta-2 adrenoseptor di otot rangka menghasilkan vasodilatasi.
Katekolamin mempengaruhi fungsi kardiovaskular dengan tindakan di adrenoseptor pada
sel-sel jantung, dalam sistem saraf, dan ginjal.

Obat-Obat Syok Kardiogenik: Dopamin, Dobutamin dan Norepinefrin

Syok kardiogenik adalah penyakit yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat.
Sebagai dokter garda terdepan, dokter umum memiliki tanggungjawab untuk menguasai kompetensi
penatalaksanaan kegawatdaruratan pada syok kardiogenik.
Hal pertama yang harus diketahui dokter umum adalah tanda syok kardiogenik. Syok
kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik karena depresi berat cardiac index dan hipotensi
sistolik arterial yang menetap (< 90 mmHg).

Presentasi Klinis Pasien dengan Syok Kardiogenik


Sederhanya, penampakan klinis syok kardiogenik dapat menjadi panduan. Kebanyakan pasien syok
kardiogenik datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan mengeluhkan nyeri dada, sesak, tampak
pucat dan keringat dingin. Perubahan status mental sering dilaporkan, termasuk somnolen, tampak
kebingungan dan agitasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pulsasi nadi biasanya lemah dan cepat. Pulsasi nadi bisa sangat lambat
(bradikardia berat) bila telah terjadi blok AV derajat berat. Pengukuran tekanan darah sistolik
menurun dengan tekanan nadi yang sempit (< 30 mmHg).
Gangguan napas yang dapat terjadi diantaranya takipneu dan respirasi Cheyne-Stokes. Distensi vena
juguler dapat terjadi. Ronkhi basah halus dapat terdengar pada sebagian besar kasus syok
kardiogenik karena kegagalan ventrikel kiri. Oligouria pada kondisi gagal ginjal akut juga sering
dilaporkan.
Pada pemeriksaan auskultasi jantung, bunyi jantung S1 dapat terdengar lembut. Suara gallop S3 juga
dapat didengar. Tanda akut regurgitasi mitral berat atau ruptur septum ventrikel biasanya
berhubungan dengan murmur sistolik khas.

Pemeriksaan Laboratorium Penting Syok Kardiogenik


Pemeriksaan fungsi ginjal penting karena pada pasien syok kardiogenik sering terjadi perburukan
ginjal progresif. Pemeriksaan kadar BUN dan serum kreatinin akan memberikan gambaran kondisi
ginjal saat ini.
Pemeriksaan transaminasi hepar (ALT dan AST) sering mengalami peningkatan bermakna karena
hipoperfusi hepar yang memicu kematian hepatosit secara luas. Lebih lanjut hipoperfusi pada
jaringan secara sistemik akan mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi dan
kadar laktat yang meningkat.

66
Sehingga, pemeriksaan analisis gas darah penting untuk mengkonfirmasi hipoksemia dan asidosis
metabolik yang dapat dikompensasi oleh alkalosis respiratorik. Pemeriksaan biomarka
jantung seperti CK, CKMB dan troponin penting untuk mengkonfirmasi kondisi infark miokard akut.

Pemeriksaan EKG pada Syok Kardiogenik


Pemeriksaan EKG adalah modalitas yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik.
Ketersediaan EKG yang memadai di Instalasi Gawat Darurat menunjukkan komitmen manajemen
rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang handal.
Pada syok kardiogenik karena infark miokard akut dengan gagal ventrikel kiri, sering ditemukan
gelombang Q dan atau ST elevasi pada lead multiple atau LBBB. Lebih dari 50% dari semua infark
yang berhubungan dengan syok berlokasi di anterior.

Obat-Obat Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik sering terjadi sebagai kelanjutan dari gagal jantung berat atau kelanjutan infark
miokard yang luas. Dalam keadaan ini diperlukan obat-obat inotropik antara
lain dopamin, dobutamin dan norepinefrin.

Dopamin
1. Indikasi :Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau kecenderungan syok setelah
mendapat terapi cairan
2. Mekanisme :Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 1. Meningkatkan kontraktilitas miokard
dan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang diharapkan setelah pemberian
dopamin adalah peningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Memiliki efek renal,
pemberian dopamin dalam dosis rendah memiliki efek proteksi terhadap renal.
3. Dosis: Diberikan secara drip 1-5 mcg/kgBB/min dan dapat ditingkatkan sampai 5-10
mcg/kgBB/min. Pada kondisi syok berat boleh diberikan sampai 20-50 mcg/kgBB/menit.
4. Kontraindikasi: Hipertiroidisme, feokromositoma, takiaritmia, fibrilasi ventrikel, glaukoma
sudut sempit, adenoma prostat
5. Efek Samping: Hipertensi, aritmia, pelebaran komplek QRS, azotemia dan iskemia miokard
6. Interaksi Obat: Potensiasi efek dengan penghambat MAO, fenotiazin, butirofenon,
antagonistik dengan penghambat reseptor B adrenergik.
7. Sediaan: Ampul 200 mg/10 mL

Dobutamin
1. Indikasi :Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau kecenderungan syok setelah
mendapat terapi cairan
2. Mekanisme :Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 2 adrenergik. Meningkatkan kontraktilitas
miokard dan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang diharapkan setelah
pemberian dopamin adalah peningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Efek renal tidak
ada. Efek takikardi lebih ringan dari dopamin. Dobutamin sering digunakan bersama
dopamin, dengan mempertahankan dosis dopamin tetap rendah dan meningkatkan dosis
dobutamin secara bertahap untuk menstabilkan hemodinamik pada syok kardiogenik.
3. Dosis: Diberikan secara drip 2-15 mcg/kgBB/min dan pada kondisi syok berat boleh
diberikan sampai 40 mcg/kgBB/menit.

67
4. Kontraindikasi: Idiopathic hypertropic subaortic stenosis, riwayat hipersensitivitas terhadap
dobutamin
5. Efek Samping: takikardia, palpitasi, hipertensi, aritmia ventrikel ektopik, mual, sakit kepala,
angina pektoris dan napas pendek.
6. Interaksi Obat: Beta-Blockers dan nitroprusside
7. Sediaan: Ampul 250 mg/20 mL

Norepinefrin
1. Indikasi :Hipotensi dan syok, sebagai obat tambahan pada henti jantung
2. Mekanisme :Norepinefrin disintesis dari dopamin dan dilepaskan oleh medulla adrenal ke
sirkulasi. Agonis reseptor alfa 1. Aktivasi reseptor alfa adrenergik menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah. Frekuensi denyut jantung akan turun
sebagai refleks kompensasi peningkatan tekanan darah.
3. Dosis: 1 ampul 4 mg dilarutkan dalam 1000 mL dekstrose 5%. Infus 0,5-1 mL/menit.
4. Kontraindikasi: Hipertensi, kehamilan, laktasi. Hipotensi akibat defisit volume sirkulasi.
5. Efek Samping: Bradikardia, iskemia serebral dan kardia, aritmia, ansietas, sakit kepala,
nekrosis bila terjadi ekstravasasi infus.
6. Interaksi Obat: Potensiasi efek dengan penghambat MAO, Trisiklik Antidepresan
7. Sediaan: Ampul 4 mg/4 mL

Cardiac arrest
Cardiac arrest is the abrupt loss of heart function in a person who may or may not have
diagnosed heart disease. The time and mode of death are unexpected. It occurs instantly or shortly
after symptoms appear.

Is a heart attack the same as cardiac arrest?


No. The term "heart attack" is often mistakenly used to describe cardiac arrest. While a heart
attack may cause cardiac arrest and sudden death, the terms don't mean the same thing. Heart
attacks are caused by a blockage that stops blood flow to the heart. A heart attack (or myocardial
infarction) refers to death of heart muscle tissue due to the loss of blood supply, not necessarily
resulting in the death of the heart attack victim.
Cardiac arrest is caused when the heart's electrical system malfunctions. In cardiac arrest death
results when the heart suddenly stops working properly. This may be caused by abnormal, or
irregular, heart rhythms (called arrhythmias).

A common arrhythmia in cardiac arrest is ventricular fibrillation. This is when the heart's lower
chambers suddenly start beating chaotically and don't pump blood. Death occurs within minutes
after the heart stops. Cardiac arrest may be reversed if CPR (cardiopulmonary resuscitation) is
performed and a defibrillator is used to shock the heart and restore a normal heart rhythm within a
few minutes.
Cardiac arrest is a sudden stop in effective blood flow due to the failure of the heart to contract
effectively.Symptoms include loss of consciousness and abnormal or absent breathing.Some people
may have chest pain, shortness of breath, or nausea before this occurs. If not treated within
minutes, death usually occurs.

68
The most common cause of cardiac arrest is coronary artery disease. Less common causes
include major blood loss, lack of oxygen, very low potassium, heart failure, and intense physical
exercise. A number of inherited disorders may also increase the risk including long QT syndrome.
The initial heart rhythm is most often ventricular fibrillation. The diagnosis is confirmed by finding no
pulse. While a cardiac arrest may be caused by heart attack or heart failure these are not the same.

Mati Batang Otak (MBO)

Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang
otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam,
hilangnya seluruh reflex batang otak, dan apneu.
Pemeriksaan Mati Batang Otak
Mati Batang Otak (MBO) atau Mati Otak atau Brain Death adalah suatu keadaan dimana fungsi otak
secara seluruhan termasuk batang otak telah hilang. Seseorang yang sudah dinyatakan MO pada
dasarnya dikatakan sudah meninggal. Kepentingan merumuskan konsep MO adalah:
1. Etikal: MO merupakan keadaan klinis yang definitif. Penderita dengan MO akan mengalami kondisi
asistolik dalam seminggu dengan tanpa memandang terapi apa yang sudah diberikan. Pada 20.000
lebih kasus MO yang didokumentasikan, tidak ada yang hidup kembali.
2. Kemanusiaan: setiap manusia memiliki hak untuk dihormati termasuk pada saat kematian,
keputusan untuk menentukan kematian sebaiknya tidak perlu terlalu ditunda.
3. Manfaat: perawatan penderita di Ruang Perawatan Intensif (ICU) membutuhkan dana yang tinggi.
Secara moral dan ekonomis tidak dapat dibenarkan tetap melakukan ventilasi pada keadaan MO,
jadi fasilitas tersebut sebaiknya diberikan pada penderita lain yang mempunyai prognosis lebih baik.
4. Transplantasi organ: menerima keaadaan MO akan merupakan bagian yang penting bagi program
transplantasi organ.

PRA KONDISI:
1. Penderita dengan koma dalam, apnea dan menggunakan ventilator setidaknya selama 12 jam.
2. Penyebab koma telah ditegakkan dan sudah cukup untuk menjelaskan keadaan penderita.
3. Terdapat kerusakan struktur otak yang sudah tidak dapat disembuhkan.

KRITERIA EKSKLUSI:
1. Koma yang disebabkan oleh kelainan metabolik atau endokrin, intoksikasi obat dan hipotermia
primer (ditetapkan jika temperatur tubuh < 320 C).
2. Penyakit neurologis tertentu misalnya Sindroma Guillain Barre, Sindroma Miller Fisher dan
Sindroma Lock-in.
3. Koma yang belum diketahui sebabnya.
4. Neonatus prematur

69
KRITERIA DIAGNOSTIK: (harus dipenuhi semuanya!)
1. Koma dalam, tidak responsif dan tidak reseptif, GCS 3/15
2. Apnea, dikonfirmasi dengan tes apnea
3. Refleks batang otak tidak ada dan dikonfirmasikan dari serangkaian tes:
a. Refleks cahaya pupil e. Refleks vestibulo-okular (tes kalori)
b. Refleks okulo-sefalik f. Refleks oro-faringeal
c. Respon motorik dari saraf kranialis g. Refleks trakeo-bronkial
d. Refleks kornea

PEMERIKSAAN (Seluruh keadaan dan kriteria eksklusi harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan untuk MBO).
1. Refleks cahaya pupil: tidak ada respon terhadap cahaya bilateral.
2. Refleks okulo-sefalik (Dolls eyes phenomena) negative: pemeriksaan ini hanya dikerjakan jika
tidak ada fraktur atau tidak stabilnya tulang leher secara jelas. Respon tes ini ditimbulkan dengan
membuat gerakan cepat, bertenaga dengan memindahkan posisi kepala dari posisi ditengah ke 90
pada kedua sisi.
3. Refleks kornea: tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas.
4. Respon motorik dari nervi kranialis: tidak ada seringai yang tampak jika diberikan stimulis nyeri
dengan melakukan penekanan pada saraf supraorbita, tekanan dalam pada kedua kondilus
persendian temporo-mandibula atau pada kuku (nail bed).
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori): pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi
membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30 dengan melakukan irigasi
membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap
telinga dan jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata
secara langsung terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
6. Refleks oro-faringeal: tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior.
7. Refleks trakeo-bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube hingga
mencapai karina atau lebih dalam. Hilangnya refleks batuk terhadap penghisapan bronkial harus
dijumpai.
8. Tes apnea:
a. Prasyarat: penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil
b. Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO2 berkisar 40 mmHg
c. Pra-oksigenasi dengan O2 100% selama 10 menit
d. Diskoneksi dari ventilator
e. Berikan 100% O2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/m
f. Monitoring O2 saturasi dengan pulse oxymetri
g. Ukur PaCO2 setelah 5 menit lalu setelah 8 menit jika PaCO2 tidak melebihi 60 mmHg
h. Hubungkan kembali penderita dengan ventilator
i. Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan
j. Tes apnea positif: jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO2 60 mmHg
PERHATIAN : Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, desaturasi yang nyata atau
aritmia kardiak, secara langsung dilakukan pemeriksaan AGD, hubungkan segera kembali dengan
ventilator. Seharusnya pada keadaan PaCO2 < 60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya
pertimbangan diserahkan kepada pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau
tergantung dari tes lain untuk menegakkan diagnosis klinis MBO. (Untuk penderita dengan penyakit

70
paru kronik, standar dasar PaCO2 mungkin diatas 40 mmHg. Tes apnea dikatakan positif jika tidak
ada usaha bernafas pada PaCO2 meningkat 20 mmHg dari standart dasar PaCO2).

INTUBASI

Indikasi intubasi:
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-
lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
6. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-
kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu
pekerjaan ahli bedah.
7. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
8. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
9. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
10. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
11. Tracheostomni.
12. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
13. operasi dengan posisi miring/ tengkurap
14. operasi dengan resiko tinggi
15. operasi dengan lambung penuh
16. terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)

Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :


- Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi,
operasi pada lidah
- Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
- Bila direct vision pada intubasi gagal.
- Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

Kontra Indikasi Intubasi Endotrakheal


1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa
kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Alat-alat yang dipergunakan
Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :

71
- Blade lengkung (McIntosh). dewasa.
- Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak.
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau
besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada
anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0
mm dan perempuan 7,5 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)
Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil.
Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan
faring pada pasien yang tidak diintubasi.
Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat
bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal
nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
Alat pengisap atau suction.

Prosedur Tindakan Intubasi.


a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu
garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang
akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan
lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan

72
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara
nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan
nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

Obat-Obatan yang Dipakai.


a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling
populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan
barbiturat I.V. dengan dosis 20 100 mg.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant
c. Cyclopropane
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas
laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat
mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan
dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.

Komplikasi Intubasi Endotrakheal.


1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
o Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
o Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera
tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
o Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan
intraocular meningkat dan spasme laring.
o Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.


Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi
laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.

3. Komplikasi setelah ekstubasi.

73
Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak
atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
Gangguan refleks berupa spasme laring.

Syarat Ekstubasi
1. insufisiensi nafas (-) 6. pasien sadar penuh
2. hipoksia (-) 7. mampu bernafas bila diperintah
3. hiperkarbia (-) 8. kekuatan otot sudah pulih
4. kelainan asam basa (-) 9. tidak ada distensi lambung
5. gangguan sirkulasi (TD turun,
perdarahan) (-)

NEEDLE THORACENTESIS

DEFINITION: The introduction of a needle or catheter into the pleural space to release
trapped/accumulated air within the pleural space.
This procedure is used to decompress the pleural cavity and allow the collapsed lung to re-
inflate. This procedure also reduces the pressure on the heart and unaffected lung usually
associated with a tension pneumothorax. The procedure is to be performed on rapidly deteriorating
patients who have developed a tension pneumothorax. (If this technique is used and the patient
does not have a tension pneumothorax, there is a 10% to 20% risk of producing a pneumothorax and
or causing damage to the lung.)

INDICATIONS FOR NEEDLE THORACENTESIS:


1. TENSION PNEUMOTHORAX:
a. Can occur from either blunt or penetrating trauma.
1. Air enters the pleural cavity on inspiration but is prevented from escaping on exhalation.
2. Eventually the lung on the affected side completely collapses.
3. As the air pocket increases with each breath, it will eventually grow large enough to start
pressing against other internal structures within the chest cavity, predominantly the trachea,
heart, and great vessels.
4. This additional pressure is responsible for the life threatening complications seen with this
condition.
b. Signs and Symptoms:
1. Dyspnea - labored breathing
2. Anxiety
3. Tachypnea rapid and shallow breathing
4. Diminished or absent breath sounds on the affected side
5. Hypotension
6. Distended neck veins
7. Tracheal deviation

2. SPONTANEOUS SIMPLE PNEUMOTHORAX


a. Collapsed lung caused by the rupture of a congenitally weak area on the surface of the lung.

74
b. Spontaneous simple pneumothoraxs usually occur in young white males, age 16 to 25 years old,
who possess a very lanky, thin, runners build.
c. Symptoms usually occur when:
1. The patient is at rest and feels a popping sensation within the chest
2. The patient wakes up in the morning and feels short of breath
d. Spontaneous simple pneumothoraxs occur without evidence of trauma.
e. Signs and Symptoms:
1. Chest pain on the affected side
2. Dyspnea / Shortness of Breath
3. Symptoms usually begin during rest or sleep
4. Small pneumothorax:
a) Mild to moderate increase in respiratory rate
b) Mild to moderate tachycardia
c) Diminished breath sounds on affected side
5. Large pneumothorax:
a) Tachypnea marked
b) Tachycardia marked
c) Cyanosis
d) Absent breath sounds on affected side
e) Decreasing level of consciousness

C. NEEDLE THORACENTESIS
1. DEFINITION - A procedure where a needle and catheter are inserted through the chest wall and
into the pleural space. The catheter provides a conduit for the release of accumulated pressure
within the pleural space.
2. INDICATIONS FOR A NEEDLE THORACENTESIS:
a. Tension Pneumothorax
b. Simple pneumothorax (if the conditions become severe)
3. COMPLICATIONS ASSOCIATED WITH A NEEDLE THORACENTESIS:
a. Hemothorax - blood within the pleural space. Caused when the needle punctures any vessels
within the chest wall
b. Bacterial infection - Caused by poor aseptic technique
c. Subcutaneous emphysema released air becomes trapped within the subcutaneous
tissue. Feels like rice crispies underneath the skin.
d. Air embolism - Caused when the needle enters a great vessel within the chest wall and air is
accidently introduced into the central circulation.

OBSTRUKSI JALAN NAFAS


Menurut The Committe on Trauma: American College of Surgeon (1983: 19-20) saluran pernapasan
yang tersumbat sebagian dapat diketahui dengan adanya hal-hal sebagai berikut.
(1) Pernapasan yang berat dan berisik (stridor).
(2) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan (muskulus sternomastoideus).
(3) Rektraksi jaringan lunak pada daerah intercostal, clavicular dan suprasternal.

75
(4) Pernapasan paradoksikal (see saw breathing). Normal, pada saluran pernapasan yang tidak
tersumbat maka dada dan abdomen turun naik secara bersamaan. Jika saluran pernapasan
tersumbat, sebagian atau total dan cardiac arrest belum terjadi maka dada akan terisap ke dalam
sementara abdomen naik.
(5) Cyanosis. Pada keadaan ini kadar haemoglobin pada darah yang beredar menurun.

Triple Airway Manuever


Ada tiga perlakuan pada cara ini sehingga disebut Triple Airway Manuever, yaitu sebagai berikut.
a. Kepala korban ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan tangan yang
lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan kebelakang oleh
tangan yang lain.
b. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obstruksi hipofarings oleh dasar
lidah . Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang bawah.
c. Menarik/mengangkat dasar lidah dari dinding pharynx posterior

76

You might also like