You are on page 1of 27

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
yang diampu oleh Ns. Tri Nur Hidayati S. Kep, Med. Ed

DISUSUN OLEH:

1. ALLAN MAULANA AZMI (G2A215016)


2. ILHAM WILLY ISKANDAR (G2A215017)
3. FRISKA IRWINDA (G2A215018)
4. SEVA KURNIA SARI (G2A215019)

PROGRAM STUDI NERS (TAHAP AKADEMIK)

FAKULTAS KESEHATAN DAN ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada wanita
terutama usia lanjut, namun secara keseluruhan inkontinensia dapat terjadi pada laki-
lakimaupun perempuan, baik anak-anak, dewasa, maupun orang tua. Inkontinensia urin
juga jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urin sendiri bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat
menurunkan kualitas hidup (Soetojo,2009).
National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE), program yang meneliti
inkontinensia urin pada 5024 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan jumlah
perempuan di Negara tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar 14,8%,
sepertiga diantaranya merupakan inkontinensia urin tipe campuran 34,4% (Yuliana,
2011).
Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki
dengan perbandingan 1,5:1 . Survei yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka kejadian
inkontinensia urin tipe stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan sebesar 32,5%.
Sedangkan hasil penelitian di India terhadap 3000 wanita berbagai umur menunjukkan
bahwa prevalensi inkontinensia urin sebesar 21,8% dan 42,8%nya memiliki usia 61-70
tahun.
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita bervariasi, di dunia berkisar antara 10 -
58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut APCAB (Asia
Pacific Continence Advisor Board) tahun 2008 menetapkan prevalensi inkontinensia urin
14,6% pada wanita Asia. Prevalensi di Asia relatif rendah karena pandangan orang Asia
bahwa inkontinensia urin merupakan hal yang memalukan, sehingga tidak dikeluhkan
pada dokter. Sedangkan prevalensi pada wanita Indonesia 5,8%. Survei inkontinensia urin
yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga -
RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada
pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Survei ini menunjukkan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009).
Faktor resiko terjadinya inkontinensia urin antara lain jenis kelamin wanita, usia
lanjut / menopause, paritas tinggi, gangguan neurologis, kelebihan berat badan, perokok,
minum alkohol, intake cairan berlebihan atau kurangnya aktifitas. Kelebihan berat badan
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya inkontinensia urin, karena beban kerja
dasar panggul pada orang-orang gemuk lebih besar daripada orang yang kurus (Soetojo,
2009). Orang dengan berat badan berlebih mengalami penumpukan beban di daerah
abdomen. Beban tersebut akan memberi penekanan pada kandung kemih, sehingga
mengakibatkan kandung kemih lebih mudah mengalami pengeluaran urin secara tidak
sengaja (Scott, 2009). Selain itu, disebutkan pula bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara penurunan berat badan dengan perubahan tekanan kandung kemih pada
orang dengan kelebihan berat badan. Penurunan berat badan ini menyebabkan tekanan
terhadap kandung kemih akan menjadi lebih rendah (Subak et al., 2005).

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu untuk membahas askep


inkontinensia urin pada lansia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan lansia dengan inkontinensia urin
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin
b. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin
c. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis inkontinensia urin
e. Untuk mengetahui klasifikasi inkontinensia urin
f. Untuk mengetahui komplikasi inkontinensia urin
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
h. Untuk mengetahui pengkajian inkontinensia urin
i. Untuk merumuskan diagnosa inkontinensia urin
j. Untuk merumuskan perencanaan inkontinensia urin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan
Perry, 2005).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Menurut International Continence Society, inkontinensia urin didefinisikan
sebagai keluhan berkemih secara involunter (di luar kesadaran).
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan yang sering dialami oleh lansia,
yang biasanya disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih dan berkurangnya
kemampuan tahanan otot lurik pada uretra karena perubahan fisiologis pada lansia
(Darmojo & Soetojo, 2006).

B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

b. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat
saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine
juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan
tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses
maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).
c. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).
d. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot
yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting
bagi miksi (Asmadi, 2008).
e. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
f. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan
(Asmadi, 2008).
g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).

h. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat
Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi ,
sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-
sama (Potter & Perry,2006).
i. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine.
Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi
urina (Potter & Perry,2006).
j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes
melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan
parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter &
Perry,2006).
k. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang
memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan
kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya
mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
l. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta
adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat
multigravida, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian
bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya
adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka
dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru
menjalani prostatektomi. Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan
yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan
ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka
hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya yang menjadi faktor pencetus inkontinensia urin. Jika kondisi ini yang
terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan,
penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang
berkontribusi pada inkontinensia urin, antara lain, diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi,
antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam inkontinensia
urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya inkontinensia urin. Selain
hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan
tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul
karena tertekan selama masa mengandung.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya
kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul.
(Darmojo, 2009)

C. Patofisiologi
1. Fisiologi
Pusat pengaturan refleks berkembih diatur di medula spinalis segmen sakral. Proses
berkemih dibagi menjadi 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan.
Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf
otonom simpatis yang menyebabkan penutupan katup leher kandung kemih, relaksasi
dinding kandung kemih, serta penghambatan saraf parasimpatis. Pada fase
pengosongan, aktifitas simpatis dan somatik menutun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung
kemih (Setiati & Pramantara, 2009).

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan


rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2
fase yaitu, fase pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoir urine
yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam
waktu relatif singkat.
Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urin,
walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti
sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing. Peningkatan isi kandung kemih
memperbesar keinginan ini dan pada keadaan normal tidak terjadi. Pusat pengaturan
refleks berkembih diatur di medula spinalis segmen sakral.

Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan
kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medulla spinalis dan pusat
saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh
urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat
saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum)
menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan
seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih
berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus
frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin.
Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit
dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting
dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih
dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan
kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat
dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen secara efektif
ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada
saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih.
Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom
simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi
dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan
mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul.
Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang
lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.

2. Proses Menua dan patofisiologi Inkontinensia Urin


Inkontinensia pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal , namun merupakan
faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan anatomis
dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan
dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lak-
laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan
kolagen, sehingga menyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah
terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi
mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot
uretra, sehingga terjadi penurunan tekanan penutupan uretra .
Dasar panggul mempunyai peran penting dalam mempertahankan miksi.
Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan berbagai faktor fisiologis dan
patologis (trauma, operasi). Perbahan fisiologis dasar panggul tercantum pada data di
bawah ini
a. Kandung kemih Perubahan Morfologis
1) Trabekulasi
2) Fibrosis
3) Saraf otonom
4) Pembentukan divertikula
b. Perubahan Fisiologis
1) Kapasitas
2) Kemampuan menahan kemcing
3) Kontraksi involunter
4) Volume residu setelah berkemih
c. Uretra Perubahan Morfologis
1) Komponen seluler
2) Deposit kolagen
d. Perubahan Fisiologis
1) Tekanan penutupan
2) Prostat Hiperplasia dan membesar
3) Vagina Komponen seluler
4) Mukosa atrofi
5) Dasar Panggul Deposit kolagen
6) Rasio jaringan ikat-otot
7) Otot melemah
(Urol, 2013)

Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem


urogenital menyebabkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan
akhiran kemih keluar.

Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada
inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow. Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress
dimana inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling
banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa
inkontinensia urin stres ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong ureter
tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak adekuat dan gangguan pada sestem
kendali kontinensia urin (neuromuskular). Pemahaman itu memicu kesimpulan
bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan inkontinensia urin harus
disesuaikan dengan jenis inkontinensia urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya
tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua kasus inkontinensia urin. Untuk lebih
memahami patofisiologinya, inkontinensia urin akan dibahas dengan pendekatan anatomi
dan fisiologi.

Gambar 1. Tampak lateral mekanisme kontinensia yang memperlihatkan pendesakan


fasia endopelvis menuju fascia arkus tendinosus pelvis dan otot levator ani.

Irisan lateral organ panggul pada gambar 1 menunjukkan anatomi yang


berkaitan dengan sistem kendali kontinensia. Beberapa komponen penting yang
berperan ialah otot levator ani yang berjalan dari tulang pubis menuju ke sfingter ani
dibalik rectum untuk menyokong organ pelvis. Otot itu berjalan disebelah lateral fascia
arkus tendinosus pelvis yang merupakan fasia endopelvis yang menghubungkan
tulang pubis dengan spina isiadika. Fasia tersebut cenderung berperan pasif
dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fascia itu dengan otot levator ani
merupakan elemen penting dalam sistem kendali in. Hubungan tersebut memungkinkan
kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika. Aktivitas konstn
normal otot levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi normal.

Salah satu pertanyaan penting ialah bagaimana aparatus itu dapat menjaga uretra tertutup
rapat walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa dapat
me ndesak urin keluar melalui uretra. Pada model konseptul dijelaskan bahwa
stabilitas lapisan penyokong cenderung lebih mempengaruhi terjadinya kontinensia
dibandingkan dengan tinggi uretra.

Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra akan ditekan antara tekanan
abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan
saaat seseorang dapat menghentikan aliran air yang melalui selang taman dengan
menginjak selang dan menekan ke arah lantai keras yang mendasari. Jika lapisan dibawah
uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap tekanan
abdominal yang menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan akan
menyebabkan hilangnya penutupan dan kerja oklusi akan berkurang.

Kondisi yang terjadi selanjutnya dapat diibaratkan seperti saat seseorang mencoba
menghentikan aliran air melalui selang taman dengan menginjak selang yang berada di
atas tanah liat. Analog tersebut juga dapat menjelaskan mengapa pada inkontinensia urin
dapat terbentuk sistoureterokel yang besar dan pada pasien dengan uretra yang terletak
jauh dibawah posisi normal sering kali tidak dapat menjalankan fungsi kontinensia
dengan baik. Jika lapisan suburetral dapat mempertahankan stabilitasnya maka
mekanisme itu dipertahankan efektif (gambar 2).

Gambar 2. A. tekanan abdominal medesak uretra terhadap penyokong uretra. B. Pada


gambar ini, jaringan penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang
kokoh saat uretra ditekan. C. Sistouretrokel terbentuk saat uretra terletak lebih rendah dari
normal tetapi memiliki lapisan penyokong kuat yang memungkinkan kompresi uretra.
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008)
yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
a. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
b. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
c. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

E. Klasifikasi
Tipe-tipeinkontinensia urin menurut Hidayat (2006)
1. Inkontinensia Transien
Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak, biasanya dihubungkan dengan
penggunaan obat-obatan atau penyakit akut.
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia
urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien
dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya
inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra
(vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi
vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist
adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk
mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :
D : Delirium
I : Infection of urinary tract or other infection
A : Atrophic urethritis and vaginitis
P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel
blocker)
P : Psychological Problems, especially depression
E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)
R : Restricted mobility
S : Stool impaction

2. Inkontinensia urin persisten


dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis.
Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat
membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti
pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya
otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia
di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi
pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa,
batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering
dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat
mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk
mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain
sehingga penanganannya tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih
yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple,
yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan
faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin
akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia
berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan
kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

F. Komplikasi
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area
bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur
akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
G. Pathways Keperawatan
H. Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada
kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. Penatalaksanaan inkontinensia urin
menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis
dan pembedahan.
1. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
b. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
c. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap
jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
2-3 jam.
d. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
e. Promoted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
f. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot
dasar panggul tersebut adalah dengan cara:
1) Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke
belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam
10 kali.
2) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan
10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan
urethra dapat tertutup dengan baik.
2. Terapi farmakologi
a. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
f. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers
juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi
daya tamping pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
g. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.
Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang
tepat. Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu penyembuhannya karena
ada inkontinensia urine ini. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Katerisasi secara intermiten dapat dicoba, terutam
pada wanita lanjut usia yang menderita inkontinensia urine. Frekuensi
pemasangan 2-4x sehari dengan sangat memperhatikan sterilisasi dan tehnik
prosedurnya. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran
kemih. Kateterisasi luar terutama pada pria yang memakai system kateter kondom.
Efek samping yang utama adalah iritasipad kulit dan sering lepas.
h. Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut
akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan
kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
i. Inkontinensia urin tipe sterss biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognesia cukup baik.
j. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki
dengan obat obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
k. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin).

I. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia
ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaanumum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan Sistem
1) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3(brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4(bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah
supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5) B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
6) B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.

c. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur
sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara setelah buang air kecil, pasang
kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan
pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.
1) Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya
faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu
dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut
adalah:

2) Laboratorium tambahan
Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
3) Tes urodinamik
Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
4) Tes tekanan urethra
Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
5) Radiologi
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah
J. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin fungsional b/d gangguan pelvis, kerusakan neuromuscular
2. Inkontinensia urin overflow b/d obstruksi kandung kemih, ketidaksinergian otor
detrusor eksternal
3. Inkontinensia urin refleks b/d kerusakan jaringan
4. Inkontinensia urin stress b/d peningkatan tekanan intra abdomen, defisiensi spingter
uterthra instrinsik
5. Inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol, infeksi kandung
kemih, konsumsi kafein
6. Risiko inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol, infeksi
kandung kemih, konsumsi kafein
7. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
8. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
9. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
10. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang
lama.
11. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
12. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
13. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan dengan
deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan
pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.

K. Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Aktivitas NIC


keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan
NIC
I Urinary contiunence Urinary a. Lakukan penilaian kemih
Criteria Hasil: retention care yang komprehensif
a. Kandung kemih berfokus pada
kosong secara penuh. inkontinensia(misalnya,
b. Tidak ada residu urine output urin, pola
>100-200 cc. berkemih, fungsikognitif)
c. Intake cairan dalam b. Pantau penggunaan obat
rentang normal. dengan sifat antikolinergik
d. Balance cairan c. Memantau intake dan
seimbang. output
d. Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi atau perkusi
e. Bantu dengan toilet secara
berkala
f. Kateterisasi
VIII Body image Body image a. kaji secara verbal dan non
Criteria Hasil: enhancement verbal respon klien
a. Body image positif terhadap tubuhnya
b. Mampu b. jelaskan tentang
mengidentifikasi pengobatan dan perawatan
kekuatan personal penyakit
c. Mendeskripsikan c. identifikasi arti
secara factual pengurangan melalui
perubahan fungsi pemakaian alat bantu.
tubuh d. Fasilitasi kontak dengan
d. Mempertahankan individu lain dalam
interaksi sosial kelompok lain
IX Anxiety self control Anxiety a. Gunakan pendekatan yang
Criteria hasil: reduction menenangkan.
a. klien mampu (penurunan b. Jelaskan semua prosedur
mengidentifikasi dan kecemasan) dan apa yang dirasakan
mengungkapkan gejala selama prosedur.
cemas c. Pahami prespektif klien
b. Mengidentifikasi, terhadap situasi stress.
mengungkapakan dan d. Temani pasien untuk
menunjukkan teknik memberikan keamanan
untuk mengontrol dan mengurangi takut.
cemas. e. Dorong keluarga untuk
c. Postur tubuh, ekspresi menemani pasi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang
diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan
ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia stres, urgensi, luapan dan
fungsional. Inkontinensia pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal ,
namun merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai
perubahan anatomis dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut
berkaitan dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada
lak-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan
kandungan kolagen, sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi,
dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi
atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra,
sehingga terjadi penurunan tekanan penutupan uretra. Penatalaksanaan konservatif
dilakukan pada kasus inkompeten sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar
inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor
penyebab.

B. Saran
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan
perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat
kenyamanan pasien, manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus mampu
mamahami faktor psikologis dan emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit,
dan perawat juga harus terus mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al.
editor. Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875
Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A
hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1): 3136
Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7):
258-64
Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009: hal
86575.
Ocallaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006.
Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan keperawatan.
Jakarta: EGC; 2005.
Kong TK. Clinical Guidelines on Geriatric Urinary Incontinence. Desember 2003.
Abrams P, et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of
Urology. 2006.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta: EGC.
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran
Bandung.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Vol.2. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardization of terminology of lower urinary
tract infection: Report from the Standardization Sub- committee of the
International Continence Society. Neurourol Urodyn2002; 21:167-178.

Download

You might also like