You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam dengue atau demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom Renjatan Dengue (
Dengue Syok Syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh syok. 1
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk pada
tahun1998, sedangkan mortalitas DBD cendrung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.1
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang
termasuk kedalam family Flaviridae dan genus Flavivirus ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes Aegypti dan Ae.
Albopictus yang terdapat hamper diseluruh pelosok Indonesia.2 Masa inkubasi virus
dengue dalam manusia berkisar antara 3-14 hari sebelum gejala muncul. Gejala klinis
rata-rata muncul pada hari ke 4-7, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam
tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.3

1.2 Tujuan
Penulisan case ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan
penulis mengenai Demam Berdarah Dengue mulai dari definisi sampai ke
penatalaksanaan.

1
1.3 Manfaat
a. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi dan mengembangkan teori yang telah disampaikan mengenai
Demam Berdarah Dengue.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan khususnya yang
berkaitan dengan Demam Berdarah Dengue.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam dengue atau demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom Renjatan Dengue
(Dengue Syok Syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai dengan
syok.1

2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk pada
tahun1998, sedangkan mortalitas DBD cendrung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.1
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk
subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus sebagai vektor
primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor
sekunder,4 selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke
nyamuk betina melalui perkawinan4 serta penularan transovarial dari induk nyamuk
ke keturunannya.5 Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti
terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik.6 Dari
beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti.7 Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia)
berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.8

3
Beberapa factor diketahui berikatan dengan peningkatan transmisi biakan
virus dengue yaitu :
1. Vector : perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector
dilingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain. Vector
capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro
dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik,
umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan
Hospes.9
2. Pejamu : terdapatnya penderita dilingkungan / keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin. Frekuensi nyamuk
menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang
yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae.
aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang
yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk. frekuensi
nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan
manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat
penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia
dibanding yang kurang padat.9
4. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun
dan penyerapan gizi.10

2.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, family Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.1
Terdapat 4 serotipe virus yaitiu DEN-1. DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

4
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain.1

2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue. 1

Gambar 1. Patogenesis Demam Berdarah Dengue


Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a).
respons humoral berupa pembentukkan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-

5
sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit
dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. 1
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik
antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 menrangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis komopleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehnigga diproduksu limfokin
dan interferin gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-alfa, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui
aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma. 1
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalu mekanisme : 1).
supresi sumsum tulang, dan 2). destruksi dan pemendekkan masa hidup
trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari)
menunjukakn keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terhadinya
stimulasi trombopoiesis seagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan

6
trombositoopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalu mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulun dan PF4 yang
merupakan penanda degrabulasi trombosit. 1
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian meninjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue
factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun
tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex). 1

2.5 Gejala Klinik


Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah atau
sindrom syok dengue.11

Gambar 2. Manifestasi klinis infeksi virus dengue ( Sumber : Monograph on


dengue/dengue hemorrhagic fever, WHO 1993)

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari yang diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada saat fase ini pasien sudah tidak demam, akan

7
tetapi mempunyai resiko untuk terjadinya renjatan jika tidak mendapatkan
pengobatan adekuat.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi :
Fase demam 2-7 hari diikuti fase kritis 2-3 hari (tidak demam) demam
bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji tourniquet positif,
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau
perdarahan ditempat lain.
- Hematemesis dan melena
Trombositopenia (<100.000)
Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
- Peningkatan hematocrit > 20% dari normal sesuai dengan umur dan jenis
kelamin
- Penurunan hematocrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematocrit sebelumnya
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, atau
hipoproteinemia
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan
DBD adalah ditemukan kebocoran plasma pada DBD.1
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14
hari), timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri
tulang belakang dan perasaan lelah.
Manifestasi klinis DBD terdiri atas 3 fase yaitu fase demam, fase kritis,
dan fase konvalenses. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap
fase mempunyai resiko yang dapat memperberat keadaan sakit.1
a. Fase Demam

8
Pada fase demam, penderita akan mengalami demam tinggi secara

mendadak selama 2-7 hari yang sering dijumpai dengan wajah kemerahan,

eritema kulit, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital, rasa sakit di seluruh

tubuh, fotofobia dan sakit kepala serta gejala umum seperti anoreksia, mual

dan muntah. Tanda bahaya (warning sign) penyakit dengue meliputi nyeri

perut, muntah berkepanjangan, letargi, pembesaran hepar >2 cm, perdarahan

mukosa, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena

terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler.

b. Fase Kritis
Pada waktu transisi yaitu dari fase demam menjadi tidak demam,
pasien yang tidak diikuti dengan peningkatan pemeabilitas kapiler tidak akan
berlanjut menjadi fase kritis. Ketika terjadi penurunan demam tinggi, pasien
dengan peningkatan permeabilitas mungkin menunjukan tanda bahaya yaitu
yang terbanyak adalah kebocoran plasma. Pada fase kritis terjadi penurunan
suhu menjadi 37.5-38C atau kurang pada hari ke 3-8 dari penyakit.
Progresivitas leukopenia yang diikuti oleh penurunan jumlah platelet
mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit merupakan tanda
awal terjadinya perubahan pada tekanan darah dan denyut nadi. Terapi cairan
digunakan untuk mengatasi plasma leakage. Efusi pleura dan asites secara
klinis dapat dideteksi setelah terapi cairan intravena.
c. Fase Konvelenses
Setelah pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi
kompartemen ekstravaskuler bertahap terjadi selama 48-72 jam. Fase ini
ditandai dengan keadaan umum membaik, nafsu makan kembali normal,
gejala gastrointestinal membaik dan status hemodinamik stabil.

9
Gambar 3. Perjalanan demam pada pasien demam berdarah dengue

DD/DBD Drajat Gejala Laboratorium Keterangan


DD Demam disertai 2 Leukopenia Serologi
lebih tanda : sakit Trombositopenia
Dengue
kepala, nyeri orbital, tidak ditemukan
myalgia, atralgia kebocoran plasma Positif
DBD I Gejala diatas ditambah Trombositopenia
uji bending positif (<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
DBD II Gejala diatas ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan (<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
DBD III Gejala diatas ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (<100.000), bukti
(kulit dingin dan ada kebocoran
lembab serta gelisah) plasma

Tabel 1. Klasifikasi Drajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

10
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin dilakukan dilakukan untuk menepis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematocrit, trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambar limfosit plasma biru.1
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengu dengan teknik RT-PCR
(Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
a. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit : dapt normal atau menurun. Mulai dari hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya Limfosit
Plasma Biru (LPB) > 15 dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
Trombosit : umumnya terdpt trombositopenia pada hari ke 3 sampai ke 8
Hematocrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan
hematocrit >20% mulai dari hematocrit awal. Umumnya dimulai dari hari ke
3 demam.
Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah
Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
Ureum, kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit : sebagai parameter pemberian cairan
Golongan darah dan cross match : bila diperlukan tranfusi darah
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5 meningkat sampai minggu ke 3 menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke 2

11
NS 1 : Antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai
hari kedelapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4 dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standar kultur virus.
Hasil negative antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
b. Pemeriksaan Rumple Leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan
cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan
kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat
akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari
kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai
bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada
lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai
sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu
lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi.
Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi
mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah
petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal
dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petechiae
dalam lingkaran tadi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax didapatkan efusi pleura, terutama pada hemithoraks
kanan tetapi apabila terjadi pembesaran plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemithoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dalam posisi leteral decubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan jika terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, cikungunya, dan leptospirosis.

12
2.8 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip
utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan
oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.1
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan criteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
atas indikasi
Praktis dalam pelaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Gambar 4. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa syok di UGD

13
Protokol 1 ini digunakan sebagai penunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran atau berobat jalan ke Poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali
ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dianjurkan untuk dirawat

Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 5. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang gawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini:

14
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55 20)} = 2200 ml. Setelah
pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo
dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan
Ht >20%.

Protokol 3

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

15
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hemtokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
dikurang menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan
maka jumlah cairan infuse dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan awal.

Protokol 4
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia),
perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan

16
seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa
syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan thrombosis serta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.

Gambar 7. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa


Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang
dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau
tanpa KID.

Protokol 5

17
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.

Gambar 8. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa


Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.

18
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi
kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan
kulit tidak pucat serta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan tanda-
tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan per
infus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema parau atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung
dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik,
serta jumlah dieresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dpaat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. BIla nilai hematokrit meningkat berarti pembesaran
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan kristaloid merupakan pilihan,
tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.

19
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 /hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.1,11

20
BAB III
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.Y
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : SaokLaweh
Tanggal Masuk : 26 April 2017

Anamnesa
Keluhan Utama :
Demam sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


Demam naik turun sejak 3 hari yang lalu.
Nyeri sendi dan pegal pegal sejak awal pertama demam
Nyeri kepala dirasakan sejak awal demam
Pasien merasa mual, muntah dan nafsu makan yang menurun
Nyeri perut sejak 2 hari yang lalu
Susah BAB
BAK warna seprti biasa
Tidak ada penurunan kesadaran
Batuk dan flu (-)
Riwayat makan jajanan luar disangkal

21
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit ini sebelumnya (-)
Riwayat Jantung (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat bepergian ke daerah endemis disangkal

Riwayat Penyakit keluarga :


Keluarga tidak ada yang menderita penyakit sepeti ini
Riwayat Jantung (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

Riwayat Pribadi dan sosial :


Pasien tinggal bersama Suaminya. Lingkungan tempat tingalnya cukup
bersih

Pemeriksaan Fisik
Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : compos mentis kooperatif
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 64x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 38,00C

Kulit : Normal, tidak kering, tidak ada sianosis, ptekie (-)


Rumple leed (-)

22
Mulut : Bentuk normal, mukosa bibir kering, coated tongue -,
tidak ada pembengkakan, tidak ada sianosis
Kepala : Normochepal
Rambut : Berwarna hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Kelenjar getah bening
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Aksila : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Inguinal : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorak
Paru
Inspeksi : simetris kiri = kanan , statis dinamis
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : Ictus cordis tidak teraba pada medial RIC V
Perkusi : Batas kanan linea sternalis dextra RIC 4
Batas kiri linea midklavikularis sinistra RIC 5
Batas atas linea sternalis sinistra RIC 2
Batas pinggang linea parastrernalis sinistra
RIC 3
Auskultasi : reguler, gallop (-),bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak membuncit, distensi (-) venektasi (-)

23
Palpasi : nyeri tekan di epigastrium, hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Anggota Gerak : Oedem (-)


Akral hangat

Laboratorium :
Pemeriksaan Nilai Normal
Hb : 15,9 gr/dl 11,5-16,5
HT : 47,0% 37-45%
Leukosit : 4290 mm3 4000-10000
Trombosit : 73.000 mm3 150.000-400.000

Diagnosa kerja :
Demam Berdarah Dengue Grade I

Diagnosis banding
Demam Tifoid, Malaria

Anjuran
Cek trombosit/hari
Pemeriksaan IgG dan IgM

Terapi
Nonmedikamentosa :
Bedrest
Banyak minum

24
Diet ML (Makanan lunak)

Medikamentosa :
IVFD 2 line : RL 6 Jam/kolf. Hes 12 jam/kolf
Paracetamol 3x500 mg
Domperidon 3x1
Inj.Transamin 3x1 amp
Inj. Ranitidin 2x1 amp

Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad fungtionam: Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

Follow Up
Subject Object Assasment Planning
(27/4/2017) Demam (-) TD : 110/70 DHF Grade Diet ML
sedikit Nd : 60x/i I IVFD 2 Line 1. RL 6
perdarahan di Nf : 18x/i jam/Kolf
hidung Suhu : 37,0 2.HES 12 J/Kolf
Gusi berdarah Abd : NT Inj Transamin 3x1 amp
(-) Epigastrium Inj. Rani 2x1 amp
MualMuntah(-) (-) Cek trombosit/hari
Nafsu makan Trombosit:
kurang , 53.000
minum kurang
BAB Biasa
BAK Biasa
(28/4/2017) Demam (-) TD : 110/80 DHF Diet ML

25
Gusi berdarah Nd : 60x/i GradeI IVFD 2 Line 1. RL 6
(-) Nf : 21x/i jam/Kolf
Mual Muntah Suhu : 36,8 2.HES 12 J/Kolf
(-) Abd : NT Dexa 3x1
Nafsu makan Epigastrium Rani 2x1 tab
ada , minum (-) Transamin 3x1 tab
kurang Hb : 16,1
BAB Biasa Ht : 35,5 Cek Ht dantrombosit/hari
BAK Biasa Leuko : 7950
Trombosit:
20.000 ul
(29/4/2017) Demam(-) TD : 90/70 DHF Grade -Diet ML
Perdarahan (-) Nd : 63x/i I -Hes aff
Mual(-) Nf : 22x/i -RL 6 jam/kolf
Muntah(-) Suhu : 37,1 -cekulang Hb, Ht,
Trombosit
Hb : 14,4
Ht : 49 %
Trombosit:
49.000 ul

(30/4/2017) Demam (-) TD : 120/70 DHF Grade Terapi lanjut


Gusi berdarah Nd : 80x/i I
cek ulang darah
(-) Nf : 20
Mual Muntah Suhu : 36,6
(-) Hb : 15,1
Nafsu makan Ht : 45,6 %
ada , minum Trombosit:
kurang 82.000 ul
BAB Biasa
BAK Biasa

(01/5/2017) Demam (-) Lab : DHF Grade Anjuran :


Perdarahan (-) Hb : 15,4 I
-Banyak minum air putih
Ht : 46,2
Leuko : 9630 - Istirahat yang cukup
Trombosit:
172.000 ul
Pasien boleh pulang

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan usia 21 tahun datang ke RSUD Solok pada tanggal
26April 2017 dengan keluhan Pasien demam sejak 5 hari yang lalu, demam
timbul mendadak dan naik turun. Pasien mengeluhkan nyeri sendi dan pegal-
pegal sejak awal demam. Dihari ke 2 demam pasien mengalami gusi
berdarah.Pasien juga mengatakan nyeri pada perut dan nafsu makan berkurang
sejak awal demam. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya ptekie, hasil
rumple leed (-) Nyeri tekan pada epigastrium, tidak ditemukan pembesaran
hepar. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya trombositopenia.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan anjuran untuk istirahat dan banyak
minum, farmakologinya diberikan cairan kristaloid dan koloid 2 line RL 6
Jam/kolf. Hes 12 jam/kolf, anti piretik diberikan Paracetamol 3x500 mg, anti
perdarahan Inj.Transamin 3 X 1 amp Inj. Vit K 3x1 amp, dan simptomatis
untuk mengatasi nyeri perut Inj. Ranitidin 2x1 amp. Prognosis dari pasien ini
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam, Quo ad fungtionam: Bonam, Quo ad
sanationam : Bonam.

27
BAB V
KESIMPULAN

Demam dengue atau demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi


yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, family
Flaviviridae dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Pemeriksaan darah rutin
dilakukan dilakukan untuk menepis pasien tersangka demam dengue adalah
melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematocrit, trombosit, dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambar limfosit plasma
biru.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengu dengan teknik RT-PCR
(Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Penatalaksanaan pada DBD prinsip utamanya adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro. Demam Berdarah Dengue : Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2007

2. WHO. Pencegahan dan penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan


Demam Berdarah Dengue. Jakarta : WHO & Departemen Kesehatan RI : 2003

3. Kurane I. Dangue Hemmoragic Fever with Special Emphasis on


Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease. 2007 : Vol 30

4. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.


New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009 WHO. Dengue:
Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition.
Geneva: World Health Organization; 2009

5. Josi V, Sharma R. Impact of Verticallytransmitted Dengue Virus on Viability


of Eggs of Virus-Inoculated Aedes aegypti. Dengue Bulletin. 2001;Vol
25:103-6.

6. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue
Hemorrhagic Fever Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal
of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-7.

7. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial


and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10:
p. 10013.

8. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam


Berdarah Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal
1-9.
9. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity:
Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and
Tropical Medicine, James Cook University; 2000.

10. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.


www.pediatrikcom/buletin/200602208ma2gi-buletindoc;2002 [cited 2010];
Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
Diakses tanggal 10 Mei 2017

29
11. Hadinegoro, Sri Rezeki. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi
Virus Dengue pada Anak. Ikatan Dokter Indonesia : Jakarta

30

You might also like