You are on page 1of 20

REFERAT

Rhinitis Alergi

Disusun oleh:
Stanley Timotius
112015164

Pembimbing:
dr. A. Hari Haksono, Sp. THT- KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA TNI Dr. ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
JAKARTA BARAT
PERIODE 29 Agustus 30 September 2017
BAB I

1
PENDAHULUAN
Alergi terhitung sebagai keluhan utama dari 50% pasien baru pada bidang THT.
Keahlian dalam menatalaksana masalah alergi dari saluran pernafasan bagian atas adalah
keahlian yang sangat berharga sebagai seorang ahli THT.

Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan
laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap
penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya
aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk
mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah
menjadi kronis.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI HIDUNG
Hidung Bagian Luar
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah
:pangkal hidung, batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang
hidung (nares anterior).Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : Tulang hidung (os.nasal),
Processus frontalis os maksilla, Processus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateral superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.2

Gambar 1. Anatomi Hidung BagianLuar

Hidung BagianDalam2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian
dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut - rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung
adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina prependikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan: kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
3
Septum dilapisi perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi
ialah konka media dan konka superior. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior merupakan
bagian dari labirin etmoid. Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di
antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 2. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Pendarahan Hidung2
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina
mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang - cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang - cabang a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (Littles area). Pleksus kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah ceedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis (perdarahan hidung). Terutama pada anak. Vena - vena hidung mempunyai nama
yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
4
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena - vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung

Persarafan Hidung2
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 4. PersarafanHidung
5
FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses
bicara dan refleks nasal. Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel
olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor
(neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mengandung air,
mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein pengikat bau (G-protein). Sel-
sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat berganti secara reguler ( 4-8
mgg) (tempat transduksi).
Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam
menyebabkan molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau
tercium. Syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu : (1) Harus mudah
menguap mudah masuk ke liang hidung, (2) Sedikit larut dalam air mudah melalui
mukus, (3) Mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel
olfaktoria terdiri dari dari zat lemak .

Gambar 5. Fisiologi pada Hidung

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada
pada permukaan membran. Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya. Dalam mengatur
suhu, fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.
6
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. fungsi hidung
sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam
alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous
blanket).Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous
blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang
disebut lysozyme.Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata
dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga bekerja
sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

RHINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik
tersebut.Rinitis alergi berupa gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.Onset pajanan alergen terjadi
lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi lain seperti sinusitis.3

Epidemiologi
Rinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20_30% orang dewasa. Pada
anak (<2 tahun) diagnosis rhinitis alergi lebih sulit ditegakkan. Keluhan pertama biasanya
muncul pada usia sekolah.

Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
7
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria
dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae
dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor
resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.4Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi: (1)
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. (2) Alergen Ingestan, yang masuk ke
saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. (3) Alergen
Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
(4) Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Klasifikasi rinitis alergi


Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:Rinitis
alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dam rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan
klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu, dan persisten atau menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu. Sedangkan berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi: (1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu, dan (2) Sedang atau berat
bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

8
Patofisiologi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, reaksi alergi fase cepat yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan reaksi fase lambat
yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.4Pada kontak pertama dengan alergen
atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen
akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk peptida MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di
presentasikan pada sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin I (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. L-4
dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E).
Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukossa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin.Selain
histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet
actifating factor dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi. Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran interseluler adhesion molekul.4Pada reaksi
alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotaktif yang akan
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ni tidak berhenti
disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada
reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3
9
, IL4 dan IL5, dan granulosit makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi
oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.4

Gambar 6. Skema pathogenesis rhinitis alergi.4


Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat
spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag
masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis
Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi (2 atau lebih gejala lebih dari 1jam
hampir setiap hari): rinorea berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan
konjumgtivitis (mata berair, gatal, bengkak). Gejala yang tidak mendukung diagnosis rinitis
alergi: bersifat unilateral, obstruksi nasal tanpa disertai gejala lainnya, rinorea mukopureulen,
post nasal drip dengan mukus tebal, tidak ditemui rinorea anterior, nyeri, epistaksis berulang,

10
dan anosmia. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rinitis alergi: (1) Allergic shiners
lingkaran hitam disekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau kongesti nasal. (2)
Nasal / allergic crease suatu garis horizontal di dorsum hidung yang disebabkan oleh
gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung
oleh telapak tangan (dikenal sebgai allergic salute). (3) Pemeriksaan hidung dengan spekulum
hidung: mukosa hidung edematosa atau hipertrofi, berwarna pucat atau biru keabuan, dan
sekret cair. (4) Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebra dengan
produksi air mata berlebihan, garis Dennie-Morgan (garis di bawah kelopak mata inferior).
(5) Pemeriksaan faring; penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan limfoid pada
faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior. Maloklusi dan lengkung palatum
yang tinggi dapat ditemukan pada pasien yang bernafas dengan mulut secara berlebihan. (6)
Pada anak dapat ditemukan hipertofi adenoid (dari foto lateral leher).

Pemeriksaan penunjang
a. In Vitro:Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-papaer radio immuno-sorbent test) seringkali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/ lapang
pandang) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri
b. In Vivo:Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-pont Titration/SET), SET
dilakukan untuk akergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit yang akhir akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus
Provocative Dilutional Food (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan
diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
11
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Dasar Diagnosis
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)
beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali
berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi
mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup
penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah
mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan
juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga
bawah akibat hidung yang sering digosok punggung tangan (allergic salute). Pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Dapat ditemukan konjungtivis
bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang
pandang) menunjukkan kemungkinan alergi, hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total sering menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara
invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes
epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes
kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single
12
dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial
untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan
memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula
dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

Diagnosis Banding(Rinitis vasomotor)


Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.dan ditandai dengan
adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar
oleh iritan spesifik.2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi.
Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor rinorrhea, non spesific allergic rhinitis, dan
non - Ig E mediated rhinitis. Rinitis vasomotor mempunyai gejala mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. Umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat,
ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi pasti belum
diketahui, diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem
saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor dipengaruhi oleh berbagai
faktor temporer (emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani) yang normalnya tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.1
Gejala pada rinitis vasomotor kadang sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti
hidung tersumbat dan rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai.
Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi, dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain
terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata dibandingkan
dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur karena ada perubahan suhu ekstrim, udara lembab, dan
oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan post nasal
drip. Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu
golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (runners / sneezers ). Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.1
Untuk diagnosis rhinitis vasomotor, dalam anamnesis dicari faktor yang
mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasa
penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat
13
iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi
dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai berwarna
pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol. Rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa
dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal
drip.Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Skin test biasa negatif serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus
memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus
apabila sinus telah terlibat.

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor.


Rinitis alergi Rintis vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 4
Riwayat terpapar allergen (+) Riwayat terpapar allergen ( -)
Etiologi Reaksi Ag Ab terhadap Reaksi neurovaskuler pada rangsangan
rangsangan spesifik mekanis/kimia, faktor psikologis
Gatal & Bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal di mata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
IgE darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi n. vidianus Tidak membantu Membantu

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: (1) Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa. (2) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. (3)
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan

14
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.5,6

Penatalaksanaan
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab
yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka terapi
selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:1
1. Antihistamin, adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini
bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.
Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi
untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua generasi
berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan
generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama adalah
klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki
keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan
suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi
kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi
antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan
memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi
pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien
terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.
2. Dekongestan oral, bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena
bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan
gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh
obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup
diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan
dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa
hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan
kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obat-
obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis hipertensi.

15
3. Sodium kromolin, bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit
yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini
adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga
degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif
apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.Kadar histamin
dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi histamin, selain itu
kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid
mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat
maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di
mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti
beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil
dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang
menjalani pengobatan penyakit paru.
5. Imunoterapi, cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya
adalah dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama
sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi
IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih
meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, antibodi ini bersifat
"blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, mengikatnya, dan
membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen
tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.
6. Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

16
Pencegahan
Pencegahan primer untuk alergi masih diperdebatkan dan usaha tersebut difokuskan
pada makanan bayi. Cara pencegahan primer tercetusnya penyakit alergi pada bayi berisiko
tinggi adalah dengan dianjurkan untuk pemberian ASI ekslusif (6 bulan), tetapi jika tidak
memungkinkan mendapat ASI sama sekali, dianjurkan untuk diberi susu hydrolisa, karena
terbukti cara tersebut dapat mengurangi terjadinya alergi pada anak-anak dan alergi susu sapi.
Pemberian makanan padat pada anak dan alergi susu sapi. Pemberian makanan padat pada
anak berisiko tinggi sebaiknya dimulai setelah berumur 6 bulan, pemberian susu sapi mulai
diberikan pada umur lebih dari 12 bulan dan untuk telur bebek diberikan setelah anak
berumur 24 bulan. Kacang tanah, ikan dan makanan produk laut sebaiknya baru diberikan
sedikitnya setelah anak berusia 36 bulan. Pencegahan sekunder lain adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen yang sensitif untuk mengurangi timbulnya gejala yang
dapat dilakukan dengan memberikan edukasi kepada penderita yang sudah diketahui alergen
penyebabnya. Hasil studi menghindari alergen seperti tungau debu rumah memang sukar
dilakukan dan tidak bermakna secara statstik, meskipun demikian pada sebagian penderita
RA dapat merasakan menfaatnya secara klinis.6

17
Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari,
maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi.
Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap
bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang
ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

18
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada
di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus
cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu: berair, kemerahan dan gatal.
RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute
dan allergic crease.

Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin
dapat menunjang penegakan diagnosis RA. Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin
diperlukan tes alergi intradermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).
Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.

Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang
terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

19
Daftar Pustaka
1. Soepardi Efiaty Arsyad. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi Hidung.
Edisi ke-6. Jakarta 2007. Hal 128-34
2. Suprihati. Patofisiologidanprosedur diagnosis Rhinitis Alergi. Bagian THT FK
Undip/RSU Dr. Kariadi Semarang; hal1-10
3. Ethical Diggest SemijurnalFarmasidanKedokteran.DiagnosisRhinitisAlergika.
4.Suprihati. Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2010 : 64-70
4. Christine DV, Agnes L. Devinition and management of persistent allergic rhinitis the
ARIA guidelines. J of the World Allergy Organization; March/April 2011; 17 (2): 78-9
5. Uller L et al. Early phase resolution of mucosal eosinophilic inflamation in allergic
rhinitis. Respiratory Research 2010;11:54
6. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku ajar penyakit THT ed-6. EGC, Jakarta; 2013.
Hal 196-7

20

You might also like