Professional Documents
Culture Documents
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pterigium
Istilah pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygion yang berarti wing
2011-2012a).
pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan
tempat tinggal (Varssano, et al., 2002). Penduduk daerah tropis seperti Indonesia
dengan paparan sinar matahari tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar
daripada penduduk non tropis. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
dan prevalensi pterigium satu mata sebesar 1,9%. Prevalensi pterigium kedua
mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 9,4% dan prevalensi
pterigium satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 4,1%.
Prevalensi pterigium satu mata di Bali didapatkan sebesar 2,2% dan pterigium
kedua mata didapatkan sebesar 4,4% (Erry, et al., 2011). Prevalensi pterigium
meningkat pada dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan (Gazzard, et al., 2002).
Prevalensi pterigium pada usia >40 tahun sebesar 16,8%. Laki-laki beresiko 4x
2
lebih besar daripada perempuan. Lokasi pterigium lebih sering ditemukan pada
2.1.2 Patogenesis
pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu,
pterigium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan (Edward, et
al., 2002).
lapisan air mata, iritasi kronis okular, inflamasi kronis dengan produksi faktor
elastis serta infeksi okular oleh virus Human Papilloma. Hampir setengah kasus
pterigium menunjukkan ekspresi abnormal p53 tumor supresor gen, yaitu suatu
marker neoplasia yang bertanggung jawab pada siklus sel, diferensiasi sel dan
Lapisan dan fungsi air mata yang abnormal pada pterigium merupakan
fungsi air mata tetap normal pada pterigium. Lapisan air mata adalah mekanisme
pertahanan pertama akibat trauma lingkungan seperti paparan UV, debu, angin
atau iritan lain. Beberapa penulis menemukan sebaliknya, bahwa adanya patologi
3
2.1.3 Histopatologi
Permukaan okular baik kornea dan konjungtiva normal terdiri dari 2-5 lapis sel
berfungsi menghasilkan musin sebagai salah satu komponen lapisan air mata.
konjungtiva dan perubahan struktur epitel (Duni, et al., 2010). Laporan lain
substansia propia, timbunan material granular eosinofilik difus atau lobular yang
dan penebalan jumlah serat elastis, concretion pada area granular dan hialinisasi
yang menunjukkan sel eosinofil dan basofil. Material elastosis pada pterigium
terbentuk dari degenerasi kolagen, pre-existing serat elastis dan aktivitas fibroblas
penurunan kepadatan sel goblet (Chavda, et al., 2014; Doughty, et al., 2012;
sel epitel stratified bersamaan dengan penurunan jumlah sel goblet. Sel epitel
Pterigium umumnya berbentuk segitiga dengan bagian cap, head dan body. Cap
terletak pada bagian tepi pterigium disusun oleh gray subepithelial corneal
opacity yang disebut daerah abu-abu. Abnormalitas kronis pengumpulan air mata
air mata sehingga terbentuk corneal epithelial iron line (stocker line). Bagian
head pterigium adalah peninggian massa yang melekat kuat pada jaringan
yang dibatasi oleh lipatan konjungtiva normal (Tradjutrisno, 2009; Edward, et al.,
2002).
Tipe pterigium dibagi menjadi tipe progresif dan regresif. Pterigium tipe
1 (atrophy) bila pembuluh darah episklera masih tampak jelas di bawah jaringan
akibat iritasi kronis dan reaksi inflamasi aktif dari pterigium. Keluhan penurunan
visus sekunder terjadi akibat pertumbuhan pterigium menutupi aksis visual dan
melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Gradasi 3
bila pertumbuhan pterigium melebihi gradasi 2 tetapi tidak melewati tepi pupil
2.1.5 Penatalaksanaan
menggunakan obat tetes mata lubrikasi atau steroid. Ada 5 indikasi dilakukan
6
tindakan bedah eksisi yaitu: (1) penurunan visus akibat pterigium menutupi aksis
visual atau akibat pterigium menginduksi astigmat ireguler kornea; (2) deformitas
bermakna secara kosmetik; (3) rasa tidak nyaman dan iritasi yang tidak membaik
dengan terapi konservatif; (4) gerak bola mata terbatas akibat restriksi dan (5)
eksisi pterigium adalah untuk mendapatkan permukaan okular yang normal secara
topografi. Pilihan tekniknya dengan bare sclera, simple closure, sliding flap, flap
1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang sama untuk
menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya memiliki resiko
paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai graft. Angka
vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0 (Jha, 2008). Graft konjungtiva dapat
nekrosis graft dan disinsersi muskulus ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa
7
waktu operasi relatif lebih lama dan rasa tidak nyaman setelah tindakan ( Abdalla,
dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera. Bola mata diposisikan
lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva bulbi superior. Blunt scissor Wescott
tumpul dan sisakan kapsul tenon. Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga
terbuka. Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien, jahit
dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0. Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan
steroid selama 4-6 minggu untuk mengatasi inflamasi (Hirst, 2003; Massaoutis, et
al., 2006).
Gambar 2.1 Eksisi pterigium dengan conjunctival limbal graft (Singh, et al.,
2009)
8
Air mata berfungsi melindungi permukaan bola mata, menjaga tajam penglihatan,
menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kornea. Air mata terdiri dari tiga lapisan
yaitu lipid, aqueous dan musin. Lipid merupakan lapisan superfisial dengan
ketebalan sekitar 0,1-0,2 m. Lapisan aqueous di bagian tengah dengan tebal 7-8
m dan lapisan musin di bagian basal dengan tebal 1 m. Lapisan lipid dihasilkan
oleh kelenjar meibom yang berfungsi mencegah penguapan air mata dan
lakrimal utama dan tambahan. Lapisan musin kaya akan glikoprotein kontak
dengan permukaan epitel kornea. Musin diproduksi oleh sel goblet konjungtiva
sebagai sumber utama dan kripte Henle di daerah forniks sebagai sumber
prekornea. Setiap perubahan jumlah dan kualitas musin air mata dapat
Berbagai metoda pemeriksaan dry eye sindrom seperti tear break up time
merupakan tes sederhana untuk menentukan kestabilan air mata dan menunjukkan
jumlah serta kualitas normal musin. Penurunan TBUT juga ditemukan pada
defisiensi lipid dan dry eye tipe aquoeus tear defisiensi. Ferning digunakan untuk
menilai lapisan musin air mata secara kualitatif dengan menilai bentuk kristaloid
9
dan reaksi biokimiawi antara elektrolit dan glikoprotein dengan berat molekul
yang besar. Perbedaan hasil TBUT yang bermakna dilaporkan terjadi pada orang
abnormalitas fungsi air mata pada mata dengan pterigium dan berhubungan
dengan defisiensi musin (Hong, et al., 2010; Rajiv, et al., 1991; Shintya, et al.,
2010).
Kornea yang kering pada bagian depan dari kaput pterigium berperan
terjadi abnormalitas lapisan musin air mata (hasil BUT yang singkat dan gradasi
Ferning lebih tinggi) serta gradasi sitologi impresi lebih berat pada mata dengan
sel goblet sehingga terjadi penurunan lapisan musin pada pterigium. Perubahan
Sood et al menemukan adanya korelasi kuat antara hasil Schirmers dengan hasil
Sel goblet merupakan sel epitel kolumnar dengan sitoplasma jernih akibat sintesa
dan akumulasi substansi glikosaminoglikan, terlihat cup atau dilatasi polus apikal
yang tampak pada pewarnaan klasik. Sekitar 75% pasien yang epitelnya
10
Hematoxyllin Eosin (HE) memberi warna spesifik pada sel ini. Sel goblet hanya
musin. Perubahan fenotif sel, dari tipe sel keratinous menjadi sekreto musin
terjadi progresif seperti yang tampak pada epitel sel kolumnar mengandung
sedikit sekresi musin dengan PAS positif pada polus apikal. Peningkatan sekresi
musin tanpa ekskresi menimbulkan ekspansi dari polus apikal sel sehingga
terbentuk cup of champagne atau kalsiformi sel goblet (Anshu, et al., 2001;
A B
Gambar 2.2 Sel goblet pada konjungtiva. (A) Sel goblet tersebar difus dan (B) sel
goblet berkelompok membentuk intraepithelial gland (Golu, et al., 2011)
paparan iritan langsung khususnya partikel debu udara. Penulis lain meyakini
hiperplasia sel goblet adalah respon stereotipikal dari mukosa konjungtiva tehadap
11
polusi udara. Lebih dari dua pertiga pasien pterigium memiliki sel goblet, baik
musin Henle juga menunjukkan positif pada pewarnaan PAS seperti sel goblet
berbeda secara signifikan pada tiap lokasi baik pada area konjungtiva bulbi nasal,
temporal, superior dan inferior (Kim, et al., 1992). Kepadatan sel goblet sesuai
dengan gradasi Nelson pada konjungtiva normal atau gradasi 0 yaitu >500
gradasi 3 yaitu <100 sel/mm2 atau tidak tampak sel goblet. Namun penelitian lain
menyatakan bahwa jumlah sel goblet 100-300 sel/mm2 masih dalam batas normal.
Perbedaan kepadatan sel goblet pada kedalaman konjungtiva bulbi belum pernah
dilaporkan. Pengaruh usia pada kepadatan sel goblet ditemukan tidak bermakna
namun dikatakan masih perlu analisis lebih lanjut (Doughty, 2012; Gaton, et al.,
2006).
kepadatan sel goblet kecuali bila terjadi hiperplasia sel goblet (Doughty, 2012).
Penelitian pada 3 kelompok dry eye, yaitu kelompok simple dry eye, dry eye
sindrom sjogren, dry eye connective tissue disease, menemukan tidak ada
perbedaan signifikan pada jumlah musin dan kepadatan sel goblet (Haller-
yaitu rerata kepadatan sel goblet pada kasus dry eye sebesar 490213 sel/mm2
kepadatan sel goblet normal >500 sel/mm2. Kepadatan sel goblet ditemukan
menurun secara signifikan pada kasus dry eye. Selain itu didapatkan juga
perbedaan jumlah sel goblet pada konjungtiva yang terpapar yaitu 427376
kepadatan sel goblet sebelum tindakan eksisi pterigium metoda bare sclera
sebesar 41,82 18,29/10 lapang pandang. Rerata kepadatan sel goblet meningkat
secara signifikan pada 1 bulan setelah bare sclera (t=6,37, p<0,001, paired
sel goblet ini diyakini meningkatkan sekresi musin setelah tindakan bare sclera
(Li, et al., 2007). Penelitian lain pada 74 pasien pterigium primer ditemukan
insiden dry eye menurun secara signifikan setelah eksisi pterigium, yaitu sebesar
8,3% pasien mengalami dry eye pada 3 bulan setelah eksisi dibandingkan sebelum
dengan mengambil 1-3 lapis sel epitel permukaan. Teknik ini relatif mudah
dikerjakan, invasif minimal, memberikan informasi sel pada area yang diperiksa,
13
kenyamanan pasien tidak terganggu walaupun cara ini bukan pemeriksaan first
menggunakan aplikasi kertas filter selulosa asetat atau filter nitroselulosa pada
Hasil pemeriksaan dapat digradasikan sesuai gradasi Nelson atau gradasi Adam.
cara smear yang dapat merusak susunan sel. Dasar dari sitologi konjungtiva
adalah abnormalitas sel epitel skuamus dan sel goblet. Penilaian dilakukan pada
perubahan morfologi sel epitel, rasio nukleus:sitoplasma (N:C) dan kepadatan sel
goblet. Pada gradasi Nelson, dikatakan gradasi 0 (normal) bila sel epitel
berukuran kecil dan bulat, rasio N:C sebesar 1:2, jumlah sel goblet banyak dan
bila diwarnai dengan PAS menunjukkan positif yang baik. Gradasi 1 (slight
abnormal) bila sel epitel sedikit memanjang dan poligonal, nukleus kecil dengan
rasio N:C sebesar 1:3, jumlah sel goblet mulai berkurang. Gradasi 2 (abnormal)
bila sel epitel memanjang dan poligonal dengan rasio N:C sebesar 1:4-1:5, sel
goblet sedikit. Gradasi 3 (signifikan abnormal) bila sel epitel besar dan poligonal,
nukleus kecil dan piknosis dengan rasio N:C sebesar 1:6, tidak dijumpai sel
0,22 m. Pasien ditetesi anestesi topikal pantocain 0,5%, tunggu hingga rasa perih
hilang. Letakkan kertas filter di permukaan konjungtiva bulbi, fiksasi salah satu
ujung dengan pinset konjungtiva dan tekan secara perlahan. Air mata diabsorpsi
14
dengan cotton bud atau gaas sebelum kertas filter dilepas. Lepaskan kertas filter
dan pindahkan spesimen di atas gelas obyek. Fiksasi dengan alkohol 95%
pembesaran 400x. Rata-rata kepadatan sel goblet dapat dihitung dari total jumlah
sel goblet pada 10 lapang pandang kemudian dihitung reratanya atau jumlah sel
total per 4 lapang pandang besar (Gillan, 2008; Li, et al., 2007).
Gambar 2.3 Sel goblet (panah merah) pada sitologi impresi dengan pewarnaan
PAS (Hong, et al., 2009)
lebih tinggi (gradasi 1-2) pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol mata
tanpa pterigium. Pada penelitian tersebut, fungsi air mata secara klinis dinilai
bahwa gradasi sitologi impresi berkorelasi dengan fungsi air mata pada pasien
pterigium primer (Rajiv, et al., 1991). Hasil sitologi impresi konjungtiva bulbi
yang abnormal juga ditemukan pada suatu penelitian di Makasar tahun 2010. Dari
histologi terlihat dari rasio normal nukleus:sitoplasma yaitu 1:1, kepadatan sel
goblet normal, ukuran sel dan nukleus normal. Penelitian pada 60 mata pterigium
Penyembuhan epitel secara sitologi pasca graft amnion yaitu 6 bulan dan pasca