You are on page 1of 8

Menghadiahkan Bacaan Dzikir/Tahlil Untuk

Ahli Kubur

Untuk membahas masalah ini secara lebih mendalam, akan kami ulas terlebih dahulu
pokok masalah uatamanya dari berbagai dalil dan pandangan ulama, yaitu mengenai
mengirim pahala bacaan al-Quran kepada orang yang telah meninggal.

Masalah ini merupakan ranah khilafiyah para ulama sejak dahulu, oleh karenanya al-
Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi mengawali bab tentang masalah ini dengan redaksi
sebagai berikut:


(



)302 / 1
"Telah terjadi perbedaan diantara para Ulama mengenai sampainya pahala bacaan al-
Quran kepada orang yang telah meninggal. Menurut mayoritas ulama Salaf dan ulama
tiga Madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) menyatakan bisa sampai kepada orang yang
telah wafat" (Syarh al-Shudur I/203)

Pendapat mayoritas ulama ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidla' al-
Shirat al-Mustaqim II/261:









( 2 / 261)
"Sesungguhnya pahala ibadah secara fisik seperti salat, membaca al-Quran dan
lainnya, bisa sampai kepada mayit sebagaimana ibadah yang bersifat harta secara
Ijma'. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, kelompok ulama Syafi'iyah dan
Malikiyah. Ini adalah yang benar berdasarkan dalil-dalil yang banyak, yang kami
jelaskan di lain kitab ini (dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu' al-Fatawa
24/306-313)."

Banyak pihak yang kemudian menghantam warga NU yang mayoritas mengikuti


madzhab Syafi'i, bahwa menurut mereka Imam Syafi'i berpendapat tidak dapat
sampainya bacaan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Mereka
umumnya mengutip pernyataan dari Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Karena mereka di luar pengikut Imam Syafi'i, maka sudah jelas mereka tidak
memahaminya secara mendalam. Disini kami paparkan terlebih dahulu pernyataan dari
para ulama Syafi'iyah terkait anjuran membaca al-Quran di kuburan, yang sudah pasti
orang yang meninggal dapat merasakan manfaat dari bacaan tersebut, kemudian kami
paparkan pula kesepakatan para ulama dalam masalah mengirimkan pahala ini. Dalil
membaca al-Quran di kuburan adalah:











9294 13613 (
)449 / 4
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah
dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran
(Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya"
(HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294,
dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]
1
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:



)184 / 3 (

"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)

Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di


kuburan:




)

(
)311 / 5 (
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan
mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan
disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian lain Imam Nawawi juga berkata:




)294 / 5 162 / 1 (
"Imam Syafi'i dan ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-
Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran
keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294)

Murid Imam Syafi'i yang juga kodifikator Qaul Qadim2[3], al-Za'farani, berkata:

1[2] Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 15833 meriwayatkan wasiat al-'Ala' kepada anak-
anaknya agar dibacakan awal-akhir surat al-Baqarah di kuburnya karena ia mendengarnya dari
Rasulullah Saw. Al-Haitsami menilai para perawinya terpercaya (Majma' al-Zawaid III/66)

2[3] Qoul Qadim adalah pendapat Imam Syafi'i ketika di Iraq. Para perawinya adalah al-
Karabisi, al-Za'farani, Abu Tsaur dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan Qaul Jadid adalah
pendapat 'refisi' Imam Syafi'i setelah menetap di Mesir 90 H. Para perawinya adalah al-Muzani,
al-Buwaithi, Rabi' al-Jaizi dan Rabi' al-Muradi, perawi kitab al-Umm ( Hasyiah al-Qulyubi I/14)

(



)11 / 1
"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii
tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu
Qoyyim, I/11)

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari riwayat al-Za'farani dari Imam Syafi'i ini:






(

)85 / 1
"Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia
orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan
penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan (yaitu boleh
membaca al-Quran di kuburan)" (al-Imta', al-Hafidz Ibnu Hajar, I/11)

Ibnu Hajar mengulas lebih kongkrit:






...



(
)86 / 1
"Sebab al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung berkah di
tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya merata kepada para
penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah penanaman dua tangkai pohon oleh
Rasulullah Saw di atas kubur, dimana kedua pohon itu akan bertasbih selama masih
basah dan tasbihnya terdapat berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati saja ada
berkahnya, maka dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang dibaca oleh
makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika yang membaca adalah
orang shaleh" (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta' I/86)

Kalaupun ada pernyataan dari Imam Syafi'i terkait tidak sampainya pahala bacaan al-
Quran yang dihadiahkan pada orang yang meninggal, maksudnya adalah jika dibaca
dan tidak dihadiahkan kepada orang yang meninggal atau tidak dibaca di hadapan
mayatnya. Maka jika dibaca lalu diniatkan agar pahalanya diperuntukkan bagi orang
yang meninggal atau dihadapan mayat, maka bacaan itu bisa sampai kepadanya (Ibnu
Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra II/27 dan al-Dimyathi Syatha
dalam I'anat al-Thalibin III/259)

Sedangkan hadis yang terkait menghadiahkan bacaan al-Quran telah dikutip oleh
banyak para ulama, bahkan pendiri aliran Wahhabi, Muhammad bin Abdul Wahhab
yang banyak diikuti oleh kelompok anti tahlil di Indonesia, juga mengutip riwayat hadis
tersebut:











(
497 / 4
)75 - - 303 / 1
"Abu Qasim Saad bin Ali al-Zanjani dalam kitab Fawaidnya meriwayatkan dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Barangsiapa masuk ke kuburan kemudian
membaca al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Takatsur, lalu berdoa: Sesungguhnya saya jadikan
bacaan saya dari firman-Mu untuk para ahli kubur, baik mukminin dan mukminat, maka
mereka akan menjadi pemberi syafaat baginya di sisi Allah'. Al-Khallal juga
meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik: 'Barangsiapa masuk ke kuburan,
kemudian membaca Yasin,3[4] maka Allah akan meringankan kepada mereka pada
hari itu dan dia mendapatkan kebaikan-kebaikan sesuai bilangan yang ada di kuburan
tersebut" (Badruddin al-Aini dalam kitab Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari IV/497,
al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur I/303 dan Muhammad bin Abdul Wahhab
Pendiri aliran Wahhabi dalam Ahkam Tamanni al-Maut 75)

Dan hadis dari Ali secara marfu':






(


)303 / 1 3733 / 1
"Barangsiapa melewati kuburan kemudian membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan
menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka ia mendapatkan
pahala sesuai bilangan orang yang meninggal. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-
Samarqandi"4[5] (Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-
Shudur I/303)

Hal ini diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:

3[4] Membaca Yasin di kuburan kendatipun hadis-hadisnya dlaif, tetapi kesemuanya saling
menguatkan (al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu'ah II/365 dan Ibnu 'Arraq
dalam Tanzih al-Syari'ah II/373)

4[5] Riwayat semacam ini banyak dikutip oleh kalangan Syafi'iyah Muta'akhirin, seperti dalam
al-Jamal VII/224 dan al-Qulyubi I/412

( )






(

)9 / 5
"(Dianjurkan membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya mendengar
Imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-
Falaq, al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai
pada mereka. Seperti inilah tradisi sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke kuburan
untuk membaca al-Quran5[6]" (Mathalib Uli al-Nuha 5/9)

Ibnu Taimiyah pun, yang menjadi panutan kelompok anti tahlil, juga memperbolehkan
sedekah untuk mayat, khataman al-Quran dan mengumpulkan orang lain untuk
mendoakannya:










)363 / 5 (
"Pendapat yang benar bahwa mayit mendapatkan manfaat dengan semua ibadah fisik,
seperti salat, puasa dan bacaan al-Quran, sebagaimana ibadah harta seperti sedekah,
memerdekakan budak dan sebagainya berdasarkan kesepakatan para Imam, dan
sebagaimana ia mendoakannya atau meminta ampunan untuknya. Sedekah untuk
mayat lebih utama daripada mengkhatamkan al-Quran dan mengumpulkan orang. Jika
mayit berwasiat agar hartanya digunakan untuk khataman dan tujuannya adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, maka harta tersebut digunakan untuk kebutuhan
membaca al-Quran dengan sekali khatam atau lebih dari satu kali. Dan
mengkhatamkan al-Quran ini lebuh utama daripada mengumpulkan orang lain" (al-
Fatawa al-Kubra V/363)

Begitu pula Ibnu al-Qayyim, murid Ibnu Taimiyah, berkata:








)142 / 1 (
"Secara global, sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah
sedeqah, istighfar, berdoa untuk orang yang meninggal dan berhaji atas nama dia.
Adapun membaca Al Quran dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayyit dengan
suka rela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa
dan haji juga sampai kepadanya" (al-Ruh I/142)

5[6] Juga dikutip oleh Ibnu al-Qayyim, murid Ibnu Taimiyah, dalam kitab al-Ruh 11
Terkait dengan masalah menghadiahkan bacaan dzikir kepada ahli kubur, maka
kesemuanya bisa sampai kepada mereka seperti yang diamalkan oleh warga NU dalam
Tahlilan. Sebagaimana menurut al-Hafidz Ibnu Hajar:


(


)86 / 1
"Dan dzikir mengandung berkah di tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian
berkahnya merata kepada para penghuninya (kuburan)" (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta'
I/86)
Amaliyah warga NU ini diperkuat oleh fatwa Ibnu Taimiyah mengenai kirim pahala tahlil
dan dzikir lainnya:



) (

)
(



)165 / 24 (
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang membaca tahlil tujuh puluh ribu kali dan
dihadiahkan kepada mayit sebagai pembebas dari api neraka, apakah ini hadis sahih
atau bukan? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca tahlil sebanyak tujuh
puluh ribu, atau kurang, atau lebih banyak, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka Allah
akan menyampaikannya. Hal ini bukan hadis sahih atau dlaif" (Majmu' al-Fatawa XXIV
/165)


)
(



)
(

)165 / 24 (

"Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bacaan keluarga mayit yang terdiri dari tasbih,
tahmid, tahlil dan takbir, apabila mereka menghadiahkan kepada mayit apakah
pahalanya bisa sampai atau tidak?6[7] Ibnu Taimiyah menjawab: Bacaan kelurga mayit
bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya dan semua dzikirnya, karena Allah Ta'ala.
Apabila mereka menghadiahkan kepada mayit, maka akan sampai kepadanya" (Majmu'
al-Fatawa XXIV /165)

Begitu pula fatwa mengirimkan pahala bacaan al-Quran:

6[7] Jika melihat dari isi pertanyaan, maka dahulu sudah ada rangkaian dzikir yang susunannya
terdiri dari gabungan beberapa dzikir, seperti tasbih, tahmid, tahlil dan sebagainya untuk
dihadiahkan pada ahli kubur. Hal ini sama dengan susunan dzikir dalam tahlil yang biasa
dilakukan oleh warga NU.








)322 / 24 (
"Dan diriwayatkan daru ulama salaf bahwa 'Setiap khatam al-Quran terdapat doa yang
terkabul'7[8]. Jika seseorang berdoa setelah khatam al-Quran, baik untuk dirinya
sendiri, kedua orang tuanya, para gurunya, dan yang lain dari kalangan mukminin dan
mukminat, maka doa ini tergolong bagian dari doa yang disyariatkan. Begitu pula doa
bagi mereka saat tengah malam, dan tempat-tempat istijabah lainnya. Dan sungguh
telah sahih dari Nabi Muhammad Saw bahwa beliau memerintahkan sedekah untuk
mayit dan puasa untuknya. Bersedekah atas nama orang yang telah mati adalah bagian
dari amal shaleh, begitu pula puasa. Dengan dalil ini, para ulama berhujjah bahwa
boleh menghadiahkan pahala ibadah yang bersifat harta atau fisik kepada umat Islam
yang telah wafat, sebagaimana pendapat Ahmad, Abu Hanifah, segolongan dari
Madzhab Malik dan Syafi'i. maka jika menghadiahkan pahala puasa, salat dan bacaan
al-Quran kepada orang yang telah wafat, maka hukumnya boleh" (Majmu' al-Fatawa
XXIV/322)

Bahkan menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus para ulama:



(

)10 / 5 431 / 4
"Imam Ahmad berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil al-
Quran dan hadis, dan dikarenakan umat Islam berkumpul di setiap kota, mereka
membaca al-Quran dan menghadiahkan untuk orang yang telah meninggal diantara
mereka, tanpa ada pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma' ulama (Kisyaf al-Qunna' IV/
431 dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)

Kesimpulannya, bacaan dzikir yang dihadiahkan kepada ahli kubur dapat sampai
kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari:




(




)33 / 1
"Semua ibadah yang dilakukan, baik ibadah wajib atau sunah, dapat sampai kepada
orang yang telah wafat. Dan disebutkan dalam kitab Syarah al-Mukhtar bahwa dalam
ajaran Aswaja hendaknya seseorang menjadikan pahala amalnya dan salatnya

7[8] Riwayat ini adalah sebuah hadis, HR al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 1919 dan No
2058
dihadiahkan kepada orang lain (yang telah wafat), dan hal itu akan sampai kepadanya"
(I'anat al-Thalibin I/33)

Kelompok anti tahlil yang kerap berdalil dengan Surat al-Najm: 38, untuk menolak
menghadiahkan pahala kepada ahli kubur, dibantah dengan sangat keras oleh
pimpinan mereka sendiri, Ibnu Taimiyah. Ia berkata:

)
(





(


)132 / 1
"Orang yang berhujjah tidak sampainya pahala kepada orang yang telah wafat dengan
firman Allah "Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya" (al-Najm 39), maka hujjahnya salah fatal. Sebab telah dijelaskan
dalam nash al-Quran-Hadis dan Ijma Ulama bahwa mayit menerima manfaat dengan
doa kepadanya, memintakan ampunan, sedekah, memerdekakan budak dan
sebagainya" (al-Masail wa al-Ajwibah I/132)

8[1] Ketua LBM NU Kota Surabaya

You might also like