You are on page 1of 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki ribuan pulau serta budaya yang menjadi ciri khas bangsa.
Hal ini membuat negara Indonesia banyak disukai oleh masyarakat luar. Maka dari
itu pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif
yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah. Dengan adanya misi
kepariwisataan, maka daerah yang memiliki potensi dasar pariwisata cenderung
mengembangkan potensi daerah yang ada sehingga diharapkan mampu menarik
wisatawan dalam jumlah yang besar. Khususnya bagi Indonesia yang memiliki
berbagai keindahan alam dan keragaman budaya maka potensi tersebut merupakan
aset wisata potensial yang dapat digali dan juga dikembangkan.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah
khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik
dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan
wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam. Walaupun kekayaan
alam yang berlimpah, jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak
merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan
pemanfaatan kekayaan alam, keaneka ragaman suku, agama, adat, budaya, golongan
pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat komplek
mengakibatkan wilayah Negara Indonesia menjadi wilayah yang memiliki potensi
rawan bencana, baik bencana alam maupun ulah manusia, antara lain; gempa bumi,
tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah Iongsor, angin ribut, kebakaran hutan dan
lahan serta letusan gunung api.
Terjadinya bencana alam pastilah menimbulkan banyak kerugian baik berupa
material maupun korban jiwa bagi benduduk yang tertimpa bencana tersebut serta
dampak kepada sector pariwisata. Untuk meminimalisir jumlah korban jiwa dan
harta benda yang diakibatkan oleh suatu bencana maka perlu dilakukan langkah-
langkah starategis dalam menghadapi kemungkinan bencana yang terjadi dengan
manajemen bencana, terutama dalam masalah kesehatan para korban jiwa.

1
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan
penanggulangan bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Manajemen bencana merupakan keseluruhan dari semua tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kerusakan yang akan terjadi terkait
dengan bahaya dan untuk meminimalkan kerusakan setelah suatu peristiwa bencana
terjadi atau telah terjadi dan untuk pemulihan langsung dari kerusakan. Manajemen
bencana terdiri dari beberapa langkah diantaranya mitigation, preparadness,
response dan recovery. Pada tahap recovery, terjadi proses pemulihan kondisi
masyarakat yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali prasarana dan
sarana pada keadaan semula. Tahap recovery terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi
baik dari fisik, psikologis dan komunitas.
Berdasarkan latar belakang di atas, Prodi D-IV Keperawatan Reguler
Politeknik Kesehatan Denpasar menerapkan metode pembelajaran praktik
Manajemen Risiko Bencana Pariwisata dimana teori dari mata kuliah ini telah
didapatkan di semester IV. Hasil dari proses pembelajaran praktik manejemen
risiko bencana pariwisata ini dimuat dalam laporan kegiatan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana menetapkan konteks risiko bencana pariwisata ?
2. Bagaimana identifikasi risiko bencana pariwisata ?
3. Bagaimana analisis risiko bencana pariwisata ?
4. Bagaimana evaluasi risiko bencana pariwisata ?
5. Bagaimana penanganan risiko bencana pariwisata ?

1.3 Tujuan Praktik


Tujuan praktikum ini dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1. Tujuan Umum
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik dan orientasi ditempat
praktik, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengimplementasikan
proses manajemen risiko bencana pariwisata.
2. Tujuan Khusus

2
Capaian pembelajaran praktikum yang diharapkan adalah, mahasiswa :
a. Mampu menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
b. Mampu mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
c. Mampu menganalisis risiko bencana pariwisata
d. Mampu mengevaluasi risiko bencana pariwisata
e. Mampu menangani risiko bencana pariwisata

1.4 Bobot Praktikum


Bobot Praktik Manajemen Risiko Bencana Pariwisata ini adalah 4 SKS. Waktu
yang dibutuhkan selama : 4 x 14 minggu x 170 menit = 9520 menit setara dengan 4
minggu praktik.

1.5 Kegiatan Praktik


Adapun kegiatan praktik manajemen risiko bencana pariwisata ini adalah :
1. Menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
2. Mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
3. Menganalisis risiko bencana pariwisata
4. Mengevaluasi risiko bencana pariwisata
5. Menangani risiko bencana pariwisata
6. Mengikuti Pre dan Post conference
7. Mendokumentasikan kegiatan/membuat laporan
8. Melaksanakan seminar

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konteks Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


2.1.1Pengertian Manajemen Risiko Bencana
Manajemen bencana menurut (University of Wisconsin) sebagai
serangkaian kegiatan yang didesain untuk mengendalikan situasi bencana dan
darurat dan untuk mempersiapkan kerangka untuk membantu orang yang renta
bencana untuk menghindari atau mengatasi dampak bencana tersebut
Manajemen bencana yang dalam PP No 21 Tahun 2008 dijelaskan sebagai
penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan segala
upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan, mitigasi,
kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan sebelum, pada saat dan setelah bencana.
Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan pengetahuan
yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan
persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan membangun kembali
masyarakat saat setelah bencana terjadi. Lebih lanjut Krishna mengungkapkan
bahwa lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) terdiri dari
tigakegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event),
kedua yaitu saat bencana dan ketiga adalah setelah terjadinya bencana (post
event).
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup,
status kesehatan, mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu
komunitas tertentu atau masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR,
2009). Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

4
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil dari
hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari berbagai jenis
potensi kerugian yang sering sulit untuk diukur.Namun demikian, dengan
pengetahuan tentang bahaya, pola populasi, dan pembangunansosial-ekonomi,
risiko bencana dapat dinilai dan dipetakan, setidaknya dalam arti luas.
Manajemen risiko bencana (disaster risk management) adalah Proses
pengelolaan yang sistematis dan terencana dalam penerapan strategi dan
kebijakan penanggulangan bencana dengan menekankan pada aspek-aspek
pengurangan risiko bencana. Perhatian utamanya adalah mencegah atau
mengurangi dampak bencana melalui serangkaian kegiatan dan tindakan
pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Tujuan umum dari manajemen risiko
bencana adalah mengurangi faktor-faktor yang mendasari munculnya risiko
serta menciptakan kesiapsiagaan terhadap bencana.
Jadi kesimpulan dari manajemen risiko bencana adalah upaya untuk
mengurangi bahaya atau konsekuensi yang dapat terjadi pada penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
dengan cara tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saat setelah bencana terjadi.

2.1.2Tujuan Manajemen Risiko Bencana


Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana
dengan baik. Saah satu faktor adalah karena bencana belum pasti tejadinya dan
tidak diketahui kapan akan terjadi. Sebagai akibatnya, manusia sering kurang
peduli, dan tidak melakukan langkah pengamanan dan pencegahan terhadap
berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen bencana yang bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak
diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu
bencana atau kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasai
tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana

5
4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga
korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.
5. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana
6. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban
bencana
7. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.

Penyebab perlu adanya manajemen risiko bencana di sektor pariwisata :


a. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah destinasi
terkena bencana.
b. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga sulit
untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan yang
kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah di
daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.
c. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak dapat
dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku dalam
penanganan bencana.
d. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti garis
pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya yang lebih
besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
e. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke
mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur
darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
f. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis
perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.

2.1.3 Manfaat Manajemen Risiko Bencana


Menurut Pamungkas (2010), manejemen resiko bencana memiliki empat
manfaat, yang mana diantaranya adalah sebagai berikut:
a Evaluasi dari program pengendali bencana akan dapat memberikan gambaran
mengenai keberhasilan dan kegagalan operasi perusahaan

6
b Memberikan sumbangan bagi peningkatan keuntungan perusahaan
c Ketenangan hati yang dihasilkan oleh manajemen bencana yang baik akan
membantu meningkatkan produktifitas dan kinerja
d Menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan,
pelanggan dan masyarakat luas

2.1.4 Dampak Bencana pada Sektor Pariwisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
a. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga
sebagai sumber dan bukti sejarah.
b. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda bahkan
nyawa.
c. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra
Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam yang
menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
a. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat
iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
b. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
c. Menambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo
yang menarik
d. Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki jalan
dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan wisata.

2.1.5 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Sektor Pariwisata


Undang-Undang No: 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyatakan bahwa Penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan melibatkan unsur
Pemerintah, unsur masyarakat dan unsur swasta.
Khusus unsur swasta, BPBD Provinsi Bali memulai langkah strategis
dengan memberikan apresiasi kepada unsur swasta yang telah melakukan
kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana.Terobosan ini
menjadi sangat penting dan efektif dalam rangka mengurangi risiko jika terjadi
bencana.Pengurangan risiko bencana sesungguhnya ada 3 hal yang mesti
dilakukan, yang pertama adalah mengurangi hazard, memperkecil kerentanan
dan yang terakhir adalah peningkatan kapasitas.

7
Selain Undang-Undang kebencanaan, dalam Rencana Penanggulangan
Bencana Provinsi Bali juga sangat jelas mengisyaratkan bahwa peningkatan
kapasitas menjadi prioritas program yang harus dilaksanakan. Dilatar belakangi
pemikiran tersebut, Gubernur Provinsi Bali menurunkan Surat Keputusan
Nomor : 1849/04-1/HK/2013 yang isinya adalah pembentukan dan susunan
keanggotaan tim verifikasi kesiapsiagaan bencana.
Tim verifikasi ini dibentuk untuk melaksanaan pembinaan dan penilaian
kesiapsiagaan sesuai dengan standard an kritaria penanggulangan bencana. Tim
ini juga mempuyai tugas sebagai berikut :
a. Menyusun indikator atau parameter kesiapsiagaan menghadapi bencana,
b. Menyusun standar operating procedure (SOP) pelaksanaan pembinaan dan
penilaian,
c. Melaksanakan proses identifikasi risiko bencana,
d. Melaksanakan penilaian kesiapsiagaan sesuai dengan indikator atau
parameter yang telah ditentukan,
e. Merekomendasikan hasil penilaian kepada Kepala Pelaksanan Badan,
f. Penanggulangan Bencana Provinsi Bali,
g. Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Kepala,
h. Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali.

2.1.6Proses Siklus Manajemen Risiko Bencana


1. Pra bencana
Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra bencana
meliputi kesiagaan, peringatan dini dan mitigasi.
a. Kesiapsiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan adalah tahapan yang paling
strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam
menghadapi datangnya suatu bencana.
b. Peringatan dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak,
khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan
datangnya suatu bencana di daerahnya masing-masing. Peringatan

8
didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki diolah atau
diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkinan datangnya suatu
bencana.
c. Mitigasi
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008, mitigasi
bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana. Upaya memperkecil dampak negative
bencana. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur
dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena
bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi
untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur
bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu
upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural,
diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun
menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata
ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan
pemerintah daerah.
Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis
kerentanan; pembelajaran public.
Mitigasi harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui
berbagai upaya dan pendekatan antara lain:
a) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak
suatu bencana misalnya membuat material yang tahan terhadap
bencana, dan membuat rancanagan pengaman, misalnya tanggul
banjir, lumpur dan lain sebagainya.
b) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang
paham dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan

9
cara hidup manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.
c) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi
sebagai contoh:
1) Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan
aspek risiko bencana
2) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan
pembangunan industry berisiko tinggi.
3) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap
darurat di setiap organisasi baik pemerintahan maupun industry
berisiko tinggi.
d) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana
disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah mebudaya
sejak lama.
2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi
dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian
dapat diminimalkan.
1) Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana prasarana.

10
Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang dibentuk
dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.

c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga


dapat pula ditentukan status keadaan darurat.

d) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.


Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan evakuasi
korban bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar
b) Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia, orang
dengan keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan kelompok yang
dikategorikan lemah)

c) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

2) Penanggulangan bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala bentuk
bencana. Oleh karena itu Tim tanggap darurat harus diorganisisr dan
dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.
Contoh aktivitas pada fase ini :
a. Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration) Melakukan
evakuasi dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.

11
b. Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue SAR) Malakukan
pencaharian baik korban yang meninggal dan korban yang hilang.
c. Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment) Melakukan penilaian
terhadap bencana yang terjadi
d. Respon dan Pemulihan (Response and relief) Memberikan respond an
pemulihan terhadap korban bencana
e. Logistik dan suplai (Logistics and supply) Manyalurkan bantuan logistik
kepada korban bencana
f. Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and information
management) Memberikan informasi dan komunikasi kepada media
massa mengenai jumlah kerugian korban bencana
g. Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and coping)
Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik. Ibu
Hamil, anak-anak dan orang Manula
h. Keamanan (Security) Mamberikan pelayanan keamanan terhadap korban
jiwa, baik itu harta benda dan yang lain.
i. Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations
management) Melakukan manajemen pengoperasian emergenci pada saat
terjadinya bencana

3. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka
langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajarsemua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, social, dan budaya, tegaknya hukum, dan ketertiban,

12
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana

2.2 Identifikasi Risiko Bencana


Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi dan
penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana. Menurut PP No. 21 tahun 2008,
risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP tersebut
antara lain sebagai berikut :
1. Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko
dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
2. Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala BNPB
dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
3. Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang serta pengambilan tindakan
pencegahan dan mitigasi bencana.
4. Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.
5. Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan persyaratan
analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi
atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana.
6. Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan oleh
pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan dan
evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.
Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau
kegiatan yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisis Risiko
Bencana (ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh

13
informasi dan data mengenai potensi bencana yang mungkin dapat terjadi
dilingkungan masing-masing serta potensi atau tingkat risiko atau keparahannya.
Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat
keparahan bencana yang mungkin terjadi.Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu
daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula
semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin
tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan
masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan
perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi
oleh daerah yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan
bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya (probabilitasnya)
dengan rincian :

Jika

probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila bencana itu


memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain :
1. Jumlah korban,
2. Kerugian harta benda,
3. Kerusakan prasarana dan sarana,
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan
5. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

14
Maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut :

Maka akan didapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

15
Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan
tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti berikut:

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya yang
perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
1. Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
2. Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3. Bahaya/ancaman rendah nilai 1
Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga
langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi Bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada
disuatu daerah atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis,

16
cuaca, alam, aktivitas manusia, dan industry, sumberdaya alam serta sumber
lainnya yang berpotensi menimbulkan bencana. Identifikasi bencana ini dapat
didasarkan pada pengalaman bencana sebelumnya dan prediksi kemungkinan
suatu bencana yang dapat terjadi.
2. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana
Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan
dan skala dampak yang mungkin ditimbulkan oelh bencana tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah
tergolong tinggi atau rendah.
a Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat dilakukan untuk
menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem
matriks seperti yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik yang
lebih kuantitatif missal dengan permodelan risiko.
b Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut di bandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan
referensi yang ada.
3. Pengendalian Risiko Bencana
Hasil identifikasi dan analisa risiko yang telah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai. Pengendalian
risiko bencana menurut konsep manajemen risiko dapat dilakukan dengan
beberapa cara sebagai berikut :
a. Mengurangi kemungkinan
Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya
bencana. Semua bencana pada dasarnya dapat dicegah, namun untuk bencana
alam terdapat pengecualian.

17
b. Mengurangi dampak atau keparahan
Jika kemungkinan bencana tidak dapat dikurangi atau dihilangkan, maka
langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi keparahan atau
konsekuensi yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya,
penilaian risiko bencana dan langkah pengendalaian tersebut dapat disusun
analisa risiko bencana yang terperinci dan mendasar untuk selanjutnya
dikembangkan program kerja penerapannya.
Tujuan identifikasi bencana adalah untuk pengurangan risiko bencana
yaitu konsep dan praktik mengurangi risiko-risiko bencana melalu upaya-upaya
sistematis untuk menganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab bencana,
termasuk melalui pengurangan keterpaparan terhadap ancaman bahaya,
pengurangan kerentanan penduduk dan harta benda, pengelolaan lahan dan
lingkungan secara bijak, dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap peristiwa-
peristiwa yang merugikan. Jadi pada intinya kita bisa melihat bahwa ada empat
aktivitas yang harus dilakukan dalam PRB ini :

1. Identifikasi Risiko dan Tingkat Kerentanan Bencana


Yang perlu diidentifikasi antara lain jenis atau sifat bencana, lokasi, berapa besar
tingkat kekuatannya (intensitas), jangka waktu dari bencana-bencana sebelumnya
untuk bisa melihat tingkat probabilitas atau frekuensi timbulnya ancaman atau
risiko bencana. Keadaan dan tingkat kerentanan dari masyakarat dan sumber daya
lainnya termasuk infrastruktur juga harus diidentifikasi.
Pengetahuan masyarakat terhadap kerentanan bencana adalah keadaan atau
sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan kemampuan atau
ketidak mampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan ini dapat
berupa:
a. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.

b. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat

18
atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya,
karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
c. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang
risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian
pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
d. Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.

2. Mengkaji Risiko dan Tingkat Kerentanan.


Dalam tahapan ini risiko yang ada harus dianalisa untuk melihat berapa besar
tingkat bahayanya, begitu pula tingkat kerentanannya harus dianalisa untuk dapat
mengetahui kapasitas dari masyarakat dan sumber daya yang tersedia untuk
mengurangi risiko atau dampak dari bencana.

3. Evaluasi
Risiko dan tingkat kerentanan tersebut harus dievaluasi untuk menentukan risiko
mana yang memerlukan prioritas dan penanggulangan.

2.3 ANALISIS RISIKO BENCANA PADA DAERAH PARIWISATA


2.2.1 Pengertian Analisis Risiko Bencana
Analisis risiko (risk assessment/analysis) adalah suatu metodologi untuk
menentukan sifat dan cakupan risiko dengan melakukan analisis terhadap
potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi-kondisi kerentanan yang ada dan dapat
menimbulkan suatu ancaman atau kerugian bagi penduduk, harta benda,
penghidupan, dan lingkungan tempat tinggal (ISDR, 2004).
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,

19
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Dari pemaparan diatas definisi dari analisis risiko bencana adalah proses
penilaian terhadap risiko bencana atau potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

2.2.2 Tujuan Analisis Risiko Bencana


Pengurangan Risko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan
komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang
berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan,
pengorganisasian kelompok swadaya masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari
berbagai pemangku kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat
dan sesudah terjadi bencana. Tujuannya agar komunitas mampu mengelola
risiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak bencana tanpa
ketergantungan dari pihak luar. Dalam tulisan siklus penanganan
bencana kegiatan ini ada dalam fase pra bencan
Fokus kegiatan Pengurangan Risiko Bencana secara Partisipatif dari
komunitas dimulai dengan koordinasi awal dalam rangka membangun
pemahaman bersama tentang rencana kegiatan kajian kebencanaan, yang
didalamnya dibahas rencana pelaksanaan kajian dari sisi peserta, waktu dan
tempat serta keterlibatan tokoh masyarakat setempat akan sangat mendukung
kajian analisa kebencanaan ini. Selain itu juga di sampaikan akan Pentingnya
Pengurangan Risko Bencana mengingat wilayah kita yang rawan akan bencana.
Setelah ada kesepakatan dalam koordinasi awal maka masyarkat melakukan
kegiatan PDRA ( Participatory Disaster Risk Analysis / Kajian Partisipatif
Analisa Bencana). Kegiatan ini selain melibatkan masyarakat, Tokoh masyarakat
juga kader posyandu dan PKK dusun, dengan kata lain semua unsur di
masyarakat yang ada dilibatkan. Dalam kegiatan ini dijelaskan maksud dan
tujuan kegiatan kajian dan analisa kerentanan, ancaman dan resiko kebencanaan.

2.2.3 Pengembangan Kawasan Wisata dan Aspek Bencana

20
Pariwisata merupakan salah satu sector dan kegiatan yang mengalami
pertumbuhan pesat. Walaupun terdapat berbagai faktor eksternal yang kurang
menguntungkan perkembangan pariwisata, sampai saat ini pariwisata masih
dianggap sebagai sector yang mempunyai pertumbuhan yang pesat dan
memberikan kontribusi ekonomi bagi banyak negara maupun wilayah. Kegiatan
wisata dinilai semakin penting peranannya dalam mewujudkan keberlanjutan dan
kedinamisan kehidupan sosial dan perekonomian sehari-hari. Banyak penduduk
yang terlibat dalam kegiatan pariwisata baik sebagai wisatawan maupun pekerja.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun
wisatawan mancanegara, yang secara bertahap dan kontinu mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu. Berdasarkan laporan tahunan Organisasi
Pariwisata Dunia, pariwisata internasional mencapai 563 juta kedatangan pada
tahun 1995 dan diperkirakan akan mencapai 1,6 milyar kedatangan pada tahun
2020. Jumlah tersebut belum termasuk wisatawan domestik yang jumlahnya bisa
mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah wisatawan mancanegara (WTO,1999).
Beberapa kawasan mengalami pertumbuhan pesat baik jumlah pengunjungnya
maupun keragaman daya tarik yang ditawarkan.berbagai jenis bentang alam dan
fenomena sosial budaya dari berbagai negara atau daerah dimanfaatkan sebagai
daya tarik wisata untuk dinikmati penduduk local maupun penduduk dari wilayah
atau negara lain.
Pariwisata menjadi sumber pendapatan utama maupun penunjang bagi
masyarakat di beberapa kawasan wisata seperti di provinsi Bali, kawasan wisata
Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Anyer (Serang),dll. Di beberapa negara lain,
pariwisata juga menjadi salah satu andalan pendapatan atau devisa negara
tersebut. Di Thailand, Kepulauan Karibia, Maldives dan beberapa pulau kecil
lainnya, pariwisata merupakan industry terbesar dan memberikan devisa yang
cukup besar bagi negara tersebut.
Pariwisata menciptakan keterkaitan, baik langsung maupun tidak
langsung, antar sector, antar kawasan wisata maupun antar daerah. Dari tahun ke
tahun makin bertambah sector yang memperoleh manfaat atau keuntungan dari
pariwisata, baik yang terdapat di kawasan setempat maupun di daerah lain.
Pariwisata Bali, misalnya memberikan manfaat kepada pengusaha industri kecil

21
dan kerajinan di beberapa daerah provinsi Jawa Timur maupun Jawa Tengah serta
beberapa daerah lain.
Kegiatan wisata, terutama yang berbasis sumberdaya alam, dapat
dikembangkan di kawasan pantai, pegunungan atau perbukitan tergantung pada
karakteristik lingkungan di wilayah tersebut. Negara-negara di sekitar Samudera
Hindia, dimana mempunyai kawasan pantai dan perairan yang cukup luas, banyak
yang memanfaatkan kawasan pantai sebagai resort pariwisata. Hal ini dapat dilihat
di Thailand (Phuket, Krabi, Phiphi,dll), Malaysia (Penang dan Langkawi),
Maldives, Andaman, Sri Lanka (Galle) yang cukup lama mengembangkan
kawasan pantai sebagai kawasan wisata dan rekreasi. Setiap tahunnya tidak
kurang dari sejuta wisatawan mengunjungi kawasan tersebut. Pariwisata di
kawasan ini telah memberikan manfaat yang cukup besar, baik bagi wisatawan
dari berbagai negara, penduduk local maupun perekonomian di kawasan/negara
tersebut. Sekitar sepertiga penduduk Amerika Serikat mengunjungi pantai setiap
tahunnya. Pembangunan hotel dan rumah kedua lebih banyak dilakukan di
kawasan pantai.
Begitu pula di Indonesia, tidak sedikit kegiatan wisata yang
dikembangkan pada kawasan pantai seperti di P.Bali (Kuta, Nusa Dua, Sanur,
Karangasem,dll), pantai barat Sumatera (Lampung, Bengkulu, Padang,dll) dan
beberapa pulau kecil (Nias, Siemelue, Weh, Buru, Kep.Seribu, Biak,dll), Anyer,
Pelabuhanratu, Pangandaran, Bunaken, Makasar, Parangtritis, Kawasan
Pantura,dll. Beberapa kegiatan wisata juga dikembangkan di kawasan perbukitan
atau kawasan dengan kondisi topografi yang berat seperti di kawasan Puncak,
Bandung Utara, Bandung Selatan, Garut-Cipanas (Mojokerto), Lawang,
Kaliurang, Baturaden, Tawangmangu, dll. Kawasan dengan kondisi topografi
yang terjal/curam dapat menjadi daya tarik wisata karena pemandangan/view yang
bagus maupun kesegaran udara serta daya tarik lain.
Pengembangan komponen pariwisata (daya tarik, akomodasi, fasilitas
penunjang, dll) pada beberapa kawasan bahaya alam dapat memicu timbulnya
bencana alam. Pembangunan fasilitas pariwisata (hotel,vila, akomodasi lain serta
restaurant, dll) pada lereng bukit karena pertimbangan keindahan pemandangan
dapat memicu timbulnya longsoran sehingga membahayakan pengunjung,
pekerja, penduduk sekitar maupun pelaku mobilitas di kawasan tersebut.

22
Terjadinya bencana pada beberapa kawasan wisata seperti di kawasan wisata
Puncak dan beberapa kawasan wisata lain memberikan gambaran tentang
pesatnya pembangunan tempat rekreasi yang kurang memperhatikan daya dukung
dan dampaknya terhadap lingkungan. Sejarah pengembangan pariwisata
menunjukkan bahwa cukup banyak kawasan wisata yang berkembang atau
dikembangkan pada kawasan dengan resiko bencana. Beberapa kawasan wisata di
sepanjang pantai, perbukitan, perairan, pernah mengalami bencana baik yang
bersumber dari kawasan wisata tersebut maupun dari kawasan lain.
Pemanfaatan pantai untuk pariwisata atau rekreasi memberikan tekanan
pada kondisi lingkungan pantai. Hal ini dapat pula dilihat pada beberapa kawasan
pantai dimana kegiatan pariwisata di kawasan pesisir telah memicu pertumbuhan
pemukiman khususnya rumah peristirahatan. Pada waktu tertentu, jumlah
pengunjung kadang-kadang melebihi jumlah penduduk local. Pengunjung tidak
hanya berasal dari wilayah setempat tetapi juga dari kota-kota sekitar dan dari
negara lain. Kegiatan wisata di pantai dapat merusak lingkungan yang rapuh dan
sensitive, menggusur vegetasi penutup (mangrove maupun vegetasi pantai
lainnya, dll) dan meningkatkan erosi ole angin. Akhir-akhir ini sering dijumpai
adanya polusi suara dan perairan oleh jetski di kawasan pantai.
Mengingat peran pariwisata yang cukup penting bagi peningkatan
kualitas hidup manusia serta pengembangan kawasan, wilayah maupun kota maka
berbagai upaya perlu dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kinerja dan peran pariwisata dalam berbagai bidang kehidupan atau kegiatan
tersebut. Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat memperkecil kerentanan
kawasan wisata terhadap bencana sehingga memperkecil jumlah kerugian dan
korban jiwa serta kerusakan apabila terjadi bencana.

2.2.4 Analisis Risiko Bencana Pada Daerah Pariwisata

23
Risiko bencana dinilai berdasarkan ada atau tidaknya ancaman pada suatu
daerah, besar kecilnya tingkat kerentanan faktor fisik/infrastruktur, penduduk, dan
sosial-ekonomi serta seberapa kuat atau lemah kapasitas masyarakat untuk
melakukan pencegahan, adaptasi maupun mitigasi dalam rangka meminimalkan
korban dan kerugian akibat bencana. Kerangka penilaian risiko tersebut
didasarkan pada tiga buah elemen utama kegiatan penilaian risiko bencana:
ancaman, kerentanan dan kapasitas. Masing-masing komponen memiliki peranan
tersendiri dalam menentukan tingkat risiko, sehingga perlu dilakukan analisis
untuk memperoleh nilai risiko sebagai kombinasi dari semua elemen tersebut.
Untuk itu, akan digunakan metode AHP untuk memberikan proporsi bobot yang
sesuai dengan peran masing-masing komponen tersebut.
a. Ancaman/bahaya
Ancaman adalah peristiwa atau kejadian baik disebabkan oleh faktor alam
(seperti letusan puting beliung, banjir, gempabumi dan lainnya) maupun
faktor non-alam (seperti konflik sosial, tawuran, dan lain sebagainya) yang
berpotensi menimbulkan kerugian apabila terjadi bencana. Ancaman/bahaya
dapat dikategorikan dalam kelas-kelas sesuai dengan tingkat ancaman yang
ditimbulkannya pada kelompok masyarakat. Semakin tinggi nilai ancaman,
semakin besar pula potensi terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa.
Untuk memudahkan penilaian risiko, biasanya dibuat tiga buah kelas yang
menyatakan tingkat ancaman yang rendah (atau tidak ada ancaman), sedang
dan tinggi. Masing-masing ancaman memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Sebagai contoh, Banjir dapat dikelaskan menjadi tiga kelas sesuai
dengan tingkat bahayanya: banjir yang melanda suatu desa, memiliki
ketinggian air yang rendah dan lama genangan yang singkat dapat
dikategorikan bahwa tingkat ancaman banjir di desa tersebut adalah rendah.
Sebaliknya, apabila di desa lain terkena banjir dengan ketinggian air yang
cukup tinggi dan menggenang cukup lama, maka dapat dinyatakan bahwa
ancaman banjir di desa ini adalah tinggi. Contoh lainnya adalah Letusan
Puting beliung yang dapat dikelaskan menjadi tiga buah kelas berdasarkan
Kawasan Rawan Bencana (KRB) nya.

24
No. Jenis Ancaman No. Jenis Ancaman
1 Banjir 8 Letusan Puting beliung
2 Gempa Bumi 9 Gelombang Ekstrim dan Abrasi
3 Tsunami 10 Kebakaran Hutan dan Lahan
4 Kebakaran Pemukiman 11 Kegagalan Teknologi
5 Kekeringan 12 Konflik Sosial
6 Cuaca Ekstrim 13 Epidemi dan Wabah Penyakit
7 Tanah Longsor

Tabel: Jenis Ancaman pada Peta Risiko Bencana (Perka BNPB No 2 th 2012)
Karena sifatnya yang kompleks, penilaian ancaman seringkali harus
diserahkan kepada para ahli yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada
bencana gempa, penentuan kelas ancaman rendah, sedang dan tinggi
sebaiknya dilakukan oleh ahli geologi dan kegempaan. Data untuk ancaman
biasanya diperoleh dari instansi-instansi terkait atau dari perguruan-perguruan
tinggi.
b. Kerentanan
Apabila terjadi bencana, maka pada suatu desa yang penduduknya
padat akan mengalami kerugian yang lebih banyak dibandingkan dengan desa
lain yang penduduknya relatif tidak padat. Kondisi ini menggambarkan apa
yang dimaksud dengan kerentanan: Kerentanan merupakan kondisi dari suatu
komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Semakin rentan suatu
kelompok masyarakat terhadap bencana, semakin besar kerugian yang
dialami apabila terjadi bencana.

25
Sebagaimana ancaman, kerentanan juga dapat dikategorikan dalam
tingkat rendah, sedang dan tinggi. Sebuah desa dikatakan memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi apabila di desa tersebut banyak kondisi-kondisi yang
rentan mengalami kerusakan saat terjadi bencana, dan sebaliknya, sebuah
desa dikatakan memiliki kerentanan yang rendah apabila desa tersebut hanya
memiliki sedikit kondisi-kondisi yang rentan. Kondisi-kondisi rentan ini
dapat diketahui melalui adanya indikator-indikator kerentanan pada desa
tersebut.
Kerentanan dapat dibagi menjadi 4 macam komponen berdasarkan pada
indikator tersebut, yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan
sosial-budaya dan kerentanan lingkungan.
No Komponen Penjelasan Contoh Indikator
Kerentanan
1 Kerentanan Fisik Ukuran kerentanan sarana Kepadatan rumah
dan prasarana pada suatu Jumlah bangunan
daerah terhadap kejadian Jumlah Fasilitas penting
bencana
2 Kerentanan Sosial- Ukuran kondisi rentan pada Kepadatan penduduk
Budaya unsur sosial- Rasio Jenis Kelamin
kemasyarakatan terhadap Rasio penduduk difabel
kejadian bencana Rasio kelompok umur
Jumlah penduduk
berisiko (ibu hamil,
dsb)
3 Kerentanan Ukuran seberapa kuat suatu Luas lahan produktif
Ekonomi komunitas bertahan secara Keberadaan industri
ekonomi menghadapi kecil dan menengah
kejadian bencana Adanya kelompok
pertokoan
4 Kerentanan Ukuran seberapa kuat Luas Hutan Lindung
Lingkungan lingkungan hidup di suatu Luas hutan alam
komunitas bertahan Adanya Rawa-rawa
menghadapi kejadian

26
bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kerentanan
Dengan menggunakan indikator-indikator dari masing-masing komponen
seperti pada contoh di atas, dapat diketahui tingkat kerentanan pada suatu unit
analisis (misalnya desa). Apabila hasil dari semua indikator kerentanan yang
ada pada suatu desa dijumlahkan, maka dapat diperoleh ukuran seberapa
rentan desa tersebut terhadap bencana.

Gambar: Diagram Komponen Kerentanan

Dalam prakteknya nanti, masing-masing komponen diberikan penilaian


kerentanan yang berbeda untuk tiap kejadian bencana yang berbeda. Sebagai
contoh pada kejadian gempa bumi, kerentanan lingkungan mungkin tidak
terlalu signifikan dibandingkan dengan kerentanan fisik karena gempa hanya
sedikit berpengaruh pada tegakan hutan dibandingkan pada bangunan di
daerah pemukiman.
c. Kapasitas
Kapasitas merupakan kebalikan dari kerentanan: apabila kerentanan
menggambarkan seberapa rapuh suatu komunitas masyarakat terhadap
bencana, maka kapasitas menggambarkan seberapa mampu komunitas
masyarakat tersebut menghadapi bencana. Sebuah desa yang dilengkapi
dengan peralatan Early Warning System dan memiliki Tim Siaga Bencana
sendiri tentu lebih siap menghadapi bencana dibandingkan dengan desa yang
tidak memiliki keduanya. Demikianlah kapasitas digunakan untuk mengukur
tingkat kesiapan tersebut.

27
Sebagaimana kerentanan, kapasitas juga terdiri dari beberapa komponen
yang terdiri dari indikator-indikator kapasitas untuk mengukur tingkat
kapasitas unit analisis yang ditanyakan. Dari hasil penilaian terhadap
indikator-indikator tersebut dapat disimpulkan tingkat kapasitas dari unit
analisis yang dimaksud: apakah rendah, sedang, atau tinggi.

No Komponen Penjelasan Contoh Indikator


Kapasitas
1 Aturan dan Ukuran seberapa siap unit Adanya Tagana
kelembagaan analisis dalam hal Anggaran khusus untuk
kebencanaan peraturan-peraturan dan penanggulangan
keberadaan dan fungsi dari bencana
lembaga-lembaga yang Ada struktur organisasi
menanggulangi bencana yang berfungsi untuk
menangani kondisi
darurat saat bencana
2 Peringatan dini Mengukur seberapa siap Ada sistem peringatan
dan kajian risiko unit analisis menghadapi dini yang berfungsi
bencana bencana dari keberadaan Telah ada jalur evakuasi
mekanisme peringatan dini yang akan digunakan
dan penerapan kajian risiko pada saat kejadian
bencana di daerah tersebut bencana
Keberadaan kajian-
kajian mengenai risiko
bencana di daerah
tersebut dan
penerapannya
3 Pendidikan Mengukur seberapa kuat Pendidikan
Kebencanaan suatu komunitas apabila kebencanaan untuk
terjadi bencana melalui anak-anak sekolah
ada/tidaknya pendidikan Ada simulasi kejadian
kebencanaan di daerah bencana
tersebut

28
4 Pengurangan Mengukur faktor-faktor Adanya sarana-
faktor risiko dasar dasar yang diperlukan prasarana yang
untuk bertahan pada saat mendukung aktivitas
terjadinya bencana ekonomi di daerah
tersebut
Ada/tidaknya fasilitas
kredit untuk membantu
ekonomi masyarakat
5 Pembangunan Ukuran tingkat komunikasi Ada komunikasi antar
Kesiapsiagaan di dan kerjasama antar lembaga yang
semua lini komponen yang bertugas menangani bencana
mengawal kelompok Media yang digunakan
masyarakat pada saat untuk komunikasi pada
terjadi bencana. saat terjadi bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kapasitas (Perka BNPB No. 2/2012)

Sebagaimana kerentanan, tingkat kapasitas unit analisis juga dapat diketahui


setelah melalui proses skoring indikator dari masing-masing komponen.

Gambar: Diagram Komponen Kapasitas

d. Risiko
Tingkat risiko merupakan nilai yang dicari pada pemetaan risiko, yaitu
seberapa rendah, sedang atau tinggi risiko tersebut. Dengan mengetahui tingkat
risiko pada suatu daerah, akan dapat diperoleh gambaran seberapa besar risiko

29
yang diperkirakan akan dialami apabila terjadi bencana. Risiko merupakan
fungsi dari Ancaman, Kerentanan dan Kapasitas. Berikut ilustrasinya:
Semakin besar ancaman, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga akan
semakin besar. Semakin luas daerah genangan banjir menunjukkan tingkat
risiko yang semakin tinggi pula.
***
Semakin besar kerentanan, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga akan
semakin besar, karena semakin rentan suatu komunitas maka risiko timbulnya
korban jiwa dan kerugian materil juga akan semakin besar.
***
Semakin besar kapasitas, maka tingkat risiko akan semakin kecil, sebab
semakin siap sebuah komunitas dalam menghadapi bencana, maka
kemungkinan timbulnya korban jiwa maupun kerusakan materil akibat
bencana juga akan semakin kecil.

Hubungan tersebut juga dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis:

Risiko (R) = Ancaman (H) * Kerentanan (V)/Kapasitas(C)

dimana:
R : Disaster Risk : Risiko Bencana, potensi terjadinya kerugian
H : Hazard Threat : Ancaman bencana yang terjadi pada suatu lokasi.
V : Vulnerability : Kerentanan suatu daerah yang apabila terjadi bencana
maka akan menimbulkan kerugian
C : Coping Capacity : Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk melakukan
pencegahan atau pemulihan dari bencana.
Analisis risiko dilakukan dalam beberapa tahap sesuai dengan data yang
dimiliki. Berikut adalah beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk
melakukan analisis risiko:

30
Gambar: Diagram analisis risiko bencana

Unit analisis risiko merupakan satuan terkecil dimana analisis risiko dilakukan
(Aditya, 2010). Berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BNPB No. 2 Tahun
2012, unit analisis memiliki ketentuan tingkat kedetailan analisis (kedalaman
analisis) yaitu:
1) Peta risiko di tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota,
2) Kedalaman analisis peta risiko di tingkat provinsi minimal hingga
kecamatan,
3) Kedalaman analisis peta risiko di tingkat kabupaten/kota minimal hingga
tingkat kelurahan/desa/kampung/nagari
Setelah berhasil mengidentifikasi daerah mana saja yang memiliki tingkat
risiko tinggi, selanjutnya dapat disusun rencana aksi yang dapat dilakukan pada
daerah tersebut untuk mengurangi risiko bencana. Rencana aksi ini dapat
berupa:
1) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat di daerah yang dimaksud
agar mampu menghadapi bencana, seperti melalui kegiatan pelatihan dan

31
simulasi kebencanaan, pembangunan Sistem Peringatan Dini, pembuatan
jalur evakuasi, pengadaan alat komunikasi, dan seterusnya.
2) Pengurangan kerentanan, seperti membangun pusat kesehatan masyarakat,
mendirikan koperasi, usaha-usaha mitigasi seperti pembangunan sabo
dam, dan seterusnya.
Pada sebuah kegiatan penanggulangan bencana yang terpadu, hasil hitungan
dan identifikasi risiko perlu diwujudkan dalam program nyata penanggulangan
bencana. Program tersebut selain berupa rencana aksi juga perlu dilengkapi
dengan stakeholder yang bertanggungjawab melakukan program-program
tersebut, juga estimasi biaya dan target capaian program.

Tabel: Contoh dari rencana aksi (Aditya, 2010)

e. Multi-Risiko
Untuk mendapatkan hitungan yang lebih akurat mengenai potensi risiko di
suatu daerah, perlu dilakukan analisis multi-risiko. Analisis multi-risiko
menggabungkan hasil hitungan risiko dari berbagai kejadian bencana pada
suatu daerah sehingga diperoleh akumulasi hitungan risiko pada daerah
tersebut. Pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012, analisis multi risiko dapat
dilakukan menggunakan pembobotan pada beberapa jenis kejadian bencana
yang diidentifikasi.

32
Tabel: Hitungan multi-risiko bencana (Perka BNPB No.2 tahun 2012)

Dengan demikian, hitungan multi-risiko dapat dinyatakan sebagai fungsi


penjumlahan dan perkalian bobot dari masing-masing risiko bencana. Hal ini
dilakukan dengan menggunakan analisis AHP.

f. Analytic Hierarchy Process (AHP)


Dengan mengetahui berbagai komponen yang mempengaruhi nilai suatu
risiko pada daerah tertentu, maka dapat dilakukan analisis untuk mengetahui
peranan keseluruhan komponen tersebut terhadap nilai risiko yang dihasilkan.
Analisis Proses Berjenjang (AHP) merupakan proses analisis yang
menggunakan pendekatan Multicriteria Decision Analysis (MCDA), dilakukan
dengan cara melakukan evaluasi berbobot terhadap berbagai komponen yang
mempengaruhi suatu variable secara berjenjang (hierarkhis). Dalam hal ini,
bobot masing-masing komponen ditentukan secara relatif, yaitu suatu komponen
yang dianggap memiliki pengaruh lebih besar akan diberikan bobot yang lebih
besar secara berjenjang, dan demikian sebaliknya, komponen dengan pengaruh
yang tidak terlalu besar akan diberikan nilai bobot yang tidak terlalu besar pula.

33
Gambar: Mekanisme AHP (sumber: www.emeraldinsight.com)

Pada kegiatan penilaian risiko, AHP digunakan untuk memberikan bobot pada
masing-masing elemen risiko (ancaman, kapasitas dan kerentanan) yang
masing-masing dipengaruhi oleh berbagai komponen turunan. Dengan
menggunakan AHP, akan diperoleh nilai risiko yang diwakili oleh semua
komponen yang teridentifikasi, sesuai dengan bobot masing-masing.

Gambar: AHP dalam penilaian Risiko (Sumber: http://miavita.brgm.fr/)

Dalam kerangka analisis spasial untuk penentuan nilai risiko, penilaian


AHP dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda untuk tiap atribut

34
pada zona yang berbeda. Sebagai contoh, sebuah daerah erupsi gunung berapi
dapat dibagi menjadi tiga buah zona berdasarkan tingkat bahayanya. Pada zona
paling berbahaya diberikan bobot yang lebih tinggi, sedangkan pada zona yang
tidak terlalu berbahaya diberikan nilai bobot yang tidak terlalu tinggi pula.
Dengan melakukan analisis multikriteria secara berjenjang akan diperoleh nilai
risiko yang cukup representatif sesuai dengan bobot komponen yang diberikan.

g. Analisis SWOT dalam Penanggulangan Risiko Bencana Pariwisata


Analisis SWOT merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan
dalam menginterpretasikan suatu bidang, khususnya pada kondisi yang sangat
kompleks dimana faktor eksternal dan faktor internal memegang peranan yang
sama pentingnya. Analisis SWOT yang digunakan ini bertujuan untuk
menentukan arahan-arahan penanganan yang akan dilakukan dalam
penanggulangan bencana.
Tujuan analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT)
adalah untuk mensinergikan kecepatan, ketepatan, kesigapan dan keputusan yg
efektif dan efisien dalam pengelolaan bencana alam.
1) Faktor Strength (kekuatan) adalah ketersediaan SDM ahli di bidang bencana
alam, antara lain ahli-ahli geologi, geofisika, , kegunungapian, geografi,
geodesi, teknik sipil, manajemen, informasi, telekomunikasi, dsb. Demikian
juga keberadaan berbagai instansi yang terkait dengan bencana alam. Selain
itu ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk hasil-hasil
riset di berbagai bidang yang terkait dengan bencana alam akan sangat
mendukung rencana ini.
2) Faktor Weakness (kelemahan) adalah belum adanya koordinasi dan
sinkronisasi dari berbagai pihak (institusi dan kepakaran) di dalam
pengelolaan bencana alam. Selain itu belum tersedianya suatu wadah yang
resmi dan mampu untuk mengkoordinasi, dan mengambil langkah-langkah
strategis untuk mencapai tujuan tersebut,
3) Faktor Opportunity (peluang) adalah banyaknya kerjasama yang telah
terbina sampai dengan saat ini, baik dengan institusi Nasional maupun
Internasional yang memungkinkan adanya transfer teknologi dan kolaborasi.

35
Pendanaan dapat berasal dari PEMDA Tk I dan II, Menteri RISTEK,
UNESCO, dan Kerja Sama penelitian dengan negara-2 Perancis, Jerman,
Jepang dll.
4) Faktor Threat (ancaman/tantangan), untuk kawasan objek wisata adalah
peristiwa alam yang menjadi ancaman bagi kawasan objek yaitu musim
hujan yang membuat akses jalan semakin buruk dan longsor. Peristiwa yang
tidak kita ketahui yang bisa merugikan bagi masyrakat, pemerintah dan
pihak lainya hal ini yang berpengaruh besar yang membuat kekwatiran
pengunjung ataupun masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Jamaris dalam Anjela (2014) mengungkapkan bahwa objek wisata
merupakan segala sesuatu yang dapat dilihat, di nikmati dan menimbulkan
kesan tersendiri, seseorang apabila di dukung oleh sarana dan prasarana
yang memadai. Apabila sarana tidak memadai maka akan merusak dan
membahayakan bagi pengunjung, objek dan atraksi sering kali dikaitkan
dengan pengertian produk industrui pariwisata dengan objek dan atraksi
wisata. Ancaman (Threats) merupakan kondisi yang mengancam dari luar.
Ancaman ini dapat dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis
itu sendiri (Freddy, 2014)
Upaya-upaya penanggulangan bencana berdasarkan hasil analisa SWOT
1) Meletakkan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas daerah dan
implementasinya harus dilaksanakan oleh suatu institusi yang kuat,
2) Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini,
3) Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan,
4) Mengurangi cakupan resiko bencana,
5) Meningkatkan kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat, agar tanggapan yang dilakukan lebih efektif.
Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
1) Mengurangi kerawanan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan
masyarakat.

36
2) Masyarakat perlu dibekali dengan berbagai cara peningkatan
kemampuan seperti; memperkuat organisasi yang ada, mengadakan
kegiatan-kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, kesadaran lingkungan,
pendidikan, kesehatan dan kemampuan lainnya.
3) Memadukan pengetahuan lokal dan asli untuk menanggapi bencana.
4) Cara-cara yang dimiliki masyarakat untuk memahami, meramalkan,
pemberian peringatan dan menghadapi bencana perlu diinventarisasi,
dimanfaatkan dan ditingkatkan atau dikembangkan.
5) Merumuskan sistem, prosedur dan kegiatan-kegiatan Penanggulangan
Bencana Berbasis Masyarakat.
6) Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat merupakan penyaluran
aspek-aspek fisik, mental dan emosional dari anggota-anggota masyarakat
yang terlibat. Proses merumuskan berarti menjamin pengelolaan sumber-
sumber (dana, waktu, peralatan, informasi dan teknologi) secara baik dan
efisien. Untuk itu perlu ada program dan pelayanan kepada pendamping
sosial yang membantu masyarakat.
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
1) Pencegahan : Tindakan-tindakan untuk menghentikan terjadinya bencana
2) Mitigasi : Tindakan-tindakan untuk mengurangi dampak bencana
3) Kesiapsiagaan :Tindakan-tindakan yang dilakukan agar mampu
menghadapi ancaman apabila terjadi bencana.
4) Peringatan : Pemberian informasi kepada masyarakat apabila ancaman
telah diketahui dan dinilai akan mempengaruhi wilayah bencana tertentu.
5) Tanggap Darurat
6) Rekonstruksi
7) Rehabilitasi
8) Pengembangan/Pembangunan.

h. Langkah-langkah Analisis Risiko Bencana


Disaster Risk Management (DRM) merupakam usaha menyeluruh dan
pengukuran yang diambil untuk mengurangi risiko kejadian bencana. Istilah
sederhana DRM dikenal sebagai pengurangan risiko bencana (disaster risk

37
reduction) atau DRR. Melingkupi pula tentang komitmen terhadap bencana dan
pengurangan kerentanan (V) dan peningkatan peringatan dini (early warning).
Karena kesulitan untuk mencegah kejadian bahaya dari alam (natural hazards),
aksi-aksi dan aktivitas seharusnya difokuskan pada pengurangan kerentanan saat
ini dan masa mendatang terhadap kerusakan (damage) dan kerugian (losses).
Fase pra-bencana dalam DRM meliputi 4 komponen :
1) Identifikasi risiko (risk identification),
2) Pengurangan risiko/mitigasi (risk reduction/mitigation),
3) Pengalihan risiko (risk transfer), dan
4) Kesiapsigaan (preparedness).

i. Penilaian Risiko Bencana pada Kawasan Wisata


Untuk menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan penjumlahan nilai bahaya,
kerentanan dan manajemen serta berdasarkan pertemuan faktor ancaman
bencana dan kerentanan masyarakat.
1. Berdasarkan Penjumlahan Nilai Bahaya, Kerentanan
dan Manajemen
Penjumlahan nilai karakteristik bahaya, kerentanan bencana dan manajemen
bencana akan menghasilkan nilai ancaman/bencana. Suatu bencana yang
menghasilkan nilai acaman/bencana tertinggi merupakan bencana yang harus
diprioritaskan dalam suatu penanganan bencana.
Langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk menentukan penilaian risiko
diantaranya adalah pembuatan peta rawan, menetapkan jenis bahaya,
menetapkan variabel, penetapan cara penilaian, membuat matriks penilaian,
melakukan penilaian dan menetapkan hasil penilaian.
a) Pembuatan Peta Rawan
(1) Ancaman
(a) Melengkapi peta topografi (kota, sungai, danau, gunung berapi,
penambangan, pabrik, industry, dll)
(b) Inventarisasi ancaman (banjir, gunung meletus, longsor, kebocoran
pipa, kecelakaan, transportasi, dll).

(2) Kerentanan
(a) Melengkapi peta rawan ancaman dengan kerentanan masyarakat:

38
(b) Data demografi (jumlah bayi, balita, dll)
(c)Sarana dan prasarana kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll)
(d)Data cakupan YANKES (imunisasi, KIA, gizi, dll)
b) Penetapan Jenis Bahaya
Penetapan jenis bahaya merupakan pengelompokan jenis bahaya yang
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Tsunami
(2) Gempa bumi
(3) Letusan gunung berapi
(4) Angin Puyuh
(5) Banjir
(6) Tanah longsor
(7) Kebakaran hutan
(8) Kekeringan
(9) KLB penyakit menular
(10) Kecelakaan transportasi atau industry
(11) Konflik dengan kekerasan
c) Penetapan Variabel
(1) Karakteristik Bahaya
(a) Frekuensi
Suatu bahaya/ancaman seberapa sering terjadi
(b) Intensitas
Diukur dari kekuatan dan kecepatan secara kuantitatif/kualitatif
(c) Dampak
Pengukuran seberapa besar akibat terhadap kehidupan rutin keluasan
(d) Keluasan
Luasnya daerah yang terkena
(e) Komponen uluran waktu
Rentang waktu peringatan gejala awal-hingga terjadinya dan lamanya
proses bencana berlangsung.
(2) Kerentanan
(a) Fisik
Kekuatan struktur bangunan fisik (lokasi, bentuk, material, kontruksi,
pemeliharaannya), dan system transportasi dan telekomunikasi (akses
jalan, sarana angkutan, jaringan komunikasi, dll)
(b) Sosial
Meliputi unsure demografi (proporsi kelompok rentan, status
kesehatan, budaya, status sosek, dll)
(c) Ekonomi
Meliputi dampak primer (kerugian langsung) dan sekunder (tidak
langsung)
(3) Manajemen
(1) Kebijakan

39
Telah ada/tidaknya kebijakkan, peraturan perundangan, Perda,
Protap,dll tentang penanggulangan bencana
(2) Kesiapsiagaan
Telah ada/tidaknya system peringatan dini, rencana tindak lanjut
termasuk pembiayaan
(3) Peran Serta Masyarakat
Meliputi kesadaran dan kepedulian masyarakat akan bencana
(4) Penetapan Cara Penilaian
1) Jenis bahaya/ ancaman
2) Penilaian sesuai dengan kelompok variable
3) Berdasarkan data, pengalaman dan taksiran
4) Saling terkait satu sama lain
5) Nilai berkisar antara 1 sampai 3
1 = risiko terendah
2 = risiko sedang
3 = risiko tertinggi
2) Untuk penilaian manajemen dinilai dengan skala yang berbalik
1 = kemampuan tinggi
2 = kemampuan sedang
3 = kemampuan rendah

d) Membuat Matriks Penilaian


GEMPA
No VARIABEL BANJIR KERUSUHAN dst
BUMI
1 BAHAYA
a. Frekuensi
b. Intensitas
c. Dampak
d. Keluasan
e. Uluran Waktu
Total
2 KERENTANAN
a. Fisik
b. Sosial
c. Ekonomi
Total
3 MANAJEMEN
a. Kebijakan
b. Kesiapsiagaan
c. PSM
Total

40
NILAI

1. Melakukan Penilaian dan Menetapkan Hasil Penilaian


(1) Masing-masing komponen yang ada di beri nilai untuk masing-
masing jenis bahaya
(2) Kemudian nilai tersebut dijumlahkan
(a) Karakteristik bahaya, nilai dijumlah
(b) Kerentanan, nilai dijumlah
(c) Manajemen, nilai dijumlah
(3) Setelah didapat nilai masing-masing variable, kemudian nilai
tersebut dijumlahkan (nilai karakteristik bahaya+ kerentanan
+manajemen)
(4) Ancaman/bencana (event) dengan nilai tertinggi merupakan yang
harus diprioritaskan

2. Berdasarkan Pertemuan Faktor Ancaman Bencana dan Kerentanan


Masyarakat
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan
masyarakat, akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang
bersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda. Hubungan antara ancaman
bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dituliskan dengan persamaan
berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)


a) Risiko (risk) : Kemungkinan akan kehilangan yang bisa terjadi sebagai
akibat kejadian buruk, dengan akibat kedaruratan dan keterancaman.
b) Bahaya (hazard) : Potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah
manusia dengan akibat negatif.
c) Keterancaman/ Kerentanan (vulnerability) : Akibat yang timbul dimana
struktur masyarakat, pelayanan dan lingkungan sering rusak atau hancur
akibat dampak kedaruratan. Adalah kombinasi mudahnya
terpengaruh (susceptibility) dan dapat
bertahan (resilience). Resilience adalah bagaimana masyarakat mampu
bertahan terhadap kehilangan, dan susceptibility adalah derajat mudahnya
terpengaruh terhadap risiko. Dengan kata lain, ketika menentukan
keterancaman masyarakat atas dampak kedaruratan, penting untuk

41
memastikan kemampuan masyarakat beserta lingkungannya untuk
mengantisipasi, mengatasi dan pulih dari bencana. Jadi dikatakan sangat
terancam bila dalam menghadapi dampak keadaan bahaya hanya
mempunyai kemampuan terbatas dalam menghadapi kehilangan dan
kerusakan, dan sebaliknya bila kurang pengalaman menghadapi dampak
keadaan bahaya namun mampu menghadapi kehilangan dan kerusakan,
dikatakan tidak terlalu terancam terhadap bencana dan kegawatdaruratan.
Dapat dirumuskan sebagai berikut
1) High susceptibility + low resilience = high level of vulnerability.
2) High exposure to risk + limited ability to sustain loss = high
vulnerability.
3) Low susceptibility + high resilience = low degree of vulnerability.
4) Ability to sustain loss + low degree of exposure = low vulnerability
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin
tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin
tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin
tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat
kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.
Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan
tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
a) 5 : Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
b) 4 : Kemungkinan besar (60 80% terjadi tahun depan, atau sekali
dalam 10 tahun mendatang)
c) 3 : Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali
dalam 100 tahun)
d) 2 : Kemungkinan Kecil (20 40% dalam 100 tahun)
e) 1 : Kemungkian sangat kecil (hingga 20%).
Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya
apabila bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak
antara lain: jumlah korban; kerugian harta benda;kerusakan prasarana
dan sarana;cakupan luas wilayah yang terkena bencana dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkan, maka, jika dampak ini pun diberi bobot
sebagai berikut:

42
a) 5 : Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
b) 4 : Parah (60 80% wilayah hancur)
c) 3 : Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
d) 2 : Ringan (20 40% wilayah yang rusak)
e) 1 : Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah rusak).
Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :
NO JENIS ANCAMAN BAHAYA PROBABILITAS DAMPAK
1 Gempa Bumi Diikuti Tsunami 1 5
2 Tanah Longsor 5 2
3 Banjir 4 3
4 Kekeringan 3 1
5 Angin Puting Beliung 2 2

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain


dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas
seperti berikut:

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman


bahaya yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
- Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah) - Bahaya/ancaman sedang nilai 2 -
Bahaya/ancaman rendah nilai 1.

2.4 Evaluasi Risiko Bencana


Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan dan
skala dampak yang mungkin ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dengan demikian

43
dapat diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah tergolong tinggi
atau rendah.
2. Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat dilakukan untuk menilai
tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem matriks seperti
yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik yang lebih kuantitatif
misal dengan permodelan risiko.
3. Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut dibandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan
referensi yang ada.

2.5 Penanganan Risiko Bencana Pariwisata


Perkembangan Penyusunan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Rsiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009
merupakan rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana yang pertama kali
disusun sebagai salah satu upaya Pemerintah Indonesia dalam memberikan
pernyataan kepada global atas komitmen Indonesia terhadap pelaksanaan Kerangka
Aksi Hyogo 2005-2015, yang mana menekankan negara-negara di dunia untuk
menyusun mekanisme terpadu perngurangan risiko bencana yang didukung dengan
kelembagaan dan kapasitas sumber daya yang memadai. Karena pada saat
disusunnya RAN PRB 2006-2009 UU No. 24/2007 belum terbit, maka landasan
penyusunan rencana aksi lebih pada landasan global yang terdiri dari Resolusi PBB,
Strategi Yokohama, Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 serta Rencana Aksi Beijing.
RAN PRB 2006-2009 ini disusun oleh Bappenas yang bekerjasama dengan
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas), dimana pada saat itu
BNPB juga belum berdiri. Sesuai dengan periode waktu rencana aksi yang akan
berakhir pada tahun 2009, dan sejalan dengan periode pelaksanaan RPJMN 2005-
2009. Pelaksanaan Rencana Aksi ini akan menjadi ukuran sejauh mana upaya

44
peningkatan kinerja penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko
bencana dapat diwujudkan pada dua tahun terakhir pelaksanaan RPJMN tersebut.
Pada proses penyusunannya, RAN PRB 2006-2009 ini sudah dilakukan
melalui proses partisipatif dan konsultatif dari berbagai K/L dan pemangku
kepentingan terkait, yang merupakan rencana terpadu bersifat lintas sektor, lintas
wilayah serta meliputi aspek social, ekonomi dan lingkungan.
Sebagai suatu RAN PRB yang pertama di susun, maka rencana aksi ini lebih
merupakan kompilasi dari berbagai rencana kegiatan dari K/L dan para pemangku
kepentingan terkait, termasuk PMI dan perguruan tinggi, dengan pendekatan dan
sistematika sesuai ke lima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015.
1. Prioritas
Pengurangan risiko bencana di Indonesia dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua pihak terkait.
Upaya ini dilakukan dengan komitmen yang kuat dengan mengedepankan
tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan. Penyusunan prioritas ini perlu
dilakukan untuk membangun dasar yang kuat dalam melaksanakan upaya
pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan serta mengakomodasikan
kesepakatan internasional dan regional dalam rangka mewujudkan upaya
bersama yang terpadu.
Lima prioritas pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan adalah :
1) Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun
daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat
2) Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan
sistem peringatan dini
3) Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkatan masyarakat
4) Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana
5) Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

2. Upaya Dan Rencana Aksi

45
Sebagai penerjemahan dari pergeseran paradigma ke arah perlindungan
sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat, pengurangan risiko bencana
harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Menghargai hak untuk hidup dan kehidupan yang bermartabat dan
pemerintah bertanggung jawab memastikan perlindungan dari risiko
bencana yang sejatinya terhindarkan
2) Bertujuan mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana dari proses-
proses pembangunan yang tidak berkelanjutan dan yang diperburuk oleh
perubahan iklim
3) Akuntabel kepada masyarakat berisiko dan atau terkena bencana serta
didorong untuk meningkatkan partisipasi, ekuiti dan keadilan serta
dilaksanakan dengan perspektif jender
Dengan berdasarkan kepada prioritas pelaksanaan pengurangan risiko
bencana maka upaya dan rencana aksi yang dilakukan meliputi:
a. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun
daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat,
dengan kegiatan-kegiatan utama antara lain:
1) Kelembagaan nasional dan kerangka hukum
a) Menyusun atau memperkuat mekanisme pengurangan risiko
bencana yang terpadu
b) Integrasi pengurangan risiko ke dalam kebijakan dan perencanaan
pembangunan, termasuk strategi pengurangan kemiskinan serta
kebijakan dan perencanaan sektoral dan multi sektoral
c) Mengadopsi atau memodifikasi hukum yang mendukung
pengurangan risiko bencana, termasuk peraturan dan mekanisme
untuk memberikan insentif bagi kegiatan-kegiatan pengurangan
risiko dan mitigasi bencana
d) Mengenali karakteristik dan kecenderungan pola risiko bencana
lokal, melaksanakan desentralisasi kewenangan dan sumber daya
untuk pengurangan risiko kepada tingkatan pemerintahan yang lebih
rendah
2) Sumber daya

46
a) Mengkaji kapasitas sumber daya manusia yang ada dan menyusun
rencana serta program peningkatan kapasitas sumber daya manusia
untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang
b) Mengalokasikan sumber daya untuk penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan, program-program, hukum dan peraturan dalam upaya
pengurangan risiko bencana
c) Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk
menerapkan upaya pengurangan risiko bencana yang terpadu ke
dalam program pembangunan
3) Partisipasi Masyarakat
Secara sistematis melibatkan masyarakat dalam upaya pengurangan
risiko bencana termasuk dalam pengambilan keputusan di dalam proses
pemetaan masalah, perencanaan, implementasi, pemantauan, dan
evaluasi, melalui pembentukan jejaring termasuk jejaring relawan,
pengelolaan sumber daya yang strategis, penyusunan peraturan hukum
dan pendelegasian otoritas
b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan
sistem peringatan dini, dengan kegiatan-kegiatan :
1) Pengkajian risiko pada skala nasional dan lokal
a) Mengembangkan, memperbarui dan menyebarluaskan peta risiko
beserta informasi terkait terutama kepada para pengambil kebijakan
dan masyarakat umum
b) Mengembangkan sistem indikator risiko bencana dan ketahanan di
pusat dan di daerah, yang akan membantu para pengambil
keputusan dalam mengkaji dampak bencana
c) Merekam, menganalisis, merangkum dan menyebarluaskan
informasi statistik mengenai kejadian bencana, dampak dan
kerugian
2) Peringatan Dini
a) Mengembangkan sistem peringatan dini termasuk petunjuk
tindakan yang harus dilakukan pada saat ada peringatan

47
b) Melakukan peninjauan berkala dan memelihara sistem informasi
sebagai bagian dari sistem peringatan dini
c) Melakukan penguatan kapasitas yang menunjukkan bahwa
sistem peringatan dini terintegrasi dengan baik dengan kebijakan
pemerintah dan proses pengambilan keputusan
d) Memperkuat koordinasi dan kerjasama multi sektor dan multi
pemangku kepentingan dalam rantai sistem peringatan dini
e) Menciptakan dan memperkuat sistem peringatan dini yang efektif
untuk pulau-pulau kecil
3) Kapasitas
a) Mendukung pengembangan dan pelestarian infrastruktur, ilmu
pengetahuan, teknologi, kapasitas teknis dan institusi yang
diperlukan dalam penelitian, pengamatan, analisis, pemetaan, dan
apabila memungkinkan perkiraan bencana, kerentanan dan dampak
bencana di masa mendatang
b) Mendukung pengembangan dan peningkatan basis data serta
pertukaran dan penyebarluasan data untuk keperluan pengkajian,
pemantauan dan peringatan dini
c) Mendukung peningkatan metode ilmiah dan teknis serta kapasitas
pengkajian risiko, pemantauan dan peringatan dini melalui
penelitian, kerjasama, pelatihan dan peningkatan kapasitas teknis
d) Menciptakan dan memperkuat kapasitas merekam, menganalisis,
merangkum, menyebarluaskan dan saling bertukar data dan
informasi

4) Penanganan risiko bencana di tingkat regional


a) Mengumpulkan dan melakukan standarisasi data dan informasi
statistik mengenai risiko, dampak dan kerugian bencana
b) Melakukan kerjasama dalam lingkup regional dan internasional
untuk mengkaji dan memantau bencana lintas batas

48
c) Meneliti, menganalisis dan melaporkan perubahan jangka panjang
dalam hal peningkatan kerentanan dan risiko serta kapasitas
masyarakat dalam merespons bencana
c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkatan masyarakat, dengan kegiatan-kegiatan antara lain :
1) Manajemen Informasi dan Pertukaran Informasi
a) Menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan bencana
yang mudah dipahami terutama untuk masyarakat di daerah
berisiko tinggi
b) Memperkuat jaringan ahli bencana, pejabat berwenang dan
perencana antar sektor dan wilayah, dan menyusun atau
memperkuat prosedur untuk memanfaatkan keahlian dalam
menyusun rencana pengurangan risiko bencana
c) Meningkatkan dialog dan kerjasama antar para ilmuwan dan
praktisi di bidang pengurangan risiko bencana
d) Meningkatkan pemanfaatan dan penerapan informasi terkini,
komunikasi dan teknologi untuk mendukung upaya pengurangan
risiko bencana
e) Dalam jangka menengah, mengembangkan direktori, inventarisasi
sistem pertukaran informasi di tingkat lokal, nasional, regional dan
internasional
f) Institusi yang berhubungan dengan pengembangan infrastruktur
perkotaan harus menyediakan informasi mengenai pemilihan
konstruksi, pemanfaatan lahan atau jual beli tanah
g) Memperbarui dan menyebarluaskan terminologi internasional yang
standar tentang pengurangan risiko bencana
2) Pendidikan dan Pelatihan
a) Memasukkan unsur pengetahuan pengurangan risiko bencana yang
relevan pada kurikulum sekolah

49
b) Mempelopori implementasi pengkajian risiko dan program-
program kesiapsiagaan bencana di sekolah-sekolah dan institusi
pendidikan tinggi
c) Mempelopori penerapan program dan kegiatan minimalisasi
dampak bencana di sekolah-sekolah
d) Mengembangkan program-program pelatihan dan pembelajaran
pengurangan risiko bencana pada sektor tertentu (perencana
pembangunan, penanggung jawab keadaan darurat dan pemerintah
daerah)
e) Mempelopori pelatihan-pelatihan berbasis masyarakat dengan
penekanan pada aturan-aturan bagi sukarelawan
f) Menyediakan akses pelatihan dan pendidikan yang sama bagi
perempuan dan konstituen rentan lainnya
3) Penelitian
a) Membangun metode lanjutan untuk pengkajian prediksi bencana
multi risiko dan analisis sosio-ekonomi serta cost-benefit dalam
kegiatan pengurangan risiko bencana
b) Memperkuat kapasitas teknis dan ilmiah untuk mengembangkan
dan menerapkan metodologi, kajian dan model pengkajian
kerentanan, serta dampak bencana geologis, cuaca, iklim dan air.
4) Kepedulian Publik
Memperkuat peran media dalam membangun budaya kesiapsiagaan
bencana dan meningkatkan keterlibatan masyarakat
d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana, meliputi kegiatan-
kegiatan :
1) Manajemen sumber daya alam dan lingkungan
a) Memperkuat pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem secara
lestari, termasuk melalui rencana pemanfaatan ruang yang baik dan
kegiatan pembangunan yang mengurangi risiko dan kerentanan
b) Menerapkan pendekatan manajemen sumber daya alam dan
lingkungan terpadu yang berhubungan dengan upaya pengurangan
risiko bencana

50
c) Melakukan penyesuaian antara pengurangan risiko bencana dengan
perubahan iklim saat ini dan masa mendatang
2) Pengembangan Sosial dan Ekonomi
a) Meningkatkan ketahanan pangan
b) Menggabungkan perencanaan pengurangan risiko bencana dalam
sektor kesehatan untuk menciptakan rumah sakit yang bebas dari
dampak bencana
c) Melindungi dan memperkuat fasilitas-fasilitas publik (sekolah,
rumah sakit, pembangkit listrik) agar tidak rentan terhadap bencana
d) Memperkuat pelaksanaan mekanisme jaring pengaman sosial
e) Menyatukan pengurangan risiko bencana dalam pemulihan paska
bencana dan proses rehabilitasi
f) Meminimalkan risiko bencana dan kerentanan yang diakibatkan
oleh perpindahan manusia
g) Mengupayakan diversifikasi pendapatan untuk masyarakat di
wilayah berisiko bencana tinggi untuk mengurangi kerentanan
terhadap bencana
h) Membangun mekanisme pendanaan risiko bencana seperti asuransi
bencana
i) Memfasilitasi kerjasama dengan pihak swasta dan meningkatkan
partisipasi swasta dalam kegiatan pengurangan risiko bencana
j) Membangun instrumen keuangan alternatif dan inovatif (seperti
meningkatkan peran asuransi bencana dan mensosialiasikannya
pada setiap lapisan masyarakat) dalam rangka mengurangi risiko
bencana.
3) Perencanaan tata guna lahan dan pengaturan teknis lainnya
a) Memasukkan aspek pengkajian risiko bencana ke dalam
perencanaan perkotaan dan pengelolaan pemukiman tahan bencana
b) Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam prosedur
perencanaan proyek-proyek infrastruktur utama, termasuk kriteria
desain, persetujuan dan pelaksanaan proyek itu sendiri

51
c) Menyusun pedoman dan perangkat pengawasan pengurangan risiko
bencana dalam konteks kebijakan dan perencanaan pemanfaatan
lahan dan meningkatkan pemanfaatan perangkat-perangkat ini
d) Mengintegrasikan pengkajian risiko bencana ke dalam perencanaan
pengembangan perkotaan
e) Menyempurnakan NSPM dan aturan rehabilitasi dan rekonstruksi
bangunan yang ada
e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif, meliputi kegiatan-
kegiatan :
1) Memperkuat kebijakan, kemampuan teknis dan kelembagaan dalam
penanggulangan bencana regional, nasional dan lokal, termasuk yang
berhubungan dengan teknologi, pelatihan, sumber daya manusia dan lain-
lain.
2) Mendukung dialog dan pertukaran informasi dan koordinasi antara
lembaga-lembaga yang menangani peringatan dini, pengurangan risiko
bencana, tanggap darurat, pembangunan, dan sebagainya pada semua
tingkatan
3) Memperkuat dan bila perlu membangun koordinasi kewilayahan dan
membuat atau meningkatkan kebijakan regional, mekanisme operasional
dan sistem komunikasi perencanaan untuk menyiapkan respons yang
efektif dalam kasus bencana antar negara
4) Menyiapkan atau mengkaji ulang dan secara periodik memperbarui
rencana kesiapan bencana serta kebijakan dan rencana tanggap darurat
pada semua tingkatan
5) Mengupayakan diadakannya dana darurat, logistik dan peralatan untuk
mendukung tanggap darurat bencana, pemulihan dan langkah-langkah
kesiapsiagaan bencana
6) Membangun mekanisme khusus untuk menggalang partisipasi aktif dan
rasa memiliki dari para pemangku kepentingan terkait termasuk
masyarakat

52
RAN PRB 2010-2012 ini disusun sesudah terbitnya UU No. 24/2007 yang
merupakan landasan dari rencana aksi PRB, termasuk juga PP No. 21/2008, serta
dengan mempertimbangkan kelima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015.
Proses penyusunan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif
dengan berbagai Kementerian/ Lembaga serta pemangku kepentingan terkait,
termasuk donor internasional sebagai mitra pembangunan pemerintah, dan Platform
Nasional (Planas) PRB yang beranggotakan perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, swasta, serta media. Secara intensif, Bappenas yang
mengkoordinasikan penyusunan RAN PRB 2010-2012 ini, selama proses
penyusunan berkonsultasi dan berkoordinasi dengan BNPB yang secara parallel
sedang menyusun Renas PB 2010-2014. Pengesahan RAN PRB 2010-2012 ini juga
dilakukan berurutan dengan Renas PB 2010-2014 melalui Peraturan Kepala BNPB
Nomor 5 Tahun 2010. Komponen/ matriks RAN PRB 2010-2012 terdiri dari :
a. Prioritas: terdiri dari 5 (lima) Prioritas, yang mengacu pada HFA 2005-
2015
b. Program : terdiri dari 7 (tujuh) Program, yang merupakan program-
program dalam UU 24/2007 tentang PB dan PP No 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB
c. Kegiatan : terdiri dari 33 (tigapuluh tiga) Kegiatan atas dasar kegiatan-
kegiatan yang diidentifikasi dalam UU No. 24/2007 dan PP No. 21/2008.
Keseluruhan rencana aksi PRB ini ditampilkan dalam bentuk matriks yang
terdiri dari kegiatan, sasaran, lokasi, indikator kinerja, budget indikatif, sumber
pendanaan dan pelaksana.

Rencana Aksi dalam Renas PB 2015-2019


Peningkatan upaya-upaya penanggulangan bencana, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi dari berbagai aspek dan tahapan
penanggulangan bencana terus dilakukan secara sistematis dan holistic oleh BNPB
sebagai pemegang utama mandat UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Hal ini juga tidak terlepas dalam upaya penyusunan Renas PB 2015-2019
beserta dengan rencana aksi sebagai acuan implementasi bagi berbagai
Kementarian / Lembaga serta para pemangku kepentingan terkait.

53
Sejalan dengan hal ini, pendekatan dan landasan dasar dalam penyusunan rencana
aksi pengurangan risiko bencana untuk periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:
a. Landasan hukum: UU No 2 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta
peraturan perundangan lain yang terkait sebagaimana dasar penyusunan Renas
PB.
b. Disusun dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan Bappenas serta
Kementerian / Lembaga terkait (37 K/L), dan pemangku kepentingan terkait,
termasuk mitra pembangunan internasional, swasta, media, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi serta Planas PRB.
c. Sinergi lintas sektor dalam perencanaan dan implementasi Renas PB juga
diterapkan dalam rencana aksi.
d. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan, satu kesatuan konseptual, terintegrasi
secara melekat dan penjabaran teknis dari Renas PB 2015-2019.
e. Kajian risiko bencana dan kajian ilmiah (scientific) terkait rencana induk
(master plan) untuk 12 ancaman bencana yang merupakan dasar penyusunan
Renas PB juga menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun rencana aksi. Hal
ini mengacu pada Pasal 2 PP No. 21/2008 yang mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan
kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
f. Merupakan sub-sistem dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana
kebijakan dan strategi diturunkan dari RPJP 2005-2025 dan RPJMN 2015-2019.
g. Kegiatan yang dicantumkan dalam rencana aksi merupakan kegiatan yang sudah
disepakati oleh para pelaku, dan dalam hal kegiatan di bawah tanggung jawab
K/L juga dicantumkan dalam renstra K/L terkait.
h. Nomenklatur yang disusun dalam Renas PB maupun rencana aksi disesuaikan
dengan nomenklatur yang berlaku di pemerintah, sehingga memberikan
kemudahan dalam mengkaitkan dengan renstra KL dan juga dalam upaya
pemantauan dan evaluasi.
Sebagai turunan atau rincian yang melekat dengan Renas PB 2015-2019,
maka uraian kegiatan dalam rencana aksi merupakan turunan dari Program, Fokus

54
Prioritas, Sasaran dan Indikator dalam Renas PB sebagaimana yang diuraikan pada
Bab V. Atas dasar diskusi dan konsultasi dengan Kementerian / Lembaga serta para
pemangku kepentiangan terkait selama proses penyusunan Renas PB 2015-2019,
maka disepakati matriks dalam Renas PB dan rencana aksi terdiri dari:
a. Program: Program Penanggulangan Bencana
b. Fokus Prioritas: terdiri dari 7 (tujuh) focus prioritas
c. Sasaran: terdiri dari 10 (sepuluh) sasaran outcome
d. Indikator: terdiri dari 100 (seratus) indicator capaian
e. Kegiatan: kegiatan yang diuraikan per tahun, yang secara spesifik
mencantumkan lokus
f. Pagu Anggaran: dijabarkan setiap tahun sesuai kegiatan yang di rencanakan
Pelaku: pelaku kegiatan, dalam hal ini K/L maupun instansi non pemerintah atau
pemangku kepentingan yang telah memberikan komitmen nya untuk pelaksanaan
rencana aksi nasional
Selama proses konsultasi dan diskusi dengan K/L dan para pemangku
kepentingan, telah berhasil dirumuskan berbagai usulan kegiatan, baik yang bersifat
generik di tingkat nasional dan kegiatan spesifik untuk ancaman bencana tertentu
untuk skala nasional. Usulan kegiatan ini diselaraskan dengan fokus prioritas untuk
mencapai sasaran yang telah disepakati dengan indicator capaian sebagai alat
memantau dan mengevaluasi. Namun demikian dengan pertimbangan belum
disahkannya RPJMN 2015-2019 yang berdampak pada belum disusunnya renstra
K/L, maka usulan kegiatan ini belum dapat di finalisasi dengan rincian kegiatan per
tahun anggaran serta budget indikatif. Dengan demikian, maka rencana aksi ini
akan dirinci lebih lanjut sesudah terbitnya RPMJN 2015-2019 dan adanya Renstra
K/L di awal tahun 2015.

55

You might also like