You are on page 1of 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Osteoartritis (OA) merupakan penyakit persendian yang kasusnya paling
umum dijumpai secara global. Diketahui bahwa OA diderita oleh 151 juta jiwa di
seluruh dunia dan mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara (WHO,
2004).
Prevalensi OA juga terus meningkat secara dramatis mengikuti
pertambahan usia penderita. Berdasarkan temuan radiologis, didapati bahwa 70%
dari pasien yang berumur lebih dari 65 tahun menderita OA (Brooks, 1998).
Prevalensi OA lutut pada pasien wanita berumur 75 tahun ke atas dapat mencapai
35% dari jumlah kasus yang ada. Diperkirakan juga bahwa satu sampai dua juta
lanjut usia di Indonesia menjadi cacat karena OA (Soeroso, 2006).
Berat badan sering dikaitkan sebagai faktor yang memperparah OA pasien.
Pada sendi lutut, dampak buruk dari berat badan berlebih dapat mencapai empat
hingga lima kali lebih besar sehingga mempercepat kerusakan struktur tulang
rawan sendi. Hasil penelitian Davis et al (1990) menunjukkan bahwa obesitas
memberikan nilai odds ratio sebanyak 8.0 terhadap risiko OA lutut.
Studi lain dari peneliti kesehatan masyarakat University College London
menyimpulkan bahwa obesitas meningkatkan risiko terjadinya OA lutut hingga
empat kali banyaknya pada pria dan tujuh kali pada wanita. Kemungkinan
terjadinya OA pada salah satu lutut pasien obesitas malah mencapai 5 kali lipat
dibandingkan dengan pasien yang Non Obesitas. Fakta tersebut menyimpulkan
bahwa obesitas merupakan suatu faktor risiko terjadinya OA, terutama pada sendi
lutut (Arthritis Research Campaign, 2007).
Obesitas juga dianggap sebagai salah satu faktor yang meningkatkan
intensitas nyeri yang dirasakan pasien OA lutut (Thumboo, 2002). Menurut
Soeroso ( 2006 ), pasien OA dengan obesitas sering mengeluhkan nyeri pada
sendi lutut dibandingkan dengan pasien yang Non Obesitas. Peningkatan dari rasa
nyeri dan ketidakmampuan fungsi pada lutut pasien penderita OA semakin
meningkat seiring dengan berjalannya waktu (Conaghan, 2008). Pada pasien
dewasa dengan umur 45 tahun ke atas, 19% dari mereka mengeluhkan nyeri yang
terpusat di sendi lutut (Urwin, 1998). Dapat disimpulkan bahwa meningkatnya
rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien OA selain dipengaruhi oleh tingkat
keparahan penyakit dan umur, status obesitas yang diderita pasien turut
mempengaruhi.
Salah satu metode untuk dapat menilai apakah seseorang itu obesitas atau
tidak adalah dengan menggunakan skala Body Mass Index (BMI). Kurangnya
penelititan yang menghubungkan antara kategori obesitas berdasarkan BMI
dengan derajat nyeri OA lutut menjadikan dasar bagi peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai Hubungan antara Body Mass Index dengan Derajat Nyeri
penyakit Osteoartritis lutut pada pasien penyakit Osteoartritis di Puskesmas Pasar
Ikan.

1.2. Rumusan Masalah


Apakah ada hubungan antara besar Body Mass Index sebagai indeks ukur
obesitas dengan derajat nyeri yang dirasakan pasien.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara nilai Body Mass Index dengan
derajat rasa nyeri yang pada penderita OA lutut.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui variasi karakteristik subjek pasien OA lutut.
2. Untuk mengetahui derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien OA
lutut.
3. Untuk mengetahui karakteristik rasa nyeri yang dirasakan pada
pasien OA lutut dengan status berat badan yang berbeda-beda.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :
1. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan dalam penanganan dan penanggulangan pada kasus OA lutut,
terutama dalam penanganan rasa nyeri.
2. Bagi masyarakat, agar dapat mengetahui dan mengenal tentang obesitas
serta hubungannya dengan OA lutut lebih dalam.
3. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan tentang
metode penelitian dan penyakit osteoartritis.
4. Bagi penelitian-penelitian berikutnya yang menggunakan dasar penelitian
yang sama, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan referensi yang
bermakna.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Osteoartritis


Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan
struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan
(kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang,
pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan,
dan melemahnya otototot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008).

2.2. Epidemiologi Osteoartritis


Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling umum di dunia.
Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis
terhadap OA. OA pada lutut merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang
dewasa. Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang dewasa
dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria dengan kelompok umur yang
sama, dijumpai 23% menderita OA. pada lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati
menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan
insiden OA pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.

2.3. Patogenesis Osteoartritis


Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab yang pasti (
tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal
pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh
inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter),
dan immobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada praktik
sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder ( Soeroso, 2006 ).
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat
dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari
metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas
diketahui ( Soeroso, 2006 ). Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme
perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya
menimbulkan cedera ( Felson, 2008 ).
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula dan
ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya . Kapsula dan ligamen-
ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson,
2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi
sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas.
Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi
(Felson, 2008).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang
tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan
otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu
ketika sendi bergerak (Felson, 2008).
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi.
Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang
cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut
meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi
tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan
sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi
untuk menyerap goncangan yang diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak.
Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang
diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago
sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan
Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul molekul aggrekan di
antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan
asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha elemen yang
terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin {
Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik
yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan
membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga
keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen tipe
dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit.
Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian
permukaan (superficial) dari kartilago (Felson, 2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks,
namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF
menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein
lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan
mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis
aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung
pada proses awal timbulnya OA (Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang lambat
dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun, pada fase awal
perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif (Felson, 2008).
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan
kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago
akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur (Felson, 2008).
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008).

2.4. Diagnosis Osteoartirits


Diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis yang dijumpai dan hasil radiografis (
Soeroso, 2006 ).

2.4.1 Tanda dan Gejala Klinis


Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya
telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah keluhan yang
dapat dijumpai pada pasien OA :
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan
gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu
terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini
dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya
bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias
digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh
arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ) ( Soeroso, 2006 )..
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi
tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri
yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago (Felson, 2008).
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang
timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema
sumsum tulang ( Felson, 2008).
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh,
inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan
menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri (Felson,
2008).
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi.
Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis dan sindrom
iliotibial band (Felson, 2008).
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan
pertambahan rasa nyeri ( Soeroso, 2006 ).
c. Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari( Soeroso, 2006 ).
d. Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum
dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya
sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring
dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu (
Soeroso, 2006 ).
e. Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar ( Soeroso, 2006 ).
f. Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang
biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk
permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g. Tanda tanda peradangan
Tanda tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena
adanya synovitis. Biasanya tanda tanda ini tidak menonjol dan timbul pada
perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut (
Soeroso, 2006 ).
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia.
Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan
terutama pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).

2.4.2 Pemeriksaan Diagnostik


Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena
sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik ( Soeroso, 2006 ). Gambaran
Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang
menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan suatu derajat.
Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence
yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada
awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson, 2006 ).

2.4.3 Pemeriksaan Laboratorium


Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Pemeriksaan
darah tepi masih dalam batas batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas
batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel
peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein ( Soeroso, 2006 ).
2.5. Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA yang
diderita ( Soeroso, 2006 ). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu :

2.5.1 Terapi non-farmakologis


a. Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat
mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar
penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persendiaanya tetap terpakai
( Soeroso, 2006 ).
b. Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini dilakukan
untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat dipakai dan melatih pasien
untuk melindungi sendi yang sakit. ( Soeroso, 2006 ).
c. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA. Oleh karena
itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk
melakukan penurunan berat badan apabila berat badan berlebih ( Soeroso, 2006 ).

2.5.2 Terapi farmakologis


Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul,
mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis dari
ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).
a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2),
dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS
dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen.
Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen,
asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri
pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah
dengan cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 (
Felson, 2006 ).
b. Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat obatan yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin
sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya ( Felson, 2006 ).

2.5.3.Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa
sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu
aktivitas sehari hari.

2.6. Berat badan dan Osteoartritis


Berat badan sering dihubungkan dengan berbagai macam penyakit, termasuk OA.
Berat badan yang berlebih ternyata berkaitan dengan meningkatnya risiko seseorang
menderita OA pada kemudian hari, baik wanita maupun pria. Menurut penelitian dari Grotle
(2008), selain umur, berat badan yang berlebih terutama obesitas turut berperan dalam
patogenesis dan patofisiologi dari OA, lutut terutama dalam perkembangan penyakit ke
derajat yang lebih tinggi. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitannya antara OA dan
obesitas juga disokong dengan adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner,
diabetes mellitus dan hipertensi ( Soeroso, 2006 ).
IMT berguna sebagai indikator untuk menentukan adanya indikasi kasus KEK (Kurang
Energi Kronik) dan kegemukan (obesitas). Namun untuk memperoleh pengukuran tinggi
badan yang tepat pada usia lanjut cukup sulit karena masalah postur tubuh, kerusakan spinal,
atau kelumpuhan yang menyebabkan harus duduk di kursi roda atau di tempat tidur.
Beberapa penelitian menunjukkan perubahan tinggi badan pada usia lanjut sejalan dengan
peningkatan usia dan efek beberapa penyakit seperti osteoporosis. Oleh karena itu,
pengukuran tinggi badan usia lanjut tidak dapat diukur dengan tepat sehingga untuk
mengetahui tinggi badan usia lanjut dapat dilakukan dari prediksi tinggi lutut (knee height)
(Barasi, 2008).
IMT dihitung dengan pemberian berat badan (dalam kg) oleh tinggi badan (dalam m)
pangkat dua. Kini IMT banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur status gizi pasien
karena IMT dapat memperkirakan ukuran lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi tetapi
lebih akurat daripada pengukuran berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih
banyak dilakukan saat ini karena orang yang berlebihan berat badan atau yang gemuk yang
lebih beresiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, hipertensi dannn
beberapa bentuk penyakit kanker (Hartono, 2006).
Berat untuk rasio tinggi menunjukkan berat badan dalam kaitannya dengan tinggi dan
sangat berguna untuk menyediakan ukuran kelebihan berat badan dan obesitas dalam
populasi orang dewasa. Oleh karena itu jatah ini kadang-kadang disebut sebagai indeks
obesitas. Indeks massa tubuh digunakan dalam preperences untuk lainnya berat/tinggi indeks,
termasuk rasio berat/tinggi, indeks Ponderal, dan indeks Benn. Hal ini sekarang digunakan
secara ekstensif secara internasional untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan
obesitas pada orang dewasa (Gibson, 2005).
Kategori Ambang batas IMT untuk Indonesia yaitu:
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat Ringan 17,0 18,5
Normal >18,5 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan >25,0 27,0
Kelebihan BB tingkat Berat >27

Berat badan yang kurang ataupun berlebih akan menimbulkan risiko penyakit
terhadap penyakit, seperti yang terdapat pada table berikut (Sirajuddin, 2011) :
Berat badan Kerugian

1. Penampilan kurang baik (ceking)


2. Mudah letih
3. Risiko penyakit, antara lain penyakit infeksi,
Kurang (kurus) depresi, anemia, diare
4. Pada wanita usia subur yang hamil mempunyai
risiko tinggi melahirkan bayi dengan BBLR
5. Produktivitas rendah
1. Penampilan kurang menarik
2. Gerakan lamban
3. Risiko sakit, antara lain jantung, kencing manis
Berlebihan (Gemuk) (Diabetes Melitus), hipertensi, gangguan sendi
dan tulang, gangguan ginjal
4. Pada wanita usia subur, dapat mengganggu siklus
menstruasi dan faktor penyakit pada persalinan
Gizi kurang akut biasanya mudah untuk dideteksi, berat badan anak akan kurang dan
kurus mereka akan memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan dan
meningkatkan resiko terkena infeksi. Gizi kurang yang kronik lebih sulit diidentifikasi oleh
suatu komunitas anak akan tumbuh lebih lambat daripada yang diharapkan baik dari segi
berat badan maupun tinggi badan, dan tidak kelihatan terlalu kurus, namun pemeriksaan berat
dan tinggi badan akan menunjukan bahwa mereka memiliki berat yang kurang pada grafik
pertumbuhan anak misalnya kerdil. Gizi kurang kronik dapat mempengaruhi perkembangan
otak dan psikologi anak dan meningkatkan resiko terkena infeksi. Perempuan yang kurang
makan (kurang gizi) punya kecenderungan untuk melahirkan anak dengan berat badan
rendah, yang punya resiko lebih besar terkena infeksi (Gibson, 2005).
Jumlah lemak tubuh yang normal untuk pria dewasa berkisar 10-20% dari berat
badannya, dan untuk perempuan dewasa sekitar 25%. Untuk mengetahui dengan cepat
apakah Anda menyimpan lemak berlebih, cobalah mencubit daging di perut Anda tepat di
atas pusar. Bila jarak antara ibu jari dengan telunjuk lebih dari 2,5 cm, maka Anda termasuk
obesitas. Atau, untuk menentukan apakah Anda mengalami besar di sekitar perut, ukur
lingkar pinggang dengan mencari titik tertinggi di tulang pinggang, lalu ukur lebarnya.
Seorang pria yang berlingkar pinggang lebih dari 102 cm (Indonesia 90 cm) dan perempuan
lebih dari 88 cm (Indonesia 80 cm), menunjukkan faktor risiko tinggi kena penyakit. Apalagi,
bila IMT-nya (Indeks Masa Tubuh) adalah 25 atau lebih (Asmayuni, 2007).
Kegemukan disebabkan oleh ketidak imbangan kalori yang masuk dibanding yang
keluar. Kalori diperoleh dari makanan sedangkan pengeluarannya melalui aktivitas tubuh dan
olah raga. Kalori terbanyak (60-70%) dipakai oleh tubuh untuk kehidupan dasar seperti
bernafas, jantung berdenyut dan fungsi dasar sel. Besarnya kebutuhan kalori dasar ini
ditentukan oleh genetik atau keturunan. Namun aktifitas fisik dan olah raga dapat
meningkatkan jumlah penggunaan kalori keseluruhan (Asmayuni, 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dan orang gemuk cenderung lebih
sering mengeluh tentang besarnya rasa nyeri yang dialami pada lutut mereka dibandingkan
dengan orang lain yang kurang gemuk (Soeroso, 2006). Berdasarkan penelitian lain yang
dilakukanThumboo (2002) didapati bahwa pasien OA lutut dengan obesitas mengalami
peningkatan rasa nyeri yang pada daerah persendian lutut dibandingkan dengan pasien yang
kurang obesitas. Berdasarkan dua hal tersebut dapat dikatakan bahwa obesitas merupakan
salah satu faktor yang meningkatkan intensitas rasa nyeri yang dirasakan pada lutut pasien
OA.
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Penelitian ini memberikan gambaran mengenai hubungan antara Indeks Massa Tubuh
dengan derajat nyeri yang dirasakan pasien osteoartritis (OA) lutut.

Variabel independen Variabel dependen

Indeks Massa Tubuh Osteoartritis

3.2 Definisi Operasional


Indeks Massa Tubuh adalah nilai yang didapat melalui perbandingan antara ukuran
lingkar pinggar yang tersempit dengan ukuran lingkar panggul yang terlebar. Kedua nilai
didapatkan dengan cara pengukuran langsung pada sampel. Pengukuran dilakukan dengan
bantuan alat, yaitu meteran. Kedua nilai tersebut selanjutnya akan dihitung dengan
menggunakan rumus berikut :

Berat Badan (kg)


Indeks Massa Tubuh =
[Tinggi Badan
(cm)]2

Hasil yang didapat selanjutnya akan dicocokkan dengan kategori pada tabel
klasifikasi Indeks Massa Tubuh yang telah dimodifikasi (Frank, 2005) di bawah ini sehingga
didapatkan suatu skala ordinal:

Indeks Massa Tubuh


Nilai Klasifikasi

< 25 Non Obese


>25 Obes
Derajat nyeri pasien OA merupakan besar-kecilnya nyeri yang dirasakan oleh pasien
OA pada dua hari terakhir. Derajat nyeri tersebut diukur dengan menggunakan kuesioner.
Kuesioner yang digunakan merupakan modifikasi dari kuesioner WOMAC (Western
Ontario and McMaster Universities) (Bellamy, 2004). Berdasarkan hasil penelitian lain dari
Bellamy et al (1995) didapatkan bahwa kuesioner WOMAC dinilai lebih efisien dan
menguntungkan secara konsep serta statistik dalam menilai derajat nyeri pada pasien OA
lutut dan pinggang
Kuesioner tersebut telah diuji validitas serta reliabilitasnya melalui penelitian oleh
Paula et al (2010) dan didapatkan nilai alpha cronbach sebesar 0,82. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti menilai bahwa kuesioner tidak perlu dilakukan uji validitas karena telah
valid dan reliabel (nilai alpha cronbach telah melebihi 0,444).
Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner memiliki tiga pilihan jawaban, yaitu :
a. Ringan, diberikan nilai 1.
b. Sedang, diberikan nilai 2.
c. Berat, diberikan nilai 3

Variabel merupakan variabel ordinal dan dikategorikan menjadi dua, yaitu :


a. Nyeri berskala ringan apabila diperoleh nilai antara 15-30
b. Nyeri berskala berat apabila diperoleh nilai antara 31-45

3.3. Hipotesis
Ada hubungan antara besar Indeks Massa Tubuh dengan derajat nyeri pada pasien
penderita osteoartritis lutut di Puskesmas Pasar Ikan Bengkulu.
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan suatu studi analitik cross sectional untuk menilai hubungan
yang dimiliki antara besar Indeks Massa Tubuh dengan derajat nyeri yang dirasakan pasien
penderita osteoarthritis ( OA ) lutut.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di area Puskesmas Pasar Ikan Bengkulu. Waktu penelitian dan
pengumpulan data adalah pada bulan Maret sampai dengan Juli 2017.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien penderita OA lutut yang berobat di
Puskesmas Pasar Ikan Bengkulu. Sampel yang diambil adalah populasi yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria Inklusi :
a. Umur subjek adalah 40 tahun ke atas.
b. Subjek menderita OA pada sendi lutut, baik salah satu maupun keduanya.
c. Subjek merupakan pasien yang berobat jalan ke Puskesmas Pasar Ikan Bengkulu
pada rentang waktu bulan Maret sampai dengan Juli 2017.
d. Subjek mengisi kuesioner secara lengkap dan subjek memberikan izin untuk
pengukuran diameter lingkar pinggang terkecil dan lingkar Pinggul terbesarnya.

Kriteria Eksklusi :
a. Menderita OA lutut disertai penyakit penyerta lainnya seperti sendi Gout
Arthritis, Reumatoid Arthritis, Hipertensi, Diabetes Mellitus, dan Penyakit gagal
jantung.
Metode sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Selanjutnya, besar
sampel ditentukan melalui perhitungan dengan memakai rumus berikut (Sudigdo, 2008) :

Z2PQ

n=
a 2
d

= (1,645)2 . 0,22.0,78

(0,1)2

= 46,23

Keterangan :

P = Proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari


d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki
Za = Tingkat kemaknaan Q = 1 P
n = Besar sampel yang diperlukan
Dengan demikian, jumlah sampel yang diperlukan adalah 46 orang pasien.

4.4. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan
mengukur berat badan dan tinggi badan pasien untuk dapat menilai Indeks Massa Tubuh.
Indeks Massa Tubuh yang didapat akan dibandingkan dengan nilai pada tabel sehingga
derajat obesitas pasien dapat diukur, apakah pasien tersebut Non Obese atau obese.
Cara kedua adalah dengan menggunakan kuesioner hasil modifikasi dari WOMAC
(Bellamy, 2004). Uji validitas tidak dilakukan karena kuesioner tersebut telah diuji validitas
serta reliabilitasnya melalui penelitian oleh Paula et al (2010) dan didapatkan nilai alpha
cronbach sebesar 0,82. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menilai bahwa kuesioner tidak perlu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena telah valid dan reliabel (nilai alpha cronbach
melebihi 0,444).
4.5. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul pertama kali akan dinilai kelengkapannya seperti identitas
dan hasil pengukuran sampel. Data tersebut selanjutnya akan dimasukkan ke dalam program
PAWS Statistic versi 18.0 di komputer. Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan
uji hipotesis tabulasi silang Chi-Square - X2. Bila didapati p Value dibawah 0,1 berarti ada
hubungan antara besar Indeks Massa Tubuh dengan derajat nyeri pada pasien penderita
osteoartritis lutut. Terakhir, data akan dinilai kembali untuk mengetahui apakah ada
kesalahan atau tidak dalam analisis.
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Komunitas Umum


Pendahuluan Nasional pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup
dan sumber daya manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut , kesehatan mempunyai peran
ganda yang sangat strategis , dimana disatu pihak sebagai modal dasar pembangunan dan
dipihak lain sebagai tujuan pembangunan.
Dalam tatanan desentralisasi atau otonomi daerah dibidang kesehatan , telah digariskan
bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran , kemauan , dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk , agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal , sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan tujuan nasional.
Puskesmas sebagai unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan ,
merupakan satu kesatuan organisasi yang diberikan kewenangan dan kemandirian oleh Dinas
Kesehatan Kota / Kabupaten untuk melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya masing-masing.
Pada era desentralisasi ini , Program Puskesmas dibedakan menjadi upaya kesehatan
wajib dan upaya kesehatan pengembangan.
Upaya kesehatan wajib (Basic Six) terdiri atas :
1. Promosi Kesehatan (Promkes).
2. Kesehatan Lingkungan (Kesling).
3. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta Keluarga Berencana.
4. Perbaikan Gizi.
5. Pemberantasan Penyakit Menular.
6. Pengobatan.
Upaya kesehatan pengembangan antara lain :
1. UKS / UKGS.
2. Kesehatan usia lanjut.
3. Kesehatan olahraga.
4. Kesehatan Mata dan Telinga.
5. Kesehatan Jiwa.
6. Kesehatan Batera.
7. UKGMD (Upaya Kesehatan Gizi Masyarakat Desa).
8. Dll.
Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan pencapaian program yang telah
dilaksanakan pada tahun 2016 ini , maka diperlukan evaluasi secara menyeluruh terhadap
semua program / kegiatan pada tahun berikutnya , dalam rangka meningkatkan upaya
kesehatan dan manajemen puskesmas.

Visi dan Misi , Motto , Strategi dan Kebijakan Puskesmas Pasar Ikan
a. Visi UPTD. Puskesmas Pasar Ikan adalah mewujudkan masyarakat Kota Bengkulu
yang sehat , yang mandiri dan berkeadilan , khususnya masyarakat dalam wilayah
kerja UPTD. Puskesmas Pasar Ikan. Dimana masyarakatnya mampu mengenali ,
mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapinya.
b. Misi UPTD. Puskesmas Pasar Ikan adalah :
1. Mengoptimalkan mutu pelayanan.
2. Melindungi kesehatan masyarakat , dan menjamin tersedianya upaya kesehatan
yang paripurna , merata , bermutu dan berkeadilan.
3. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat , melalui pemberdayaan masyarakat ,
termasuk swasta dan masyarakat madani.
4. Mengefektifkan sarana dan prasarana yang ada.
5. Meningkatan peran serta masyarakat.
6. Menjadikan puskesmas sehat dan bersih lingkungan
7. Menjalinkan hubungan lintas sektor yang baik dalam suasana kekeluargaan.
c. Motto UPTD. Puskesmas Pasar Ikan adalah CERDAS
- Cepat
- Enerjik
- Ramah
- Displin
- Aktif
- Simpatik
d. Strategi Puskesmas
Strategi yang diambil untuk mencapai Visi dan Misi yang telah ditetapkan adalah :
- Meningkatkan dan memantapkan sumber daya puskesmas untuk terciptanya upaya
kesehatan yang bermutu.
- Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan pihak swasta agar setiap program dapat
berjalan maksimal.
- Meningkatkan pemerdayaan masyarakat , keluarga , dan individu dalam upaya
peningkatan pembangunan kesehatan di wilayah kerja UPTD. Puskesmas Pasar
Ikan.
- Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas.
e. Kebijakan Puskesmas
Pada dasarnya puskesmas harus melaksanakan seluruh program kesehatan (baik
program pokok maupun program penunjang) , dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan dan status gizi masyarakat , dengan menetapkan skala prioritas masalah ,
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Tujuan :
1. Umum
Menilai dan mengetahui sejauh mana usaha program yang dilaksanakan oleh
Puskesmas Pasar Ikan , untuk menjadi acuan bagi rencana kerja puskesmas kedepan ,
dalam rangka meningktkan mutu pelayanan.

2. Khusus
a. Meningkatkan mutu pelayanan.
b. Melanjutkan program / meningkatkan upaya program yang belum optimal.
c. Memperbaiki kinerja tahun lalu yang belum optimal , agar di masa yang akan
datang menjadi lebih baik.
d. Sebagai pedoman menyusun rencana kegiatan di tahun mendatang.

5.2 Data Geografis


UPTD. Puskesmas Pasar Ikan merupakan salah satu Puskesmas yang ada dalam Kota
Bemgkulu , yang berada dalam wilayah Kecamatan Teluk Segara . dengan luas wilayah 1.553
km2, terletak di Pesisir Pantai Kota Bengkulu , yang meliputi 9 kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Pondok Besi
2. Kelurahan Kebun Ros
3. Kelurahan Kebun Keling
4. Kelurahan Malabero
5. Kelurahan Sumur Meleleh
6. Kelurahan Berkas
7. Kelurahan Pasar baru
8. Kelurahan Jitra
9. Kelurahan Pasar Melintang

5.3 Data Demografis


Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pasar Ikan adalah 16.379 jiwa, yang
terdiri dari laki-laki 8.160 jiwa dan perempuan 8.219 jiwa, dengan jumlah KK adalah 4.134.
Secara umum di wilayah kerja UPTD Puskesmas Pasar Ikan menunjukkan bahwa penduduk
perempuan lebih banyak dari pada laki-laki , dengan ratio jenis kelamin (sex ratio) sebesar
113,6 artinya diantara 113,6 penduduk perempuan, ada 100 penduduk laki-laki.
Perkembangan pembangunan kependudukan dipengaruhi oleh pencapaian keberhasilan
program keluarga berencana. Data badan pusat Statistik kabupaten Bireuen tahun 2012
menunjukkan bahwa jumlah pasangan usia subur (PUS) adalah 4030 pasangan.
Jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 2012 penduduk berjumlah 1033 orang.
Peningkatan jumlah usia tua menunjukkan keberhasilan upaya kesehatan dengan
meningkatnya usia harapan hidup, di sisi lain adanya tantangan upaya kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada lanjut usia melalui program posyandu lanjut usia.
Semakin meningkatnya jumlah usia lansia berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan
pelayanan kesehatan terutama pelayanan penyakit degenaeratif. Penyakit degenaretaif yang
bersifat kronik membutuhkan perwatan yang lama dan berkelanjutan.
Bertambahnya usia harapan hidup masyarakat perlu peningkatan program promosi dan
preventif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Promosi kesehatan melalui sosialisai
perilaku hidup bersih dan sehat, perbaikan gizi masyarakat, perbaikan gaya hidup, konsultasi
gizi dan keterjaminan kesehtana lansia. Upaya preventif melalui deteksi dini dan pencegahan
faktor risiko penyakit menular dan degeneratif, diharapkan kualitas hidup masyarakat lebih
baik dan pembiayaan kesehatan untuk kuratif dan rehabilitatif dapat ditekan.

5.4 Sumber Daya Kesehatan yang ada


Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Pasar Ikan sebanyak 177 orang, yang
terdiri dari PNS 89 orang (50%), PTT 20 orang (11%), Honor/Bakti 81 orang (25%), dan
magang 24 orang (14%). Adapun jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Pasar Ikan
menurut jenjang pendidikan yaitu :
Tabel 5.1 Jumlah Sumber Daya Kesehatan di UPTD Puskesmas Pasar Ikan Tahun 2015
NO JENIS TENAGA JUMLAH PNS CPNS
1 Dokter umum 2 2 -
2 Dokter Gigi 1 1 -
3 Apoteker - - -
4 S1 Ilmu Kesehatan 7 7 -
5 S1 Ilmu lain 1 1 -
6 Paramedis Perawat / 13 13 -
Bidan
7 Paramedis Non Perawat 4 4 -
8 Tenaga Kesehatan lain - - -
9 Tenaga Non Kesehatan - - -

Sumber : PKM Pasar Ikan


Analisis : Dari data di atas tenaga yang ada di setiap pelayanan sudah
mencukupi.

5.5 Sarana Pelayanan Kesehatan yang ada

Tabel 5.2. Jumlah Puskesmas Pembantu, Posyandu, Di Wilayah Kerja UPTD


Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu Tahun 2015
NO Puskesmas Jumlah Jumlah PUSTU Pusling ket
Desa Posyandu
1 Pasar Ikan 9 15 5 1 - -

5.6 Hasil Penelitian


5.6.1 Hasil Analisis Deskriptif
5.6.1.1. Deskripsi Karakteristik Subjek
Penelitian dilakukan pada 52 orang subjek yang keseluruhannya merupakan pasien
pria ataupun wanita yang sedang melakukan pengobatan di Puskesmas Pasar Ikan dan
didiagnosis menderita OA. Karakteristik yang diamati pada subjek adalah jenis kelamin,
umur, pekerjaan, berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh.
Tabel 5.3 memaparkan distribusi frekuensi dari karakteristik parasubjek. Berdasarkan
karakteristik kelompok umur, diperoleh persentase tertinggi terdapat pada kelompok ukur 51-
60 tahun sebesar 38,5% atau berjumlah 20 orang. Kelompok umur 61-70 tahun merupakan
kelompok umur terbanyak kedua dengan jumlah 17 orang atau 32,7%, sementara kelompok
umur 41-50 tahun sebanyak 2 orang dengan 3,8% dan kelompok umur >70 tahun dengan
jumlah 13 orang atau sebesar 25%.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek


Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%)
Jenis Kelamin
- Laki-laki 8 15,4
- Perempuan 44 84,6
Kelompok Umur
- 41-50 2 3,8
- 51-60 20 38,5
- 61-70 17 32,7
- >70 13 25
Pekerjaan
- Buruh 2 3,8
- Ibu Rumah Tangga 44 84,6
- Supir 2 3,8
- Tidak Bekerja 4 7,8
TOTAL 52 100

Berdasarkan pekerjaan, pekerjaan subjek terdistribusi menjadi empat kelompok, yaitu


buruh, ibu rumah tangga, supir dan tidak bekerja. Berdasarkan penelitian, kelompok subjek
terbanyak menurut pekerjaan terdapat pada kelompok ibu rumah tangga sebanyak 44 orang
atau 84,6%, buruh dan supir masing-masing sebanyak 2 orang dengan persentase 3,8% dan
tidak bekerja sebanyak 4 orang atau 7,8%. Berdasarkan jenis kelamin, subjek terbanyak
berasal dari kelompok perempuan yaitu sebesar 44 orang atau 84,6%, sementara laki-laki
hanya sebesar 8 orang atau 15,4%.
5.6.1.2 Derajat Nyeri Subjek
Derajat nyeri subjek diukur dengan menggunakan kuesioner yang berisikan lima belas
pertanyaan. Kuesioner tersebut merupakan kuesioner yang berasal dari WOMAC.
Selanjutnya derajat nyeri akan diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu nyeri ringan dan
nyeri berat.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebanyak 19 orang subjek yang mengalami
nyeri ringan dengan persentasi sebesar 36,5% dan sebesar 33 orang subjek yang mengalami
nyeri berat atau sebesar 63,5%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Derajat Nyeri Subjek


Derajat Nyeri Jumlah (orang) Persentase (%)
Nyeri Ringan 19 36,5
Nyer Berat 33 63,5
Total 52 100

Distibusi jawaban dari subjek untuk setiap pertanyaan pada kuesioner untuk
mengukur derajat nyeri dapat dilihat pada tabel 5.4.
Pada pertanyaan no. 1, 7, dan 9 sebagian besar subjek menjawab bahwa mereka
merasakan nyeri ringan. Sedangkan pada pertanyaan nomer 4, 6, 8, 13, 14, dan 15,
kebanyakan subjek menjawab merasakan nyeri sedang. Sementara untuk pertanyaan no. 2, 3,
5, 10, 11, dan 12 kebanyakan pasien menyatakan merasa nyeri berat.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Jawaban dari Pertanyaan di Kuesioner yang Diisi oleh
Subjek
Jawaban (Tingkat Nyeri)
Total
Pertanyaan Ringan Sedang Berat
n % n % n % n %
1. Berjalan pada jalanan yang datar 23 44,2 26 50 3 5,8 52 100
2. Menaiki tangga 0 0 3 5,8 49 94,2 52 100
3. Menuruni tangga 2 3,8 11 21,2 39 75 52 100
4. Sedang tidur di kasur, pada malam hari 19 36,5 32 61,5 1 1,9 52 100
5. Bangun tidur diatas kasur, pada pagi hari 15 28,8 18 34,6 19 36,5 52 100
6. Turun dari tempat tidur 9 17,3 24 46,2 19 36,5 52 100
7. Duduk diatas kursi 42 80,8 9 17,3 1 1,9 52 100
8. Mencoba berdiri dari tempat duduk 8 15,4 32 61,5 12 23,1 52 100
9. Tidur-tiduran diatas lantai 29 55,8 22 42,3 1 1,9 52 100
10. Jongkok 2 3,8 13 25 37 71,2 52 100
11. Berdiri tegak 15 28,8 18 34,6 19 36,5 52 100
12. Turun dari kendaraan (angkutan umum, 5 9,6 17 32,7 30 57,7 52 100
mobil, sepeda motor dan lainnya)
13. Sedang berbelanja 14 26,9 31 59,6 7 13,5 52 100
14. Mencoba memakai kaus kaki dan 17 32,7 35 67,3 0 0 52 100
mengikat/ memakai sepatu
15. Melepaskan sepatu dan kaus kaki 18 34,6 34 65,4 0 0 52 100

5.6.1.3 Kategori Obesitas Subjek


Para subjek diukur berat badan dan tinggi badannya yang kemudian akan
dikalkulasikan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT) yang kemudian dibagi menjadi
dua kategori yatu Obesitas dan Non-Obesitas. Untuk Obesitas adalah pasien dengan IMT >
25, sedangkan Non-Obesitas adalah pasien dengan IMT < 25. Berdasarkan kategori tersebut
didapati 43 orang subjek yang obesitas dan 9 orang subjek yang non-Obesitas. Hasil dapat
dilihat pada tabel 5.6.
5.6 Distribusi Frekuensi Indeks Massa Tubuh (IMT) Subjek
Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Obesitas 43 82,7
Non Obesitas 9 17,3
Total 52 100

5.6.2 Analisa Statistik


5.6.2.1 Hubungan Kategori IMT dengan Derajat Nyeri Subjek
Hubungan antara derajat nyeri dengan kategori obesitas berdasarkan IMT didapatkan
dengan melakukan tabulasi silang antara kedua kategori tersebut di tabel 2x2.
Berdasarkan hasil tabulasi silang yang dapat dilihat di tabel 5.6, menunjukkan bahwa
pasien OA dengan kategori obesitas sebanyak 43 orang, didapati 31 pasien merasakan nyeri
berat dan 12 pasien merasakan nyeri ringan. Sedangkan untuk pasien OA dengan kategori
Non-Obesitas hanya 2 pasien yang mengalami nyeri berat dan 7 orang lainnya mengalami
nyeri ringan.
Hasil analisis hubungan variabel kategori Obesitas-Non obesitas berdasarkan IMT
dengan derajat nyeri pada subjek diperoleh p value berdasarkan hitungan chi square sebesar
0,008. Nilai p yang diharapkan adalah <0,05, sementara menurut uji hipotesis chi square
didapatkan nilai yang lebih rendah daripada 0,05 yaitu 0,008. Menurut hasil uji hipotesis
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis nol ditolak, dan terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara kedua variabel tersebut.

Tabel 5.7 Tabulasi Silang Kategori IMT dan Derajat Nyeri Subjek
Derajat Nyeri Subjek
Total
Nyeri Ringan Nyeri Berat
Kategori
Obesitas 12 31 43
Obesitas
Berdasarkan
Non-Obesitas 7 2 9
IMT
Total 19 33 52
5.7. Pembahasan
5.7.1 Karakteristik Subjek
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui adanyavariasi kareakteristik subjek
berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Keseluruhan variasi karakteristik tersebut
ditabulasikan kedalam tabel 5.3.
Berdasarkan umur, kelompok umur tertinggi didapati pada kelompok umur 51-60
tahun yaitu sebanyak 20 orang atau 38,5%, diikuti kelompok usia 61-70 tahun sebesar 17
orang atau 32,7% dan kelompok usia >70 tahun sebesar 13 orang atau 25%. Kelompok umur
terendah adalah usia 41-50 tahun sebanyak 2 orang atau 3,8%. Namun secara keseluruhan,
subjek yang mengikuti penelitian ini adalah subjek yang berumur 49-77 tahun. Hal ini sesuai
dengan penelitian Joern et al (2010) yang menyatakan bahwa OA lutut sering dijumpai pada
pasien dengan rentang umur 60-70 tahun.
Berdasarkan pekerjaan, didapatkan bahwa kelompok pekerjaan tertinggi adalah Ibu
Rumah Tangga (IRT) sebanyak 44 orang, diikuti pekerjaan buruh dan supir masing-masing
sebanyak 2 orang. Dan tidak bekerja sebanyak 4 orang. Penelitian dari Sara L.K. (2010)
mendukung hal ini, disebutkan bahwa 53,6% penderita OA lutut di RS. Dr. Kariadi Semarang
bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Selain itu faktor lain yang mendukung tingginya
pekerjaan ibu rumah tangga adalah karena sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan
(44 orang ). Asumsi peneliti bahwa hasil ini diperoleh karena subjek yang mempunyai
keluangan waktu untuk pergi berobat ke Puskesmas Pasar Ikan dan bersedia menjadi subjek
adalah dari golongan Ibu Rumah Tangga.

5.7.2 Derajat Nyeri Subjek


Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat nyeri subjek tertinggi adalah pada
tingkatan nyeri berat. Sebanyak 33 orang menyatakan bahwa nyeri yang mereka rasakan
adalah nyeri berat, sementara sisanya sebesar 12 orang menyatakan bahwa nyeri yang mereka
rasakan adalah nyeri ringan.
Derajat nyeri tersebut didapatkan melalui pengisian kuesioner yang merupakan
modifikasi dari kuesioner WOMAC (Bellamy, 2004). Penggunaan kuesioner modifikasi dari
WOMAC untuk mengukur derajat nyeri adalah dikarenakan WOMAC lebih valid dan efisien.
Beberapa penelitian telah membahas tentang validitas serta reliabilitas dari kuesioner
WOMAC dan analisis faktor yang dilakukan oleh Paula et al (2010) menunjukkan bahwa
penggunaannya unidimensional terhadap mengukur nyeri pasien OA. Kuesioner WOMAC
juga sensitif terhadap pengukuran rasa nyeri pada pasien OA lutut dan hasilnya lebih positif
terlihat pada pasien wanita dibandingkan dengan pasien pria, dimana pada penelitian saya
lebih banyak pasien wanita yang mengikuti penelitian (Angst et al, 2001). Bellamy dan
kawan-kawan (1995) turut melakukan penelitian dengan membandingkan sensitivitas serta
spesifisitas dari kuesioner WOMAC terhadap media pengukuran derajat nyeri yang lain yaitu
Arthritis Impact Measurement Scale (AIMS) dan Health Assessment Questionnaire (HAQ)
dimana hasilnya adalah kuesioner WOMAC lebih efisien dalam melakukan pengukuran
dibandingkan keduanya.
Penelitian Elisa et al (2008) tentang pengukuran derajat nyeri pasien osteoartrits
dengan menggunakan WOMAC menunjukkan bahwa 77,5% pasien menyatakan bahwa nyeri
yang mereka rasakan adalah nyeri berat dengan nilai total 40 atau lebih. Penelitian tersebut
mendukung hasil penelitian yang saya lakukan dimana 33 orang (63,5%) subjek penelitian
yang menderita OA lutut merasakan nyeri yang berat.

5.7.3. Kategori Obesitas Non-Obesitas Berdasarkan IMT Subjek


Pengukuran IMT subjek dilakukan untuk mengetahui apakah penderita obesitas atau
tidak. Setelah didapatkan hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan subjek, kemudian
dikalkulasikan hingga didapatkan angka IMT, kemudian IMT subjek dikategorikan menjadi
Obesitas dan Non Obesitas. Status obese subjek diketahui berhubungan dengan OA lutut
yang diderita subjek. Persendian pada lutut merupakan persendian yang menopang berat
tubuh sehingga status obese seorang pasien dapat membebani lutut dan meningkatkan risiko
pasien untuk menderita OA (Soeroso,2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum pada tabel 5.4. didapatkan bahwa pasien
yang obese mencapai 43 orang (82,7%), sementara 9 orang dinyatakan Non Obese.
Berdasarkan penelitian dan laporan dari ARC (2009), 67% pasien OA memiliki riwayat
obese. Penelitian tersebut mendukung hasil penelitian saya yang mendapatkan bahwa 43
orang subjek merupakan obese.

5.7.4 Hubungan Kategori Obesitas Non Obesitas Berdasarkan IMT Subjek dengan
Derajat Nyeri
Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan status obesitas dan derajat nyeri berat
berjumlah 31 orang sementara yang memiliki derajat nyeri ringan berjumlah 12 orang.
Subjek dengan status non obesitas dan derajat nyeri berat hanya berjumlah 2 orang sementara
yang memiliki derajat nyeri ringan adalah sejumlah 7 orang. Hal ini memperlihatkan suatu
gambaran bahwa subjek dengan status obese memiliki kemungkinan untuk merasakan nyeri
yang lebih berat dibandingkan dengan subjek yang Non Obese.
Analisis hubungan variabel kategori waist-hip ratio dengan derajat nyeri subjek
menggunakan uji hipotesis chi square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara
statistik antara kedua variabel tersebut. Nilai p yang didapatkan yaitu 0,008 lebih rendah
daripada 0,05.
Menurut Thumboo (2002) rasa nyeri yang dirasakan pada penderita OA lutut semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan penderita, yaitu status obese. Selain itu,
penelitian lain dari Thomas (2005) menyatakan bahwa intensitas rasa nyeri sangat
dipengaruhi oleh obesitas sebagai salah satu faktor utama, selain dari kelemahan otot, fisik,
inflamasi dan sebagainya. Kedua penelitian tersebut mendukung hasil yang didapatkan pada
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Angst, F., Aeschlimann, A., dan Stucki, G., 2001. Responsiveness of the WOMAC
osteoarthritis index as compared with the SF-36 in patients with osteoarthritis of the
legs undergoing a comprehensive rehabilitation intervention. Clinic of Rheumatology
and Rehabilitation, Zurzach, Switzerland. Didapat dari : http://www.annrheumdis.com/
[Diakses pada tanggal 1 Mei 2010]

2. Arthritis Research Campaign, 2009. Osteoarthritis and obesity. ARC Epidemiology


Research Unit, University of Manchester Medical School, Oxford, United Kingdom.

3. AU, Pardede, 2010. Profil RSUP H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara.
Didapat dari : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18195/4/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 5 November 2010]

4. Bellamy, N, 2004. WOMAC osteoarthritis index, University of Queensland. Didapat


dari:http://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/08/briefing/2008-4404b1-
05%20WOMAC%20Questionnaire.pdf. [diakses pada tanggal 13 Maret 2010]

5. Elisa, H.T., dan Jose, L.N.E., 2008. Cost-outcome analysis of joint replacement: evident
from a Spanish public hospital. Departemento de Economica Internacional y de Espana,
Facultad de Ciencas Economicas y Empresariales, Campus La Cartuja, Granada,
Spanyol. Didapat dari : http://www.scielosp.org/scielo.php?pid=S0213-
91112008000400006&script=sci_arttext [diakses pada tanggal 5 November 2010]

6. Felson, D.T., 2008. Osteoarthritis. Dalam : Fauci, A., Hauser, L.S., Jameson, J.L., Ed.
HARRISON's Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition. New York, United
States of America. McGraw-Hill Companies Inc. : 2158-2165.

7. Grotle, M., Hagen, K.B., Natvig, B., Dahl, F.A., Kvien, T.K., 2008. Obesity and
osteoarthritis in knee, hip and/or hand: an epidemiological study in the general
population with 10 years follow- up. National resource centre for rehabilitation in
rheumatology, Dept. of Rheumatology, Diakonhjemmet Hospital, Oslo, Norway.
Didapat dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18831740. [diakses pada tanggal 1
April 2010]

8. Joern, M., Klaus, S.B., dan Peer,E, 2010. The Epidemiology, Etiology, Diagnosis, and
Treatment of Osteoarthritis of the Knee. Dtsch Arztebl International. Didapat dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841860/pdf/Dtsch_Arztebl _Int-107-
0152.pdf [diakses pada tanggal 1April 2010]

9. Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., dan Purwanto, H., 2008.
Bab 16 - Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro, S., ed. Dasar dasar
Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-3.Jakarta, Indonesia. Sagung Seto, 302-318.

10. Marlowe, F., Apicella, C., dan Reed, D, 2005. Mens preference for womens profile
waist-to-hip ratio in two Species. Department of Athropology, Harvard University,
Cambridge. Didapat dari :
http://www.anthro.fsu.edu/people/faculty/marlowe_pubs/profilewhr.pdf. [diakses pada
tanggal 10 April 2010]

11. Mollarius, A., Seidell, JC., Sans, S., Tuomilheto, J., dan Kuulasmaa, K, 1999. Waist and
hip circumferences, and waisthip ratio in 19 populations of the WHO MONICA
Project. World Health Organization. Didapat dari :
http://www.tede.ufsc.br/teses/PNTR0041-D.pdf. [diakses pada tanggal 13 Maret 2010]

12. Paula, K., Peter, J.W., dan Tenant, A., 2010. The Visual Analogue WOMAC 3.0. scale
internal validity and responsiveness of the VAS version. Department of Rehabilitation
Medicine, Faculty of Medicine and Health, University of Leeds, Leeds, United Kingdom.
Didapat dari : http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2474-11-80.pdf [diakses
pada tanggal 2 April 2010]

13. Roos, E.M., Roos, H.P., dan Lohmander, L.S., 1999. WOMAC Osteoarthritis Index--
additional dimensions for use in subjects with post-traumatic osteoarthritis of the knee.
Western Ontario and MacMaster Universities. University of Lund. Didapat dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10222220. [diakses pada tanggal 2 April 2010]
14. Soeroso, J., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., dan Pramudiyo, R., 2006. Osteoartrits.
Dalam : Alwi, I., Sudoyo, A.W., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi IV. Jakarta, Indonesia : Penerbit FKUI Pusat, 1195-1201.

15. Thomas, R., Gunter, L., Joachim, S., Michael, W., dan Richard, G., 2005. Pain and
Osteoarthritis in Primary Care : Factors Associated with Pain Perception in a sampleof
1021Patients. Dalam : Anonymous, ed. Pain Medicine Volume 9 Number 7
2005.American Academy of Pain Medicine : Blackwell Publishing Limited, 905-910

16. Thumboo, J., Chew, L.H., dan Lewin- Koh, S.C., 2002. Socioeconomic and psychosocial
factors influence pain or physical function in Asian patients with knee or hip
osteoarthritis. The National Arthritis Foundation and Nanyang Polytechnic, Singapore.
Didapat dari : http://ard.bmj.com/content/61/11/1017.full. [diakses pada tanggal 13 Maret
2010]

17. Urwin, M., Symmons, D., Allison, T., Brammah, T., Busby, H., Roxby, M., Simmons, A.,
dan Williams, G., 1998. Estimating the burden of musculoskeletal disorders in the
community: the comparative prevalence of symptoms at different anatomical sites, and the
relation to social deprivation. ARC Epidemiology Research Unit, University of
Manchester Medical School, Oxford. Didapat dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1752494/pdf/v057p00649.p df. [diakses
pada tanggal 17 Maret 2010]

18. Vasquez, G., Duval, S., Jacobs, D.R., dan Silventoinen, K., 2007. Comparison of body
mass index, waist circumference, and waist/hip ratio in predicting Incident Diabetes: A
Meta-Analysis. University of Minnesota. Didapat dari :
http://epirev.oxfordjournals.org/cgi/content/abstract/29/1/115. [diakses pada tanggal 2
April 2010]

19. World Health Organization,2004. BMI classification. Direktorat World Health


Organization. Didapat dari : http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html.
[diakses pada tanggal 5 April 2010]

20. World Health Organization, 2004. Global burden of disease report 2004 Update.
Direktorat World Health Organization.

You might also like