You are on page 1of 7

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

TOKSIKOLOGI PADA HEWAN COBA

OLEH :
KELOMPOK 3/VI C
1. UDIYANA MANDALA (151113)
2. I PUTU DARMAYANA (151114)
3. NI WAYAN RYAS MEYRIANTI (151115)
4. PUTU VERINA KUMALA DEWI (151116)
5. NI PUTU YUNIKA CANDRA RISKIANA (151117)
6. NI NYOMAN ANTIKA SARI (151118)
7. NI LUH AYU SARINI (151119)
8. NI LUH GEDE PRAMITHA SARI (151120)
9. PUTU DEVI WULANDARI (151121)
10. I.G.A.A DEWI DHARMAYANTI (151122)
11. NI KADEK DWI ANGGRAENI (151123)
12. PUTU ARISNANDA DEVITASARI (151124)

AKADEMI FARMASI SARASWATI DENPASAR


2017
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Memahami efek negative toksikan pada hewan coba.
II. DASAR TEORI

Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan
sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek teraupetis obat
berhubungan erat dengan efek dosisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup
tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme. Toksikologi adalah studi
mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup.
Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh
yang sering terpajang serta efek yang di timbulkannya.
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun
(bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan
racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada
umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di
tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan
dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya
mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup
untuk menghasilkan manifestasi toksik. Kasus keracunan akut lebih mudah dikenal daripada
keracunan kronik karena biasanya terjadi mendadak setelah mengkonsumsi sesuatu. Gejala
keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat
kemungkinan keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, diare,
konvulsi, koma, dansebagainya. Gejala yang mengarah kesuatu diagnosis keracunan
sebanding dengan banyaknya jumlah golongan obat yang beredar. Faktor utama yang
mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap
bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi
pemaparan. Menurut waktu terjadinya keracunan dibagi menjadi :

1. Keracunan kronis : Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul
perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah
pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil. Pemeriksaan luar tampak
keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenic),
keratosis telapak tangan dan kaki (keratosis arsenic). Kuku memperlihatkan garis-
garis putih (Mees lines) pada bagian kuku yang tumbuh.
2. Keracunan akut : Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya
terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Pada keracunan akut
biasanya mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena
itu harus diingat adanya kemungkinan keracunan pada sakit mendadak.
Pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda dehidrasi, dan Pemeriksaan dalam
ditemukan tanda iritasi lambung, mukosa berwarna merah, kadang-kadang
dengan perdarahan (fleas bitten appearance)

Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan
uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang
timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya
kematian hewan uji. Jadi, dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok
ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif
(gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang paling sering
digunakam untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal
tengah (LD50) atau dosis toksik tengah (TD50).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara
statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan
atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji. Daya toksisitas suatu bahan
toksik biasanya dihitung dari nilai LD50. Dosis tersebut menggambarkan konsentrasi bahan-
bahan kimia yang dapat disebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang di uji.
Nilai LD50 digunakan untuk mengelompokkan dosis toksik dari bahan kimia yang baru
diproduksi. Hasil dari uji LD50 dari bahan kimia biasanya bervariasi untuk setiap spesies
hewan dan laboratorium penguji, sehingga nilai LD50 tersebut biasanya hanya merupakan
perkiraan. Dalam melakukan uji LD50 ada beberapa syarat yang harus ditaati dan syarat
tersebut cukup sulit dilakukan untuk laboratorium yang kurang berpengalaman dalam
melakukan uji LD50. Syaratnya adalah :

1. Bahan kimia/bahan obat yang diuji


2. Penggunaan hewan uji
3. Rute aplikasi
4. Waktu
5. Kondisis pemeliharaan
6. pengamatan

III. METODE PERCOBAAN


1. Alat yang digunakan :
Alat timbangan
Spuit injeksi
Box tempat hewan coba
Tabung reaksi
stopwatch
2. Bahan yang digunakan :
Sulfonamide (HIT)
3. Hewan coba :
Mencit
4. CARA KERJA
1. Disemprotkan DDT/Baygon kedalam tabung reaksi dan diambil
dengan menggunakan spuit sebanyak 1 ml dan 0,5 ml
2. Disiapkan 2 ekor mencit. Kemudian, sebelum diberi perlakuan
diamati salivasi, pernafasan, refleks mata, sikap, denyut nadi
dan rangsangan nyeri.
3. Mencit 1 di injeksikan DDT (Baygon) secara peroral sebanyak
1 ml. Kemudian amati yang dialami oleh mencit setiap 10
menit.
4. Mencit 2 di injeksikan DDT (Baygon) secara per oral sebanyak
0,5 ml. kemudian amati yang dialami oleh mencit setiap 10
menit.
5. Dilakukan pengamatan terhadap efek, dan bandingkan gejala
yang dialami oleh mencit 1 dan 2.

IV. HASIL PERCOBAAN


1. Sebelum perlakuan
Perlakuan yang diberi Mencit I Mencit II

Salivasi negatif negatif

Pernapasan 150/menit 110/menit


Refleks mata positif positif

Sikap hiperaktif hiperaktif

Denyut nadi 157/menit 210/menit

Rangsangan nyeri positif positif

2. Setelah perlakuan
a. Mencit I (0,5 ml DDT p.o)

Perlakuan yang Menit ke-


diberi 10 20 30
Respirasi 95/menit 70/menit 47/menit
Salivasi Negative Negative Negative
Refleks mata Positif Positif Positif
Nyeri Positif Positif Positif
Nadi 91/menit 120/menit 70/menit
Sikap Hipoaktif Aktif Aktif

b. Mencit II ( 1 ml DDT p.o)

Perlakuan yang Menit ke-


diberi 10 20 30
Respirasi 70/menit 65/menit 46/menit
Salivasi Negative Negative Negative
Refleks mata Positif Positif Positif
Nyeri Positif Positif Positif
Nadi 92/menit 158/menit 56/menit
Sikap Hipoaktif Aktif Hipoaktif

V. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji toksisitas pada hewan coba.
Daya toksisitas suatu bahan toksik biasanya dihitung dari nilai LD50 (lethal dose
50%), dosis tersebut mengambarkan konsentrasi bahan-bahan kimia yang dapat
menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji. Kali ini hewan
coba yang digunakan adalah mencit sebanyak 2 ekor, sedangkan bahan kimia
yang kami gunakan adalah DDT (baygon cair) yang diberikan kepada mencit
secara per oral. Dosis toksik LD50 dari baygon terhadap mencit dengan rute
pemberian per oral adalah sekitar 100 mg/kg BB.
Sebelum melakukan percobaan tersebut, kedua hewan coba ditimbang
beratnya dan dilakukan perlakuan seperti uji refleks mata, salivasi, denyut nadi,
pernapasan, sikap dan rangsangan rasa nyeri. Setelah dilakukan pengujian
tersebut diperoleh hasil dimana salivasi kedua hewan negative, refleks mata
positif, sikap yang hiperaktif, serta rangsangan rasa nyeri yang positif. Sedangkan
untuk berat badan, pernapasan dan denyut nadi kedua hewan memiliki perbedaan
yang cukup signifikan, dimana pada hewan coba pertama memiliki berat badan
24,9 gram, denyut nadi 157/menit dan pernapasan 150/menit sedangkan pada
hewan coba kedua memiliki berat badan 25,1 gram, denyut nadi 210/menit dan
pernapasan 110/menit. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian pada kedua
hewan coba, yaitu mencit pertama diberikan baygon cair sebanyak 0,5ml secara
per oral dan mencit kedua diberikan baygon cair sebanyak 1ml secara per oral.
Lalu diamati gejala dan perilaku yang dialami mencit setiap 10 menit selama 30
menit.
Perubahan yang terjadi pada mencit sudah mulai terlihat pada menit ke-10
yang ditandai dengan menurunnya respirasi serta denyut nadi pada kedua mencit.
Selain itu perubahan yang lain juga dapat dilihat dari perubahan sikap mencit
menjadi hipoaktif. Hal tersebut terjadi karena bahan kimia (baygon cair) telah
bereaksi pada tubuh mencit. Baygon memiliki kandungan bahan aktif d-allethrin
dan transflutrin yang masing-masing sebesar 0.1% dan 0.028% (Joharina, 2014),
baygon akan menghasilkan karbon monoksida (CO) saat dibakar ataupun
disemprot, CO mampu berikatan dengan Hemoglobin (Hb) darah sebesar 250 kali
lebih cepat dibandingkan O2, yang mana dari ikatan tersebut akan membentuk
CarboxyHemoglobin (COHb) yang berakibat menghalangi fungsi Hb dalam
mendistribusikan oksigen ke seluruh sel tubuh. Akibatnya jaringan tubuh tidak
mendapat suplay oksigen yang cukup (Aryani, 2011). Sehingga baygon yang
masuk ke dalam tubuh mencit menyebabkan mencit mengalami hipoksia
(kekurangan oksigen didalam jaringan tubuh). Keadaan yang menyebabkan
penurunan transportasi jumlah oksigen ke jaringan tersebut akan diikuti dengan
meningkatnya kecepatan produksi sel darah merah (Asmadi, 2008). Sehingga
pada menit ke-20 denyut nadi dari kedua mencit mengalami kenaikan sedangkan
respirasi dari kedua mencit kembali mengalami penurunan, karena denyut nadi
mencit meningkat akan menyebabkan perubahan sikap mencit yang menjadi lebih
aktif.
Tetapi pada menit ke-30 respirasi dan denyut nadi kedua mencit
mengalami penurunan, sedangkan sikap kedua mencit berbeda yaitu mencit
pertama tidak mengalami penurunan dan mencit kedua mengalami penurunan
menjadi hipoaktif. Hal tersebut diduga karena baygon sudah menyebar keseluruh
tubuh sehingga tubuh mencit menjadi lemas (hipoaktif) karena kadar oksigen
dalam tubuh mencit semakin berkurang dan denyut nadinya semakin melemah.
Efek toksik yang dapat ditimbulkan pestisida tersebut adalah depresi pernafasan,
hipersalivasi, penurunan kesadaran, penurunan aktivitas motoric, mengantuk,
hingga kematian. Tetapi kedua mencit tidak mengalami hipersalivasi, hanya
mengalami depresi pernapasan, penurunan aktivitas motoric serta penurunan
kesadaran. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis yang diberikan
terhadap hewan coba maka semakin besar efek toksiknya.

VI. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar dosis
yang diberikan terhadap hewan coba maka semakin besar efek toksiknya. Hal
tersebut dapat dilihat dari perubahan yang dialami mencit, yaitu menurunnya
respirasi, denyut nadi, dan sikap. Karena efek toksik yang dapat ditimbulkan
pestisida tersebut adalah depresi pernafasan, hipersalivasi, penurunan kesadaran,
penurunan aktivitas motoric, mengantuk, hingga kematian.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Aryani R., R. Kurniati, dan S. Rahmawati. 2011. Pengaruh Pemakaian Obat
nyamuk Elektrik Berbahan Aktif D-Allethrin Terhadap Sel Darah Mencit.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Joharina, A. S., dan S. Alfiah. 2014. Anlisis Deskriptif Insektisida Rumah Tangga
Yang Beredar Di Masyarakat. Jurnal Vektora 4 (1): 23-32.

You might also like