You are on page 1of 20

REFERAT

Benign Prostat Hyperplasia (BPH)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Arif Budi Satria, M.Kes, Sp.B

Disusun Oleh :
Rismiati
BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD KABUPATEN SUKOHARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
REFERAT
Benign Prostat Hyperplasia (BPH)

Oleh :

Rismiati

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Stase Ilmu Bedah Program

Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada September,2016

Pembimbing

dr. Arif Budi Satria, M.Kes, Sp.B (................................)

Dipresentasikan di Hadapan

dr. Arif Budi Satria, M.Kes, Sp.B (................................)


Disahkan Oleh

dr. Donna Dewi Nirlawati (.................................)

BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan
pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia
sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan
sel-sel epitel kelenjar prostat1,2,3
Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) yang bergejala pada pria berusia 4049 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini
meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 5059 tahun prevalensinya
mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka
kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit
besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (19941999) terdapat
1040 kasus.1

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang


menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli
dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction
(BPO)1,5. Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli
maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun
bawah.
Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk
mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat
yaitu pembedahan.1

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk
mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat5. Kecurigaan suatu keganasan pada
pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma
prostat sebesar 33%.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI PROSTAT
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk
seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini
menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar
dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya
2 cm dan panjangnya 3 cm dengan lebarnya 4 cm, dan berat 20 gram.

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus : 3


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

B. FISIOLOGI PROSTAT

Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama


sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen.
Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu
dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase
asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol. 3

C. DEFINISI

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana


kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar
prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada
usia pertengahan atau lanjut. 4
D. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2)
Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel
stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5)
Teori Stem sel.5
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
di dalam sel prostat oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. 5
b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone
relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan
dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini
adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan
testosterone menurun, tetapi sel sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. 5
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara
intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun
stroma. 5
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis
kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga
hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.1
e. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada
kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada
hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat.
Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak
tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit
yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya
androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat
yang normal.

E. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan
kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel- sel
kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim 5 reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada
buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatimus. 5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. 5

F. MANIFESTAS KLINIK

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5


Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :

Obstruksi Iritasi

Hesistansi Frekuensi

Pancaran miksi lemah Nokturi

Intermitensi Urgensi

Miksi tidak puas Disuria

Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang terjadi,


jika ada disebabkan oleh
Terminal dribbling (menetes)
ketidakstabilan detrusor sehingga
Volume urine menurun terjadi kontraksi involunter.

Mengejan saat berkemih

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia


prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu:

Volume kelenjar periuretral

Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot


buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli
mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi
yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus


antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-
obatan yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)

2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas


seksual/ infeksi prostat)

3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan


kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-)

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan


penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa
sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring
System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta
untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat.
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas5

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi


antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).

c. Gejala di luar saluran kemih

Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit


hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner &
Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok


dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat


lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50
ml tetapi kurang dari 100 ml.

Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml.

Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

G. PEMERIKSAAN FISIK

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat


memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain
sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :

Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal

Adakah asimetri

Adakah nodul pada prostat

Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat
diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal, permukaan
licin dan konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan
pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila
sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada
pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-
buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi.
Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan
sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus1.
2) Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari
100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi
pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan
mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka
normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai
sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 8
ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium 5,7,9:


a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein
atau glukosa.
b.Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal
kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi.
d.Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi 9
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot hampir
murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola fibroadenomyomatous
hyperplasia.

3.Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:


a. Foto polos5
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli yang
penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)5,7,10
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat.
Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada
layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal
tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk memandu
jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa
potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy
terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
Metode step planimetry. Yang menghitung volume rata-rata area horizontal
diukur dari dasar sampai puncak.
Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi (H/height) ,lebar
(W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus : (H x W x L)
c. Sistoskopi 7,11
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah solusi
numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang. Tabung, disebut
sebuah cystoscope , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu dokter
melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini memungkinkan
dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan
derajat obstruksi.
d. Ultrasonografi trans abdominal 10,11
Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran
bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona
transisi hipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer. Batas yang
memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah surgical capsule.
USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun
kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
e.Sistografi buli11

4. Pemeriksaan lain5,12 :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah
miksi
Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang
lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin.
Post-void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih
setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan
kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering
menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan
sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.

I. KOMPLIKASI
Retensi urine akut ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi
kandung kemih, nyeri suprapubik
Retensi urine kronik residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak
nyeri
Infeksi traktus urinaria
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal

J. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula
yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain
karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi,
(2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat
dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka TUMT
waiting adrenergik TUBD
Stent uretra
Penghambat Endourologi
TUNA
reduktese

Fisioterapi 1. TURP
Hormonal
2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi

a. Watchful waiting 5
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4)
kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-
obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume
prostat sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergik . 5,
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu untuk
meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin
(Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan
perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran
prostat.
2) Penghambat 5 reduktase 5
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5
reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis
protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara
langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25%
perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.

c. Terapi Invasif Minimal


Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedah an
1) Microwave transurethral.
2) Transurethral jarum ablasi.
3) Thermotherapy dengan air.
d. Bedah
1) Operasi transurethral. 5,11,13,16,17
2) Open surgery. 5,12
5, 7,11
3) Operasi laser
a) Interstitial laser coagulation.
b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).
e. Kontrol berkala 5

Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian
skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
penyulit.
BAB III

KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada


populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah
karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan
dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksidan
gejala iritatif.

Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah


konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan
tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat.
Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartzs Principles of Surgery 8 th


Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam:
Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.

3. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :


Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.

4. Purnomo, Basuki B. Dasar Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto.

5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa


aksara, Jakarta ; 161-703.

6. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas


Padjajaran ; 2002: 203-75.

7. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan. EGC.
1994.

8. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :


Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17

9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah,
EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.

10. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.


Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.

You might also like