You are on page 1of 22

ASUHAN KEPERAWATAN DIC

2. 1 Pengertian
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau
fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling
umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI
dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga
mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. ( Brunner & Suddarth, 2002)
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang
oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan
protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi
perdarahan yang berlebihan.

2.2 Etiologi
Hal hal yang dapat memyebabkan DIC :
1. Fetus mati dalam kandungan
2. Abortus
3. Trauma Bisa ular
4. Syok
5. Infeksi
6. Anoksemia
7. Asidosis
8. Perubahan suhu
9. Autoimun
10. Sirkulasi extrakorporeal
11. Keganasan
12. Hemolisis
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi,
dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
4. Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC: :
5. Penderita cedera kepala yang hebat
6. Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
7. Terkena gigitan ular berbisa

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 1


2.3 INSIDEN KASUS
1. Frekuensi
DIC bisa terjadi pada 30%-50% pasien dengan sepsis. Selain itu diperkirakan DIC terjadi
1% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika Serikat kira-kira terjadi 18.000
kasus DIC pada tahun 1994.
2. Mortalitas dan Morbiditas
Mortalitas dan morbiditas tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang diderita dan
juga tingkat keparahan koagulopati. Tanda yang konkrit dan spesifik dari DIC sulit diamati,
dibawah ini bebrerapa contoh tingkat kematian pada penyakit yang disertai DIC:
a. Idiopathic purpura fulminans yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian
18%
b. Infeksi pada aborsi yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian 50%
c. Pada keadaan trauma, pasien dengan DIC mempunyai angka kematian 2 kali lebih tinggi
daripada yang tidak berhubungn dengan DIC.
d. Pada studi terbaru yang dilakukan oleh Japanese Association for Acute Medicine
(JAAM), krietria diagnosis untuk DIC memperlihatkan bahwa pasien sepsis dengan DIC
mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada pasien trauma dengan DIC (34,7% :
10.5%)
3. Jenis Kelamin
Insiden kejadian sama antara laki-laki dan perempuan.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 2


2.4 Patofisiologi

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 3


2.4.1 Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara
sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang,
disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC.
Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan
deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai
organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan
platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem
fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya
fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan.
Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang
bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur
utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor
pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem
antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.
Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga
menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah.
Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar
inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi
peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak
membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan
model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.

2.4.2 Depresi Prokoagulan


DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya.
Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula
penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan
darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 4


Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya
bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang
relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini
dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh
faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang
peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari
sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa
faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor
pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam
membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien
DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin,
degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi
serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan
sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein
C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis
factor-alpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen
pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan
darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa
protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang
berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan
tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor
pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam
plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian
dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh
jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 5


inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang
mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC
dan kelainan koagulasi di masa depan.

2.4.3 Defek Fibrinolisis


Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,
karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan
bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator
Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan
antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga
fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya
DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis.
Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-
mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi
berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus
akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan
kematian.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang
terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit
gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi,
dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.

2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SPESIFIK


DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak
ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa tes
yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 6


Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
1. D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur fibrin
yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi
dibanding dengan keadaan normal.
2. Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses
pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor pembekuan yang
diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin atau
factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang
memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.
3. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah.
Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pemnekuan darah.
Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh
menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
4. Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah dan
sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC,
namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk menegakkan diagnose.
5. Hapusan Darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai dengan pewarna khusus.
Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel darah
merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan
tidak normal pada pasien dengan DIC.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 7


Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
(International Society on thrombosis and Hemostasis)
Skor atau Skala 0 1 2 3
Jumlah Platelet >100 <100 <50
(x109/L)
PT (detik) <3 >3 but <6 6
Fibrinogen(g/L) >1 <1
Fibrin-related Tidak Meningkat Peningkatan
markers* meningka sedang yang
(meningk t tajam
at)
TOTAL Jika 5, overt DIC- tes diulang setiap hari. Jika <5, non-overt DIC tes
diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan penanda yang ditegakkan
untuk tes spesifik.
(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006, 6)

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya
KID. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian
pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
2.7.1 Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan,
baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga
banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada
pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
1. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
2. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
3. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma
gagal nafas
Dosis:

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 8


100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis
selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2.7.2 Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan
hanya kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan
perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya
berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi gangguan
seluruh faktor pembekuan.
2.7.3 Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal.
Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
Dosis:
n Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3
5 hari.
n rumus:
1. 1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
2. AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
2.7.4 Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis
sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi akan
semakin berat.
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang
mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut,
sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.

Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah
sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan
invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 9


pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api
kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis
jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi
trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni
heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan
mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi,
namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu
mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal
heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan
tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian
bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni
menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin
parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Adanya faktor-faktor predisposisi:

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 10


a. Septicemia (penyebab paling umum)
b. Komplikasi obstetric
c. SPSD (sindrom distress pernafasan dewasa)
d. Luka bakar berat dan luas
e. Neoplasia
f. Gigitan ular
g. Penyakit hepar
h. Beda kardiopulmonal
i. Trauma

3.1.2 Pemeriksaan fisik:


1) Perdarahan abnormal pada semua system dan pada sisi prosedur invatif
a. kulit dan mukosa membrane
1. Perembesan difusi darah atau plasma
2. Purpura yang teraba pada awalnya di dada dan abdomen
3. Bula hemoragi
4. Hemoragi subkutan
5. Hematoma
6. Luka bakar karena plester sianosis akral ( estrimitas berwarna agak kebiruan, abu abu,
atau ungu gelap )
b. sistem GI
1. Mual dan muntah
2. Uji guayak positif pada emesis atau aspirasi
3. Nasogastrik dan feses
4. Nyeri hebat pada abdomen
5. Peningkatan lingkar abdomen
c. sistem ginjal
1. Hematuria
2. Oliguria
d. sistem pernafasan
1. Dispnea
2. Takipnea
3. Sputum mengandung darah
e. sistem kardiovaskuler
1. Hipotensi meningkat dan postural
2. Frekuensi jantung meningkat
3. Nadi perifer tidak teraba
f. sistem saraf perifer
1. Perubahan tingkat kesadaran

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 11


2. Gelisah
3. Ketidaksadaran vasomotor
g. sistem muskuloskeletal
1. Nyeri : otot,sendi,punggung
h. Perdarahan sampai hemoragi
1. Insisi operasi
2. Uterus post partum
3. Fundus mata perubahan visual
4. Pada sisi prosedur invasif : suntikan, IV, kateter arteral dan selang nasogastrik atau
dada, dll.
2) Kerusakan perfusi jaringan
a. Serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, sakit kepala
b. Ginjal : penurunan pengeluaran urin
c. Paru : dispnea dan orthopnea
d. Kulit : akrosianosis ( ketidakteraturan bentuk bercaksianosis pada lengan perifer dan kaki
)

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 12


3.3 Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi
sekunder.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya
pembekuan darah.
c. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
d. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah dan tepat
fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
e. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan
syok, hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
f. Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa
aspek kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
g. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
h. Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan.
3.4 Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan :
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder.
Hasil yang diharapkan:
a. Menunjukan tidak ada manifestasi syok
b. Menunjukan pasien tetap sadar dan berorientasi
c. Menunjukan tidak ada lagi perdarahan
d. Menunjukan nilai-nilai laboraturium normal
No Intervensi Rasional
1. Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tandaUntuk mengidentifikasi indikasi-
vital, dan perubahan sisi baru dan potensial. indikasi kemajuan atau
penyimpangan.
2. Mulai kewaspadaan pendarahan Untuk meminimalkan potensial
a. Kewaspadaan apabila ada resiko terhadap perdarahan lebih lanjut.
perdarahan (jumlah trobosit kurang dari
50.000/CU mm23)
1. Tempatkan tanda kewaspadaan perdarahan di
atas tempat tidur klien, sehingga petugas
perawatan kesehatan lainnya mengetahui
adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2. Pertahanan semua sisi fungsi selama 5 menit.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 13


3. Pantau hasil pemeriksaan koagulasi.
4. Berikan transfuse darah seperti yang diminta
dan sesuai dengan penatalaksanaan medis.
5. Instruksikan klien untuk menhindari aktivitas
fisik berlebih.
6. Tes gualak untuk semua feses dan muntahan
terhadap darah.
7. Inspeksi urine terhadap heaturia nyata.
8. Periksa warna dan konsistensi feses. Feses
hitam seperti menunjukkan perdarahan GIT.
9. Inspeksi kulit, rongga oral dan konjungtiva
setiap hari dan catat luasnya ptekiacdan memar
bila ada.
10. Gunakan pencukur jenggot listrik sebagai
pengganti pisau cukur.
11. Gunakan sikat gigi berbulu halus untuk
menyikat gigi.
12. Hindari pengukuran suhu rektal dan tindakan
enema.
13. Hindari aspirin dan berbagai produk yang
mengandung aspirin.
14. Instruksikan klien untuk berjalan dengan
menggunakan alas kaki.
15. Selama menstruasi, catat jumlah pembalut yang
digunakan.
b. Kewaspadaan bila ada resiko terhadap
hemoragi spontan (jumlah trombosit kurang
dari 20.000/CU mm23).
1. Tempatkan tanda kewasfdaan perdarahan di
atas tempat tidur klien, sehingga petugas
perawatan kesehatan lainnya mengetahui

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 14


adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2. Berikan pelunak feses (bila tes Guaiak
negative).
3. Instruksikan klien untuk menghindari meniup
tau batuk keras.
4. Pertahankan tirah baring klien untuk
menghindari trauma yang tidak diinginkan.
5. Pertahankan posisi kepala, tempat tidur
ditinggikan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan resiko terjadinya hemoragi
intrakranial.
6. Pantau tanda vital, warna kulit dan suhu, nadi
pedalis, status mental, dan bunyi paru setiap 4
jam.
7. Setiap 2-4 jam, anjurkan klien membalik
badan, napas dalam dan latihan gerak perlahan.
8. Gunakan kumur perawatan mulut, sebagai
pengganti sikat gigi.
9. Hindari penggunaan pencuci mulut komersial.
Gunakan larutan salin atau campuran natrium
bikarbonat dan hydrogen peroksida.
Pertahankan pelumas atau pelembab kulit dengan
lotion.

2. Diagnosa keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya
pembekuan darah.
Hasil yang diharapkan :
Kebutuhan oksigen klien terpenuhi
No. Intervensi Rasional

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 15


1. Posisikan klien agar ventilasi udara efektif. Untuk meningkatkan oksigenasi
2. Berikan oksigen dan pantau responnya.
yang adekuat antara kebutuhan
3. Lakukan pengkajian pernapasan dengan sering.
4. Kurangi kebutuhan oksigen dengan menurangi dan suplai.
aktivitas yang berlebih.
5. Kendalikan stimulus dari lingkungan.

3. Diagnosa keperawatan
Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
Hasil yang diharapkan :
Rasa nyeri yang dialami klien berkurang
No. Intervensi Rasional
1. Kaji lokasi, kualitas dan intensitas nyeri, gunakanMengetahui tingkat nyeri klien
skala tingkat nyeri. untuk mengetahui tindakan
2. Baringkan klien pada posisi yang nyaman, berikan
selanjutan.
penyangga bantal untuk mencegah tekanan
pada bagian-bagian tubuh tertentu.
3. Bantu memberikan perawatan ketika klien
mengalami perdarahan hebat atau rasa tidak
nyaman.
4. Pertahankan lingkungan yang nyaman.
5. Berikan waktu istirahat yang cukup, buat jadwal
aktivitas dan pemeriksaan diagnostik, bila
memungkinkan, sesuaikan dengan toleransi
klien.
6. Bantu klien dengan pilihan tindakan yang nyaman
seperti musik, imajinasi atau distraksi lainnya.
7. Berikan analgesik sesuai order dokter dan kaji
keefktifannya.

4. Diagnosa keperawatan
Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah dan tepat
fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
Kriteria Hasil Interfensi Keperawatan
Mempertahankan status 1. Kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 16


nemodinamik 2. Kaji dan pantau jantung terhadap frekuensi dan irama jantung.
yang adekuat. 3. Evaluasi pengeluaran urin setiap jam (jumlah dan berat jenis).
4. Kaji bunyi napas setiap 1 jam.
5. Kaji kualitas dan keberadaan nadi perifer setiap 4 jam.
6. Pertahankan masukan dan pengeluaran yang akurat.
7. Berikan cairan IV, sesuai intruksi.
8. Berikan produk-produk darah sesuai intruksi.
9. Evaluasi nilai-nilai hasil laboraturium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT,
PTT, jumlah platelet produk solit fibri, fibrinogen dan masa
pembekuan.
10. Pertahankan tirah baring.

5. Diagnosa keperawtan
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok,
hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil Interfensi Keperawatan
Kulit akan tetap utuh, 1. Kaji semua permuakaan kulit setiap 4 jam.
tanpa ada bagian 2. Angkat, periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan,
yang mengalami setiap 4-8 jam sesuai intruksi.
memar atau lecet. 3. Atur posisi pasien setiap 2 jam.
4. Evaluasi semua keluhan-keluhan.
5. Periksa jumlah SDP terhadap potensi inveksi.
6. Beri obat sesuai intruksi, untuk member rasa nyaman.
7. Hindari fungsi berlebihan untuk keperluan pemeriksaan
laboraturium, gunakan aliran arterial atau akses IV pada
pembuluh besar untuk pengambilan darah.
8. Gunakan bantalan restrain yang empuk jika diperlukan.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 17


9. Untuk keamanan, bantu semua gerakan untuk turun dari tempat
tidur.
10. Lakukan hygiene oral tiap 4 jam.
11. Kaji semua orificium terhadap adanya hemoragi atau memar.

6. Diagnosa keperawatan
Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek
kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
Hasil yang diharapkan :
Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat
ditangani.
Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
No. Intervensi Keperawatan Rasional
1. Mandiri Indikator derajat ansietas/stress misalnya
Catat petunjuk perilaku, misalnya gelisah, pasien merasa tidak dapat terkontrol di
peka rangsang, kurang kontak mata, rmah, kerja atau masalah. Stress dapat
perilaku menarik perhatian. gangguan fisik juga reaksi lain.
2. Dorong menyatakan perasaan, beri umpanMembuat hubungan terapeutik, membantu
balik. klien mengidentifikasi penyebab
stress.
3. Akui bahwa masalah ansietas dan masalahValidasi bahwa perasaan normal dapat
mirip dengan diekspresikan orang lain, membantu menurunkan stress.
tingkatkan perhatian mendengarkan
klien.
4. Berikan informasi yang adekuat dan nyataKeterlibatan klien dalam perencanaan
tentang apa yang akan dilakukan, keperawatan memberikan rasa control
misalnya tirah baring, pembatasan dan membantu menurunkan ansietas.
masukan per oral dan prosedur
tindakan yang lain.
5. Berikan lingkungan yang tenang untukMemindahkan klien dari stress luar,
istirahat. meningkatkan relaksasi, dan
membantu menurunkan ansietas.
6. Dorong klien atau orang terdekat untukTindakan dukungan dapat membantu klien

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 18


menyakan perhatian. untuk meringankan energi untuk
dituangkan pada penyembuhan.
7. Bantu klien untuk mengidentifikasi perilakuPerilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada
koping yang dilakukan pada masa lalu. penerimaan masalah atau stress saat
ini, meningkatkan rasa kontrol diri
klien.
8. Bantu klien belajar mekanisme koping paru,Belajar cara untuk mengatasi masalah dapat
misalnya teknik mengatasi stress dan membantu dalam menurunkan stress,
keterampilan berorganisasi. meningkatkan kontrol penyakit.
9. Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi sedatif,Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas
misalnya barbiturat, agen antiansientas dan memudahkan istirahat.
dan diazepam.
10. Rujuk pada perawat spesialis, pelayananDibutuhkan bantuan untuk meningkatkan
sosial atau penaasehat agama. kontrol dan eksaserbasi.

7. Diagnosa keperawatan
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
Hasil yang diharapkan
Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
No. Intervensi Keperawatan Rasional
1. Gunakan pendekatan yang tenangPenjelasan yang jelas dan sederhana dan
dan dapat menenangkan klien menggunakan istilah-istilah non-medis atau
sewktu memberi informasi. umum dapat mengurangi tingkat kecemasan
Beri dorongan untuk bertanya. dan rasa bingung klien. Rasa ansietas tersebut
dapat mengganggu kegiatan belajar dari
persepsi klien.
2. Jelaskan mengenai gambaranPenjelasan tentang apa yang diharapkan membantu
singkat tes, tujuan tes, mengurangi ansietas.
persiapan tes, dan perawatan
setelah tes.

8. Diagnosa keperawatan

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 19


Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan
Hasil yang diharapkan :
Peningkatan partisipasi klien dalam perawtan dirinya.
Perubahan gaya hidup.
No. Intervensi Keperwatan Rasional
1. Biarkan klien dan oreng terdekat mengungkapkanMempermudah penyelesaian
perasaannya. masalah dan
memungkinkan perawat
mengidentifikasi fase
kesedihan klien.
2. Hindari pemberian informasi yang bertubi-tubi selamaInteraksi terapi dapat membantu
fase awal proses berduka. Jawab pertanyaan perubahan individu untuk
khusus. Masukan informasi saat klien menerima informasi
menunjukan kesiapan mempelajari perawatan berlebihan.
diri.
3. Beri nomor telepon orang yang bias dimintai dukunganSistem pendukung kuat dapat
oleh klien dan kleuarga saat pulang. Ingatkan seperti keluarga penting
klien untuk melihat dirinya dengan pandangan untuk kemajuan klien
yang berbeda. Katakana pada klien bahwa ia dalam proses berduka.
harus menerima keadaannya sekarang.
4. Berikan penghargaan untuk mengekspresikan perasaan.Dukungan komunitas penting
Arahkan klien pada kelompok pendukung untuk meningkatkan
komunitas sesuai indikasi. kemajuan ke atah
penerimaan.
5. Pertahankan keluarga mendapatkan informasi tentangMembantu klien menyatukan
kemajuan klien. Libatkan keluarga secara sering kembali citra tubuh yang
dalam perawatan klien. baru.
6. Bila memungkinkan, biarkan klien untuk menentukanMeningkatkan kontrol diri.
pilihan dalam penawaran diri atau perawatan
higiene rutin.
7. Bantu klien memandang penyakit kronis atauJanji palsu menghambat
perubahan citra tubuh sebagai tantangan untuk kebutuhan individu untuk
pertumbuhan daripada situasi yang tidak mengungkapkan perasaan.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 20


mungkin. Gunakan istilah tantangan pertumbuhan
sebagai ganti kecacatan. Bila ada penyakit
terminal,tekankan bahwa penelitian untuk
pengobatan masih terus berlanjut dan hindari janji
palsu.
8. Lakukan rujukan psikiatrik sesuai peklaksanaan bilaBantuan profesional mungkin
perlu. perlu untuk membantu
klien yang maladaptive,
misalnya menyangkal
jangka panjang, menarik
diri dari sosial dan regresi.
Diagnosa banding yang harus diperhatikan :
1) Kekurangan vitamin K
2) Fibrinolisis sekunder
3) Hemofili

3.5 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
adalah kegiatan yang dilakukan dengan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan
anggota im kesehatan lainnya
Tujuan evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapi dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien:
a. Tidak ada manifestasi syok
b. Pasien tetap sadar dan berorirentasi
c. Tidak ada lagi perdarahan
d. Nilai-nilai laboraturium normal
e. Klien tidak merasa sesak lagi
f. Klien mengatakan rasa nyerinya berkurang
g. Kebutuhan volume cairan terpenuhi
h. Integritas kulit terjaga
i. Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat
ditangani.
j. Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
k. Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
l. Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
m. Klien ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya.

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 21


n. Gaya hidup klien berubah.

Daftar Pustaka
1. Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susanne G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC
2. Stitham,Sean.2008. Disseminated Intravascular Coagulation.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/healthtopics.html. Diakses tanggal 26 September
10.00 WIB
3. Levi M. Disseminated intravascular coagulation: What's new? Crit Care Clin.
2005;21(3):449-467.
4. DeLoughery TG. Critical care clotting catastrophies. Crit Care Clin. 2005;21(3):531-562.
5. Gando S. A multicenter, prospective validation of disseminated intravascular coagulation
diagnostic criteria for critically ill patients: comparing current criteria. Crit Care Med.
2006;34(3):625-631.
6. Farid. 2007. Ancaman Serius Koagulasi Intravaskuler Diseminasi. http://www.majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp. Diakses tanggal 27 September 2009 pukul 17.50 WIB

ASKEP DIC, AKHMAD JAFAR, S.KEP.,NS, 2012 Page 22

You might also like