You are on page 1of 14

Abuya Syaikh H.

Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy

Kelahiran

Syaikh Muda Waly al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji,
Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syaikh H.
Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat.
Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil
masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul Karim telah
lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di
Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri
seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak,
Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik
dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat
menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi
mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh
Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang
ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi
bulan purnama turun kedalam pangkuannya.

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di
Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku
Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda
Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau
lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.

Perjalanan Pendidikan

Syaikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,dan dasar
ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang
didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah
pesantren di Ibukota Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh
Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang
dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau
belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di
Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti
Pesantren al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar
yaitu Syaikh Mahmud. Di Pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang
masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu
Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan
gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara beliau dengan gurunya
tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jihar.
Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi
sebelumnya, ayah beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud,
meminta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting
meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam
masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi
beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali dari
Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah. Kejadian ini berawal dari kasus di kecamatan Blang
Pidie. Ada seorang ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang
bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah
dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di Ibukota
kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan
ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu
giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya
beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum.
Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang
berani berbeda pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk
melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syaikh H. Muhammad
Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syaikh H.Muhammad
Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari
di Pesantren Bustanul Huda.

Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah
kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi
Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng.
Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata Biarkan aku antarkan engkau sampai ke
Blang Pidie. Sesampainya di Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya
Syaikh Muda Waly biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong. Pada kali yang ketiga
ini Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan
anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar
ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda,
namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-
kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin
oleh Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syaikh H. Marhaban, Menteri Muda
Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari,
pada saat Syaikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang
dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut.
Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi
wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syaikh Muda Waly merasa bahwa syarahan yang
diberikan oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki.
Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syaikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau.
Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila
guru beliau Syaikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh
Muda Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari
pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang
ulama lain di Banda Aceh yaitu Syaikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di
Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan
lainnya. Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu al-Quran masih
kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri
tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu.
Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitan
kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan
dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah
Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu
dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan
memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan asrama temapat tinggal untuk
beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah habis,
maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi
memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syaikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk
mengangkat Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak
saat itu Syaikh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang,
sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya
antara jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk
mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal, beliau
kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin
masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng kepada Syaikh Muda Waly untuk belajar ke
sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan
al-Azhar Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi
Syaikh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar
Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah
menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad
Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam
School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra
Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syaikh Muda Waly ke pesantren tersebut
sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut.Beliau sama sekali
tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan
kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama
memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia
membantu Syaikh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih
kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar
dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan
:
1. Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan
memperdalm ilmu agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama
sperti ulama ulam besar lainnya.Tetapi rupanya ilmu agama yangdiajarkan di normal Islam amat
sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu
yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2. Di Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana
diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa
Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.

Di Normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga
tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga
disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau
begini lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah
beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga
berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin.
Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat
pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah Surau yaitu di Surau
Kampung Jao. Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang
ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di
baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat,
maka beliau membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin
bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang ke Surau itu untuk
menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, beliau mulai
dikenal dari satu Surau ke Surau yang lain dan dari satu Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi
beliau bukan orang Padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam
pandangan ummat Islam Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran
beliau dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh
masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.

Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah
keagamaan yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai
puasa Ramadan, hari raya Id al-Fitri dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum
tua dengan kelompok kaum muda.

Syaikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran dan pendidikannya, tentu saja
berpendirian dalam semua masalah tersebut seperti pendirian para Ulama Aceh sejak zaman
dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya dalam bidang Syariat dan Fiqh Islam tidak ada
bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi Ulama Aceh zaman dahulu seperti
syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh
Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i dan
antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari``at dan Fiqh Islam kecuali hanya
perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah
Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah
wanita menjadi raja.
Karena itulah maka semua masalah-masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syaikh Muda
Waly dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al Quran dan Hadist dan juga dari kitab kitab
kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota Padang dan mulai dikenal pula oleh
seorang Ulama besar di kota Padang, yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H.
Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jamaah di Padang. Murid dari pada
Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat ijazah ilmu agama dari
Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh
Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang
karena kegigihannya mempertankan `Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan mazhab Syafi`i
di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu
Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada
Syaikh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang family
beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof. Muhibbuddin Waly. Sejak
itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama
besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga
mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji
Rasul.

Kemudian Syaikh Muda waly juga berkenalan dengan Syaikh Muhammad Jamil Jaho. Maka
beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau
dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syaikh Jamil Jaho
adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syaikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya
oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh
Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan
Syaikh Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh Muda Waly tapi
pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh Muda Waly dengan berbagai ilmu
alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syaikh Muda Waly. Dari situlah,
Syaikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh
Muda Waly dinikahkan dengan putri Syaikh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang
putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syaikh H. Mawardi Waly.
Syaikh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah
Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan sebagai
madrasah dan tempat majlis ta`lim.

Apabila datang hari hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang
kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut
karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para
ulama lainnya apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan
Basri, menantu dari Syaikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri
beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ke tanah
suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-
nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan
waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram
antara lain Syaikh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau
mendapat ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.
Selama di Makkah Syaikh Muda Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin Al fadani, seorang
ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-
Mukarramah.

Pada waktu Syaikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat, beliau selalu
menziarahi kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang
menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. Tetapi pada
saat Syaikh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh
polisi, ingin memukul beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi
tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan
membiarkan beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di Madinah Syaikh Muda Waly
berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju
ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah.
Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke
Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat
apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal :
1. Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat
bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga
habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2. Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil
ijazah dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bualn
Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan
untuk beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan
Ramadhan .

Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan dari murid-murid beliau
serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar
Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly
maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya.
Dikalangan Ulama tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka,
sehingga dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh
Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi Ulama
dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda)
menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama dari kedua belah
pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Walaupun Syaikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal
yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan
batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan Tasauf sebagaiman yang telan
ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah
dan Syaikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku
Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly memilih Thariqat
Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada
seorang Ulama besar Tariqah di Sumatera Barat kala itu yaitu Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary
bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari
lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan
riyadhah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul
Ghany, beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan
berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi
kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah
mursyid dari Syaikh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk
mengembangkan Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah
beliau kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul
Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan
asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari
Aceh. Tetapi pada saat Jepang masuk ke Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan
pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan
mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun
di Padang lumpuh.

Pulang ke Aceh

Setelah Syaikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang
secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah s.w.t., perjalanan
pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat Ulama dan hamba Allah
yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang
beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk
mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat beliau dilahirkan, di
Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata
Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan Pesantren di desa
beliau sendiri.

Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari
Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili,
para teman dan masyarakat Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka
beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu
seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di
atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang
masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Lahan tempat mendirikan Musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan
jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada malam
selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya. Oleh karena itu, maka
beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat
menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh disebut dengan
rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau
membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran
400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi
sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan
juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga
pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau
Sumatra.

Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut :

Pertama : Darul-Muttaqin, di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah
sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah.
Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau
suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada
bulan Rabiul awal

Kedua : Darul `Arifin, dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah
berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia

Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syaikh
Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .

Keempat : Darus Salikin, dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar
penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.

Kelima : Darul zahidin, lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau
bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi
ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .

Keenam : Darul Ma`la, lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan
udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan .

Semua lokasi ini dinamakan oleh Syaikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul
kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang
senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba yang Zahid, mengutamakan akhirat
dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi
Allah maupun dalam pandangan masyarakat .

Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji.
Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini
merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak, para pelajar di pesantren ini
secara langsung berhadapan dengan kaum yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan
persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para
pelajar membahas masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama
Ahlussunnah wal Jamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan
masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga
menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan
kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya dapat di jawab oleh Syaikh Muda Waly dengan
jawaban ilmiah yang memuaskan.
Pendidikan Pesantren Darussalam

Di pesantren yang beliau bangun itu Syaikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu
agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, hari senin, dan malam senin. Pada
malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh
beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu
yang bermalam di pesantren ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi
Pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan luar
biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan batu-batu itu semuanya
berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya terdapat di pantai yang berada di dekat pesantren.
Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan
oleh Syaikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat
Naqsyabandiyah dan shalat Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa
malam mulai maghrib hingga larut malam.

Pada setiap bulan Ramadan Syaikh Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang
dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya Idul Fitri. Ada yang berkhalwat
selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan,
khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan
Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly terbagi kepada dua :

Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para Ulama
sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru
hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di
dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat
hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak
yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan
dikiri kanannya kita tidak melihatnya .

Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis.
Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk
pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj
Syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan
pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan
dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan
waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan
pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat
menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai
daerah.

Syaikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar
semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka
pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul
9.00 pagi setelah sarapan dan Shalat Dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang
terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami` dan
kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga menyediakan waktu bagi
siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam
mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat
beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan
penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak
mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang
sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit.
Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar
biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di
Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian
keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah Ulama-ulama terpandang
dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide
pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat
ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii.

Murid-murid Beliau :

1. al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh
Mirah, Bireuen.
2. al-Marhum Tgk. H. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra (Ma`hadal
Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3. al-Marhum Tgk. H. Muhammad Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4. Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut
Diniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen.
5. Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren
Safinatussalamah, Medan.
7. Teungku Adnan Mahmud pendiri Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8. al-Marhum. Tgk. H. Syaikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale)
mantan Menteri Muda era Sukarno.
9. al-MarhumTgk. H. Muhammad Isa Peudada, Bireuen.
10. al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11. al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh Barat.
12. al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13. Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14. al-Marhum Syaikh Jailani.
15. al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16. al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17. Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara.
18. Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19. Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20. Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21. Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22. Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23. Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu. Aceh Utara.
25. Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27. Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28. Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.

Karya Beliau

1. al-Fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa
beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama.
2. Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah.
3. Risalah Adab Zikir Ismuz Zat.
4. Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5. Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan
Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka, beliau menyebutkan :
Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh
Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan
Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena
beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah)
dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia
Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia
Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah
kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh
Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah
muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh
Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-
berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin
sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy,
gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan
Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama
Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang
melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat
harimau yang telah dipancung kepalanya.
Syaikh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi beliau
memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik
Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil
kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan barisan
perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah 1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee
mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik
Indonesia dan berperang menetang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati
dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid. Disamping itu juga diterangkan pula
hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan
menolong negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda
Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda
Republic Indonesia.

Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui
pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan
tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak diserahkan kepada
keponakannya yang juga merupakan seorang Ulama muda yang kemudian menjadi menantu
beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan
perjuanagan dari Sumatra Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara
kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan
kedaulatan Negara dari tangan penjajah..

Peristiwa Berdarah di Aceh

Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat
penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 / 21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di
Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan
Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan
salah seorang pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly
tidak bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah
terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.

Dalam hal ini para Ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syaikh Muda
waly, Syaikh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit
Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka mengetahui bahwa latar
belakang kejadian ini bukanlah hal yang dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal yang
dikaitkan dengan dunia semata. oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa
mengutuk pemberontakan tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama tersebut
berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syaikh
Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji
mengharamkan pemberontakan tersebut dan beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut
kesanggupan beliau. Para Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor
pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar
di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa
berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor
pada tahun 1957 untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan
Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan para ulama dari seluruh
Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu Presiden yang sah dengan prediket
Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.

Wafat Beliau

Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syaikh Muda Waly kembali kehadapan
Allah pada tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah
beliau di shalatkan oleh Ulama dan murid-murid beliau serta masyarakat yang terjangkau
kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat
minim di Aceh selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau
pimpin. Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau secara
bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh Jamaluddin Waly, Syaikh Mawardi
Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena
hampir semua putra beliau menjadi Ulama-ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam
mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi Ulama-ulama
yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat
dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai
silsilah keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat ini antara lain :

1. Pesantren LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu
Mudi)murid dari Syaikh Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA
sebelumnya)
2. Pesantren Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syaikh
H.Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3. Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan
(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
4. Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu
Daud(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
5. Pesantren Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H.
Usman Kuta Krueng (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6. Pesantren Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra
Syaikh Abdullah Hanafiah (murid Syaikh Muda waly dan pimpinan Pesantren tersebut
sebelumnya)
7. Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin
(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
8. Pesantren Darul Huda, Paloh Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa Ahmad (Abu
Mustafa Puteh, murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9. Pesantren Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban Adnan
(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud Bakongan)
10. Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid
Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11. Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat, dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nasir L.c
(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syaikh Muda waly)
12. Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi
Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh Ibrahim Lamno (murid Syaikh Abdul `Aziz,
Samalanga)
13. Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid
Syaikh Ibrahim Lamno)
Kesemua Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan
dengan Syaikh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh Muda Waly yang lebih
populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang Ulama yang sangat
berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang
Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah
menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga Allah melahirkan Syaikh Muda Waly
lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam umumnya. Amin ya Rabbalalamin.

Author by : Ijal Mantap

You might also like