Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirar Allah SWT karena hanya dengan limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-
pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah kami dapat membuat makalah presentasi PKL Kebutuhan Dasar
Manusia di RSUD Sunan Kalijaga Demak yang sederhana ini. Dengan tujuan memenuhi
tugas dari pembimbing kami yaitu Ibu Ns. Wahyuningsih, S. Kep selaku dosen mata kuliah
Kebutuhan Dasar Manusia II di STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG dan sebagai
bahan pembelajaran kami. Penyusunan makalah ini dibuat Penulis dalam rangka memenuhi
tugas Kebutuhan Dasar Manusia .
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Namun,
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew zaraath yang sebenarnya mencakup beberpa penyakit kulit lainya. Ternyata
bahwa berbagai diskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan
kusta yang kita kenal sekarang. (Kosasih dan Sri Linuwih, 2010. )
Nama lain kusta adalah the great imitor[pemalsu yang ulung]karena manifestasi
penyakitnya menyerupai penyakit kulit atau penyakit saraf lain, misalnya penyakit jamur.
Dalam target global WHO pada eradikasi kusta tahun [EKT] 2000 diharapkan
prevalensi penyakit kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
(Widoyono. 2011)
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Kusta
2. Tujuan Khusus
BAB II
KONSEP TEORI
A. Pengertian
B. Etiologi
C. Patofisiologi
M. Leprae adalah organisme tahan asam intrasel yang sangat sulit tumbuh dalam
biakan, tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo (trenggileng), kuman ini tumbuh lebih
lambat dari pada mikobakterium lain dan tumbuh paling subur pada suhu 320C sampai 340C,
yakni suhu kulit manusia dan suhu tubuh inti armadilo, seperti M. Tuberkulosis M. Leprae
tidak mengeluarkan toksin, dan virulensinya didasarkan pada sifat dinding selnya. Dinding
selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis sehingga imunisasi dengan basil
Calnette guerin sedikit banyak memberi perlindungan terhadap infeksi M. Leprae. Imunitas
seluler tercermin oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap penyuntikan ekstrak
bakteri yang disebut lepromin kedalam dermis.
Pada sebagian kasus, terbentuk antibodi terhadap respon antigen M. Leprae. Antibodi
ini biasanya tidak bersifat protektif, tetapi dapat membentuk kompleks imun dengan gen
antigen bebas yang dapat menyebabkan eritema nodosem, vaskulitis dan glomerulonefritis.
(Robbins dan Cotran. 2009).
Kusta tuberkuloid berawal dari lesi lokal yang mula mula datar dan merah, tetapi
kemudian membesar dan membentuk ireguler disertai indurasi, peninggian, tepi
hiperpigmentasi dan bagian tengah yang pucat dan cekung (penyembuhan disentral).
Kelainan saraf mendominasi gambaran kusta tuberkuloid. Saraf terbungkus oleh reaksi
peradangan granulomatosa dan, jika cukup kecil (misalnya cabang perifer), akan mengalami
kerusakan. Degenerasi saraf menyebabkan anastesi kulit serta atrofi kulit dan otot
menyebabkan pasien mudah mengalami trauma di bagian yang terkena, disertai kulit
pembentukan ulkus kulit indolen. Dapat terjadi kontraktur, paralisis dan autoamputasi jari
tangan atau kaki. Kelainan saraf wajah dapat menyebabkan paralisis kelopak mata, disertai
keratitis dan ulkus kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik, semua lesi memperlihatkan lesi
granulotoma mirip dengan lesi yang ditemukan pada tuberkulosis, dan basil hampir tidak
pernah ditemukan. Adanya granuloma dan ketiadaan bakteri mencerminkan imunitas sel T
yang kuat. Karena kusta memperlihatkan perjalanan penyakit yang sangat lambat, hingga
berpuluh puluh tahun, sebagian besar pasien meninggal bersama kusta dan bukan
disebabkan olehnya.
Kusta lepramatosa mengenai kulit, saraf perifer, kamera anterior mata, saluran napas
atas (hingga laring), testis, tangan dan kaki. Organ vital dan susunan saraf pusat jarang
terkena, mungkin karena suhu inti tubuh terlalu tinggi untuk tumbuhnya M.leprae. lesi
lepramatosa mengandung agregat magrofat penuh lemak (sel kusta), yang sering terisi oleh
masa basil tahan asam. Kegagalan menahan infeksi membentuk granuloma memcerminkan
rendahnya respon TH1. Terbentuk lesi makuler, papular, noduler diwajah, telingga,
pergelangan tangan, siku dan lutut. Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi nodular
menyatu untuk menimbulkan fasies leonina (muka singa) yang khas.sebagian besar lesi
kulit hipoestetik atau anestetik. Lesi dihidung dapat menyebabkan peradangan persisten dan
pembentukan duh yang penuh basil. Saraf perifer, terutama nervus ulnaris dan pereneus
dibagian yang dekat kulit, diserang mikobakteri disertai reaksi peradangan minimal.
Hilangnya sensibilitas dan kelainan kelainan trofik ditangan dan kaki mengikuti lesi saraf.
Kelenjar limfe memperlihatkan agregat magrofag berbusa didaerah parakorteks (sel T),
disertai pembesaran sentrum germinativum, pada penyakit tahap lanjut, agregat magrofag
juga terbentuk di pulpa merah limpa dan hati. Testis biasanya banyak mengandung basil,
disertai dektruksi tubulus seminiferus dan sterilitas. (Robbins dan Cotran. 2009).
D. Pathways Keperawatan
Memproduksi lesi
Syaraf perifer
Penurunan sensitivitas
G3 jalan nafas
Intoleransi aktivitas
Membentuk granuloma
Pada wajah,telinga,tangan,siku
Hiperfigmentasi,pucat,cekung
G3 intergitas kulit
Nyeri
E. Manifestasi Klinik
Magrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit didalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas magrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.
Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) orang itu.
Apabila SIS- nya tinggi. Magrofag akan mampu menfagosit M. Leprae. Dtangnya histiosit
ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanaya faktor kemotaktik.
Kalau dattangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, magrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah
menjadi sel datia langhans. Adanya masa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau runtuh, histiosid tidak dapat menghancurkan M. Leprae
yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi magrofag dan atau derivat derivatnya. Gammbaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada kuman atau hanya sedikit dan non solid.. pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepuidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis
yang jaringanya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur unsur tersebut.
Gambar 1. komplikasi
3. Pemeriksaan Serologik
G. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta. Proses
terjadinya cacat kusta dapat dilihat dari gambar dibawah ini.
luka
infeksi
luka
luka
buta
infeksi
infeksi
Mata lagophthalmos
Sensorik
otonom
motorik
anestesi
kelemahann
buta
Gambar 2. penatalaksanaan
H. Pengkajian Fokus
1. Boidata
Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat menyerang semua usia, jenis
kelamin, rasio, pria dan wanita 2,3 : 1,0, paling sering terjadi pada daerah dengan sosial
ekonomi yang rendah dan insidensi meningkat pada daerah tropis/ subtropics. Kaji pula
secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui tigkat sosial ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak penderita kusta.
2. Keluhan utama
Pasien sering dating ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan adanya bercak putih
yang tidak terasa atau dating dengan keluhan kontraktur pada jari- jari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada melakukan anamnesa pada pasien, kaji kapan lesi atau kontraktur tersebut, sudah berapa
timbulnya dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya.
Pada beberapa kasus ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah
klien pernah menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien
pernah menderita penyakit tertentu sebelumnya, pernahkan klien memakai obat kulit yang
dioles atau diminum ? pada beberapa kasus, reaksi beberapa obat juga dapat menimbulkan
perubahanwarna kulit dan reaksi elergi yang lain.perlu juga di tanyakan Apakah keluhan ini
pertama kali di rasakan. Jika sudah pernah,obat apa yang di minum? Teratur atau tidak.
4. Riwayat penyakt dahulu
Salah satu factor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh yang menurun.
Akibatnya m.leprae dapat masuk ke dalam tubuh . oleh karena itu perlu di kaji adakah
riwayat penyakit kronis atau penyakit lain yang pernah di derita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit kusta bukan penyakit keturunan,tetapi jika anggota keluarga atau tetangga
menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat tinggi terjadi. Perlu di kaji adakah
anggota keluarga lain yang menderita atau memiliki keluan yang sama, baik yang masi hidup
maupun sudah meninggal.
6. Riwayat psikososial
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini di sebabkan adanya
deformitas atau kecacatan yang di timbulkan. Oleh karena itu perlu di kaji bagaimna konsep
diri klaen dan respon masyarakat di sekitar klien.
7. Kebiasaan sehari- hari
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari perawat perlu mengkaji
setatus gizi pola makan/ nutrisi nklien . hal ini sangat penting karena factor gizi berkaitan erat
dengan siste imun. Apa bila sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktifitas dan
kemampuan klien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu. Di samping
itu,perlu dikaji aktivitas yang di lakukan klien sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya cidera akibat anestasia.
(Loelfia Dwi Rahariyani, 2009)
I. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
J. Intervensi Keperawatan
Tabel 1. intervensi
Tujuan dan Kriteria
No Hasil Intervensi Rasional
1. Kaji/catat warna lesi, 1. Memberikan inflamasi
Tujuan : perhatikan jika ada dasar tentang terjadi
Setelah dilakukan jaringan nekrotik dan proses inflamasi dan atau
tindakan kondisi sekitar luka. mengenai sirkulasi daerah
keperawatan proses2. Berikan perawatan khusus yang terdapat lesi..
inflamasi berhenti pada daerah yang terjadi 2. Menurunkan terjadinya
dan berangsur- inflamasi. penyebaran inflamasi pada
angsur sembuh. 3. Evaluasi warna lesi dan jaringan sekitar.
Kriteria : jaringan yang terjadi 3. Mengevaluasi
o Menunjukkan inflamasi perhatikan perkembangan lesi dan
regenerasi jaringan adakah penyebaran pada inflamasi dan
o Mencapai jaringan sekitar. mengidentifikasi
penyembuhan tepat 4. Bersihkan lesi dengan terjadinya komplikasi.
1. waktu pada lesi sabun pada waktu 4. Kulit yang terjadi lesi
direndam. perlu perawatan khusus
5. Istirahatkan bagian yang untuk mempertahankan
terdapat lesi dari tekanan kebersihan lesi..
5. Tekanan pada lesi bisa
maenghambat proses
penyembuhan.
Tujuan :
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan proses 1. Observasi lokasi, intensitas
1. Memberikan informasi
inflamasi berhenti dan penjalaran nyeri. untuk membantu dalam
dan berangsur-
2. Observasi tanda-tanda memberikan intervensi.
angsur hilang. vital. 2. Untuk mengetahui
Kriteria : 3. Ajarkan dan anjurkan perkembangan atau
Setelah dilakukan melakukan tehnik distraksi keadaan pasien.
tindakan
dan relaksasi. 3. Dapat mengurangi rasa
keperawatan proses
4. Atur posisi senyaman nyeri.
inflamasi dapat
berkurang dan mungkin. 4. Posisi yang nyaman dapat
nyeri 5.
berkurang Kolaborasi untuk menurunkan rasa nyeri.
dan beraangsur- pemberian analgesik sesuai 5. Menghilangkan rasa
2. angsur hilang. indikasi. nyeri.
1. Meningkatkan posisi
1. Pertahankan posisi tubuh fungsional pada
yang nyaman. ekstremitas.
2. Perhatikan 2. Oedema dapat
sirkulasi,
Tujuan : gerakan, kepekaan pada mempengaruhi sirkulasi
Setelah dilakukan kulit. pada ekstremitas.
tindakan 3. Lakukan latihan rentang 3. Mencegah secara
keperawatan gerak secara konsisten, progresif mengencangkan
kelemahan fisik diawali dengan pasif jaringan, meningkatkan
dapat teratasi dan kemudian aktif, pemeliharaan fungsi
aktivitas dapat4. Jadwalkan pengobatan dan otot/sendi.
dilakukan. aktifitas perawatan untuk 4. Meningkatkan kekuatan
Kriteria : memberikan periode dan toleransi pasien
Pasien dapat istirahat. terhadap aktifitas.
melakukan 5. Dorong dukungan dan 5. Menampilkan
aktivitas sehari-hari bantuan keluaraga/orang keluarga/orang terdekat
Kekuatan otot yang terdekat pada latihan. untuk aktif dalam
3. penuh perawatan pasien dan
memberikan terapi lebih
konstan.
K. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Progrm ini bertujuan untuk mengatasi resistensi despon yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunn angka putus obat, dan mnegeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Kosasih. I made Wisnu. Emmy S Sjamsoe Daili dan Sri Linuwih Menaldi. 2010. Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin Ed. 6. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jil 2. Ed. Revisi. Media Action Publishing.
Yogyakarta.
Rahariyani, Loelfia Dwi. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Integumen. EGC. Jakarta.
Robbins dan Cotran. 2009. Dasar Patalogis Penyakit. Ed. 7. EGC. Jakarta.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi , Penularan , pencegahan, dan
Pemberantasannya. Ed. 2. Erlangga. Semarang.