Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Latar belakang perlunya penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP), antara lain:
Dalam rangka lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab dipandang perlu adanya
pelaporan AKIP
Untuk melaksanakan pelaporan AKIP perlu dikembangkan Sistem AKIP
Sebagai wujud pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi
pemerintah dan dalam rangka perwujudan good governance telah dikembangkan
media pertanggungjawaban LAKIP
Laporan Akuntabilitas Kinerja : Dokumen yang berisi gambaran perwujudan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang disusun dan disampaikan secara
sistematik dan melembaga.
Indikator Kinerja Utama dikatan baik apabila IKU tersebut setidaknya mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
Specific (spesifik)
Measurable (dapat diukur)
Achievable (dapat dicapai)
Result Oriented (berorientasi kepada Hasil)
Relevan (berkaitan dengan tujuan dan sasaran)
LAKIP yang selama ini disusun dan disajikan secara terpisah dengan laporan
keuangan, harus disusun dan disajikan secara terintegrasi dengan laporan keuangan,
sehingga memberi informasi yang komprehensif berkaitan dengan keuangan dan
kinerja. Pentingnya LAKIP bermanfaat bagi dilaksanakannya Evaluasi Kinerja. Fungsi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), antara lain:
1. Media hubungan kerja organisasi
2. Media akuntabilitas
3. Media informasi umpan balik perbaikan kinerja
4. LAKIP sebagai Instrumen Peningkatan Kinerja Berkesinambungan:
Action, artinya LAKIP sebagai bahan untuk perbaikan kelembagaan,
ketatalaksanaan, peningkatan sumber daya manusia, akuntabilitas dan pelayanan
public.
Plan, artinya LAKIP sebagai sebagai bahan dalam menyusun Renstra, Rencana
Kerja Tahunan, Penetapan Kinerja untuk tahun yang akan dating.
Check, maksudnya LAKIP dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
atau kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Do, artinya LAKIP sebagai alat dalam melaksanakan, memantau, mengukur
kinerja kegiatan suatu instansi.
Hal-hal yang harus termuat dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP):
LAKIP menyajikan informasi kinerja berupa hasil pengukuran kinerja, evaluasi,
dan analisis akuntabilitas kinerja, termasuk menguraikan keberhasilan dan kegagalan,
hambatan/kendala, permasalahan, serta langkah-langkah antisipatif yang akan
diambil.
Disertakan uraian mengenai aspek keuangan yang secara langsung mengaitkan
hubungan antara anggaran negara yang dibelanjakan dengan hasil atau manfaat yang
diperoleh (akuntabilitas keuangan) .
Diuraikan juga secara singkat Renstra dan Renja tahun bersangkutan beserta
sasaran yang ingin dicapai pada tahun itu dan kaitannya dengan capaian tujuan, misi,
dan visi.
Adapun tujuan dari analisis kinerja, antara lain:
Mengenali kendala dan permasalahan yang dihadapi
Menilai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan output
Menilai efektivitas pencapaian hasil (outcome) terhadap rencana
Menilai apakah kualitas hasil telah memenuhi keinginan/kepuasan
stakeholders
Menilai apakah pencapaian output dan outcome sesuai dengan waktu yang
ditetapkan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) mendorong Instansi fokus pada
Pencapaian Sasaran. Dalam upaya Pencapaian Sasaran perlu sebuah Alat Ukur yang
dinamakan Indikator Kinerja. Indikator kinerja berupa :
Hasil (Outcome) : Bagaimana Tingkat pencapaian Kinerja yang diharapkan
Terwujud, berdasarkan Output (Keluaran) atas Kebijakan atau Program yang sudah
dilaksanakan
Keluaran (Output) : Bagaimana Produk yang Dihasilkan secara Langsung oleh
adanya Kebijakan atau Program, berdasarkan Input (Masukan) yang digunakan.
Standar bagi dasar melakukan Evaluasi Kinerja adalah:
Ketaatan (compliance) berkaitan dengan upaya audit, dengan
mempertanyakan sejauh mana transaksi oleh pemerintah telah sejalan atau sesuai
dengan ketentuan hukum atau peraturan perundangundangan;
Efisiensi (efficiency) berkaitan dengan sejauh mana instansi pemerintah telah
mencapai tingkat produktivitas optimum atas dasar sumber daya yang telah
digunakan;
Efektivitas (Effectiveness) berkaitan dengan sejauh mana Tingkat Pencapaian
Tujuan Kebijakan atas dasar Pemanfaatan Sumber Daya Publik.
Hasil Evaluasi kinerja diharapkan dapat memberikan feedback untuk:
Meningkatkan Mutu Pelaksanaan Pengelolaan Aktivitas organisasi ke arah yang
lebih baik;
Meningkatkan Akuntabilitas Kinerja organisasi;
Memberikan Informasi yang lebih Memadai dalam menunjang Proses
Pengambilan Keputusan;
Meningkatkan Pemanfaatan Alokasi Sumber Daya yang tersedia;
Sebagai Dasar Peningkatan Mutu Informasi mengenai Pelaksanaan Kegiatan
organisasi;
Mengarahkan pada Sasaran dan Tujuan organisasi.
Reference:
Permenpan Nomor 29 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Penetapan
Kinerja Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah
Referensi:
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Evaluasi dan Pengendalian
Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Tinjauan PP Nomor. 39 Tahun 2006, Paparan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas di
Hotel Takashimaya, Lembang,10 Februari 2011.
Referensi:
Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 29 tahun 2010 tentang Penetapan Kinerja dan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Kajian Perencanaan
Berlangganan entri blog
PERILAKU ORGANISASI
diposting pada tanggal 19 Agt 2011 12.34 oleh Didi Rasidi
Perilaku organisasi adalah merupakan ilmu tentang perilaku tiap individu dan
kelompok serta pengaruh tiap individu dan kelompok terhadap organisasi, maupun
perilaku interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok dalam organisasi demi kemanfaatan suatu
organisasi.Perilaku organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi. Studi ini
adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan
memanfaatkan metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan
psikologi.
Perilaku organisasi menjadi semakin penting dalam ekonomi global ketika orang
dengan berbagai latar belakang dan nilai budaya harus bekerja bersama-sama secara
efektif dan efisien. Namun bidang ini juga semakin dikritik sebagai suatu bidang studi
karena asumsi-asumsinya yang etnosentris dan pro-kapitalis. Perilaku manusia sangat
berbeda antara satu dengan lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari
interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Ditilik dari sifatnya,
perbedaan perilaku manusia itu disebabkan karena kemampuan, kebutuhan, cara
berpikir untuk menentukan pilihan perilaku, pengalaman, dan reaksi affektifnya
berbeda satu sama lain. Pendekatan yang sering dipergunakan untuk memahami
perilaku manusia adalah pendekatan kognitif, reinforcement, dan psikoanalitis.
Terdapat kendala perencanaan dan penganggaran secara umum dan spesifik. Kendala
umum, yaitu:
Lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data dan informasi sehingga tidak tepat
sasaran.
Lemahnya keterkaitan proses perencanaan, proses penganggaran dan proses politik
dalam menerjemahkan dokumen perencanaan menjadi dokumen anggaran.
Kurangnya keterlibatan masyarakat warga (civil society).
Lemahnya sistem pemantauan, evaluasi dan pengendalian (safeguarding).
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketergantungan pada sumberdana dari donor dan lembaga internasional.
Permasalahan (Spesifik ) dalam perencanaan dan penganggaran, adalah:
Permasalahan yang terkait dengan struktur program dan kegiatan perencanaan dan
penganggaran antara lain adalah:
Pelaksanaan (operasional) perencanaan yang diwujudkan dalam bentuk program,
cenderung disusun dengan pendekatan input based.
Program digunakan oleh beberapa Kementerian Negara/Lembaga.
Program memiliki tingkatan kinerja yang terlalu luas.
Program memiliki tingkatan yang sama atau lebih rendah dibandingkan kegiatan.
Masih ditemui adanya beberapa keluaran yang tidak berkaitan dengan pencapaian
kinerja.
2. Permasalahan yang terkait dengan tidak sinerginya perencanaan pusat,
perencanaan sektoral dan daerah.
Pembangunan nasional (makro) semata-mata agregasi (gabungan) atas
pembangunan-pembangunan daerah/wilayah atau bahkan sekedar gabungan
pembangunan antar sektor semata.
Pembangunan nasional adalah hasil sinergi berbagai bentuk keterkaitan (linkages),
baik keterkaitan spasial (spatial linkages atau regional linkages), keterkaitan sektoral
(sectoral linkages) dan keterkaitan institusional (institutional linkages).
3. Perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional yang perlu
diperhatikan antara lain:
Demokratisasi, Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara
terbuka dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat
Otonomi Daerah, Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan
sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten
Globalisasi, Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi
kepentingan nasional dalam kancah persaingan global
Perkembangan Teknologi, Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu
beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat
Tantangan Perencanaan Pembangunan:
Menghadapi dinamika perubahan serta kompleksitas permasalahan pembangunan
nasional tersebut di atas, maka SPPN dituntut untuk mampu:
Mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam kegiatan-kegiatan melalui
kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai masa depan yang
diinginkan;
Fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan, sehingga tidak terlalu kaku
dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang;
Memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan ke seluruh lapisan
masyarakat.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang): Setiap proses penyusunan
dokumen rencana pembangunan tersebut memerlukan koordinasi antar instansi
pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum yang
disebut sebagai Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang. Jadi
Musrenbang adalah :
Forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan
rencana pembangunan daerah
Forum pemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan
daerah dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, forum SKPD,
kabupaten/kota, provinsi, dan regional sampai tingkat nasional
Diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dengan mengikutsertakan
masyarakat.
Juknis Musrenbang 2007, dibagi ke dalam bagian/tahapan penyelenggaraan proses
Musrenbang:
1. Musrenbang Desa/Kelurahan
2. Musrenbang Kecamatan
3. Forum SKPD Kabupaten/Kota
4. Musrenbang Kabupaten/Kota
5. Pasca Musrenbang Kabupaten Kota
6. Forum SKPD Provinsi
7. Rapat Koordinasi Pusat (Rakorpus)
8. Musrenbang Provinsi
9. Pasca Musrenbang Provinsi
10. Musrenbang Nasional
Selain itu, dalam undang-undang tersebut juga diamanatkan adanya transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara yang diwujudkan melalui penjabaran prestasi kerja
dari setiap K/L. Laporan Realisasi Anggaran masingmasing K/L selain menyajikan
realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja K/L. Implikasi dari
pelaksanaan UU Nomor 17 tahun 2003 dalam restrukturisasi program dan kegiatan
adalah perlunya disyaratkan pengelolaan dan pelaksanaan anggaran yang berbasis
kinerja. Dalam restrukturisasi program dan kegiatan, seluruh program dan kegiatan
dilengkapi dengan indikator kinerja beserta anggarannya, untuk digunakan sebagai
alat ukur pencapaian tujuan pembangunan yang efektif dan efisien secara teknis
operasional serta dalam pengalokasian sumber dayanya.
Pada tingkat K/L, prioritas dan fokus prioritas diterjemahkan melalui program dan
kegiatan. Program dalam struktur policy planning berfungsi untuk memberikan
rumah bagi kegiatan prioritas pada tingkat K/L, dalam artian setiap kegiatan prioritas
selain akan mendukung pencapaian prioritas dan fokus prioritas tertentu juga
sekaligus akan mendukung pencapaian sasaran program dalam K/L. Pencapaian fokus
prioritas dilaksanakan melalui kegiatankegiatan prioritas, dengan masing-masing
kegiatan prioritas dalam rangka pencapaian fokus prioritas tersebut dapat berada
dalam beberapa program-program yang berbeda di tingkat K/L. Dengan demikian,
keberadaan fokus prioritas sekaligus berperan sebagai instrumen koordinasi antara
K/L.
Akuntabilitas pada tingkat organisasi K/L, memuat informasi kinerja yaitu: (1) Impact
untuk menilai misi/sasaran K/L yang merupakan kinerja yang ingin dicapai K/L; (2)
Outcome untuk menilai kinerja program yang secara akuntabilitas berkaitan dengan
unit organisasi K/L setingkat Eselon 1A; (3) Output untuk menilai kinerja kegiatan
yang secara akuntabilitas berkaitan dengan unit organisasi K/L setingkat Eselon 2; dan
(4) Pencapaian misi/sasaran K/L (impact) dipengaruhi oleh pencapaian kinerja
program-program (outcome) yang ada di dalam K/L, dan pencapaian kinerja program
(outcome) dipengaruhi oleh pencapaian dari kinerja kegiatan-kegiatannya (output).
Prasyarat yang harus diperhatikan dalam penyusunan Perencanaan Kinerja, yaitu; (1)
Sudah ada dokumen Renstra atau perencanaan jangka menengah; (2) Sudah ada
kejelasan mengenai perumusan tujuan dan sasaran yang jelas, spesifik, dan dapat
diukur; (3) Sudah ada perumusan strategi yang jelas dan dapat ditentukan waktu
pelaksanaannya ; dan (4) Terdapat hubungan yang rasional antara sumber daya dan
outcome (hasil yang diinginkan).
Tahapan dalam menentukan Target Kinerja, yang perlu dilakukan adalah:
1. Mempelajari dan menentukan tingkat kinerja yang diinginkan dengan sasaran
yang ingin dicapai;
2. Menentukan tingkat kinerja dengan mempertim-bangkan tahapan pelaksanaan
program/kegiatan;
3. Mempertimbangkan kemampuan riil pengerahan sumber daya;
4. Menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan dalam bentuk target.
Referensi:
Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 29 tahun 2010 tentang Penetapan Kinerja dan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Evaluasi dan Pengendalian
Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Tinjauan PP Nomor. 39 Tahun 2006, Paparan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas di
Hotel Takashimaya, Lembang,10 Februari 2011.
AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
diposting pada tanggal 15 Agt 2011 12.45 oleh Didi Rasidi
Latar belakang perlunya penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP), antara lain:
Dalam rangka lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab dipandang perlu adanya
pelaporan AKIP
Untuk melaksanakan pelaporan AKIP perlu dikembangkan Sistem AKIP
Sebagai wujud pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi
pemerintah dan dalam rangka perwujudan good governance telah dikembangkan
media pertanggungjawaban LAKIP
Laporan Akuntabilitas Kinerja : Dokumen yang berisi gambaran perwujudan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang disusun dan disampaikan secara
sistematik dan melembaga.
Indikator Kinerja Utama dikatan baik apabila IKU tersebut setidaknya mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
Specific (spesifik)
Measurable (dapat diukur)
Achievable (dapat dicapai)
Result Oriented (berorientasi kepada Hasil)
Relevan (berkaitan dengan tujuan dan sasaran)
LAKIP yang selama ini disusun dan disajikan secara terpisah dengan laporan
keuangan, harus disusun dan disajikan secara terintegrasi dengan laporan keuangan,
sehingga memberi informasi yang komprehensif berkaitan dengan keuangan dan
kinerja. Pentingnya LAKIP bermanfaat bagi dilaksanakannya Evaluasi Kinerja. Fungsi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), antara lain:
1. Media hubungan kerja organisasi
2. Media akuntabilitas
3. Media informasi umpan balik perbaikan kinerja
4. LAKIP sebagai Instrumen Peningkatan Kinerja Berkesinambungan:
Action, artinya LAKIP sebagai bahan untuk perbaikan kelembagaan, ketatalaksanaan,
peningkatan sumber daya manusia, akuntabilitas dan pelayanan public.
Plan, artinya LAKIP sebagai sebagai bahan dalam menyusun Renstra, Rencana Kerja
Tahunan, Penetapan Kinerja untuk tahun yang akan dating.
Check, maksudnya LAKIP dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan atau
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Do, artinya LAKIP sebagai alat dalam melaksanakan, memantau, mengukur kinerja
kegiatan suatu instansi.
Hal-hal yang harus termuat dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP):
LAKIP menyajikan informasi kinerja berupa hasil pengukuran kinerja, evaluasi, dan
analisis akuntabilitas kinerja, termasuk menguraikan keberhasilan dan kegagalan,
hambatan/kendala, permasalahan, serta langkah-langkah antisipatif yang akan
diambil.
Disertakan uraian mengenai aspek keuangan yang secara langsung mengaitkan
hubungan antara anggaran negara yang dibelanjakan dengan hasil atau manfaat yang
diperoleh (akuntabilitas keuangan) .
Diuraikan juga secara singkat Renstra dan Renja tahun bersangkutan beserta sasaran
yang ingin dicapai pada tahun itu dan kaitannya dengan capaian tujuan, misi, dan visi.
Adapun tujuan dari analisis kinerja, antara lain:
Mengenali kendala dan permasalahan yang dihadapi
Menilai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan output
Menilai efektivitas pencapaian hasil (outcome) terhadap rencana
Menilai apakah kualitas hasil telah memenuhi keinginan/kepuasan stakeholders
Menilai apakah pencapaian output dan outcome sesuai dengan waktu yang
ditetapkan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) mendorong Instansi fokus pada
Pencapaian Sasaran. Dalam upaya Pencapaian Sasaran perlu sebuah Alat Ukur yang
dinamakan Indikator Kinerja. Indikator kinerja berupa :
Hasil (Outcome) : Bagaimana Tingkat pencapaian Kinerja yang diharapkan Terwujud,
berdasarkan Output (Keluaran) atas Kebijakan atau Program yang sudah dilaksanakan
Keluaran (Output) : Bagaimana Produk yang Dihasilkan secara Langsung oleh adanya
Kebijakan atau Program, berdasarkan Input (Masukan) yang digunakan.
Standar bagi dasar melakukan Evaluasi Kinerja adalah:
Ketaatan (compliance) berkaitan dengan upaya audit, dengan mempertanyakan
sejauh mana transaksi oleh pemerintah telah sejalan atau sesuai dengan ketentuan
hukum atau peraturan perundangundangan;
Efisiensi (efficiency) berkaitan dengan sejauh mana instansi pemerintah telah
mencapai tingkat produktivitas optimum atas dasar sumber daya yang telah
digunakan;
Efektivitas (Effectiveness) berkaitan dengan sejauh mana Tingkat Pencapaian Tujuan
Kebijakan atas dasar Pemanfaatan Sumber Daya Publik.
Hasil Evaluasi kinerja diharapkan dapat memberikan feedback untuk:
Meningkatkan Mutu Pelaksanaan Pengelolaan Aktivitas organisasi ke arah yang
lebih baik;
Meningkatkan Akuntabilitas Kinerja organisasi;
Memberikan Informasi yang lebih Memadai dalam menunjang Proses
Pengambilan Keputusan;
Meningkatkan Pemanfaatan Alokasi Sumber Daya yang tersedia;
Sebagai Dasar Peningkatan Mutu Informasi mengenai Pelaksanaan Kegiatan
organisasi;
Mengarahkan pada Sasaran dan Tujuan organisasi.
Reference:
Permenpan Nomor 29 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja
Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah
Dasar hukum dalam perencanaan anggaran Kemendagri tahun 2011 antara lain:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2010, tentang APBN Tahun 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2004, tentang Pemeriksaan pengelolaan dan
Tanggung jawab keuangan negara;
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004, tentang Penyusunan rencana kerja dan
anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 , tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006, tentang Tata cara pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006, tentang Penyusunan Rencana
Pembangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008, tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010, tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran K/L
Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah
TA.2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2011, tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
Adapun kategori Pengalokasian Anggaran yang menjadi pertimbangan atau dasar
dalam perencanaan anggaran di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, antara lain:
Contingency Reserve: kebutuhan mendesak dan darurat, policy measures, indikator
ekonomi-non ekonomi, cadangan dan lain-lain, alokasi anggaran dan rincian
penggunaannya sesuai dengan kebijakan dan pesetujuan DPR, dan target kinerja
harus jelas dan terukur.
Kebijakan Baru : prioritas, fokus prioritas, kegiatan prioritas, alokasi anggaran dan
rincian penggunaannya sesuai dengan fiscal space, target kinerja sesuai dengan RKP.
Angka dasar (baseline) : Running cost (gaji, tunjangan, operasional, pemeliharaan,
perjalanan dinas biasa), pelayanan dasar (tupoksi unit), multi-years project, alokasi
anggaran dan rincian penggunaannya sesuai dengan kebijakan tahun sebelumnya,
target kinerja sesuai dengan rencana kerja tahunan.
Pengalokasian Anggaran: Level Nasional dan level Kementerian/Lembaga (K/L).
Pengalokasian anggaran kategori tingkat Level Nasional dengan:
pengalokasian anggaran didasarkan pada target kinerja sesuai prioritas dan fokus
prioritas pembangunan serta pemenuhan kewajiban sesuai amanat konstitusi ;
target kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas selanjutnya dijabarkan dalam
kegiatan-kegiatan prioritas.
Sedangkan pengalokasian anggaran kategori Level K/L :
pengalokasian anggaran mengacu pada Program dan Kegiatan masing-masing unit
sesuai dengan tugas dan fungsinya termasuk kebutuhan anggaran untuk memenuhi
angka dasar (baseline) serta alokasi untuk kegiatan prioritas yang bersifat penugasan;
Penghitungan kebutuhan anggaran untuk masing-masing kegiatan mengacu pada
standar biaya dan target kinerja yang akan dihasilkan;
Rincian penggunaan dana menurut jenis belanja, dituangkan dalam dokumen
anggaran hanya pada level jenis belanja (tidak dirinci sampai dengan kode akun).
Siklus Perencanaan atau Tahapan Perencanaan Pembangunan, menurut Undang-
Undang Nomor 25/tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
ada 4 tahapan, yaitu:
Penyusunan Rencana, berupa:RPJP, RPJM, RKT (PP 40/2006)
Penetapan Rencana, berupa: RPJP, RPJM, RKT (PP 40/2006)
Pengendalian Pelaksanaan Rencana (PP 39/2006)
Evaluasi Pelaksanaan Rencana (PP 39/2006)
Ada 3 (tiga) hal yang perlu ada dalam penganggaran berbasis kinerja, yaitu:
Indikator Kinerja: (a) indikator yang mencerminkan tolok ukur untuk mencapai
sasaran program (outcome); (b) Pendekatan yang digunakan dapat berfokus thd efek-
tivitas, efisiensi, outcome atau kepuasan pelanggan; dan (c) sebagai instrumen
evaluasi kinerja.
Standar Biaya: (a) mencerminkan kebutuhan dana untuk menghasilkan sebuah
output atas pelaksanaan sebuah kegiatan; (b) Menunjukan seluruh komponen/item
yang harus dibiayai; (c) Penetapan unit cost untuk setiap komponen/item,
menggunakan harga yang paling ekonomis namun tetap memperhatikan kualitas
produk.
Evaluasi Kinerja: (a) Membandingkan antara rencana kinerja dan realisasinya
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan; (b) Menganalisis perbedaan (gap) yang
terjadi dan merumuskan alternatif solusinya; (c) Menyempurnakan indikator kinerja
untuk tahap selanjutnya; dan (d) Rekomendasi kelangsungan kebijakan.
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran menurut PP 90/2010, bahwa hasil berupa:
(1) Tingkat keluaran (output); (2) Capaian Hasil (outcome); (3) Tingkat efisiensi; (4)
Konsistensi antara perencanaan dan implementasi; dan (5) Realisasi penyerapan
anggaran.
Syarat penganggaran Berbasis Kinerja perlu Indikator Kinerja, Standar Biaya dan
Evaluasi Kinerja. Standar biaya berupa SBU dan SBK. SBU adalah satuan biaya
berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya
komponen masukan kegiatan , yang ditetapkan sebagai biaya masukan. SBK adalah
besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah kegiatan yang
merupakan akumulasi biaya komponen masukan kegiatan, yang ditetapkan sebagai
biaya keluaran.
Adapun tata cara atau langkah-langkah dalam penyusunan Standar Biaya Khusus:
Mengidentifikasi /Menentukan keluaran (output) kegiatan yang biayanya akan
diusulkan menjadi SBK . Keluaran (output) dimaksud adalah keluaran (output) dari
kegiatan yang merupakan hasil restrukturisasi program dan kegiatan;
Menyusun KAK/TOR, sesuai format yang ditetapkan;
Membuat RAB sesuai format yang ditetapkan, dengan menerapkan satuan biaya
mengacu SBU dan di luar SBU (bilamana tidak di atur di SBU gunakan SPTJM)
Menetapkan SBK sebagai Indeks atau Total Biaya Keluaran
Menandatangani usulan dan rekapitulasi usulan SBK sesuai format, untuk selanjutnya
diajukan oleh kementerian negara/lembaga c.q. Kepala Biro Perencanaan atau
pejabat lain yang berwenang kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Anggaran dilengkapi dengan TOR, RAB, data pendukung lainnya serta backup data
Aplikasi SBK ;
Format dan data dukung yang perlu dilengkapi dalam penyusunan Standar Biaya
Khusus, yaitu:
Kerangka Acuan Kegiatan atau Term Of reference (TOR), merupakan dokumen yang
menginformasikan gambaran umum dan penjelasan singkat mengenai keluaran
kegiatan yang akan dilaksanakan/dicapai sesuai dengan tugas fungsi kementerian
negara/lembaga yang memuat latar belakang, penerima manfaat, strategi
pencapaian serta biaya yang diperlukan.
Rincian Anggaran Biaya (RAB), merupakan dokumen yang berisi tahapan
pelaksanaan, rincian komponen masukan (input) dan biaya masing-masing komponen
masukan (input) suatu keluaran kegiatan.
Rekapitulasi Usulan SBK, merupakan daftar yang memuat usulan SBK pada setiap
kementerian negara/lembaga.
Rekapitulasi Persetujuan SBK adalah berupa daftar yang memuat SBK yang telah
disetujui pada setiap kementerian negara/lembaga.
Catatan Penelaahan, merupakan dokumen yang memuat hasil penelaahan SBK yang
telah disepakati.
STANDAR BIAYA
diposting pada tanggal 12 Agt 2011 09.58 oleh Didi Rasidi
Peraturan yang terkait dengan Standar Biaya yaitu:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1):
Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan ber tanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Penyusunan RKA-KL Pasal 7
Ayat (2): Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja,
standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Ayat (5):
Menteri Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang
bersifat khusus bagi Pemerintah Pusat setelah berkoordinasi dengan Kementerian
Negara/Lembaga terkait.
Standar Biaya merupakan besaran biaya yang ditetapkan sebagai acuan penghitungan
kebutuhan biaya kegiatan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.
Dalam bidang penganggaran terpadat 2 (dua) jenis Standar biaya yaitu Standar Biaya
Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK).
Standar Biaya Umum adalah Satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang
digunakan untuk menyusun biaya komponen masukan kegiatan, yang ditetapkan
sebagai biaya masukan.
Standar Biaya Khusus yaitu besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan
sebuah keluaran kegiatan yang merupakan akumulasi biaya komponen masukan
kegiatan, yang ditetapkan sebagai biaya keluaran.
Standar Biaya Umum (SBU) berisisikan:
Harga Satuan adalah nilai suatu barang yang ditentukan pada waktu tertentu untuk
perhitungan biaya komponen masukan kegiatan;
Tarif yaitu nilai suatu jasa yang ditentukan pada waktu tertentu untuk perhitungan
biaya komponen masukan kegiatan;
Indeks satuan biaya komponen masukan yaitu satuan biaya yang merupakan
gabungan beberapa barang/jasa masukan untuk perhitungan biaya komponen
masukan kegiatan.
Standar Biaya Khusus (SBK) berisikan:
Total Biaya Keluaran yaitu besaran biaya dari satu keluaran tertentu yang merupakan
akumulasi biaya komponen masukan kegiatan;
Indeks satuan biaya keluaran yaitu satuan biaya yang merupakan gabungan
komponen masukan kegiatan yang membentuk biaya keluaran kegiatan.
Standar Biaya sebagai pedoman penyusunan biaya kegiatan dalam RKA-K/L. Standar
Biaya Umum (SBU) sebagai pedoman penyusunan biaya komponen masukan
kegiatan, dalam rangka pelaksanaan kegiatan: batas Tertinggi transaksi (msl.: honor,
uang harian perjadin, dst). Estimasi transaksi (msl.: tarif hotel, indeks biaya kantor,
dst). Standar Biaya Khusus (SBK) sebagai pedoman dalam penghitungan biaya
keluaran dari suatu kegiatan, referensi penyusunan prakiraan maju dan penghitungan
pagu indikatif Tahun Anggaran berikutnya. (by RSD)
Reference:
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja
Anggaran Kementerian Negara dan Lembaga
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 Tahun 2010 tentang Standar Biaya Tahun
Anggaran 2011
Peraturan Direktur Jenderal Anggaran Nomor 02/AG/2010 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Standar Biaya Khusus
LATAR BELAKANG
Dalam barisan daftar laporan yang harus disusun oleh Pemerintah Daerah, Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sering dianggap sebelah mata, baik
oleh anggota dewan ataupun penyelenggara pemerintahan sendiri. LAKIP tidak
begitu populer dibandingkan dengan Laporan Keuangan dalam hal proses
penyusunan dan manfaat yang bisa dirasakan oleh pengguna. Kalau kualitas laporan
keuangan dinilai berdasarkan opini yang diberikan BPK maka kualitas LAKIP
ditentukan oleh penilaian hasil evaluasi yang dilakukan oleh MENPAN. Meski
keduanya dilakukan penilaian oleh pihak ekstern, hingga saat ini kualitas LAKIP masih
belum berubah. Kesadaran pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas LAKIP
pun sepertinya masih kurang jika dibandingkan dengan keinginan mereka untuk
mendapatkan opini WTP dari BPK.
Jika dihitung dari sejak diterbitkannya inpres nomor 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah maka perkembangan LAKIP sudah sampai
pada tahun ke tiga belas. Perjalanan konsep LAKIP sendiri adalah sebuah proses yang
panjang. Pada awal 2000-an, MENPAN selaku pembina dan pengusung konsep SAKIP
mulai memperkenalkan bagaimana bentuk pertanggungjawaban kinerja yang
seharusnya. Dengan munculnya SK LAN tahun 589/IX/6/Y/1999 yang kemudian
digantikan dengan SK LAN tahun 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) instansi-instansi
pemerintah menyusun LAKIP sebagai pertanggungawaban kinerja. Akan tetapi LAKIP
yang disusun pada periode tahun 2005 ke bawah terlihat bahwa pekerjaan
penyusunan laporan tersebut dianggap sebagai sebuah pekerjaan untuk memenuhi
ketentuan dalam berakuntabilitas dengan melaporkan kegiatan yang dilaksanakan.
Hasil evaluasi LAKIP yang dilaksanakan oleh Kementerian PAN dan RB menunjukkan
bahwa dari seluruh pemerintah daerah di seluruh Indonesia hanya satu
kabupaten/kota dan dua provinsi yang mendapatkan penilaian B (65-80). Ketiga
pemda ini lah yang mendapatkan Piala Akuntabilitas. Pemerintah daerah tersebut
diraih Jawa Tengah, Kaltim dan sukabumi. Selanjutnya, hasil evaluasi juga
menunjukkan bahwa 17 pemprov mendapat CC dan 11 mendapat C. Di tingkat
kabupaten/kota hanya 21 pemerintah kabupaten/kota yang mendapatkan nilai CC.
Rendahnya evaluasi atas sistem AKIP di pemerintah daerah tak bisa dilepaskan dari
peraturan perundangan yang belum mendukung terwujudnya sistem tersebut secara
sempurna. Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada dasarnya lebih dipengaruhi
oleh peraturan perundangan yang mengatur daripada sebuah konsep atau substansi
yang diyakini kebenarannya dan praktik-praktik yang sehat. Sehingga peran peraturan
perundangan yang sinkron dengan penerapan suatu konsep sangat berpengaruh
terhadap kesediaan pemda untuk menerapkannya. Sama halnya dengan sistem AKIP
yang hingga tahun 2008 belum didukung oleh peraturan perundangan guna lebih
mendorong pemerintah daerah menerapkan konsep akuntabilitas dan manajemen
kinerja. Beberapa hal berikut menjelaskan tentang lemahnya dukungan peraturan
perundangan dalam penerapan sistem AKIP.
Renstra
Hasil evaluasi SAKIP menunjukkan bahwa kelemahan utama yang menjadi penyebab
rendahnya skor SAKIP terletak pada kelemahan penyusunan dokumen perencanaan.
Kelemahan ini tentu saja akan membawa dampak yang besar terhadap siklus
selanjutnya. Dokumen perencanaan yang disusun pada umumnya tidak memuat
sasaran dan indikator kinerja yang dapat mengukur keberhasilan atau kegagalan
sasaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian pengukuran kinerja, yaitu
membandingkan antara target dengan realisasi, tidak bisa dilakukan. Ketiadaan
indikator kinerja dan target yang ditetapkan adalah hal yang paling krusial dalam
penilaian akuntabilitas instansi pemerintah. Proses akuntabilitas tidak mungkin bisa
dilaksanakan jika instansi pemerintah tidak menetapkan apa yang ingin dicapai
dengan indikator kinerja yang obyektif dan terukur. Hasilnya, dokumen perencanaan
hanya memuat program dan kegiatan sebagai pelaksanaan janji-janji kepala daerah
yang sulit untuk diukur keberhasilan pertanggungjawabannya.
Renja
Aspek lain dalam perencanaan kinerja yang berkontribusi terhadap rendahnya hasil
evaluasi SAKIP adalah dokumen perencanaan kinerja tahunan (renja). Kelemahan
pertama adalah bahwa selama ini renja pada tingkat kabupaten/kota tidak disusun.
Sebaliknya, dokumen perencanaan yang disusun adalah Rencana Kerja Pemerintah
Daerah yang memuat kebijakan, program, kegiatan, indikator keluaran dan pagu
indikatif. Dalam penyusunan dokumen perencanaan tahunan pemerintah daerah
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah. Rendahnya nilai pada perencanaan kinerja tahunan (RKT) mengikuti pola
yang sama dengan hasil evaluasi atas renstra. Peraturan Pemerintah yang digunakan
sebagai acuan dalam penyusunan RKT belum sinkron dengan kebutuhan yang
diperlukan untuk melakukan akuntabilitas kinerja.
Selanjutnya, dalam hal evaluasi atas pelaksanaan pembangunan pun peraturan yang
mengatur, PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, tidak menyinggung indikator kinerja sasaran. PP
tersebut mendefinisikan pengendalian sebagai serangkaian kegiatan manajemen
yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi didefinisikan
sebagai rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran
(output), dan hasil (outcome). Outcome sendiri didefinisikan sebagai berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.
Tapkin
Penyebab rendahnya hasil evaluasi SAKIP ketiga dalam hal dokumen perencanaan
adalah belum disusunnya dokumen penetapan kinerja (Tapkin). Peraturan terkait
dengan tapkin sebenarnya telah terbit sejak tahun 2004, yaitu Inpres nomor 5 tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian ditindaklanjuti
dengan SE Menpan Nomor SE-31/M.PAN/XII/2004 tentang Penetapan Kinerja.
Namun demikian, peraturan ini sepertinya belum tersosialisasikan dengan baik yang
terlihat dari masih banyaknya pemerintah daerah yang belum menyusun tapkin.
Permasalahan lain dalam hal penetapan kinerja adalah indikator outcome dalam
penetapan kinerja seharusnya mengacu pada indikator kinerja sasaran pada RPJMD.
Hal yang sering terjadi, indikator kinerja outcome belum memenuhi criteria indikator
kinerja yang baik. Selama ini, dalam penyusunan penetapan kinerja outcome yang
menjadi target tahunan dalam tapkin mengacu pada outcome kegiatan. Hasilnya,
dokumen penetapan kinerja masih sebatas formalitas. Selain peraturan tentang
tapkin di atas Menpan pada dasaranya telah mengeluarkan modul pelatihan
penyusunan tapkin yang dapat digunakan sebagai alat untuk meminta
pertanggungjawaban baik pada tingkat kepala daerah ataupun kepala SKPD yang
telah dikeluarkan pada tahun 2005. Namun demikian, modul ini belum
disosialisasikan secara luas. Hal ini terlihat dari dokumen tapkin yang disusun pemda
sebagian besar belum menetapkan indikaotr kinerja outcome sebagaimana yang
telah diarahkan dalam modul tersebut. Sehingga, tapkin yang disusun oleh pemda
ataupun SKPD belum dapat digunakan sebagai dasar penetapan kinerja yang dapat
mengikat kepala daerah ataupun kepala SKPD untuk mencapai target kinerja yang
tidak hanya sebatas pada pencapaian kegiatan.
Konsep akuntabilitas yang dikembangkan oleh Menpan hingga saat ini telah
mengalami perkembangan menuju arah kematangan penerapan manajemen kinerja
yang sesungguhnya. Pada awal diterapkannya sistem AKIP khususnya pada periode
sebelum tahun 2004 menunjukkan bahwa konsep tersebut belum dapat digunakan
untuk mengukur akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang sesungguhnya,
apalagi untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Hal ini terlihat dalam LAKIP
yang disusun oleh pemda pada periode tersebut dimana indikator-indikator yang
disusun masih banyak yang belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik yang
dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengukuran kinerja. Namun
demikian, dalam perkembangan terbitnya peraturan perundangan setelah tahun
2004 yang ditandai dengan dikeluarkannya SE Menpan Nomor SE-31/M.PAN/XII/2004
tentang Penetapan Kinerja dan ditindaklanjuti dengan disusunnya modul penetapan
kinerja konsep AKIP mulai menunjukkan titik terang. Peraturan-peraturan
perundangan yang terbit pasca tahun 2007 yang terkait dengan sistem AKIP semakin
menunjukkan kematangan konsep ini.
Salah satu penyebab belum dapat dirasakannya manfaat SAKIP adalah belum adanya
sinkronisasi peraturan antar kementerian terkait. Di satu sisi pemda harus tunduk
pada peraturan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri, di sisi yang lain ada
peraturan MENPAN dan RB. Usaha untuk menyelaraskan peraturan-peraturan
tersebut pada dasarnya telah dilakukan. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008
tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah terbit mengubah sistematika penyusunan dokumen
perencanaan. PP tersebut mensyaratkan adanya sasaran, indikator kinerja serta
target yang harus ditetapkan dalam RPJMD, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD. Dua
tahun kemudian pemerintah menerbitkan Permendagri 54 tahun 2010 sebagai tindak
lanjut pelaksanaan PP No 8 Tahun 2008.
Hingga saat ini Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) lebih sering
dipandang sebagai sebuah mekanisme untuk mempertanggungjawabkan kinerja.
Pendekatan tersebut berpijak pada sudut pandang eksternal atau pemenuhan
kepentingan stakeholders. Pandangan ini tidaklah salah. Namun, dengan pemahaman
seperti itu, peran SAKIP menjadi lebih sempit dan cenderung tidak memunculkan
kesadaran instansi pemerintah atas kebutuhan penerapan SAKIP secara benar.
SAKIP sesungguhnya dapat dilihat dari sudut pandang yang lain. Dalam kerangka PP
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) disebutkan
bahwa dalam unsur kegiatan pengendalian terdapat dua sub unsur yang menegaskan
fungsi SAKIP yang jauh lebih besar. Sub unsur tersebut adalah reviu atas kinerja dan
reviu atas indikator kinerja. Kedua sub unsur tersebut dengan tegas menyebutkan
penetapan indikator kinerja dan reviu kinerja sebagai bagian dari aktivitas
pengendalian. Sehingga berfungsinya SAKIP dengan baik adalah wujud penerapan
SPIP.
Hingga kini SAKIP belum berfungsi baik sebagai media pertanggungjawaban kinerja
maupun sebagai alat pengendalian manajemen. Infrastruktur pembangun SAKIP kini
sudah terbangun. Jika diibaratkan sebuah bangunan, kekuatan bangunan tersebut
sangat tergantung dari bahan-bahan yang digunakan untuk membangunnya. Bahan-
bahan itulah yang merupakan komponen pembangun SAKIP yang terdiri dari Renstra,
Renja, Tapkin dan LAKIP.
Kedua, LAKIP belum menyajikan informasi kinerja. Artinya LAKIP yang selama ini
disusun mungkin belum ada value added-nya buat pemerintah daerah. Alhasil, tidak
ada insentif pemerintah daerah untuk memanfaatkan LAKIP karena tidak
memberikan kontribusi perbaikan kinerja. Informasi yang selama ini disajikan dalam
LAKIP lebih merupakan sekumpulan dari output kegiatan-kegiatan yang tidak
mencerminkan kinerja organisasi. Kalaupun outcome disajikan maka akurasinya
diragukan mengingat pemahaman merekapun masih teramat dangkal. Tidak heran
kalau tingkat pencapaian kinerja rata-rata mencapai seratus persen. Dengan
demikian, pemerintah daerah merasa tidak perlu untuk melakukan analisis kinerja
mengingat semua target capaian kegiatan sudah tercapai.
Kondisi ini mungkin akan berbeda seandainya LAKIP telah menyajikan capaian-
capaian indikator kinerja yang sesungguhnya. Maksudnya, sasaran-sasaran telah
diukur dengan menggunakan indikator yang tepat. Misalnya, untuk bidang pedidikan
bisa digunakan angka melek huruf ataupun angka partisipasi kasar sebagai indikator
untuk mengukur kinerja dinas pendidikan. Selama ini, meskipun sudah ada Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang memudahkan pemerintah daerah untuk menyusun
indikator kinerja, sebagian besar dinas pendidikan malah menggunakan indikator-
indikator yang tidak jelas keterukurannya. Mengapa bisa terjadi?
PERAN SAKIP SEBAGAI MEDIA PERTANGUNGJAWABAN
Sebagai sebuah sistem akuntabilitas maka penerapan SAKIP haruslah dapat menjadi
media pertanggunjawaban kepala daerah kepada pihak yang berhak meminta
pertanggunjawaban. Pihak-pihak tersebut bisa DPRD sebagai wakil masyarakat dan
Gubernur yang mempunyai fungsi koordinasi pembangunan daerah di wilayah
Provinsi atau bahkan masyarakat.
SAKIP lahir sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik. Terbitnya SAKIP melalui Inpres Nomor 7 Tahun 1999 pun bagian dari paket
reformasi penyelenggaraan pemerintahan setelah orde baru. SAKIP terbit sebagai
bagian dari salah satu konsekuensi diterapkannya otonomi daerah di Indonesia.
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa delegasi atau pemberian kewenangan
yang lebih luas kepada daerah atau sub-ordinat harus diimbangi dengan peningkatan
akuntabilitas. Jika tidak, penyelewengan kewenangan sulit dihindarkan.
Filosofi dibangunnya SAKIP pun demikian. SAKIP merupakan bagian dari penerapan
anggaran berbasis kinerja (Performance-based Budgeting). Perubahan dari line-item
budgeting menjadi performance-based budgeting mengharuskan pemerintah daerah
untuk menyusun anggaran dengan mengacu pada target kinerja yang akan dicapai.
Jika pada penganggaran sebelumnya hanya didasarkan pada incremental cost atau
jumlah anggaran meningkat berdasarkan persentase tertentu dibandingkan tahun
sebelumnya, maka dalam performance-based budgeting seluruh anggaran harus
dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Artinya, setiap dana yang dikeluarkan harus
dapat dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkan. Sehingga, SAKIP harus terintegrasi
dalam penganggaran.
Kondisi yang ada saat ini adalah SAKIP belum terbangun secara sempurna.
Kelemahan dalam penyusunan perencanaan yang seharusnya dapat dijadikan untuk
menilai keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya belum terwujudkan. Indikator kinerja utama beserta target yang
terukur sesungguhnya adalah acuan dalam penyusunan anggaran. Sayangnya, justru
kedua hal ini lah yang belum dibangun. Hal ini mengingat konsep anggaran berbasis
kinerja hanya akan dapat berjalan jika instansi pemerintah telah menetapkan
indikator kinerja yang terukur. Jika tidak, anggaran berbasis kinerja akan menjadi
formalitas.
Pemenuhan pengisian RKA yang selanjutnya disetujui dalam DPA hingga saat ini baru
sebatas pengisian formulir yang belum didasarkan pada sumber data yang dapat
diandalkan. Memang, dalam pengisian DPA pun SKPD telah mengisi target-target
indikator kinerja outcome yang akan dicapai. Namun, kelemahan penetapan indikator
kinerja dalam dokumen perencanaan kinerja menyebabkan pengukuran kinerja tidak
bisa dilakukan. Padahal, pengukuran kinerja ini merupakan bagian penting dari
mekanisme pertanggungjawaban. Jelaslah, fungsi pertanggungjawaban SAKIP hingga
saat ini belum berjalan sebagai mana mestinya. Belum adanya indikator kinerja yang
terukur merupakan faktor utama tidak berfungsinya SAKIP. Jika indikator kinerja
beserta targetnya belum terukur maka pertanggungjawaban atas capaiannya pun
tidak bisa dilakukan.
PP Nomor 8 Tahun 2008 pada dasarnya telah mengikat kepala daerah terpilih untuk
mewujudkan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat selama kampanye dalam
RPJMD. Berdasarkan peraturan tersebut, Kepala Daerah yang dikoordinasikan oleh
Bappeda menyusun visi dan misi, termasuk hasil-hasil apa yang akan dicapai selama
masa pemerintahannya. Hasil-hasil ini lah harus diukur untuk melihat sejauh mana
kepala daerah telah memenuhi janji-janjinya. Sehingga, sebagai alat ukur dokumen
RPJMD harus dilengkapi dengan indikator kinerja. Indikator yang terukur tersebut
pemerintah daerah didorong untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang berpihak
kepada masyarakat. Mereka juga dipacu untuk mendisain program dan kegiatan yang
mendukung tercapainya target-target yang telah ditetapkan. SAKIP yang telah
terbangun dengan baik akan dapat menilai keberhasilan ataupun kegagalan instansi
pemerintah dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan. Mekanisme
pertanggungjawaban pun bisa dilaksanakan jika pemerintah daerah telah
menetapkan indikator kinerja beserta target capaian tahunannya.
Dalam hal penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dan bebas korupsi, SAKIP
pun sebenarnya dapat digunakan untuk menilai sejauh mana upaya yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penerapan SAKIP seharusnya dapat
mendorong instansi pemerintah untuk mewujudkan good governance termasuk
pemberantasan korupsi. Namun demikian, untuk mendukung terciptanya hal ini
harus ditetapkan indikator kinerja yang tepat yang disertai dengan target-target
tahunan yang jelas. Namun demikian, permasalahan yang sering muncul adalah
indikator kinerja tersebut belum dapat digunakan untuk mendorong tercapainya misi.
Indikator kinerja yang ditetapkan masih pada tingkat kegiatan, misalnya ketersediaan
dokumen perencanaan 100%, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi 100%, pelayanan
administrasi kependudukan dan catatan sipil 100%, dan terbangunnya 50% sentra
komunikasi melalui nirkabel dan fixed. Selain itu, indikator yang disusun masih bias
atau tidak spesifik dan jelas. Hal ini dapat dilihat pada indikator-indikator berikut:
konsistensi pelaksanaan perencanaan pembangunan, 90% aparatur profesional,
terwujudnya 90% efisiensi jabatan, penghargaan dan sanksi hukum 100% dan
standarisasi belanja daerah 100%. Indikator-indikator yang telah ditetapkan ini tentu
belum dapat mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan tata kelola
pemerintahan yang baik dan menciptakan pemerintah yang bersih.
SAKIP pada dasarnya adalah salah satu unsur yang mendukung terselenggaranya SPIP.
Sebaliknya, penyelenggaraan SPIP dapat mendukung penyempurnaan implementasi
SAKIP. Menjawab pertanyaan terkait dengan belum optimalnya manfaat atas
penerapan SAKIP hingga saat ini pada dasarnya dapat dikaitkan dengan berfungsinya
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam suatu organisasi pemerintah. PP
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mendefinisikan
bahwa Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai
untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui
kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset
negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Analisis atas penerapan SAKIP dari sudut pandang SPIP dapat semakin memperjelas
alasan-alasan belum berfungsinya SAKIP dalam menciptakan tata kelola
pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan
pemerintahan yang bersih. SAKIP yang lahir dari sebuah Inpres Nomor 7 Tahun 1999
yang kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan pendukungnya pada
dasarnya, dalam konteks SPIP, adalah bagian dari infrastruktur yang mendukung
terselenggaranya SPIP. Infrastruktur tersebut merupakan hard factor yang hanya akan
berfungsi jika ada soft factor yang mendukung. Soft factor itulah yang dalam
lingkungan pengendalian merupakan kepemimpinan yang kondusif. Dalam kaitannya
dengan SAKIP sub unsur lingkungan pengendalian yang terkait adalah penerapan
manajemen berbasis kinerja. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pimpinan
instansi pemerintah untuk mendukung terlaksananya manajemen adalah sebagai
berikut.
Kondisi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa penyusunan LAKIP dilakukan oleh
bagian program di setiap SKPD. Keterlibatan bidang-bidang teknis pada setiap SKPD
hanya sebatas penyerahan data yang kemudian diolah oleh bagian program dan
dikompilasi menjadi LAKIP. Data yang selama ini diolah pun baru sebatas data
realisasi fisik dan keuangan atas pelaksanaan kegiatan dalam satu tahun. Hal ini
terjadi karena keterbatasan pemahaman baik dari sisi pelaksana, yaitu bagian
program, maupun unsur pimpinan dan pejabat teknis lainnya terkait dengan
informasi yang seharusnya direncanakan dan dilaporkan. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah belum adanya mekanisme pertanggungjawaban yang
dilakukan secara transparan baik pada tingkat pemerintah daerah ataupun pada
tingkat SKPD. Mekanisme pertanggunjawaban seperti pertemuan yang mereviu
capaian kinerja secara transparan tentu akan mendorong pihak yang diminta
pertanggungjawabannya untuk memberikan perhatian yang lebih dan menyadari
konsekwensi yang akan dihadapinya. Hal ini hanya akan terjadi jika pimpinan instansi
pemerintah mempunyai komitmen untuk mengaitkan antara kinerja dengan reward
dan punishment sebagaimana yang disyaratkan dalam unsur lingkungan
pengendalian.
Infrasruktur SAKIP saat ini sudah terbangun, terlepas dari beberapa kelemahannya.
Namun, hal yang lebih penting dari pada itu adalah aspek lingkungan pengendalian
berupa komitmen pimpinan untuk menghidupkan SAKIP yang akan berfungsi
sebagai alat pengendalian manajemen. Dengan demikian, untuk menjawab
bagaimana mendayagunakan SAKIP untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan menciptakan good governance
hanya dapat dilakukan dengan mengintegrasikan SAKIP dengan SPIP.
PENUTUP
SAKIP yang memberikan manfaat adalah sebuah sistem yang dapat digunakan
sebagai alat untuk memperbaiki kebijakan serta mendorong pemerintah daerah
untuk melakukan inovasi dalam mendisain program dan kegiatan. Selanjutnya, SAKIP
pun seharusnya dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan reward dan
punishment yang bisa dikaitkan dengan kinerja individu. Manfaat tersebut baru bisa
dipetik jika ada komitmen yang kuat dari pimpinan untuk memberikan pemahaman
yang kuat akan pentingnya SAKIP yang tak hanya bisa berfungsi sebagai media
pertanggunjawaban kinerja tetapi juga sebagai alat pengendalian.
Apa sih yang membuat Sukabumi begitu hebat dalam penyusunan LAKIP sehingga
pertengahan Februari lalu pemkot tersebut mendapat award Piala Akuntabilitas?
Barangkali itulah pertanyaan yang paling krusial untuk diajukan ketika kita sebagai
tim penyusun LAKIP tingkat Pemerintah Prov/Kab/Kota. Atau justru sebaliknya: ah
emang gue pikirinyang penting LAKIP sudah disusun dan dikirim ke menpan tepat
waktu. Habis itu yahdisimpan di lemari.
Saya yakin bukan pernyataan kedua yang kita ungkapkan. Bagaimana tidak, sebagai
tim penyusun pasti lah kita berharap ada feedback atas apa yang sudah kita lakukan.
Kalau tidakbukankan itu sama dengan kita sudah melakukan suatu kesia-siaan?
Hmmmdari sisi insentif finansial saya percaya paling tidak ada lah honor atau dalam
bentuk apa pun lah yang cukup untuk membayar kelelahan tersebut. Tapi, dari sisi
kepuasan pribadi pasti ada yang kurang jika hasil kerja keras tersebut tidak
dimanfaatkan.
Dalam tulisan sebelumnya saya telah menyebutkan bahwa salah satu faktor
penyebab adalah ketidaksinkronan peraturan yang dikeluarkan untuk mendasari
pembangunan konsep SAKIP dan peraturan yang selama ini menjadi acuan dalam
penyusunan dokumen perencanaan. Hanya saja dalam tulisan tersebut saya belum
secara detail menjelaskan apa sebenarnya hal-hal krusial yang harus ditindaklanjuti.
IKU sudah.lalu apa lagi ya? IKU yang sudah ditetapkan haruslah dimanfaatkan untuk
menyusun dokumen-dokumen perencanaan RPJMD, RKPD, Renja, dan TAPKIN.
Keseluruh dokumen perencanaan tersebut harus mengacu pada IKU. Kalau tidak?
Ya..buat apa ditetapkan IKU kalau kemudian tidak diaplikasikan. Jadi, seluruh
dokumen perencanaan tersebut selaras. Tentu saja, dalam penyusunan RPJMD, RKPD,
Renja dan Tapkin harus ditetapkan target-target terukur yang akan dicapai. Lagi-lagi,
kalau tidak yapercuma. Dokumen perencanaan menjadi sekedar kata-kata pemanis
bibir.
Hati-hati menetapkan
target kinerja
PUB LI SHED ON May 15, 2017
Baru saja saya menerima telepon dari sahabat SMA saya. Terakhir bertemu
kurang lebih lima belas tahun yang lalu saat ia mengakikahkan anak
pertamanya. Tak terasa sang anak telah duduk di bangku SMA. Si bungsu pun
sudah duduk di kelas 6.
Keraguan yang wajar. Bagaimana tidak, beberapa kali sang anak mengeluhkan
gurunya yang seolah memaksanya untuk memberi contekan pada rekan-
rekannya saat ujian berlangsung. Katanya, sang guru beberapa kali mengajak
bicara dan berharap pengertian anak kawan saya ini. Alasan sang guru sangat
simple: untuk mendongkrak angka rata-rata ujian. Jika langkah ini tidak
ditempuh, reputasi sekolah bisa terancam.
Tidak puas dengan cerita sang anak, sahabat saya ini mencoba
mengkonfirmasi ke guru dan guru sekolah lainnya. Guru pun membenarkan.
Malah, katanya itu sesuatu hal yang wajar. Semua sudah mahfum. Terang
saja, sahabat saya sangat shock mendengar realitas ini. Ia yang selalu
berusaha menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya justru dihadapkan
pada fakta dimana guru yang seharusnya mengajarkan kejujuran justru
mempertontonkan ketidakjujuran.
Kejadian ini mengingatkan saya pada artikel yang ditulis oleh Gwyn Bevan
dan Christopher Hood yang berjudul What S Measured Is What
Matters: Targets And Gaming In The English Public Health Care
System.
Dari judulnya saya yakin anda bisa menebak apa kaitan cerita saya di atas
dengan artikel Bevan dan Hood ini. Whats measured is what matters. Tepat
sekali, apa yang di ukur, itu yang diperhatikan. Tidak peduli bagaimana proses
pencapaian dan efek dari proses pengukuran tersebut.
Oya, hasil pengukuran kinerja ini dipublikasikan secara luas. Tak heran kalau
kemudian perankingan ini dianggap sebagai alat untuk naming and shaming
alias mempermalukan mereka yang berkinerja rendah.
Bevan dan Hood bahkan sempat mengutip satire Voltaire dalam novel Candid
untuk menggambarkan bagaimana kejamnya Inggris menghukum
kegagalan Admiral John Byng untuk mempertahankan Minorca dalam
perang tujuh tahun (Seven Years War). Dalam novel ini Voltaire menyatakan
ici on tue de temps entemps un amiral pour encourager les autres yang
artinya in this country, it is good to kill an admiral from time to time, in order
to encourage the others. Dalam konteks hukum pernyataan Voltaire ini sering
dikutip sebagai kontra argumen capital punishment atau hukuman mati.
Smoga, ini menjadi tapakan awal revolosi mental yang dimulai dari sekolah.
Tinggal bagaimana kemudian kita sabagai aparat, sebagai masyarakat
memainkan peran untuk mengawal implementasinya.
Beberapa minggu lalu saya memintanya untuk memberikan komentar untuk buku
saya. Saat ia membaca tentang welfare state, ia sempat berfikir, mungkinkah
Indonesia memiliki dan menerapkan kebijakan yang diterapkan negara penganut
welfare state ini? Keraguan ini, katanya, muncul saat ia mendapati realita bahwa
permasalahan negeri ini terlalu kompleks. Bukan sekedar masalah tata kelola
pemerintahan. Justru dalam banyak hal masalah ada di level masyarakat bawah.
Keraguan yang wajar. Bagaimana tidak, beberapa kali sang anak mengeluhkan
gurunya yang seolah memaksanya untuk memberi contekan pada rekan-rekannya
saat ujian berlangsung. Katanya, sang guru beberapa kali mengajak bicara dan
berharap pengertian anak kawan saya ini. Alasan sang guru sangat simple: untuk
mendongkrak angka rata-rata ujian. Jika langkah ini tidak ditempuh, reputasi sekolah
bisa terancam.
Tidak puas dengan cerita sang anak, sahabat saya ini mencoba mengkonfirmasi ke
guru dan guru sekolah lainnya. Guru pun membenarkan. Malah, katanya itu sesuatu
hal yang wajar. Semua sudah mahfum. Terang saja, sahabat saya sangat shock
mendengar realitas ini. Ia yang selalu berusaha menanamkan kejujuran kepada anak-
anaknya justru dihadapkan pada fakta dimana guru yang seharusnya mengajarkan
kejujuran justru mempertontonkan ketidakjujuran.
Wolak-waliking jamanbarangkali itulah istilah yang tepat. Ya, zaman sudah terbolak
balik. Yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar. Orang jujur dianggap
aneh. Sebaliknya, tidakjujuran telah menjadi satu kewajaran.
Kejadian ini mengingatkan saya pada artikel yang ditulis oleh Gwyn Bevan dan
Christopher Hood yang berjudul What S Measured Is What Matters: Targets And
Gaming In The English Public Health Care System.
Dari judulnya saya yakin anda bisa menebak apa kaitan cerita saya di atas dengan
artikel Bevan dan Hood ini. Whats measured is what matters. Tepat sekali, apa yang
di ukur, itu yang diperhatikan. Tidak peduli bagaimana proses pencapaian dan efek
dari proses pengukuran tersebut.
Oya, hasil pengukuran kinerja ini dipublikasikan secara luas. Tak heran kalau
kemudian perankingan ini dianggap sebagai alat untuk naming and shaming alias
mempermalukan mereka yang berkinerja rendah.
Ternyata kebijakan untuk melakukan star rating berdasarkan target-target yang telah
ditetapkan mempunyai dampak negatif. Dalam artikel tersebut Bevan dan Hood
menyebutkan bahwa target rendahnya angka kematian yang ditetapkan sebagai dasar
penilaian kinerja membuat para dokter enggan menangani pasien-pasien beresiko
tinggi. Mereka lebih memilih menangani pasien-pasien yang tidak terlalu beresiko,
dari pada mereka harus mempertaruhkan kinerja mereka. Mengingat rendahnya
angka kematian yang ditetapkan, kematian satu orang saja bisa membuat angka
tersebut naik secara signifikan.
Hal serupa juga terjadi untuk penanganan pasien yang diangkut oleh ambulans.
Masih menurut Bevan dan Hood, adanya target response time 4 jam atas
penanganan pasien yang dibawa ambulan di rumah sakit mendorong paramedis
untuk mengakali dengan menunda pasien yang diangkut ambulans masuk atau
ditangani di hospital Accident and Emergency (A&E) Departments atau UGD-nya lah.
Kebijakan tersebut memaksa mereka untuk membiarkan pasien menunggu di
ambulance. Mereka akan memastikan terlebih dahulu bahwa mereka akan mampu
menangani pasien tersebut di A& E departement selama empat jam. Bisa
dibayangkan menderitanya pasien ya.
Kalau di Inggris saja yang katanya pelayanan publiknya sudah mapan, bukankah ini
justru membuktikan bahwa penetapan indikator kinerja yang tepat akan berpengaruh
terhadap hasil apa yang kita inginkan. Sebagaimana judul artikel Radnor tersebut,
Whats measured is what matters, maka benarlah bahwa apa yang diukur sangat
menentukan apa yang akan diperhatikan oleh baik oleh organisasi atau penyedia
layanan. Bukan pada hasil yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Jadi,
penetapan indikator kinerja beserta target harus lah hati-hati.
Bevan dan Hood bahkan sempat mengutip satire Voltaire dalam novel Candid untuk
menggambarkan bagaimana kejamnya Inggris menghukum kegagalan Admiral
John Byng untuk mempertahankan Minorca dalam perang tujuh tahun (Seven Years
War). Dalam novel ini Voltaire menyatakan ici on tue de temps entemps un amiral
pour encourager les autres yang artinya in this country, it is good to kill an admiral
from time to time, in order to encourage the others. Dalam konteks hukum
pernyataan Voltaire ini sering dikutip sebagai kontra argumen capital punishment
atau hukuman mati.
Menurut Mbah Wiki, John Byng dinyatakan bersalah atas kegagalannya melaksanakan
do his utmost to prevent Minorca falling to the French di tahun 1756. Dia dihukum
mati dan ditembak oleh pasukan penembak pada tanggal 14 Maret 1757 atas
kegagalan mengemban misi mempertahankan Minorca agar tidak jatuh ke tangan
Perancis. John Byng (1704-1757) mengawali karier di angkatan laut sejak usia 13
tahun. Di usia 19 dia telah menjadi Letnan, dan di usia 23 telah menjadi Captain of
HMS Gibraltar. Setelah tiga belas tahun berkarier di angkatan laut, ia pun
mendapatkan promosi untuk menjadi vice-admiral di tahun 1747.
Terkait dengan misi yang diemban untuk mempertahankan Minorca, ada fakta
menarik yang menjadi penyebab kegagalannya. Masih menurut Wikipidia, Byng tidak
diberikan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan ekspedisinya. Alhasil,
Byng terpaksa hanya bisa mempersiapkan kapal yang seharusnya tidak layak untuk
berlayar.
Kabar terakhir (Koran Tempo, 15 April) Menteri Pendidikan Anies Baswedan merilis
52 Kabupaten atau kota yang selama ini memiliki indeks integritas mencapai 90%.
Indeks ini menunjukkan tingkat kejujuran dalam pendidikan. Angka 90 menunjukkan
bahwa tingkat kerjasama atau kecurangannya kurang dari 10%. Menurut Anies,
indeksi ini bisa dijadikan pertimbangan oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk
menerima calon mahasiswa baru. Kebijakan ini juga telah dinyatakan oleh Presiden
Jokowi yang menyatakan bahwa tahun 2015 ini mulai diterapkan indeks integritas.
Tentu ini perlu disambut baik.
Smoga, ini menjadi tapakan awal revolosi mental yang dimulai dari sekolah. Tinggal
bagaimana kemudian kita sabagai aparat, sebagai masyarakat memainkan peran
untuk mengawal implementasinya.
Bagaimana memasarkan
program-program pemeri
ntah
PUB LI SHED ON May 15, 2017
Sekitar enam tahun lalu saya mencari buku Marketing the nation. Secara
spesifik saya lupa kenapa buku terbitan tahun 96 tersebut saya cari-cari. Yang
jelas hingga beberapa bulan saya tidak bisa mendapatkan buku tersebut. Buku
tersebut tidak tersedia di toko buku tempat saya tinggal. Saya sempat
menemukannya di salah satu toko buku di Jakarta setelah meng-googling.
Namun, hingga saat ini, saat saya kembali teringat buku tersebut, saya belum
pernah menyentuhnya.
Iklan salah satu pasta gigi yang baru saja saya saksikan saat singgah makan
malam menuju Kabupaten Bantaeng seolah mengingatkan kembali rasa
penasaran saya akan buku tersebut. Kebetulan pula dalam beberapa hari
terakhir ini saya sering berdiskusi tentang konsep pariwisata dengan beberapa
teman. Klop lah sudah. Hingga akhirnya angan saya pum melayang pada
Helmy Yahya
upsapa hubungannya ya
Helmy Yahya adalah dosen Marketing saya saat duduk di tingkat 4 DIV STAN
sekitar tahun 2000an. Saat ujian saya sempat mengambil contoh iklan pasta
gigi Close up. Saya sendiri agak lupa-lupa ingat apa jawaban saya waktu itu.
Yang jelas waktu itu iklan pasta gjgi yang menyasar anak muda ini begitu
memikat hingga pemirsa pun tersenyum dibuatnya. Bahkan, iklan ini dibuat
layaknya sinetron karena bersambung antara iklan yang satu dengan iklan
yang lainnya. Mungkin anda juga masih ingat kisahnya di mana saat itu
seorang gadis cantik terpaksa harus terantuk tiang karena terpesona
senyuman berkilau seorang pemuda.
Pada point ini lah marketing the nation sepertinya sesuai dengan konteks
apa yang akan saya bahas terkait dengan perlunya marketing sektor publik.
Pada point ini lah marketing mengejawantah dalam kebijakan-kebijakan
publik. Meski saya baru membaca judulnya sekilas idenya sama. Ehmaaf,
setelah saya googling kembali judul bukunya The Marketing of Nations: A
Strategic Approach to Building National Wealth. Wow. jadi pingin segera
kembali ngampus dan mencari buku ini. Kereeen sekali sepertinya.
Namun demikian, setelah saya baca kembali review-nya, buku ini rupanya
malah tidak membahas marketing itu sendiri. Dalam arti, marketing dalam
relasinya antara customer dan nation yang dalam hal ini dianggap sebagai
corporation atau perusahaan. Buku yang ditulis oleh Phillip Kottler dengan
dua mahasiswa doktoralnya ini justru mengupas bagaimana penerapan
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) untuk sektor
publik. Pada prinsipnya, menurut reviewer buku ini, The Marketing of Nation
mencoba mengadopsi konsep Stratejik Manajemen untuk sektor publik. Jika
demikian, sebenarnya pemerintah kita pun sudah menerapkannya.
Permendagri 54 Tahun 2010 mensyaratkan penggunaan analisis SWOT dalam
menyusun dokumen perencanaan.
Dalam tulisan ini sepertinya, saya ingin melenceng lebih sedikit. Jika Kottler
membahas Stratejik Manajemen dalam judul buku The Marketing of Nations
ini, saya justru ingin mencoba menggunakan definisi marketing secara saklek
untuk mencoba diterapkannya di sektor publik. Baiklah, saya coba kutipkan
saja apa itu definisi marketing ya.
Menurut Philip Kotler marketing adalah the science and art of exploring,
creating, and delivering value to satisfy the needs of a traget market at a profit.
Marketing indentifies unfulfilled needs and desires. It defines, measures and
quantifies the size of the identified market and the profit potential. It
pinpoints which segments the company is capable of serving best and it
designs and promotes the appropriate products and services.
Menarik, jadi marketing menurut pendapat Kotler ini adalah ilmu dan seni
mengeksplorasi, mencipta, dan men-deliver, apa terjemahan enaknya ya, nilai
untuk memenuhi kebutuhan target pasar yang akan dibidik. Termasuk dalam
hal ini mengidentifikasikan kebutuhan dan keinginan yang belum terpenuhi.
Ups..ternyata ada buku Hermawan Kertajaya yang pas untuk saya gunakan
sebagai referensi. Judul bukunya Attracting Tourists, Traders, Investors:
Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Ternyata buku ini telah terbit
sejak tahun 2005. Wahsaya jauh ketinggalan nih. Hasil googlingan
menyatakan bahwa buku ini berisi panduan bagi para bupati, walikota, dan
marketer daerah dalam memasarkan pariwisata, perdagangan, dan investasi.
Buku ini menggunakan konsep pemasaran seperti segmentasi, targeting,
positioning, dan branding dalam mengembangkan potensi daerah. Termasuk,
dilengkapi dengan template marketing plan sebagai acuan implementasi
strategi pemasaran daerah. Bahkan buku ini dilengkapi dengan strategi kasus
Jakarta, Jogja, Bandung, Bali, Batam dan lain-lain. Wah..harus segera hunting
buku ini nih
Apa pun isi buku Hermawan Kertajaya tersebut, menurut saya pemda sangat
membutuhkan pemasar handal yang banyak. Bahkan, seluruh pegawai wajib
hukumnya belajar pemasaran. Walahkok lebay. Ya, begitulah. Pemerintahan
tidak hanya memproduksi barang dan jasa, yang lebih penting justru nilai-
nilai yang tak terlihat, tak berwujud, tak bisa disentuh, alias intangible.
Bahkan, intangible ini lah yang justru cakupannya lebih banyak.
Kalau barang kita bisa mengambil contoh air yang diproduksi PDAM, kalau
jasa kita bisa melihat destinasi pariwisata atau kebersihan wilayah sebagai
produk yang dihasilkan. Bagaimana dengan nilai? Nilai terkait dengan
mindset atau pola pikir. Nilai terkait dengan bagaimana pemerintah memiliki
peran besar untuk membangun karakter dan budaya bangsa. Termasuk,
bagaimana pemerintah mampu mengubah mindset yang terlanjur merasuk
menjadi budaya baru yang lebih baik.
Kalau pepsodent saja, yang hanya sekedar pasta gigi, atau coca cola, yang
hanya sekedar minuman bersoda saja butuh beriklan dengan gigih, mengapa
nilai-nilai kebaikan dipasarkan seadanya? Bagaimana mungkin masyarakat
akan merubah mindset-nya jika proses internalisasi nilai-nilai tersebut tidak
pernah terjadi?
Sebagaimana pepsodent, bukan kah masyarakat juga sudah tau bahwa bersih
itu indah? Sebagaimana coca cola, bukankah kita juga tau bahwa korupsi itu
dosa? Kalau pepsodent dan coca cola saja terus berinovasi dan mencipta iklan
secara kreatif selayaknya pesan-pesan hidup bersih, kejujuran,
kesederhanaan, kesahajaan, kebersamaan, kebhinekaan, dan kepatuhan
dikemas secara dengan lebih baik.
Advertisements
Iklan salah satu pasta gigi yang baru saja saya saksikan saat singgah makan malam
menuju Kabupaten Bantaeng seolah mengingatkan kembali rasa penasaran saya akan
buku tersebut. Kebetulan pula dalam beberapa hari terakhir ini saya sering berdiskusi
tentang konsep pariwisata dengan beberapa teman. Klop lah sudah. Hingga akhirnya
angan saya pum melayang pada Helmy Yahya
upsapa hubungannya ya
Helmy Yahya adalah dosen Marketing saya saat duduk di tingkat 4 DIV STAN sekitar
tahun 2000an. Saat ujian saya sempat mengambil contoh iklan pasta gigi Close up.
Saya sendiri agak lupa-lupa ingat apa jawaban saya waktu itu. Yang jelas waktu itu
iklan pasta gjgi yang menyasar anak muda ini begitu memikat hingga pemirsa pun
tersenyum dibuatnya. Bahkan, iklan ini dibuat layaknya sinetron karena bersambung
antara iklan yang satu dengan iklan yang lainnya. Mungkin anda juga masih ingat
kisahnya di mana saat itu seorang gadis cantik terpaksa harus terantuk tiang karena
terpesona senyuman berkilau seorang pemuda.
Sebagai pendatang baru close up boleh dibilang cukul berhasil mencuri pangsa
pasar pepsodent yang bahkan hingga saat ini pun tetap menguasai pasar. Meski telah
menjadi top of mind pepsodent tetap rajin beriklan hingga saat ini. Oya, istilah top
of mind ini juga saya dapatkan dari Helmy Yahya. Beliau adalah dosen yang handal
dan sangat menguasai materi yang dibawakan. Kalau saat ini masih teringat beberapa
point-point ajarannya itu karena cara beliau menyampaikan pelajaran begitu memikat
sehingga saya terhindar dari rasa kantuk.
Pada point ini lah marketing the nation sepertinya sesuai dengan konteks apa yang
akan saya bahas terkait dengan perlunya marketing sektor publik. Pada point ini lah
marketing mengejawantah dalam kebijakan-kebijakan publik. Meski saya baru
membaca judulnya sekilas idenya sama. Ehmaaf, setelah saya googling kembali
judul bukunya The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building National
Wealth. Wow. jadi pingin segera kembali ngampus dan mencari buku ini. Kereeen
sekali sepertinya.
Namun demikian, setelah saya baca kembali review-nya, buku ini rupanya malah
tidak membahas marketing itu sendiri. Dalam arti, marketing dalam relasinya antara
customer dan nation yang dalam hal ini dianggap sebagai corporation atau
perusahaan. Buku yang ditulis oleh Phillip Kottler dengan dua mahasiswa doktoralnya
ini justru mengupas bagaimana penerapan analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity, dan Threat) untuk sektor publik. Pada prinsipnya, menurut reviewer
buku ini, The Marketing of Nation mencoba mengadopsi konsep Stratejik Manajemen
untuk sektor publik. Jika demikian, sebenarnya pemerintah kita pun sudah
menerapkannya. Permendagri 54 Tahun 2010 mensyaratkan penggunaan analisis
SWOT dalam menyusun dokumen perencanaan.
Dalam tulisan ini sepertinya, saya ingin melenceng lebih sedikit. Jika Kottler
membahas Stratejik Manajemen dalam judul buku The Marketing of Nations ini, saya
justru ingin mencoba menggunakan definisi marketing secara saklek untuk mencoba
diterapkannya di sektor publik. Baiklah, saya coba kutipkan saja apa itu definisi
marketing ya.
Menurut Philip Kotler marketing adalah the science and art of exploring, creating,
and delivering value to satisfy the needs of a traget market at a profit. Marketing
indentifies unfulfilled needs and desires. It defines, measures and quantifies the size
of the identified market and the profit potential. It pinpoints which segments the
company is capable of serving best and it designs and promotes the appropriate
products and services.
Menarik, jadi marketing menurut pendapat Kotler ini adalah ilmu dan seni
mengeksplorasi, mencipta, dan men-deliver, apa terjemahan enaknya ya, nilai untuk
memenuhi kebutuhan target pasar yang akan dibidik. Termasuk dalam hal ini
mengidentifikasikan kebutuhan dan keinginan yang belum terpenuhi.
Ups..ternyata ada buku Hermawan Kertajaya yang pas untuk saya gunakan sebagai
referensi. Judul bukunya Attracting Tourists, Traders, Investors: Strategi Memasarkan
Daerah di Era Otonomi. Ternyata buku ini telah terbit sejak tahun 2005. Wahsaya
jauh ketinggalan nih. Hasil googlingan menyatakan bahwa buku ini berisi panduan
bagi para bupati, walikota, dan marketer daerah dalam memasarkan pariwisata,
perdagangan, dan investasi. Buku ini menggunakan konsep pemasaran seperti
segmentasi, targeting, positioning, dan branding dalam mengembangkan potensi
daerah. Termasuk, dilengkapi dengan template marketing plan sebagai acuan
implementasi strategi pemasaran daerah. Bahkan buku ini dilengkapi dengan strategi
kasus Jakarta, Jogja, Bandung, Bali, Batam dan lain-lain. Wah..harus segera hunting
buku ini nih
Apa pun isi buku Hermawan Kertajaya tersebut, menurut saya pemda sangat
membutuhkan pemasar handal yang banyak. Bahkan, seluruh pegawai wajib
hukumnya belajar pemasaran. Walahkok lebay. Ya, begitulah. Pemerintahan tidak
hanya memproduksi barang dan jasa, yang lebih penting justru nilai-nilai yang tak
terlihat, tak berwujud, tak bisa disentuh, alias intangible. Bahkan, intangible ini lah
yang justru cakupannya lebih banyak.
Kalau barang kita bisa mengambil contoh air yang diproduksi PDAM, kalau jasa kita
bisa melihat destinasi pariwisata atau kebersihan wilayah sebagai produk yang
dihasilkan. Bagaimana dengan nilai? Nilai terkait dengan mindset atau pola pikir. Nilai
terkait dengan bagaimana pemerintah memiliki peran besar untuk membangun
karakter dan budaya bangsa. Termasuk, bagaimana pemerintah mampu mengubah
mindset yang terlanjur merasuk menjadi budaya baru yang lebih baik.
Kalau pepsodent saja, yang hanya sekedar pasta gigi, atau coca cola, yang hanya
sekedar minuman bersoda saja butuh beriklan dengan gigih, mengapa nilai-nilai
kebaikan dipasarkan seadanya? Bagaimana mungkin masyarakat akan merubah
mindset-nya jika proses internalisasi nilai-nilai tersebut tidak pernah terjadi?
Sebagaimana pepsodent, bukan kah masyarakat juga sudah tau bahwa bersih itu
indah? Sebagaimana coca cola, bukankah kita juga tau bahwa korupsi itu dosa? Kalau
pepsodent dan coca cola saja terus berinovasi dan mencipta iklan secara kreatif
selayaknya pesan-pesan hidup bersih, kejujuran, kesederhanaan, kesahajaan,
kebersamaan, kebhinekaan, dan kepatuhan dikemas secara dengan lebih baik.
Terlepas dari segala permasalahan di atas, dalam level pemerintah daerah kita
mengenal Solo, Bandung, Surabaya, dan Bantaeng sebagai kota yang memiliki
masa depan. Semasa menjabat sebagai Walikota Solo, Joko Widodo dianggap
telah sukses merubah wajah kota menjadi kota yang ramah lingkungan
dengan taman-taman dan pasar yang tertata.
Peningkatkan kinerja ala pacuan gajah adalah salah satu tulisan yang saya
jadikan judul buku ini. Gajah adalah suatu perumpamaan figur instansi
pemerintah yang biasanya tambun dan gerakannya lambat. Di sisi lain, ketika
gajah-gajah tersebut maju dalam sebuah pacuan, akan ada yang menjadi
pemenang dan ada yang menjadi pecundang. Siapakah sosok pemenang
tersebut? Siapakah sosok pecundang tersebut? Dalam pemerintahan sang
pemenang adalah mereka yang mampu berkinerja tinggi sementara yang lain
masih dililit penyakit akut birokrasi.
Apakah rahasia sang pemenang? Ada apa di balik para high performers?
Benarkah karena ia dilahirkan sebagai pemenang, ataukah ada faktor lain
yang justru lebih kuat hingga membentuknya menjadi pemenang?
Pertanyaan tersebut akan anda temukan jawabannya dalam buku ini. Dengan
teori pacuan gajah yang tersaji dalam buku ini nantinya anda akan dapat
menemukan jawaban sendiri mengapa KPK bisa menjadi organisasi hebat dan
terpercaya, sementara tidak demikian dengan lembaga penegakan hukum
lainnya.
Buku yang ada dihadapan anda ini adalah kumpulan tulisan selama saya
menjalani program doktoral di Victoria University, Melbourne. Meski berupa
kumpulan berbagai tema, pesan yang dibawa hanya satu. Yaitu, bagaimana
kita dapat memberikan kontribusi untuk membawa perubahan baik pada level
orgnisasi maupun individu.
Kalau selama ini kita gagal berubah, sungguh permasalahannya bukan pada
tingkat komitmen. Kita semua mempunyai mimpi yang sama akan Indonesia
yang lebih baik. Kegagalan kita mewujudkannya, lebih pada ke-belum
mampu-an kita untuk menjawab dan berfikir tentang how.
Saya berharap buku ini dapat menjadi inspirasi bagi para penentu kebijakan
dan kita semua sebagai agen perubah di lingkungan kita masing-masing.
Sengaja saya kemas buku ini dengan bahasa yang ringan dan santai agar
mudah di pahami oleh siapa saja. Buku ini adalah catatan harian kegiatan saya
sebagai mahasiswa yang memiliki tiga anak. Saya mencoba mengambil setiap
hikmah kejadian sehari-hari dan mengaitkannya dengan teori-teori yang saya
pelajari saat ini.
Buku peningkatkan kinerja ala pacuan gajah ini terbagi dalam empat bagian.
Bagian pertama berkisah tentang tata kelola pemerintahan. Anda akan
mendapati bagaimana Pemerintah Australia mengelola public transport,
menerapkan manajemen kinerja, aplikasi e-government, kesejahteraan,
kependudukan, pendidikan, serta kesehatan. Dalam bagian ini pula saya
sertakan tulisan-tulisan terkait teori-teori yang terkait dengan tata kelola
pemerintahan, termasuk manajemen kinerja dan pencegahan korupsi. Anda
juga akan menemukan serial Followership pada bagian ini. Ending dari
seri followership akan membawa kita pada pemahaman bagaimana kita
mampu menjadi seorang Exemplary Followers yang tidak hanya dapat
merubah lingkungan tapi juga mampu mempengaruhi pimpinan untuk
melakukan perubahan. Tulisan tentang Islamicity Index, yang mengakhiri
bagian ini, merupakan upaya untuk mengkritisi hasil riset peneliti Amerika
yang sekilas cenderung mendiskreditkan penerapan syariat Islam. Fokus
tulisan Islamicity lebih menekankan pada kualitas kebijakan publik yang
diambil pemerintah. Bukan pada latar belakang agama yang diyakini
masyarakat.
Tema kedua, PhD Journey, tak lain dan tak bukan adalah catatan harian saya
selama menjalani program doktoral. Suka, duka, serta tantangan yang saya
hadapi dapat anda temukan di sini. Termasuk, apa saja sih yang membuat
saya menarik diri dari media sosial.
Pada bagian ketiga, saya masih mengaitkannya dengan kebijakan publik yang
ditempuh pemerintah Australia. Hanya saja, sengaja saya pisahkan bagian ini
karena lebih berfokus pada kebijakan pendidikan, khususnya sekolah.
Terlebih khusus pada pengalaman anak saya bersekolah di sini. Di bagian ini
anda akan menemukan bagaimana upacara menjadi salah satu cara untuk
meningkatkan kreativitas anak, bagaimana sekolah mendorong anak
mengonsumsi makanan sehat, bagaimana upaya Pemerintah Australia
membangkitkan minat baca, serta bagaimana model pendidikan integratif.
Bagian terakhir bertema Life isyang merupakan tulisan bebas atau cerita
sehari-hari yang terserak dan saya punguti smoga dapat di ambil hikmahnya.
Kisah pertemuan saya dengan wanita Lebanon, kisah rezeki toko cina, dan
suka duka saya mencari dan menempati tempat tinggal di sini, serta
bagaimana masyarakat Australia memberikan apresiasi kepada seseorang.
Boleh jadi kepercayaan kita terhadap pemerintah sudah sampai pada titik nadir.
Reformasi yang diharapkan dapat mengubah wajah bangsa ternyata tak jua
membawa hasil yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Kasus korupsi tetap marak.
Fasilitas pendidikan, kesehatan ataupun infrastruktur kota juga tak kunjung membaik.
Urusan perijinan masih saja lekat dengan pungutan liar.
Terlepas dari segala permasalahan di atas, dalam level pemerintah daerah kita
mengenal Solo, Bandung, Surabaya, dan Bantaeng sebagai kota yang memiliki masa
depan. Semasa menjabat sebagai Walikota Solo, Joko Widodo dianggap telah sukses
merubah wajah kota menjadi kota yang ramah lingkungan dengan taman-taman dan
pasar yang tertata.
Di Bandung, Ridwan Kamil pun tak kalah inovatif. Ia telah memanjakan masyarakat
dengan fasilitas publik yang membuat iri masyarakat dari daerah lain. Demikian
halnya di Surabaya, Tri Rismaharini tidak hanya menata kota, tapi melakukan
perubahan yang mendasar pada tata kelola pemerintahannya. Penerapan e-
government di Surabaya terbukti meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
anggaran. Jauh di luar pulau Jawa, kita mengenal Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng
yang mendapatkan berbagai penghargaan, diantaranya adalah program BSB atau
Brigade Siaga Bencana BUMDes yang mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat.
Kalau Solo, Bandung, Surabaya, dan Bantaeng mampu menjadi kota impian, mengapa
daerah-daerah lain tidak terdengar gaungnya? Benarkah sosok pimpinan menjadi
satu-satunya penentu keberhasilan suatu organisasi?
Peningkatkan kinerja ala pacuan gajah adalah salah satu tulisan yang saya jadikan
judul buku ini. Gajah adalah suatu perumpamaan figur instansi pemerintah yang
biasanya tambun dan gerakannya lambat. Di sisi lain, ketika gajah-gajah tersebut
maju dalam sebuah pacuan, akan ada yang menjadi pemenang dan ada yang menjadi
pecundang. Siapakah sosok pemenang tersebut? Siapakah sosok pecundang
tersebut? Dalam pemerintahan sang pemenang adalah mereka yang mampu
berkinerja tinggi sementara yang lain masih dililit penyakit akut birokrasi.
Apakah rahasia sang pemenang? Ada apa di balik para high performers? Benarkah
karena ia dilahirkan sebagai pemenang, ataukah ada faktor lain yang justru lebih kuat
hingga membentuknya menjadi pemenang?
Pertanyaan tersebut akan anda temukan jawabannya dalam buku ini. Dengan teori
pacuan gajah yang tersaji dalam buku ini nantinya anda akan dapat menemukan
jawaban sendiri mengapa KPK bisa menjadi organisasi hebat dan terpercaya,
sementara tidak demikian dengan lembaga penegakan hukum lainnya.
Buku yang ada dihadapan anda ini adalah kumpulan tulisan selama saya menjalani
program doktoral di Victoria University, Melbourne. Meski berupa kumpulan
berbagai tema, pesan yang dibawa hanya satu. Yaitu, bagaimana kita dapat
memberikan kontribusi untuk membawa perubahan baik pada level orgnisasi
maupun individu.
Kalau selama ini kita gagal berubah, sungguh permasalahannya bukan pada tingkat
komitmen. Kita semua mempunyai mimpi yang sama akan Indonesia yang lebih baik.
Kegagalan kita mewujudkannya, lebih pada ke-belum mampu-an kita untuk
menjawab dan berfikir tentang how.
Percayalah, dengan melihat praktek pemerintahan yang baik kita akan mampu
melihat permasalahan dengan new eyes sebagaimana solusi yang ditawarkan David
Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka Reinventing Government. Buku ini juga
membawa pesan bagaimana mengatasi masalah dengan membangun sebuah sistem
yang handal, bukan berfokus pada perbaikan individu.
Saya berharap buku ini dapat menjadi inspirasi bagi para penentu kebijakan dan kita
semua sebagai agen perubah di lingkungan kita masing-masing. Sengaja saya kemas
buku ini dengan bahasa yang ringan dan santai agar mudah di pahami oleh siapa saja.
Buku ini adalah catatan harian kegiatan saya sebagai mahasiswa yang memiliki tiga
anak. Saya mencoba mengambil setiap hikmah kejadian sehari-hari dan
mengaitkannya dengan teori-teori yang saya pelajari saat ini.
Buku peningkatkan kinerja ala pacuan gajah ini terbagi dalam empat bagian. Bagian
pertama berkisah tentang tata kelola pemerintahan. Anda akan mendapati
bagaimana Pemerintah Australia mengelola public transport, menerapkan
manajemen kinerja, aplikasi e-government, kesejahteraan, kependudukan,
pendidikan, serta kesehatan. Dalam bagian ini pula saya sertakan tulisan-tulisan
terkait teori-teori yang terkait dengan tata kelola pemerintahan, termasuk
manajemen kinerja dan pencegahan korupsi. Anda juga akan menemukan serial
Followership pada bagian ini. Ending dari seri followership akan membawa kita pada
pemahaman bagaimana kita mampu menjadi seorang Exemplary Followers yang
tidak hanya dapat merubah lingkungan tapi juga mampu mempengaruhi pimpinan
untuk melakukan perubahan. Tulisan tentang Islamicity Index, yang mengakhiri
bagian ini, merupakan upaya untuk mengkritisi hasil riset peneliti Amerika yang
sekilas cenderung mendiskreditkan penerapan syariat Islam. Fokus tulisan Islamicity
lebih menekankan pada kualitas kebijakan publik yang diambil pemerintah. Bukan
pada latar belakang agama yang diyakini masyarakat.
Tema kedua, PhD Journey, tak lain dan tak bukan adalah catatan harian saya selama
menjalani program doktoral. Suka, duka, serta tantangan yang saya hadapi dapat
anda temukan di sini. Termasuk, apa saja sih yang membuat saya menarik diri dari
media sosial.
Pada bagian ketiga, saya masih mengaitkannya dengan kebijakan publik yang
ditempuh pemerintah Australia. Hanya saja, sengaja saya pisahkan bagian ini karena
lebih berfokus pada kebijakan pendidikan, khususnya sekolah. Terlebih khusus pada
pengalaman anak saya bersekolah di sini. Di bagian ini anda akan menemukan
bagaimana upacara menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kreativitas anak,
bagaimana sekolah mendorong anak mengonsumsi makanan sehat, bagaimana
upaya Pemerintah Australia membangkitkan minat baca, serta bagaimana model
pendidikan integratif.
Bagian terakhir bertema Life isyang merupakan tulisan bebas atau cerita sehari-hari
yang terserak dan saya punguti smoga dapat di ambil hikmahnya. Kisah pertemuan
saya dengan wanita Lebanon, kisah rezeki toko cina, dan suka duka saya mencari dan
menempati tempat tinggal di sini, serta bagaimana masyarakat Australia memberikan
apresiasi kepada seseorang.
Jadilah Elang adalah satu-satunya tulisan yang bukan produk Melbourne. Sengaja
saya masukkan dalam buku ini karena secara tidak langsung berkaitan dengan tema
buku yang saya usung. Di antara seluruh tulisan yang pernah saya tulis, artikel inilah
yang saya anggap terbaik.
Harapannya buku ini adalah buku pertama dari serangkaian buku serial manajemen
sektor publik yang akan saya terbitkan. Semoga Sang Pencipta selalu memberi
kekuatan untuk terus menulis dan dapat membagikan apa yang saya dapatkan
selama merenangi lautan ilmu dan hikmah di Australia. Insya Allah.
Kalau bangku kuliah memungkinkan saya memahami begitu luasnya lautan ilmu,
maka keluarga adalah tempat di mana saya dapat melihat aplikasi bagaimana teori-
teori yang saya pelajari diterapkan. Berbagai liku hidup mengurus sekolah, tempat
tinggal, bahkan hingga mengelola penyediaan menu sehari-hari mengantarkan saya
memahami teori dan sisi kebijakan pemerintah hingga menyentuh level individu.