You are on page 1of 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya kita dapa tmenyelesaikan makalah
tentang kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi,latihan ROM dan
perawatan luka post ORIF dan OREF.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa


masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat


baik bagi pembaca.

Denpasar ,25 September 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................... iii


1.1. Latar Belakang ............................................. iii
1.2. Rumusan Masalah ....................................... iv
1.3. Tujuan Penulisan ........................................ iv

BAB II PEMBAHASAN..................................................... 1

2.1.Pengertian mobilisasi dan imobilisasi............. 1


2.2.Mekanika tubuh............................................... 2
2.3.Pengaturan Gerakan....................................... 3
2.4.Pengaruh patologi dan kesejajaran tubuh
dan mobilisasai....................................................5
2.5.Gangguan mobilisasi............................................6
2.6.Mobilisasi pada pasien fraktur dengan
latihan ROM.........................................................9
2.7.Perawatan luka post operasi ORIF dan OREF 13

BAB III PENUTUP 20


3.1. Kesimpulan .......................................... 20
3.2. Saran ........................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................22

BAB I
PENDAHULUAN
2
A. Latar Belakang

Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Pada


dasarnya,setiap orang memiliki kebutuhan yang sama. Akan tetapi karena
terdapat perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam
memenuhi kebutuhannya ,manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang
ada. Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berfikir keras dan
bergerak untuk berusaha mendapatkan. Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan
fisik manusia merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang harus terpenuhi
agar kelangsungan hidup bisa bertahan.
Ada beberapa kebutuhan fisik manusia yang akan dibahas yaitu Mobilisasi yang
merupakansuatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan
teratur sertapengaturan posisi sebagai salah satu cara mengurangi resiko
menghindari terjadinyadekubitus/pressure area akibat tekanan yang menetap
pada bagian tubuh danmempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai
dengan body aligmen (Struktur tubuh).
Mobilisasi mempunyai banyak tujuan, seperti megekspresikan emosi
dengangerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar,
aktivitas kehidupansehari-hari dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan
mobilisasi fisik secaraoptimal maka system saraf, otot, dan skeletal harus tetap
utuh dan berfungsi baik.Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, danimobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang
untuk bergerak dengan bebas.
Mobilisasi dan imobilisasi berada pada satu rentang dengan banyak
tingkatanimobilisasi parsial di antaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran
danselanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien
lain,berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu
tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk/kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi.?
3
2. Bagaimana latihan Range of Motion (ROM) pada pasien fraktur post
ORIF dan OREF?
3. Bagaimana perawatan luka post operasi OREF dan OREF

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bentuk/kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi`
2. Untuk mengetahui latihan ROM pada pasien fraktur post ORIF dan OREF
3. Untuk mengetahui perawatan luka post operasi OREF dan OREF

BAB II

4
PEMBAHASAN

1.MOBILISASI DAN IMOBILISASI

I. Pengertian
Mobilisasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus
terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk
melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi),mempertahankan diri
(melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri,mengekspresikan
emosi dengan gerakan tangan non verbal.
Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik.atau ketidakmampuan untuk
bergerak secara aktif akibat penyakit atau impairment(gangguan pada alat atau
organ tubuh)yang bersifat fisik ataupun mental.imobilisasi dapat diartikansebagai
keadaan tidak bergerak atau tirah baring yang terus menerus selama lima hari
atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis.(Potter& Perri,2010) Immobilisasi
dapat berbentuk tirahbaring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan
kebutuhan oksigen tubuh, menguranginyeri, dan untuk mengembalikan
kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baringakan kehilangan kekuatan
otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).
II. Tujuan Mobilisasi :
Memenuhi kebutuhan dasar manusia
Mencegah terjadinya trauma
Mempertahankan tingkat kesehatan
Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari - hari
Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
III. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi :
Gaya Hidup : Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat
pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh
perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan
pengetahuan kesehatan tetang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan
mobilisasi dengan cara yang sehat misalnya; seorang ABRI akan berjalan
dengan gaya berbeda dengan seorang pramugari atau seorang pemambuk.
Proses Penyakit Dan Injury : Adanya penyakit tertentu yang di derita
seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya misalnya; seorang yang patah
tulang akan kesulitan untukobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang
baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak
lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita

5
penyakit tertentu misallya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit
kardiovaskuler.
Kebudayaan : Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam
melakukan aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap
hari akan berebda mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil dalam
segala keperluannya. Wanita kraton akan berbeda mobilitasnya dibandingkan
dengan seorang wanita madura dan sebagainya.
Tingkat Energy : Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau
energi, orang yang lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan
orang sehat apalagi dengan seorang pelari.
Usia dan Status Perkembangan : Seorang anak akan berbeda tingkat
kemampuan mobilitasny dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang
selalu sakit dalam masa pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat
kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering sakit.
Tipe Persendian dan Pergerakan Sendi : Dalam sistim muskuloskeletal
dikenal 2 maca persendian yaitu sendi yang dapat digeragan (diartroses) dan
sendi yang tidak dapat digerakan (siartrosis).

A. MEKANIKA TUBUH
Mekanika tubuh adalah suatu usaha mengoordinasikan sistem
muskolokeletal dan sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan , postur,
dan kesejajaran tubuh dalam mengangkat, membungkuk, bergerak, dan
melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini di pengaruhi oleh kesejajaran tubuh atau
postur yang mengacu pada posisi sendi, tendon, ligamen, dan otot selama
berdiri. Semakin sejajar postur tubuh, maka akan semakin besar
keseimbangannya. Keseimbangan diperlukan untuk mempertahankan posisi,
memperoleh kestabilan selama bergerak dari satu posisi ke posisi lain,
melakukan aktivitas sehari-hari, dan bergerak bebas di komunitas.
Berat adalah gaya pada tubuh yang digunakan terhadap gravitasi. Salah
satu dari gaya yang ditimbulkan oleh tubuh adalah friksi.Friksi adalah gaya yang
muncul dengan arah gerakan yang berlawanan terhadap gerakan benda. Klien
pasif atau imobilisasi akan menghasilkan friksi yang lebih besar untuk bergerak.
Friksi dapat dikurangi dengan cara mengangkat klien, bukan mendorong klien.

B. PENGATURAN GERAKAN
6
Koordinasi gerakan tubuh merupakan fungsi yang saling mendukung
antara sistem skeletal, otot skelet, dan sistem saraf. Skelet adalah rangka
pendukung tubuh, yang berfungsi sebagai tempat melekatnya otot dan ligamen.
Karakteristik skelet adalah kekokohan, kekakuan, dan elastisitas. Skelet terdiri
dari empat tipe , yaitu panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan).
Tulang panjang membentuk tinggi tubuh dan berbentuk panjang. Tulang pendek
ada dalam bentuk kelompok dan ketika dikombinasikan dengan ligamen dan
kertilago akan menghasilkan gerakan pada ekstremitas. Sedangkan tulang pipih
adalah tulang yang mendukung struktur bentuk. Tulang ireguler membentuk
kolumna vertebra dan beberapa tulang tengkorak.
Sendi adalah hubungan antar tulang. Sendi dibagi menjadi empat, yaitu
sendi sinostotik, kertilaginus, fibrosa, dan sinorvial. Sendi sinostotik mengacu
pada ikatan tulang dengan tulang. Sendi kartilaginus atau sendi sindesmodial
memiliki sedikit gerakan, tetapi elastis dan menggunakan kartilago untuk
menyatukan permukaannya. Sendi fibrosa atau sendi sindesmodial adalah sendi
tempat kedua permukaan tulang disatukan dengan ligamen atau membran.
Sendi dinorvial atau sendi yang sebenarnya adalah sendi yang dapat
digerrakkan secara bebas karena permukaan tulang yang berdekatan dilapisi
oleh kartilago artikular dan digabungkan oleh ligamen sejajar dengan membran
sinovial.
Jaringan yang ikat di bagi menjadi tiga, yaitu ligamen, tendon, dan
kartilago. Ligamen adalah ikatan jaringan fibrosa yang berwarna putih,
mengkilat, fleksibel mengikat sendi menjadi satu, dan menghubungkan tulang
dengan kartilago. Sedangkan tendon adalah jaringan ikat fibrosa berwarna putih,
mengkilat, yang menghubungkan otot dengan tulang. Kartilago adalah jaringan
penyambung yang tidak mempunyai vaskuler, yang terletak terutama di sendi
dan toraks, trakhea, laring, hidung, dan telinga. Sendi, ligamen, tendon, dan
kartilago berfungsi untuk mendukung kekuatan dan fleksibilitas skelet.
Gerakan tulang dan sendi merupakan proses aktif yang harus terintegrasi
secara hati-hati untuk mencapai koordinasi. Gerakan tersebut terjadi karena
adanya kontraksi otot yang dirangsang oleh impuls elektrokimia yang berjalan
dari saraf ke otot melalui sambungan mioneural.

7
Ada dua tipe kontraksi otot, yaitu isotonik dan isomerik. Pada kontraksi
isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi
isomerik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada
pemendekan atau gerakan aktif dari otot. Dalam hal ini, perawat harus
mengetahui tentang penggunaan energi yang dikaitkan dengan latihan isometrik,
karena hal ini menjadi kontra indikasi pada klien dengan penyakit tertentu.
Otot yang penting dalam pergerakan melekat di regio skelet, yaitu tempat
pergerakan itu ditimbulkan oleh pengungkitan. Gerakan mengungkit adalah
karakteristik dari pergerakan ekstremitas atas. Fungsi otot adalah untuk
mempertahankan postur, berbentuk pendek, dan menyerupai kulit, karena
membungkus tendon dengan arah miring berkumpul secara tidak langsung pada
tendon.
Postur dan pergerakan dapat mencerminkan kepribadian dan suasana
hati seseorang. Postur dan pergerakan juga bergantung pada ukuran skelet dan
perkembangan otot skelet. Didalam hal ini, Tonus adalah suatu keadaan normal
dari tegangan otot yang seimbang. Tonus otot dipertahankan melalui
penggunaan otot yang terus menerus.
Kelompok otot dibedakan menjadi tiga, yaitu otot antagonistik, otot
sinergistik, dan otot antigravitas. Otot antagonistik bekerjasama untuk
menggerakkan sendi. Otot sinergistik berkontraksi bersama untuk
menyempurnakan gerakan yang sama.Dan otot antigravitas berpengaruuh pada
stabilasi sendi dan secara terus menerus melawan efek gravitasi tubuh dan
mempertahankan postur tegak atau duduk.
Postur dan pergerakan tubuh tidak hanya bergantung pada skelet, tetapi
juga tergantung pada sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh fungsi sistem saraf
sebagai pengatur dalam postur dan pergerakan tubuh seseorang. Area motorik
volunter utama berada pada korteks serebral, yaitu di girus prasental atau jalur
motorik. Selama gerakan volunter, impuls akan turun dari jalur motorik ke medula
spinalis. Setelah impuls keluar dari medula spinalis melalui saraf motorik eferen,
impuls akan berjalan melalui saraf lalu ke otot sehingga terjadi gerakan.
Transmisi impuls dari sistem muskuloskeletal merupakan peristiwa kimia listrik
dan membutuhkan neurotransmitter.

8
Neurotransmitter adalah substansi kimia seperti asetilkolin yang
memindahkan impuls listrik dari saraf yang bersilangan pada simpul mioneural
ke otot. Gangguan pada neurotransmitter dapat mengakibatkan gangguan pada
pergerakan, sedangkan postur diatur oleh sistem saraf dan ditentukan dari
koordinasi propriosepsi dan keseimbangan.
Propiosepsi adalah sensasi yang didapat melalui stimulasi dari dalam
tubuh mengenai posisi dan aktifitas otot tertentu. Dalam melakukan kegiatan
sehari-hari, propiosepsi memantau aktivitas otot dan posisis tubuh secara terus
menerus.
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mencapai dan
mempertahankan postur tubuh tetap tegak melawan gravitasi (duduk atau
berdiri) untuk mengatur seluruh keterampilan aktivitas motorik (Glick, 1992).
Organ yang mempertahankan keseimbangan adalah serebelum (otak kecil ) dan
telinga bagian dalam ( tiga saluran setengah lingkaran).
Semua mekanika tubuh penting untuk perawat dan klien. Hal ini
dikarenakan Perawat menggunakan berbagai kelompok otot untuk setiap
aktivitas keperawatan, seperti berjalan selama ronde keperawatan, memberikan
obat, mengangkat dan memindahkan klien, dan menggerakkan objek.

C. PENGARUH PATOLOGIS PADA KESEJAJARAN TUBUH DAN


MOBILISASI
Banyak kondisi patologis yang mempengaruhi kesejajaran tubuh dan
mobilisasi. Salah satunya adalah kelainan postur yang didapat atau kongnietal
yang mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal, seperti kesejajaran tubuh,
keseimbangan, dan penampilan. Dengan adanya keadaan patologis, maka
perawat menciptakan intervensi keperawatan untuk menguatkan kelompok sendi
yang sakit, memperbaiki postur klien, dan menggunakan kelompok otot yang
sakit dan tidak sakit secara adekuat.
Distrofi muskular adalah sekumpulan gangguan yang disebabkan oleh
degenerasi serat otot skelet. Kerusakan komponen sistem saraf pusat yang
mengatur pergerakan volunteer mengakibatkan gangguan kesejajaran tubuh dan
mobilisasi. Gangguan motorik dapat langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakannya. Selain itu karena serat motorik volunteer turun dari jalur motorik

9
serebrum bawah medula spinalis, maka trauma pada medula spinalis juga
mengganggu mobilisasi.
Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal menyebabkan memar,
kontusio, salah urat, dan fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang. Fraktur biasa terjadi karena trauma langsung eksternal, tetapi dapat juga
terjadi karena deformitas tulang. Jika fraktur mengalami penyembuahan, maka
tulang akan membaik. Dalam hal ini, penatalaksanaan meliputi mengembalikan
posisi tulang pada kesejajarannya dan mengimobilisasikan tulang untuk
mendukung penyembuhan serta mengembalikan fungsi. Tanpa memperhatikan
kerusakan, rencana asuhan keperawatan meliputi intervensi yang
mempertahankan tingkat kesejajaran dan mobilisasi sendi yang ada dan
meningkatkan fungsi motorik klien.

D. GANGGUAN MOBILISASI
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk
bergerak dengan bebas. Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien
dibatasi untuk tetap berada di tempat tidur untuk tujuan terapeutik. Istilah atrofi
disuse digunakan untuk menggambarkan pengurangan ukuran serat otot secara
patologis setelah inaktivitas yang lama akibat tirah baring, trauma, pemakaian
gips, ateu kerusakan saraf lokal.
Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu
mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam
tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam
bentuk tirah baring, pembatasan geerak fisik selama penggunaan alat bentu
eksternal, pembatasan gerakan volunteer, atau kehilangan fungsi motorik.
Apabila terjadi perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko
terjadi gangguan. Akan tetapi hal ini dapat di atasi dengan adanya sistem
endokrin. Sistem endokrin merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar,
membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital, seperti respon terhadap
stress dan cedera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, homeostasis
ion, dan metabolis energi. Akan tetapi jika tetap terjadi imobilisasi, maka akan

10
tejadi gangguan fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit;
ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan.
Defesiansi kalori dan protein merupakan karaktristik klien yang mengalami
penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Selanjutnya akan di ikuti
dengan ekskresi kalsium dalam urine yang ditingkatkan melalui resorpsi tulang.
Lalu terjadi gangguan fungsi gastrointestinal yang bervariasi dan mengakibatkan
penurunan motilitas saluran gastrointestinal.
Dalam hal ini, konstipasi merupakan hal yang umum terjadi. Klien
pascaoperasi dan imobilisasi beresiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru.
Pada beberapa hal dalam perkembangan komplikasi ini, akan ada penurunan
sebanding dengan kemampuan klien untuk batuk produktif. Sistem
kardiovaskuler juga dapat dipengaruhi oleh imobilisasi. Hal tersebut akan
mengakibatkan tiga perubahan utama, yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan
beban kerja jantung, dan pembentukan trombus.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg
dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke
posisi berdiri. Hal ini mengakibatkan curah jantung menurun dan penurunan
efisiensi jantung yang lebih lanjut dan peningkatan beban kerja.
Pada tubuh klien juga akan terjadi pembentukan trombus. Trombus
adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen
sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri,
kadang menutup lumen pembuluh darah. Ada tiga faktor yang menyebabkan
pembentukan trombus, yaitu hilangnya integritas dinding pembuluh darah,
kelainan aliran darah, dan perubahan unsur-unsur darah.
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan
mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui
kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, otrofi, dan penurunan stabilitas.
Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan
massa yang berkelanjutan. Penurunan mobilisasi dan gerakan akan
mengakibatkan kerusakan muskuloskeletal yang besar, yang perubahan
patofisiologi utamanya adalah atrofi.

11
Atrofi adalah suatu keadaan yang dipandang secara luas sebagai respons
terhadap penyakit dan penurunan aktifitas seharihari, seperti pada respons
imobilisasi dan tirah baring (Kasperet al, 1993). Penurunan stabiitas akan terjadi
akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan kelainan sendi
yang aktual. Jika hal tersebut berlanjut, maka tubuh klien akan sangat beresiko
untuk terjatuh.
Imobilitas menyebakan dua perubahan terhadap skelet, yaitu gangguan
metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Hal ini dapat mengakibatkan kontraktur
sendi, yaitu kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai dengan sendi
fleksi dan terfiksasi. Salah satu macam kontraktur umum dan lemah adalah foot
drop.Pergelangan kaki akan terfiksasi dalam platar fleksi, sehingga akan sulit
dilakukan ambulasi pada posisi ini.
Imobilisasi juga berdampak pada sistem integumen. Akan terjadi
kerusakan integritas kulit yang dampaknya dapat berpengaruh pada tingkat
kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya seorang klien dirawat di
rumah sakit.
Selain itu imobilisasi dapat mengakibatkan status urine dan meningkatkan
resiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu
kalsium yang terletak di dalam pelvis ginjal dan melewati ureter. Sejalan dengan
imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas dan penyebab lain
seperti demam, akan meningkatkan resiko dehidrasi. Hal ini mengakibatkan
urine yang diprodiksi berkonsentrasi tinggi dan meningkatkan resiko terjadinya
batu ginjal dan infeksi.
Selain hal-hal diatas, imobilisasi dapat menyebabkan respons emosional,
intelektual, sensori, dan sosiokultural.

PERUBAHAN PERKEMBANGAN
Sepanjang kehidupan penampilan dan fungsi tubuh mengalami
perkembangan. Perkembangan terbesar tejadi pada usia kanak-kanak dan
lansia.
Pada bayi yang baru lahir, tulang belakangnya bersifat lentur dan kurang
memiliki garis antero-posterior seperti pada orang dewasa.Sistem
muskuloskeletal pada bayi bersifat fleksibel. Pada bayi yang tumbuh

12
perkembangan muskuloskeletal membutuhkan dukungan berat badan untuk
berdiri dan berjalan. Karena berat badan tidak tesebar merata, maka bayi akan
sering terjatuh. Salah satu kelainan pada anak ketika berjalan adalah postur
todler. Postur todler, yaitu anak agak berpunggung lengkung dengan perut
menonjol.
Pada usia tiga tahun, tubuh anak menjadi lebih ramping, lebih tinggi, dan lebih
baik keseimbangannya. Koordinasi dan keterampilan motorik yang baik dapat
membantu anak melakukan tugasnya dengan lebih baik.
Tahap remaja ditandai dengan pertumbuhan yang pesat, dan terkadang
pertumbuhan tersebut tidak berjalan seimbang. Pertumbuhan remaja putri (mis.
Penyimpanan lemak di lengan atas dan paha; pinggul membesar; dll.) berjalan
lebih awal dari pada pertumbuhan remaja putra (mis. Tungkai memanjang dan
pinggul menyempit).
Orang dewasa sehat juga membutuhkan perkembangan yang baik pada
muskuloskeletal dan koordinasi di dalam aktivitas sehari-hari. Perubahan postur
normal dan kesejajaran tubuh orang dewasa biasa terjadi pada wanita hamil.
Perubahan tersebut diakibatkan oleh respon adaptif tubuh terhadap
penambahan berat dan pertumbuhan fetus.
Pada lansia akan terjadi kehilangan total massa tulang progresif. Lansia juga
akan mengalami perubahan status fungsional sekunder akibat perubahan status
mobilisasi. Hal ini disebabkan oleh cara berjalan lansia yang lambat, tampak
kurang koordinasi, dan menjaga kaki lebih dekat. Hal ini dapat mengakibatkan
kurangnya dasar dukungan, sehingga tubuh menjadi tidak stabil dan mudah
jatuh dan cedera.

2. MOBILISASI PADA PASIEN FRAKTUR DENGAN LATIHAN ROM


2.1 Pengertian
Latihan rentang gerak dapat aktif (klien menggerakan semua sendinya
dengan rentang gerak tanpa bantuan), aktif (klien tidak dapat menggerakan
setiap sendi dengan rentang gerak), atau berada di antaranya. Rencana
keperawatan harus meliputi menggerakan ekstremitas klien dengan rentang
gerak penuh. Latihan rentang gerak pasif harus dimulai segera pada
kemampuan klien menggerakan ekstremitas atau sendi menghilang. Pergerakan

13
dilakukan dengan perlahan dan lembut dan tidak menyebabkan nyeri. Perawat
jangan memaksakan sendi melebihi kemampuannya. Setiap gerakan harus
diulang 5 kali setiap bagian. (Perry & Potter, 2005)
Range of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. (Suratun, 2008)
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan
bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan fasif adalah pasien
semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk,
2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Latihan ROM aktif adalah Perawat
memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan
sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk
melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan
otot-ototnya secara aktif .

2. 2 Tujuan ROM
a. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
b. Memelihara mobilitas persendian
c. Merangsang sirkulasi darah
d. Mencegah kelainan bentuk

2.3. Prinsip Dasar Latihan ROM


a. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari.
b. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.
c. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien,
diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
d. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher,
jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
e. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-
bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.

14
f. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah di lakukan.

3.4. Manfaat ROM


a. Memperbaiki tonus otot
b. Meningkatkan mobilisasi sendi
c. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
d. Meningkatkan massa otot
e. Mengurangi kehilangan tulang

3.5. Post operatif fraktur femur


Teori Oswari, (2000), yang mengatakan bahwa setelah 3-4 hari pasien
post operasi fraktur femur harus mampu meninggalkan tempat tidur jika pasien
terlalu selalu takut untuk melakukan mobilisasi maka proses penyembuhan akan
lama jadi untuk mengatasi hal ini peran perawat sangat di butuhkan agar pasien
mau dan tidak menolak untuk melakukan mobilisasi. Mobilisasi dasar dapat di
mulai melalui bantu pasien melakukan rentang gerak sendi (ROM pasif), minta
pasien untuk melakukan rentang gerak sendi secara mandiri (ROM aktif), dan
Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi
dengan melakukan aktifitas yang diperlukan. Pasien dapat berjalan mengunakan
alat Bantu Pin, sekrup dan batang yang di gunakan sebagai fiksasi interna di
rancang untuk dapat mempertahankan posisi tulang sampai terjadi penulangan.
Alat-alat tersebut di rancang tidak untuk menahan berat badan dan dapat
melengkung, longgar, patah bilah mendapat beban stress.

3.6. ROM pasif post operasi fraktur femur


Teori Oswari (2000), perawat membantu pasien pasca operatif fraktur
femur melakukan Latihan ROM pasif dan menganti posisi akan meningkatkan
aliran darah ke ekstermitas sehingga stasis berkurang. kontraksi otot kaki bagian
bawah akan meningkatkan aliran balik vena sehingga mempersulit terbentuknya
bekuan darah. perawat membantu pasien melakukan latihan ini setiap 2 jam
sekali saat klien terjaga. perawat membantu pasien pascaoperatif fraktur femur
melakukan Latihan ROM pasif dengan cara atur posisi pasien terlentang,

15
rotasikan kedua pergelangan kaki membentuk lingkaran penuh, lakukan
dorsofleksi dan flantar fleksi secara bergantian pada kedua kaki klien, lanjutkan
latihan jdengan melakukan fleksi dan ekstensi lutut cecara bergantian,
mengangkat kedua telapak kaki klien secara tegak lurus dari permukaan tempat
tidur secara bergantian.
Menurut Suddarth & Brunner, (2002) latihan ini di lakukan untuk
mengurangi efek imobilisasi pada pasien di lakukan ROM pasif dengan latihan
isometrik otot-otot di bagian yang di imobilisasi latihan kuadrisep dan latihan
gluteal dapat membantu mempertahankan kelompok otot besar yang penting
untuk berjalan. Latihan aktif dan beban berat badan pada bagian tubuh yang
tidak mengalami cedera dapat mencegah terjadinya atrofi otot.

3.7. ROM aktif post operasi fraktur femur


Pasien yang telah dilakukan operasi fraktur femur seringkali dapat menimbulkan
permasalahan adanya luka operasi pada jaringan lunak dapat menyebabkan
proses radang akut dan adanya oedema dan fibrosis pada otot sekitar sendi
yang mengakibatkan keterbatasan gerak sendi terdekat.Latihan rentang gerak
sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah operasi
fraktur femur, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang di
perlukan untuk pempercepat proses penyembuhan. Keluarga pasien seringkali
mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setelah operasi.
Banyak pasien yang tidak berani mengerakan tubuh karena takut jahitan operasi
sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. pandangan yang seperti ini jelas
keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien
akan lebih cepat merangsang peristaltik usus sehingga pasien cepat platus,
menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernapasan dan terhindar dari
kontraktur sendi, memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan
dekubitus. Menurut Garrison, (2002) pedoman perawatan pasca bedah fraktur
femur Sering kali di perlukan intervensi bedah ORIF dengan mengunakan sekrup
dan plate pada hari ke 2-3 latihan aktif (ROM) yang di bantu dapat dimulai dari
bidang anatomi yang normal, pada hari ke 4 berjalanlah pada cara berjalan tiga
titik dengan kruk axilla pembantu berjalan standar dan kemudian penahan berat
badan sesuai tahapan.

16
2.PERAWATAN LUKA ORIF (Open Reduksi Iternal Fiksasi)
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi
pada tulang yang mengalami fraktur.
Luka post ORIF merupakan luka akibat suatu pembedahan untuk memanipulasi
fragmen-frakmen tulang yang patah.
Tujuan merawat luka adalah:
1. Kesembuhan dan balutan yang dipilih adalah balutan yang dapat
mempertahankan kondisi lembab.
2. Mengontrol kejadian infeksi
3. Mempercepat penyembuhan luka
4. Mengabsorpsi cairan luka yang berlebihan
5. Membuang jaringan mati
6. Nyaman

Beberapa hal yang harus diperhatikan


Beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam luka akut pasca pembedahan:
1. Evaluasi balutan primer
2. Permukaan epitel
3. Penutupan luka
4. Garis sembuh dan perubahan lokal yang mengarah ke infeksi
5. Balutan sangat berpengaruh dalam mendukung penyembuhan luka
sehingga pemilihan balutan pasca pembedahan harus dipahami.

Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan


1. Nurisi adalah faktor penting yang mempengaruhi penyembuhan luka
setiap fasenya
2. Vaskularisasi mempengaruhi luka karena luka membutuhkan peredaran
darah yang baik untuk pertumbuhan dan perbaikan sel
3. Anemia
4. Usia
5. Penyakit lain

17
6. Kegemukan
7. Obat-obatan
8. Merokok dan stres

3. PERAWATAN LUKA OREF (Open Reduction External Fixation)

OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal dimana prinsipnya


tulang di transfiksasikan diatas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat di
transfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain
dengan suatu batang lain.
OREF adalah Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III
yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and
external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus
menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi
risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi
berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama
penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara
sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan)
A. Indikasi OREF
a. Fraktur terbuka grade II dan III
b. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau patah tulang yang parah
c. Fraktur yang sangat kominutif (remuk) dan tidak stabil
d. Fraktr yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf
e. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain
f. Fraktur yang terinfeksi dimana fiksasi internal mungkin tidak cocok.
g. non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan
h. Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus
- Keuntungan dan komplikasi Eksternal Fiksasi

18
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien, mobilisasi awal dan latihan
awal untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena disuse dan
imobilisasi dapat diminimalkan,
Sedangkan komplikasinya adalah :
a. infeksi di tempat pen
b. kekakuan pembuluh darah dan syaraf
c. kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non
union.
d. emboli lemak
e. overdistraksi fragmen
- Hal-hal yang harus di perhatikan pada pemasangan eksternal fiksasi
a. Persiapan psikologis
Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum dipasang
fiksator eksternal alat ini sangat mengerikan dan terlihat asing bagi pasien.
Harus diyakinkan bahwa ketidaknyamanan karena alat ini sangat ringan dan
bahwa mobilisasi awal dapat diantisipasi untuk menambah penerimaan alat
ini, begitu juga keterlibatan pasien pada perawatan terhadap perawatan
fiksator ini.
b. Pemantauan terhadap kulit darah dan pembuluh saraf
Setelah pemasangan fiksator eksternal, bagian tajam fiksator atau pin
harus ditutupi untuk mencegah adanya cedera.
c. Pencegahan infeksi
Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus dilakukan secara
rutin, tidak boleh ada kerak pada tempat penusukan pin, fiksator harus dijaga
kebersihannya.
d. Latihan isometrik
Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan jaringan bisa
menahan. Bila bengkak sudah hilang, pasien dapat dimobilisasi sampai batas
cedera di tempat lain.

B. Penatalaksanaan pada OREF


1. Pencegahan Infeksi pada OREF

19
Merawat luka adalah untuk mencegah trauma pada kuit, membran mukosa
atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma , fraktur, luka operasi
yang dapat merusak permukaan kulit.

Pengertian Luka
Menurut InETNA, Luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu
proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan
pada kuntinuitas atau kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan
kehilangan substansi jaringan.
Menurut Mansjoer, Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas
jaringan.
R. Sjamsu Hidayat, Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan
tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan
suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan
Koiner dan Taylan, Luka adalah terganggunya (disruption) integritas normal
dari kulit dan jaringan di bawahnya yang terjadi secara tiba-tiba atau
disengaja, tertutup atau terbuka, bersih atau terkontaminasi, superficial atau
dalam.

C.Tujuan Melakukan Perawatan Luka


Tujuan untuk melakukan perawatan luka adalah :
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka.
2. Absorbsi drainase.
3. Menekan dan imobilisasi luka.
4. Mencegah jaringan epitel baru dari cedera mekanis.
5. Mencegah luka dari kontaminasi.
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing.
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien.

D. Mekanisme Terjadinya Luka


1. Luka insisi, terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam. Misal yang
terjadi akibat pembedahan.

20
2. Luka memar, terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
3. Luka lecet, terjadi akibat kulit bergesek dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk, terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang
masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores, terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh
kawat.
6. Luka tembus, terjadi akibat luka yang menembus organ tubuh, biasanya
pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi bagian ujung biasanya
akan melebar.

E. Fase Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan
maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu
kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.
Fase Inflamasi
Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari.
Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri,
menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses
penyembuhan lanjutan.
Fase Proliferasi
Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast (sel
jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi.
Fase Maturasi
Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai
berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini
terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan
kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka.

F. Penatalaksanaan atau Perawatan Luka

21
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu
evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan
luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
1. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan
eksplorasi).
2. Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit.
Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau
larutan antiseptik.
3. Pembersihan Luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan
mempercepat proses penyembuhan luka serta menghindari terjadinya infeksi.
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu
Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan
mati dan benda asing.
Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
Berikan antiseptik.
Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal.
Bila perlu lakukan penutupan luka.
4. Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam
boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak
berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh.
5. Penutupan Luka
Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka
sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal.
6. Pembalutan
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pad a
penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap
penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam
proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah
berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
7. Pemberian Antibiotik

22
Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
8. Pengangkatan Jahitan
Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu pengangkatan
jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis pengangkatan luka,
usia, kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

23
Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk
melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi),mempertahankan
diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep
diri,mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non verbal.
Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik.atau ketidakmampuan untuk bergerak
secara aktif akibat penyakit atau impairment(gangguan pada alat atau organ
tubuh)yang bersifat fisik ataupun mental.imobilisasi dapat diartikansebagai
keadaan tidak bergerak atau tirah baring yang terus menerus selama lima
hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis.(Potter& Perri,2010).
Mobilisasi pada pasien Fraktur dengan latihan ROM adalah latihan rentang
gerak yang dapat aktif (klien menggerakan semua sendinya dengan rentang
gerak tanpa bantuan), aktif (klien tidak dapat menggerakan setiap sendi
dengan rentang gerak), atau berada di antaranya.Latihan rentang gerak pasif
harus dimulai segera pada kemampuan klien menggerakan ekstremitas atau
sendi menghilang. Range of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam
keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. (Suratun,
2008)
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan
bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan fasif adalah pasien
semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan
mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas
total (suratun, dkk, 2008).

B.SARAN
Demikianlah makaalah ini dibuat untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan tentang kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi, latihan ROM dan
perawatan luka post ORIF dan OREF. Kami selaku penulis sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik membangun dari para pembaca agar
makalah selanjutnya dapat diterima lebih baik lagi.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku Potter, P.A. & Perry, A.G., 1999

25
Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik, E/4, Vol.2,
alih bahasa oleh Renata Kumalasari, dkk., Jakarta: EGC. (halaman 1184 1198)
Post

26

You might also like