You are on page 1of 2

Kedatangan Misionaris Portugis: Misi Solor

Pada tahun 1550, sebuah kapal dagang Portugis singgah di pulau Solor dalam
perjalanan dagang membeli rempah-rempah. Para pedagang Katolik ini berkenalan
dengan masyarakat setempat, mengajar Agama dan mempermandikan sejumlah orang di
sana. Tahun 1556, sebuah kapal Portugis melintasi wilayah itu dan ketika menghadapi
cuaca buruk, ia mampir dan berlindung di pulau solor. Nahkoda kapal itu mengajarkan
agama Katolik kepada raja Lohayong (Solor) dan mempermandikannya menjadi Katolik.
Apa yang dirintis oleh kaum awam yang pedagang ini kemudian dilanjudkan oleh para
misonaris Portugis yang datang kemudian. Di bawah para misionaris Dominikan, Gereja
Solor berkembang. Misionaris pertama adalah pastor Antonio de Taceira disususl
kemudian oleh P. Antonio da Cruz, P. Simeo da Chagas dan bruder Alexio dan menetap
di Lohayong. Mereka kemudian mendirikan benteng Lohayong (Fort Henricus). Tahun
1556 sudah dipermandikan di sini 25.000 umat dan tersebar di 25 stasi di seluruh
Flores Timur (Solor, larantuka dan Adonara).
Tradisi kehidupan sosial dan keagamaan umat Katolik kota Larantuka hingga saat ini
masih melekat dengan tradisi-tradisi Portugis. Seperti perayaan pekan suci,
khususnya Jumad Agung dirayakan dalam nuansa Portugis, baik lagu-lagu maupun doa-
doanya.

2. Misionaris Belanda

Tanggal 19 Desember 1851 dibuatlah perjanjian damai antara Poretugis dan Belanda
yang memisahkan wilayah politik Portugis dan wilayah politik Belanda di kepulauan
Nusa Tenggara. Flores Timur masuk wilayah kekuasan politik pemerintah Belanda.
Namun demikian, para misionaris Portugis masih sesekali melayani umat di Flores
Timur. Dengan penandatanganan Traktat Lisabon 20 April 1859, Portugis menarik diri
dari Flores Timur. Walau demikian kebebasan beragama tetap diatur dalam traktat
ini. Maka pemerintah Belanda wajib mendatangkan misionaris Belanda untuk melayani
umat di wilayah Flores Timur. Sementara itu, Gereja Katolik di Larantuka memiliki
Konfreria yakni Serikat Rosari Kudus yang terdiri dari kaum awam yang bertugas
mengurus kehidupan beragama bersama raja-raja yang sudah menjadi Katolik.

Tanggal 4 Agustus 1860 Romo Yohanes Petrus Nikolaus Sanders, seorang imam diosesan
Belanda tiba di Larantuka. Desember 1861, pastor Sanders diganti oleh kerabatnya
romo Gaspar Hubertus Fransen. Dalam karyanya, pastor Fransen dibantu oleh keluarga
Kerajaan Larantuka, yakni raja Don Gaspar dan adiknya Don Minggo. Romo Fransen
mulai mendirikan sekolah. Maka dapat dipastikan, sekolah pertama di Flores Timur
bediri pada masa itu walau dalam bentuk yang sederhana. Dan merintis cara
penguburan orang mati secara Katolik termasuk mendapatkan tanah untuk pemakaman umm
Katolik. Oktober 1863, pastor Fransen kembali ke Belanda.

3. Pelayanan Misionaris Yesuit

Sebelum pastor Fransen siap kembali, seorang pengganti telah tiba di Larantuka
tanggal 17 April, seorang misionaris Yesuit, P. Gregorius Metz.

Di tempat bernama Postoh, P. Metz membangun sebuah Gereja, yang memudian menjaadi
gudang dan dibangun gereja kedua yakni San Dominggo Larantuka. Selanjudnya
sejumlah Gereja dan Kapela di bangun, yang hingga kini masih ada dan diperbaharui.
Gereja San Juan Lebao, San Dominggo di Wureh, San Dominggo di Konga, Santa Klara
di Lewolaga, kapela santa Lusia di Waibalun, santa Klara di Lewolere, Miserekordia
di Pantai Besar, Philipus dan Yakobus di Larantuka, santa Maria di Batumea (Kini
Kapela Tuan Ma), San Sepulchro di Ponbao, san Lorenso di Pohon sirih, Nosa Senhora
di Lohayong dan Yose di Gege. Tahun 1879, suster-suster Fransiskanes dari
Heythuijsen tiba di Larantuka . P. Metz bekerja di Larantuka selama 20 tahun.

4. Misionaris Serikat Sabda Allah


Hari Jumad 4 Mei 1917, P. Hoebrects dan dua Bruder Yesuit meninggalkan Larantuka
dan Flores. Maka berakhirlah periode pelayanan misionaris Yesuit di tanah ini.
Mereka dilepas di pelabuhan Larantuka oleh umat yang sangat besar jumlahnya bersama
Mgr. Petrus Noyen, SVD dan komunitas SVD di Larantuka. Sebelumnya, tanggal 20 Mei
1915 tiba di Larantuka misionaris SVD pertama yakni P. Wiliam Bach, SVD.

Mulai 1919 hingga 1920 datang ke Nusa Tenggara tidak kurang 36 imam dan bruder
SVD. Frater van Velsen, SVD yang memiliki ijasah guru diangkat oleh pemerintah
sebagai penilik sekolah di Flores termasuk Larantuka. Di Larantuka berdiri sekolah
di Nobo, Riangwulu, Konga, Hewa, Lewolaga, Waibalun dan Lebao. Demikian juga stasi-
stasi dibuka di luar Larantuka. Di Lembata stasi Lamalera dengan seorang misionaris
yakni Pater Bernardus Bode, SVD yang membuka sekolah pertama di Lembata. Di
Larantuka terdapat sebuah sekolah Standartschool atau Vervolgschool 2 tahun sebagai
kelanjutan Sekolah Rakyat tiga tahun. Di samping itu didirikan sebuah sekolah guru
di Larantuka dan kursus pertukangan yang sudah dirintis para imam Yesuit.

Kaetika perang dunia II 1942, Jepang menduduki Flores termasuk Larantuka. Lalu para
misionaris Belanda diinternir di sulawesi Selatan. Namun Mgr. Hendrik Leven bersama
sejumlah imam diizinkan berkarya dan meneruskan pendidikan imam pribumi. Sebelumnya
telah ditahbiskan 2 imam pribumi pertama antara lain P. Gabriel Manek tanggal 28
Januari 1941. Pastor muda inilah yang ditempatkan di wilayah Flores Timur.

5. Masa Baru

Babak baru segera mulai setelah melewati masa sulit pendudukan Jepang. Kemerdekaan
diisi dengan pengembangan Gereja di Nusa Tenggara. Pendidikan seminari menjadi
salah satu jalan menyiapkan imam-imam pribumi. Berdirilah di Larantuka Seminari San
Dominggo Hokeng tahun 1950. Sebelumnya, tahun 1942 ditahbiskan sejumlah calon imam
dari Larantuka menjadi imam tarekat religius SVD: P. Rufinus Pedrico, SVD, P.
Yohanes Bala Letor. Dan dari Larantuka juga tiga imam SVD ditahbiskan Uskup: Mgr.
Gregorius Mentero (almarhum), Mgr. Paulus Sani Kleden (almarhum) dan Mgr. Antonius
Pain Ratu. Imam Diosesan pertama dari Larantuka ditahbiskan tahun 1963. 35 tahun
kemudian (1998) sudah mencapai 78 imam diosesan. Tahun 1958 Mgr. Gabriel Manek
mendirikan di Larantuka Tarekat biarawati pribumi Puteri Reinha Rosari (PRR) yang
kini bekerja di 12 Keuskupan di Indonesia bahkan di luar negeri seperti di Kenya,
Afrika dan Timor Timur.

6. Lahirnya Keuskupan Larantuka

Tahun 1951 Vikariat Apostolik Kepulausan Sunda Kecil dimekarkan menjadi tiga
vikariat Apostolik. Vikariat Apostolik Ende denga uskupnya Mgr. Antonius Hubertus
Thijssen,SVD Vikariat Apostolik Ruteng dengan uskupnya Mgr. Van Bekkum, SVD dan
Vikariat Apostolik Larantuka dengan uskupnya Mgr. Gabriel Manek, SVD yang adalah
uskup pribumi pertama di Nusa Tenggara. Tahun 1961 Paus Yohanes XXIII mendirikan
hierarki di Indonesia. Vikariat apostolik Ende menjadi Keuskupan Agung Ende,
demikian pula Ruteng dan Larantuka menjaadi keuskupan Sfragan. Saat itu, Mgr.
Gabriel Manek diangkat menjadi Uskup Agung Ende dan di Larantuka digantikan oleh
Mgr. Antonius Hubertus Thijssen, SVD sebagai uskup kedua. Tahun 1974 beliau
dipindahkan ke Keuskupan Denpasar, dan diangkatlah Mgr. Darius Nggawa SVD sebagai
Uskup yang ketiga. Memasuki masa pensiun, tahun 2004 Uskup Darius meletakan jabatan
dan digantikan oleh pengganti yang sudah disiapkan dua tahun sebelumnya. Uskup
Koajutor Larantuka Mgr. Fransiskusi Kopong Kung, Pr diangkat menjadi Uskup keempat
di Keuskupan Larantuka, sekaligus menjadi Uskup dari imam projo pertama di Flores.

Nantikan postingan berikutnya...........

You might also like