You are on page 1of 64

1

KASUS EMERGENCY MEDICINE

A. Kasus

Nama pasien : Tn. FN


Tanggal lahir : 13januari 1970
TB/BB : 160cm/60 kg
Masuk rumah sakit : 20 februari 2017, pukul 22.00 WIB
RPD : CAD 3 bulan yang lalu
Riwayat obat : Aspirin + CPG, bisoprolol, nitrat, simvastatin

Pasien MRS dengan keluhan lemas sejak 3 hari yang lalu muka pucat serta
kedua kaki udem. Makan minum menurun, mual muntah (+) setiap makan, demam.
BAK BAB normal. Pasien juga mengeluh sedikit sesak. Pipi kanan kiri mulai
bengkak tadi pagi.

Diagnosa : Obs. Anemia, Dysppneu e/c CAD

Keluhan pasien

Tanggal
Keluhan
20/2 21/2 22/2

Lemas +++ - -

Mual Muntah + - -

Demam + - -

+++ Pagi
Sesak +
Malam hari +++

Udem Kaki +++ +++ +++

Nyeri Saat
+ +
BAK

Batuk + +

Hematuria + +
2

Pemeriksaan Fisik :

GCS = E4V5M

HASIL TANGGAL
20/2 21/2 22/2
Suhu 38C 36,7 C 37 C

HR 90x/menit 83x/menit 61x/menit

RR 40x/menit 40x/menit 19x/menit

TD 94/70 mmHg 68/45 mmHg 89/63 mmHg

SaO2 98% 98% 96%

Data Laboratorium

HASIL TANGGAL
20/2
HB 13,8
HCT 42,3
Leukosit 7900
Trombosit 161.000
GDS 123
Ureum 132
Creatinin 1,9
SGOT 232
SGPT 168
CKMB 3,85
CKNAC 1050
Na 127,4
K 4,3
3

Pemeriksaan Penunjang :

Tanggal 22/2 : kesan dari hasil rontgen : kardiomegali dengan edema paru

Pengobatan yang di dapat :

Tanggal
Nama
Dosis 20/2 21/2 22/2

RL 40 ptm

Ondansetron inj 8mg/4ml 2x1 amp

Pantoprazol Inj 40mg 2x1 vial

Ketosteril 3x2 tab

IV syrunge pump
Dobutamin 16cc/jam
10cc/jam

10cc/jam dilanjut
Dopamin
5cc/jam

Trizedon MR 3x1 tab

Bisoprolol 5mg 1x1 tab

Clopidogrel 125mg 1x1 tab

Valisanbe 10mg 1x1 tab

Ketorolac Inj 30mg/ml ( bila nyeri )

Codipront cump 2x1 cap



exp

Urogetix 100mg 3x1 tab

Pertanyaan :
1. Analisis kasus diatas dengan menggunakan metode SOAP!
2. Analisis penggunaan obat pasien dengan pedoman 4T1W!
3. Jelaskan hitungan dosis penggunaan obat live saving pada kasus diatas!
4

4. Pada tanggal 21 malam hari pasien mengeluhkan sesak nafas, bagaimana hal tersebut
bisa terjadi? Dan bagaimana penatalaksanaan terapi untuk mengurangi sesak nafas
pada pasien tersebut
B. Dasar Teori
1. CHF
a. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung (Sudoyo, 2014).
b. Etilogi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat
berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru (Sudoyo,
2014).
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan
pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau tricuspid (Sudoyo,
2014).
c. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal.
Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung
5

(CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x
Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume) (Sudoyo, 2014).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung
(Sudoyo, 2014).
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum
Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan
kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload (mengacu pada
besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah
melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole) (Sudoyo,
2014).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel
berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat,
maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung
akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada
akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini
berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat
istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik
yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang
akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik
(Sudoyo, 2014).
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan denganpenurunan tekanan
arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf
dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi
miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan
6

volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun


adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu
sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan
kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien dengan
penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat memperburuk
kongesti pulmoner (Sudoyo, 2014).
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer. Adaptasi
ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika
aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan
jaringan. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan
aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan
menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron
juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer
selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium
dan cairan (Sudoyo, 2014).

Gambar 1. Pathway CHF (Sudoyo, 2014)


7

d. Penegakan diagnosis
Manifestasi Klinis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan
biomarker (Sudoyo, 2014).
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif Kriteria
Major :
1) Paroksismal nokturnal dispnea
2) Distensi vena leher
3) Ronki paru
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Gallop S3
7) Peninggian tekana vena jugularis
8) Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :
1) Edema eksremitas
2) Batuk malam hari
3) Dispnea deffort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7) Takikardi(>120/menit)

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor (Sudoyo, 2014).
8

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman


untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat
aktivitas fisik, antara lain:
1) NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah,
sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
2) NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang
biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,
jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
3) NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-
gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
4) NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan
fisik meskipun sangat ringan (Sudoyo, 2014).

Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan
1) Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula
darah, profil lipid (Sudoyo, 2014).
2) Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau
riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV (Sudoyo,
2014).
3) Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi
9

pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi


penyebab nonkardiak pada gejala pasien (Sudoyo, 2014).
4) Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram
2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap
ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas
pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai
dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal.
Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel
kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif
terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian
massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah
EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan
ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa
keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh
perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat
pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang
bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna
(<30-40%) (Sudoyo, 2014).
e. Penatalaksanaan
1) Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologis (tanpa menggunakan obat) bagi penderita gagal
jantung dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Edukasi mengenai gejala, tanda dan pengobatan gagal jantung
b) Manajemen diet yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat
badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori
adekuat
10

c) Latihan fisik. Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa pembatasan


yang berlebihan pada aktivitas fisik akan menurunkan fungsi
kardiovaskular dan muskuloskletal. Latihan fisik yang sesuai akan
memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup pada pasien gagal
jantung
d) Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien
gagal jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien (Sudoyo, 2014).
2) Terapi Farmakologi
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala-gejala
yang diakibatkan gagal jantung. Gejala-gejala ini dikurangi dengan cara
menurunkan preload (aliran darah balik ke jantung), afterload (tahanan yang
dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki kontraktilitas miokardium.
Prinsip terapi di atas dicapai dengan memberikan golongan obat
diuretik, ACE-inhibitor, beta blocker, digitalis, vasodilator, agen inotropik
positif, penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia
(Sudoyo, 2014).
11

Gambar 2. Algoritma terapi CHF (PERKI, 2016)

2. Infeksi Saluran Kemih


a. Definisi
Infeksi saluran kemih didefinisikan sebagai presentasi klinis dari mikroorganisme
dalam urin yang melebihi batas ambang normal mikroorganisme tersebut, yang
berpotensi menginvasi pada jaringan dan struktur saluran kemih (dipiro et al,
2005).
Seseorang bisa dikatakan mengalami infeksi saluran kemih pada saluran
kemihnya bila jumlah bakteri di dalam urinnya lebih dari 100.000/mL urin.
Namun pada beberapa pasien wanita, bisa dikatakan infeksi meskipun jumlah
bakterinya kurang dari 100.000/mL urin (Dipiro et al, 2005).
Urinary Tract Infection (UTI) atau lebih dikenal Infeksi saluran kemih (ISK)
merupakan masalah yang banyak dijumpai dalam praktek klinis. Menurut saluran
yang terkena maka ISK dapat dibedakan menjadi bagian atas (pielonefritis) dan
bagian bawah (sisititis, prostatitis, uretritis) (Dipiro et al, 2005).
12

b. Etiologi
Sebagian besar merupakan infeksi asenden. Pada wanita, jalur yang biasa terjadi
adalah mula-mula kuman dari anal berkoloni di vulva, kemudian masuk ke
kandung kemih melalui uretra yang pendek secara spontan atau mekanik akibat
hubungan seksual. Pada pria, setelah prostat terkoloni maka akan terjadi infeksi
asenden. Mungkin juga terjadi akibat pemasangan alat, seperti kateter, terutama
pada golongan usia lanjut (Sudoyo, 2014).
Wanita lebih sering menderita ISK karena uretra yang pendek, masuknya kuman
dalam hubungan seksual, dan mungkin perubahan pH dan flora vulva dalam
siklus menstruasi. Pada beberapa wanita, frekuensi berkemih yang jarang juga
memiliki peran (Sudoyo, 2014).
Seharusnya bakteri yang masuk dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh,
namun terdapatnya kelainan anatomi dapat mengganggu mekanisme ini sehingga
terjadi stasis urin. Pada wanita, kelainan anatomi yang sering dijumpai adalah
nefropati refluks, nefropati analgesia, batu, dan kehamilan. Pada pria biasanya
akibat batu dan penyakit prostat, sedangkan pada anak-anak karena kelainan
kongenital (Sudoyo, 2014).
Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran
kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih
melalui 4 cara, yaitu :
1) Asending
2) Hematogen
3) Limfogen
4) Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen
sebagai akibat dari pemakaian instrumen (Sudoyo, 2014).

Sebagian besar mikroorgnisme memasuki saluran kemis melalui cara ascending.


Kuman patogen penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang bersal dari flora
normal usus dan hidup secara komensal di introitus vagina, prepusium penis, kulit
perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui
uretra prostat vas deferens testis (pada pria) buli buli ureter dan sampai
ke ginjal (Sudoyo, 2014).
13

Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari kedua
cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi :

1) Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang rendah karena menderita sesuatu pnyakit kronis atau pada pasien yang
mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga
timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain. Misalnya infeksi
Staphilococcus Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen
dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. Salmonella,
pseudomonas, candida, dan proteus sp termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat
menyebar secara hematogen. Walaupun jarang terjadi penyebaran hematogen ini
dapat mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal (Sudoyo, 2014).
2) Infeksi ascending
Infeksi secara ascending (naik) dpat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :
a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.
b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli buli
c) Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih .
d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.

Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan antara


mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel saluran
kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena
pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agent yang
meningkat (Sudoyo, 2014).

3) Faktor Host
Kemampuan host ntuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran
kemih disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertahanan lokal dari host dan
peranan sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari imunitas selular dan humoral.
Pertahananan lokal sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme
wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman kuman
yang ada di dalam urin (Sudoyo, 2014).
14

4) Faktor agent (mikroorganisme)


Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat di permukaannya.
Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium melalui reseptor yang ada
dipermukaan urotelium.
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,
menghasilkan toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat
merubah suasana urin menjadi basa (Sudoyo, 2014).

c. Patomekanisme

Gambar 3. Phatway ISK (Dipiro et al, 2005).

d. Penegakan diagnosis
Pasien yang terkena ISK pada umumnya tidak memberikan gejala yang berarti,
namun biasanya semuanya terkait dengan tempat dan keparahan infeksi. Gejala-
gejala yang dapat timbul meliputi berikut ini, baik sendirian maupun timbulnya
bersama-sama seperti menggigil, demam, nyeri pinggang, dan sering mual sampai
muntah, disuria, sering terburu-buru kencing, nyeri suprapubik, dan hematuria
(Dipiro et al, 2005).
Untuk menetapkan diagnosa maka harus diketahui terlebih dahulu gejala apa saja
yang dialami. Gejala dan tanda ISK pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar
15

Gambar 4. Clinical Presentation Urinary Tract (Dipiro et al, 2005).

Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami hematuria. Gejala sistemik seperti


demam, biasanya tidak ada dalam ISK. Sayangnya, sebagian besar pasien ISK
dengan bakteriuria yang signifikan tidak mengalami gejala-gejala di atas. Pasien
mungkin merasa sehat, baik pasien geriatric, pediatric, wanita hamil dan pasien
yang menggunakan kateter. Perlu diingat, untuk membedakan apakah infeksi
terdapat di saluran kemih bagian atau bawah tidak hanya berdasarkan gejala yang
dialami pasien (Dipiro et al, 2005).

Pada pasien geriatric biasanya tidak mengalami gejala yang spesifik, tetapi mereka
menunjukkan perubahan status mental, perubahan kebiasaan makan, atau gejala
gastrointestinal. Sebagai tambahan, pasien yang menggunakan kateter atau pasien
dengan gangguan neurologic biasanya tidak mengalami gejala saluran kemih
bagian bawah, sedangkan nyeri pinggul dan demam mungkin akan ditemukan pada
geriatrik (Dipiro et al, 2005).

Untuk menegakkan diagnosa ISK, tidak hanya dengan mengetahui gejala gejala
yang dialami pasien tetapi juga harus dilakukan kultur mikroorganisme pada
spesimen urin untuk membedakan bakteri yang menyebabkan infeksi (Dipiro et al,
2005).
16

e. Penatalaksanaan ISK
Prinsip umum terapi ISK adalah:

1) Eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai

2) Mengoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi (Sudoyo,


2014).

3) Tujuan dari pengobatan ISK adalah mencegah dan menghilangkan


gejala, mencegah dan mengobati bakterimia dan bakteruria, mencegah dan
mengurangi resiko kerusakan jaringan ginjal yang mungkin timbul dengan
pemberian obat-obatan yang sensitif, murah, aman, dan dengan efek samping
yang minimal (Sudoyo, 2014).

Diagnosis ISK akibat kateterisasi sudah ditegakkan, segera hentikan pemakaian


kateter atau jika masih ada indikasi kuat kateterisasi, ganti dengan kateter baru.
Mengingat sebagian penyebab ISK akibat kateterisasi adalah polimikrobial (pada
pasien yang memakai kateter indwelling atau dalam jangka lama), resisten
terhadap antibiotik dan adanya biofi lm maka diberikan terapi empiris pada pasien
yang menunjukkan gejala klinis. Terapi empiris meliputi antibiotik berspektrum
luas yang telah disesuaikan dengan kondisi medis pasien dan tempat perawatan.
Sebagian besar pasien diberi terapi empiris setidaknya selama 1014
hari.Antibiotik empiris pada pasien yang memakai kateter jangka pendek meliputi
trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX), fl uoroquinolones, nitrofurantoin.
TMPSMX menghambat metabolisme folat dan efektif melawan sebagian besar
uropatogen kecuali Pseudomonas dan Enterococcus spp. Fluoroquinolones efektif
melawan Pseudomonas, Proteus dan bakteri gram negatif lainnya. Sedangkan
nitrofurantoin efektif untuk sebagian besar uropatogen kecuali Pseudomonas,
Proteus. Pada pasien yang demam atau bergejala klinis lain atau tidak dapat
mentoleransi obat oral maka diberikan antibiotik parenteral selama 1421 hari,
meliputi ceftriaxone, ticarcilin-clavulanate dan piperacillin-tazobactam ( Wayan
giri, 2014).
17

Gambar 5. Treatment Uncomplicated lower UTI ( Wayan giri, 2014).

3. Gagal Ginjal Kronik


a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m (Sudoyo, 2014).

Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
a. Kelainan patologik
b. Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
18

b. Etiologi
Menurut Sylvia Anderson (2015) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
1) Penyakit infeksi tubulointerstitial :
Pielonefritis kronik atau refluks nefropati Pielonefritis kronik adalah infeksi
pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya
dijumpai pada penderita batu. Gejalagejala umum seperti demam,
menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan gambaran
mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan
gagal ginjal (Price, 2015).
2) Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7
10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus
(glomerulonefritis pasca streptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi
lain. (Price, 2015).
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering
timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis
yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria ( protein
dalam urin ) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus
dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan
jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes
yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka
panjang yang kurang baik. (Price, 2015).
3) Penyakit vaskuler hipertensif :
Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah ginjal
yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil
(Price,Sylvia.2015)
Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengantekanan
darah tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil
19

(arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi


gagal ginjal. (Price, 2015).
Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua
pembuluh darah (arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal
membantu untuk mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan
ginjal untuk bekerja. RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu.
Sering menyebabkan tekanan darah tinggi dan kerusakan ginjal (Price,
2015).
4) Gangguan jaringan ikat :
Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
.Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik(LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga
karena adanya perubahan sistem imun (Price, 2015).
5) Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis (Price, 2015).
6) Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra) (Price, 2015).
c. Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal
yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi
klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat
mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring
dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut
rusak dan akhirnya mati. Sebagaian dari siklus kematian initampaknya berkaitan
dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi
protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan
jaringan parut dan aliran darah ginjal mungkin berkurang (Price, 2015).
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
20

secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal (Price, 2015).
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah.
Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas
baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi
berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan
yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit
nefron yang ada) semakin besarperubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan
berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan
plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia (Price, 2015)
21

Gambar 6. Pathway GGK (Sudoyo, 2014).

d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik menurut Baughman (2000) dapat dilihat dari berbagai fungsi
sistem tubuh yaitu :
1) Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif,
perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi pericardial, temponade pericardial
(Sudoyo, 2014).
2) Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus), warna
kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik tidak umum
karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar (purpura) (Sudoyo, 2014).
22

3) Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada


mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan aliran saliva, haus,
rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan
pengecap, parotitis dan stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare,
perdarahan darisaluran gastrointestinal (Price,Sylvia.2015).
4) Perubahan neuromuskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang
(Price,Sylvia.2015).
5) Perubahan hematologis : kecenderungan perdarahan (Price,Sylvia.2015).
6) Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum (Price,Sylvia.2015).
7) Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk; karakter pernafasan menjadi
Kussmaul ; dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi (kedutan
mioklonik) atau kedutan otot (Price,Sylvia.2015).

e. Penatalaksanaan

Gambar 7. First step & staging GGK (NHS, 2012)


23

Gambar 8. Management staging GGK (NHS, 2012)

Gambar 9. Management in primary care (NHS, 2012)


24

Gambar 10. Management reduce cardiovascular disease risk (NHS, 2012)


25

C. Penatalaksanaan pada kasus dan pembahasan

SOAP

Tanggal Subjek Objek Assesment Plan

20/2 Lemas, TD: 94/70 mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
Mual muntah, RR: 40x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
demam , Sesak, HR: 90x/menit
ampl 2x1 vial
udem kaki Suhu: 38 C
SaO2: 98% Pantoprazol inj 40 mg s1dd

Ureum: Dobutamin 10.8 ml/jam IV/


Creatinin: syringe pump
SGOT:
Dopamin 9 ml/ jam IV/syringe
SGPT:
pump
CKNAC:
Na: Furosemid 20 mg/dl
GGK
Ketosteril 60 mg 3x4 tab
ISK
Urogetix 200 mg s3dd

Cefixime 400 mg s1dd

21/2 Sesak: pagi TD: 68/45 mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
malam hari , udem HR: 90x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
kaki , nyeri saat RR: 40x/menit
ampl 2x1 vial
BAK, batuk , Suhu :
hematuria 36, 7oC Pantoprazol inj 40 mg s1dd

SaO2: 98% Dobutamin 10.8 ml/jam IV/


syringe pump

Dopamin 9 ml/ jam IV/syringe


pump

Furosemid 20 mg/dl
GGK
Ketosteril 60 mg 3x4 tab
26

ISK Urogetix 200 mg s3dd

Cefixime 400 mg s1dd

22/2 Sesak, udem kaki, TD: 89/63mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
nyeri saat BAK, HR: 61x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
batuk , hematuria RR: 19x/menit
ampl 2x1 vial
Suhu :
37oC Pantoprazol inj 40 mg s1dd

SaO2: 96% Dobutamin 10.8 ml/jam IV/


Rontgen: syringe pump
kardiomegali
Dopamin 9 ml/ jam IV/syringe
dengan edema
pump
paru
Furosemid 20 mg/dl
GGK
Ketosteril 60 mg 3x4 tab
ISK
Urogetix 200 mg s3dd

Cefixime 400 mg s1dd

Bila pasien telah stabil


diberikan obat :

Digoxin 1,5 mg s1dd

Spinorolakton 100 mg s1dd

Pembahasan Teori

1. ONDANSETRON
a. Fisiologi Serotonin Serotonin, 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT) terdapat dalam
jumlah yang besar pada trombosit dan traktus gastrointestinal (sel
enterochromafin dan pleksus myentericus). Serotonin juga merupakan
neurotransmiter penting pada sistem saraf pusat, meliputi retina, sistem limbik,
hipotalamus, cerebelum, dan medula spinalis. Serotonin dibentuk dari proses
hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan. Fisiologi serotonin sangat kompleks
27

karena serotonin sendiri memiliki tujuh tipe reseptor dengan banyak subtipe.
Salah satu reseptornya yang berperan dalam mekanisme terjadinya mual dan
muntah adalah 5-HT3, ditemukan pada traktus gastrointestinal dan area postrema
otak. Pada traktus gastrointestinal, serotonin menginduksi pembentukan
asetilkolin pada pleksus myentericus melalui reseptor 5-HT3 yang menyebabkan
bertambahnya peristaltik, sedangkan pengaruh pada sekresi lemah (Katzung,
2014)
b. Sifat Umum Ondansetron Ondansetron merupakan obat selektif terhadap reseptor
antagonis 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT3) di otak dan mungkin juga pada aferen
vagal saluran cerna. Di mana selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan
muntah setelah operasi dan radioterapi. Ondansetron memblok reseptor di
gastrointestinal dan area postrema di CNS (Katzung, 2014).
c. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
1) Farmakokinetik Ondansetron dapat diberikan secara oral dan parenteral. Pada
pemberian oral, dosis yang diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena
diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/BB sebelum operasi atau
bersamaan dengan induksi.
2) Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di
eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara
hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati.
Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama
fenitoin fenobarbital dan rifampin.
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih
aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar,
diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari
30 menit, lama aksi 6-12 jam (Katzung, 2014).
d. Farmakodinamik Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-
HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-
HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel
mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3
dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan
diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan xxiv mengaktifkan refleks
28

muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus
yang merangsang distensi gastrointestinal (Katzung, 2014).
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:
1) Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius
melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
2) Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat
ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus (Katzung, 2014)
e. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi pengobatan dengan ondansetron adalah pencegahan mual dan muntah
yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Kontraindikasi pengobatan dengan ondansetron adalah keadaan
hipersensitivitas dan penyakit hati (Katzung, 2014).
f. Efek Samping Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat
berupa sakit kepala, flushing, mengantuk, gangguan saluran cerna, nyeri dada,
susah bernapas, dsb (Katzung, 2014).
g. Penggunaan Klinik Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah
yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui
intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan operasi. Dan disusul
pemberian oral dengan dosis 4-8 mg/kgBB tiap 12 jam selama 5 hari. (Katzung,
2014)

2. PANTOPRAZOL
a. Farmakologi
Pantoprazol merupakan obat golongan penghambat pompa proton (PPI) yang
menghambat sekresi asam lambung. Pantoprazole adalah benzimidazole
tersubtitusi yang menghambat sekresi asam klorida di dalam lambung oleh kerja
spesifik pompa proton dari sel parietal. Pantoprazole dikonversi menjadi bentuk
aktif di lingkungan asam dalam sel-sel parietal dengan cara menghambat enzim
H+, K+ ATP-ase, yang merupakan tahap akhir pada produksi asam klorida di
dalam lambung. Penghambatan ini bersifat tergantung dosis (dose-dependent) dan
mempengaruhi kedua reseptor inhibitor. Pengobatan dengan pantoprazole
menyebabkan pengurangan keasaman di lambung dan dengan meningkatkan
29

gastrin secara proporsional sehingga menurunkan keasaman. Peningkatan gastrin


tersebut bersifat reversibel. Karena pantoprazole mengikat enzim distal ke tingkat
sel reseptor, zat ini mempengaruhi sekresi asam klorida secara independen melalui
stimulasi oleh zat-zat lain (asetilkoline, histamin, gastrin) (Gunawan, 2012).
b. Indikasi
Untuk pengobatan kondisi hipersekresi patologis yang berhubungan dengan
Sindroma Zollinger-Ellison atau kondisi-neoplastik lainnya, ulkus duodenum,
ulkus lambung, kasus-kasus sedang dan berat pada inflamasi esofagus (esophagitis
refluks) (Gunawan, 2012).
c. Kontraindikasi
Kerusakan hati, kehamilan, pantoprazole intravena tidak boleh digunakan pada
kasus-kasus dengan hipersensitivitas terhadap konstituen (Gunawan, 2012).
d. Dosis
Pemberian secara intravena pantoprazole i.v. dianjurkan jika tidak dapat diberikan
secara oral.
1) Dosis yang dianjurkan :
Ulkus duodenum, ulkus lambung, esofagitis refluks sedang dan berat : dosis
intravena yang dianjurkan adalah 1 vial (40 mg pantoprazole) pantoprazole i.v.
per hari.
2) Penatalaksanaan jangka panjang Sindrom Zolinger-Ellison dan kondisi
hipersekresi patologis. Pasien memulai pengobatan dengan dosis harian 80 mg
pantoprazole i.v. Setelah itu, dosis dapat dititrasi naik atau turun sesuai
kebutuhan menggunakan pengukuran sekresi asam lambung sebagai pedoman.
Dengan dosis diatas 80 mg sehari, dosis harus dibagi dan diberikan dua kali
sehari. Kenaikan sementara menjadi dosis di atas 160 mg pantoprazole i.v.
adalah mungkin tetapi tidak boleh dipakai lebih lama dari kebutuhan untuk
pengendalian asam yang memadai.
3) Dalam hal pengendalian asam diperlukan secara cepat, dosis awal 2 x 80 mg
pantoprazole i.v. cukup untuk mengelola penurunan output asam ke dalam
kisaran target (<10 mEq / jam) dalam waktu satu jam di sebagian besar pasien.
Transisi dari pemberian secara oral ke i.v. dan dari i.v. ke formulasi oral
menggunakan inhibitor asam lambung harus ditegakkan sedemikian rupa
untuk menjamin kelangsungan efek penekanan sekresi asam (Gunawan, 2012).
30

e. Peringatan dan perhatian


Pemberian intravena direkomendasikan hanya jika rute oral tidak tepat.
Pantoprazole i.v. tidak diindikasikan untuk keluhan pencernaan ringan seperti
nervous dyspepsia. Sebelum pengobatan, kemungkinan keganasan ulkus lambung
atau penyakit keganasan dari esophagus harus dikecualikan, mengingat
pengobatan dengan pantoprazole i.v. dapat mengurangi gejala keganasan ulkus
ganas dan dapat menghilangkan diagnosis (Gunawan, 2012).
f. Efek samping

Diare, sakit kepala. Jarang terjadi: mual, nyeri perut bagian atas, perut kembung,
ruam, pruritus atau pusing, sembelit, gangguan dalam penglihatan (kabur),
arthralgia, leukopenia, trombositopenia, tromboflebitis di tempat suntikan, edema
perifer, kerusakan hepatoseluler berat menyebabkan penyakit ikterus dengan atau
tanpa kegagalan hati, reaksi anafilaksis termasuk syok anafilaktik, myalgia,
depresi mental, nefritis interstisial, urtikaria, angioedema, reaksi kulit yang parah
seperti sindroma Steven Johnson (Gunawan, 2012).

3. KETOSTERIL
a. Indikasi
Diresepkan untuk pencegahan dan pengobatan gangguan dari protein dan
metabolisme mineral dengan disfungsi ginjal kronis pada orang dewasa dan anak
di atas 3 tahun.Ketosteril indikasi untuk digunakan adalah untuk mengurangi
filtrasi glomerulus untuk 25 mL / atau kurang min.Tapi obat juga dapat digunakan
pada tahap awal penyakit ketika laju filtrasi glomerulus hanya mulai menurun
(normal - 100-120 ml / menit) (Neal, 2006).
b. Kontra indikasi
Tidak boleh diberikan pada penderita hiperkalsemia, gangguan metabolisme asam
amino, kehamilan, anak-anak, hipersensitivitas (Neal, 2006).
c. Perhatian
Pemberian kalori pada penderita harus cukup. Periksa kadar kalsium serum secara
periodik(Neal, 2006).
d. Farmakokinetik
Farmakokinetik belum di teliti karena semua komponennya merupakan komponen
alami dari metabolisme dan belum ditemukan bagaimana proses yang terjadi
didalam tubuh (Neal, 2006).
31

e. Farmakodinamik
Ketosteril adalah obat yang terdiri dari asam amino esensial jika pada tubuh yang
tidak dapat berfungsi dengan baik. Jika terjadi kerusakan pada jaringan ginjal
maka akan meningkatkan produk metabolik toksik dalam darah terutama protein.
Sejumlah besar nitrogen sisa (produk metabolisme protein dalam plasma darah)
seperti urea, nitrogen amino, asam urat, creatine, kreatinin dan komponen-
komponennya memliki efek toksisk pada tubuh. Gangguan mtabolisme protein ini
disebabkan karena tubuh tidak mendapatkan asam amino esensial, sedangkan
dalam darah terdapat sejumlah besar produk beracun hasil dari metabolisme
protein. Untuk mengurangi beban racun dalam tubuh pasien diresepkan untukdiet
protein dan menyebabkan defisiensi protein. Ketokosteril memasok asam amino
esensial tubuh termasuk membentuk protein dalam tubuh manusia dan terdapat
keton ketosteril asam amino yang cepat diserap oleh tubuh dan membantu
pembuangan produk-produk baracun dari hasil metabolisme protein (Neal, 2006).
f. Dosis
Insufisiensi ginjal kronis : 3 kali sehari 4-8 tablet (Neal, 2006).
g. Efek samping
Efek sampingnya diantaranya ketidakseimbangan elektrolit, gangguan
metabolisme, mual, sakit kepala, kelelahan, mulas, nyeri sendi, ruam kulit, sakit
perut, muntah, diare, kehilangan selera makan, kehilangan koordinasi, pusing,
hipotensi, demam, disorientasi,agitasi emosional (Neal, 2006).
h. Interaksi obat
Obat yang mengandung Ca, Alumunium hidroksida, tetrasiklin (Neal, 2006).

4. DOPAMIN
a. Mekanisme Kerja Obat (Farmakodinamik)

Precursor norepinefrin ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik


dan adrenergic, dan juga melepaskan norepinefrin endogen. Pada kadar rendah,
dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di
ginjal, mesenterium dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor
D1 menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis
rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan
ekskresi Na+. Pada dosis yang sedikit lebih tinggi, dopamin meningkatkan
32

kontraktilitas miokard melalui aktivasi adrenoseptor 1. Dopamin juga


melepaskan norepinefrin endogen yang menambah efeknya pada jantung. Pada
dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini karena
dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium dengan hanya
sedikit peningkatan di tempat tempat lain. Dengan demikian dopamin
meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda
mengubah tekanan diastolic (atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin
terutama berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan
fungsi ginjal, misalnya syok kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar
yang tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor
1 pembuluh darah. Karena itu bila dopamin di gunakan untuk syok yang
mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor (Gunawan,
2012).
b. Dosis dan Sediaan
Sediaan Injeksi untuk infus
1. 50 mg / 5 ml.
2. 200 mg /10 ml
Komposisi:
1. Dopamin 50 Tiap ampul mengandung:
Dopamin Hidroklorida 50 mg dalam 5 ml injeksi untuk Infus.
2. Dopamin 200
Tiap ampul mengandung:
Dopamin Hidroklorida 200 mg dalam 10 ml injeksi untuk Infus.
InfusI.V :
Dewasa : 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit, titrasi sampai respon yang
diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit pada interval 10-30 menit
sampai respon optimal tercapai. Jika dosis> 20-30 mcg/kg/menit diperlukan, dapat
menggunakan presor kerja langsung (seperti epinefrin dan norepinefrin) (Gunawan,
2012).
Dewasa Biasa Dosis untuk Syok :
Dosis awal: 1 sampai 5mcg/kg/menit dengan infus IV kontinu.
Titrasi untuk respon yang diinginkan. Administrasi di tingkat yang lebih besar dari
50 kg per mcg per menit telah digunakan dengan aman dalam situasi yang serius.
33

Larutan infus harus disiapkan segera sebelum digunakan. Pembuatan infus dengan
cara mengencerkan satu atau beberapa vial injeksi ke dalam larutan NaCl isotonis
secara teknik aseptic sampai konsentrasi larutan 0,4 -1,6 mg/ml. Infus diberikan
secara intravena maksimal dalam waktu 24 jam setelah pembuatan, dengan
kecepatan infus 2 - 5 mcg/kg/menit. Kemudian kecepatan dinaikkan secara
bertahap sampai 5 - 10 mcg/kg/menit dan jika perlu dapat dinaikkan sampai 10 -
50 mcg/kg/menit. Jika dosis melebihi 50 mcg/kg/menit disarankan urin yang
keluar dicek sesering mungkin (Gunawan, 2012).
Apabila sesuai, volume darah sebaiknya diperbaiki dulu sebelum pemberian
dopamin. Disamping itu, beberapa perlakuan diperlukan sebelum penanganan
dengan dopamin, seperti penggantian volume darah yang memadai dan
monitoring metabolisme elektrolit. Pada pasien yang pingsan jalannya pernafasan
harus dimonitor terhadap adanya resiko aspirasi. Penggantian volume darah
sebaiknya dilakukan sebelum dimulai pengobatan dengan dopamin. Untuk pasien
dengan beban jantung yang meningkat, pemberian kombinasi dengan gliseril
trinitrat atau natrium nitroprusid dianjurkan untuk menurunkan beban jantung.
Durasi pada dewasa: Durasi dari pemberian infus tergantung dari kondisi tubuh
penderita, hasil yang baik telah dilaporkan durasi setelah pemberian infus selama
28 hari. Apabila pengobatan telah sempurna infus dihentikan secara perlahan
(Gunawan, 2012).
Pelarut yang dianjurkan: Dopamin giulini 50 dan Dopamin giulini 200 harus
diencerkan sebelum diberikan. Pelarut yang dianjurkan untuk pengenceran
meliputi:
a) Larutan NaCl 0,9%
b) Larutan glukosa 5%
c) Larutan ringer laktat

Dopamin tidak boleh diencerkan oleh larutan Natrium bikarbonat 5% atau larutan
alkali lainnya karena dapat menyebabkan inaktivasi obat. Larutan infus harus
disiapkan segera sebelum digunakan. Larutan Infus yang akan digunakan harus
jernih dan warnanya tidak berubah. Infus dopamin yang siap digunakan stabil
selama waktu pemberian infus pada umumnya (minimal 24 jam) kecuali apabila
infus dalam larutan Ringer laktat (maksimal 6 jam) (Gunawan, 2012).
34

Pembahasan kasus

Sediaan: Ampul 200 mg/ 5 mL

Dosis:
1) 2 5 ug/kg/menit meningkatkan renal blood flow
2) 5 10 ug/kg/mnt meningkatkan kontraksi jantung
3) > 10 ug/kg/ mnt konstriksi sistemik
Perhatian:
1) Setelah target tercapai, turunkan bertahap (tapering)
2) Jangan mencampur/melarutkan dengan natrium bikarbonat, lakukan
pengenceran dengan D5%, D5 1/2 NS, D10 0,18 NS; RL
Diberikan dengan syringe pump atau infusion pump, harus selalu drip, bukan IV
bolus (Gunawan, 2012).
Dopamin (syringe pump)
1) Dopamin (Ampul 200 mg/ 5 ml 200. 000 ug/ 5 ml)
2) Berat badan pasien 60 kg,
3) Dosis yg dibutuhkan 10 ug/kgBB/menit
4) Dopamin yg dibutuhkan = 60 x 10 = 600 ug/menit
5) Kecepatan syringe pump pu dalam ml/jam

Dopamine yg dibutuhkan 600 ug/menit


I.

Dosis/jam = 36.000 ug/jam

600 x 60 menit = 36.000


Jika Volume syringe pump
= 50 ml (10 ml dopamine + maka 1 ml = 4.000 ug
45 ml NS) 200.000 ug/ 50 ml = 4.000

Kecepatan syringe pump ( 36.000 ug/jam


ml/ jam) = 9 ml/ jam
4.000 ug/ml

I. 9 ml/ jam 9 x 4.000 ug/jam = 36.000 ug/jam


II 36.000 ug/jam = 36.000/60 menit = 600 ug/ menit
35

c. Indikasi
Untuk mengobati Syok kardiogenik pada infark miokard atau bedah jantung. Dan
tekanan darah rendah karena serangan jantung, trauma, infeksi, operasi dan
penyebab lainnya. (Gunawan, 2012)
Injeksi dopamin HCl diindikasikan untuk memperbaiki keseimbangan
hemodinamik pada kondisi sindrom syok terhadap infark miokardial, trauma,
septisemia (syok sepsis), operasi terbuka gagal jantung, gagal ginjal, dan serangan
jantung kronis. (Gunawan, 2012)
d. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sulfit (sediaan yang mengandung natrium bisulfit),
takiaritmia, phaeochromocytoma, fibrilasiventrikular. Hipertiroid,
faeokromositoma, takikardia atau fibrilasi ventrikel yang sulit diobati, glukoma
sudut sempjt dan adenoma prostat dengan retensi urinasi, takiaritmia atrium atau
ventrikel. Penderita hipersensitif terhadap komponen obat ini. (Gunawan, 2012)
e. Perhatian
1) Dopamin jangan dicampur dengan larutan alkali, karena dapat diinaktivasi
dalam larutan alkali.
2) Kerja dopamin dipotensiasi oleh MAO Inhibitor.
3) Dopamin sebaiknya digunakan dengan perhatian khusus pada penderita yang
diberi inhalasi siklopropan atau anestesi hidrokarbon terhalogenasi karena
beresiko aritmia ventrikular dan hipertensi.
4) Efek kardiovaskuler dari dopamin diantagonis oleh dan -bloker, dopamin
menyebabkan pemblokkan terhadap vasokontriksi perifer dan selanjutnya
mengantagonis efek jantung.
5) Hipotensi, bradikardia dan kemungkinan penahanan jantung telah dibuktikan
pada pasien yang menerima fenitoin.
6) Dopamin dapat meningkatkan efek dari diuretik.
7) Penggunaan bersama dengan digitalis glikosida dapat meningkatkan resiko
aritmia jantung.
8) Penggunaan bersama ergotamin dapat menyebabkan iskhemia pembuluh darah
perifer dan gangrene, dan tidak direkomendasikan.
36

9) Penggunaan bersama alkaloid ergot atau oksitoksin dapat mempotensiasi efek


menekan dari dopamin disertai kemungkinan timbul hipertensi parah dan
pecah pembuluh darah otak.
10) Alkaloid ergot harus dihindari karena kemungkinan terjadi vasokontriksi
berlebihan. (Gunawan, 2012)
f. Interaksi Obat
Dengan Obat Lain : Meningkatkan efek/toksisitas : efek dopamin diperpanjang
dan ditingkatkan oleh MAO inhibitor; alpha dan beta-adrenergic blockers,
cocaine, anestetik umum, metilldopa, fenitoin, reserpin dan antidepresan trisiklik.
Menurunkan efek: Efek antidepresan trisiklik diturunkan jika digunakan bersama
dengan dopamin. Efek hipotensif guanetdin hanya berefek sebagian;
memerlukan simpatomimetik kerja langsung. (Gunawan, 2012)
g. ADME (Farmakokinetik)
Onset kerja : dewasa : 5 menit
Durasi : dewasa : < 10 menit
Metabolisme : ginjal, hati, plasma; 75% menjadi bentuk metabolit inaktif oleh
monoamine oksidase dan 25 % menjadi norepinefrin
T eliminasi : 2 menit
Ekskresi : urin 80% ( sebagai metabolit)

Kliren : pada neonatus : bervariasi dan tergantung pada umur; kliren akan
menjadi panjang jika terdapat gangguan hepatik atau ginjal. (Gunawan, 2012)

h. Efek Samping
1) Sering : denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina, palpitasi, hipotensi,
vasokonstriksi, saki tkepala, mual, muntah, dispnea.
2) Jarang : bradikardia, aritmiaventrikular (dosistinggi), gangrene, hipertensi,
ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa, nekrosis jaringan (karena
ekstra vasasi dopamin), peningkatan tekanan intraokular, dilatasi pupil,
azotemia, polyuria. (Gunawan, 2012)
37

5. DOBUTAMIN
a. Farmakodinamik
1) Mekanisme kerja
Dobutamin adalah salah satu obat katekolamin sintetis yang berfungsi
merangsang reseptor beta-1 pada organ jantung. Obat ini digunakan untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung sehingga volume darah yang
dipompa meningkat, peningkatan tekanan darah dan denyut jaunting, serta
menurunkan resistensi vascular perifer (Medscape, 2017).
2) Interaksi obat
Cimetidine atau methyldopa Catechol-O-methyltransferase (COMT) inhibitors
(misal, entacapone) atau droxidopa. (Medscape, 2017)
b. Farmakokinetik
Penyerapan : onset (1-10 menit), durasi (10 menit), waktu untuk efek puncak (15
menit)
Distribusi : 0,2 l/kg
Metabolisme : Metabolisme di jaringan dan di hati oleh catechol-o-methyl
transferase
Metabolit : Konjugat glukoronida
Ekskresi : Ginjal, kliren 90 ml/kg/menit. (Medscape, 2017)
c. Dosis
Dekompensasi jantung : 0,5-1 mcg/kg/menit iv, dilanjutkan dengan 2-20
mcg/kg/menit. Dosis maksimal 40 mcg/kg/menit.
Output jantung rendah : 2-20 mcg/menit iv. Dosis maksimal 40 mcg/kg/menit
Kemasan 1 ampul = 5ml = 250mg = 250.000mcg (Medscape, 2017).
38

Pembahasan kasus
1) Dopamin (Ampul 250 mg/ 5 ml 250. 000 ug/ 5 ml)
2) Berat badan pasien 60 kg,
3) Dosis yg dibutuhkan 10 ug/kgBB/menit
4) Dopamin yg dibutuhkan = 60 x 15 = 900 ug/menit
5) Kecepatan syringe pump pu dalam ml/jam

Dobutamine yg 900 ug/menit


dibutuhkan

Dosis/jam = 54.000 ug/jam

900 x 60 menit = 54.000


Jika Volume syringe pump
= 50 ml maka 1 ml = 5.000 ug
250.000 ug/ 50 ml = 5.000

Kecepatan syringe pump ( 54.000 ug/jam


ml/ jam) = 10.8 ml/ jam
5.000 ug/ml

I. 10.8 ml/ jam 10.8 x 5.000 ug/jam = 54.000 ug/jam


II. 54.000 ug/jam = 54.000/60 menit = 900 ug/ menit

d. Indikasi
Efek inotropik positif pada infark miocard, kardiomiopati, syok septic, syok
kardiogenik. (Medscape, 2017)
e. Efek samping
Tachyarrhythmia (~ 10%), Hipertensi (7,5%), Miokarditis eosinofilik (7%),
Kadar ventrikel prematur (5%; dosis terkait), Angina (1-3%), Dyspnea (1-3%),
Demam (1-3%), Sakit kepala (1-3%), Mual (1-3%), Palpasi (1-3%), Disritmia
jantung, Eksaserbasi arteriosklerosis koroner, Hipokalemia, Reaksi di tempat
suntikan, Syncope. Peningkatan tekanan darah sistolik 10 sampai 20 mmHg dan
peningkatan denyut jantung 5 sampai 15 denyut / menit. (Medscape, 2017)
39

f. Peringatan
1) Wanita yang sedang hamil dan menyusui tidak dianjurkan untuk mendapat
obat ini sebelum ada persetujuan dari dokter
2) Pasien bayi dan anak-anak perlu mendapat persetujuan dari dokter sebelum
diberikan obat ini
3) Pasien syok kardiogenik yang disertai hipotensi yang parah, diabetes, dan
glaukoma sudut tertutup.
4) Penderita hipertiroidisme, iskemik jantung, atau yang baru mengalami
serangan iskemik jantung.
5) Penderita yang sensitif atau memiliki alergi terhadap kandungan obat-obatan
atau makanan tertentu, bahan pengawet, bahan pewarna, dan bulu hewan.
6) Penderita yang sedang menjalani perawatan lain pada waktu yang sama,
termasuk terapi suplemen, pengobatan herba, atau pengobatan pelengkap
lainnya.
7) Segera temui dokter jika terjadi reaksi alergi atau overdosis saat menggunakan
dobutamin. (Medscape, 2017)

6. UROGETIX
a. Farmakologi
Phenazopyridine HCl mempunyai efek analgesik topikal pada mukosa saluran
kemih. Phenazopyridine HCl akan mengurangi gejala-gejala sakit, perih atau rasa
terbakar urgensi, frekuensi dan lain-lain keadaan tidak enak yang timbul karena
iritasi pada selaput lendir saluran kemih bagian bawah. Gejala-gejala ini dapat
timbul karena adanya infeksi, trauma, pembedahan,tindakan endoskopik atau
kateterisasi. (Gunawan, 2012)
b. Indikasi
Pasien yang mengalami infeksi saluran kemih direkomendasikan untuk
menggunakan Urogetix untuk mengurangi gejala-gejala seperti berikut:
1) Gejala sakit, perih, rasa terbakar pada saat ingin buang air kecil.
2) Rasa sakit yang timbul di bagian bawah perut
3) Tidak keluarnya air kencing saat hendak buang air kecil
4) Air kencing yang keluar lebih sedikit dan berwarna lebih gelap. (Gunawan,
2012)
40

c. Kontra Indikasi
Obat ini sangat tidak dianjurkan untuk digunakan pada penderita hipersensitif
terhadap phenazopyridine HCI, penderita hepatitis. (Gunawan, 2012)
d. Dosis
Urogetix dapat diberikan kepada semua umur, baik itu dewasa dan anak-anak.
Dosis obat infeksi saluran kemih ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk dewasa, dosis yang diberikan adalah 200 mg atau 2 kaplet sebanyak 3
kali sehari.
2) Untuk anak-anak usia 6-12 tahun, dosis yang diberikan adalah 100 mg atau 1
kaplet sebanyak 3 kali sehari. (Gunawan, 2012)
e. Efek Samping
Penggunaan Obat Urogetix untuk mengobati infeksi saluran kemih juga dapat
menimbulkan efek samping setelah digunakan, yang di antaranya adalah:
1) Warna air kencing menjadi sangat keruh, biasanya berwarna cokelat pekat.
2) Terkadang dapat timbul sakit kepala, vertigo, mual, renal failure, dan
hepatotoksik.
3) Penggunaan yang melebihi dosis dapat menimbulkan efek. (Gunawan, 2012)

7. NaCl 45% HIPERTONIK


Cairan hipertonik adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan
serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel kedalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin,
dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-
Lactate, Dextrose5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. (Gunawan,
2012)
a. Farmakodinamik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi dari pada osmolaritas
plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam
sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler, sehingga
menyebabkan sel-selnya mengkerut . (Gunawan, 2012)
41

b. Farmakokinetik
Di distribusikan ke intravaskuler dan bekerja pada kompartemen yang kelebihan
cairan dan di ekskresikan bersama urin . (Gunawan, 2012)
c. Indikasi
1. Mengurangi edema perifer dan akibat luka bakar
2. Hipovolemi yang disertai hiponatremi (Gunawan, 2012)

d. Kontraindikasi
Hipervolemi dan hipernatremi
e. Dosis
1) Initial dose : 0,3-0,6mEq/kg/jam ~ 0,35-0,7 ml/kg/jam
2) Pasien dengan kadar serum Na < 110 mEq/L : 1-2ml/kg/jam
Setelah kadar serum Na >120 mEq/L dan tidak ada gejala klinisganti dengan
infuse NaCl 0,9% . (Gunawan, 2012)
f. Efek samping
1) Hipertensi
2) Asidosis
g. Hubungan umur pasien dengan obat
Dosis yang sudah di tentukan berhungan dengan umur pasien karena dosis yang
ditentukan dosis orang dewasa
h. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan data laboratorium
Berdasarkan data klinik pasienmengeluhkan edema pada kaki pada tanggal 20/2-
22/2, maka diberikan cairan NaCl hipertonik
i. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien, penyakit dan riwayat pengobatan
Tidak ada hubungan dengan riwayat pengobatan pasien tetapi berhubungan
dengan data klinik pasien yang didapat
j. Interaksi obat-obat, makanan dan jamu
Tidak ada
k. Aturan pemakain obat
a. Larutan NaCl 45% hanya digunakan untuk penggunaan IV saja
b. Larutan NaCl 45% diberikan melalui infuse secara perlahan menggunakan
jarum kecil pada vena perifer terbesar.
c. Dosis IV maks yang seharusnya diberikan adalah 100mL/1jam. Sebelum
dilakukan penambahan jumlah dosis, konsentrasi elektrolit termasuk klorida
42

dan bikarbonat dalam serum darah harus ditentukan untuk memastikan


kebutuhan NaCl tubuh.
d. Penggunaan dosis IV maks NaCl harian adalah 400mL/24 jam
l. Lama penggunaan obat untuk terapi
Sampai kondisi membaik. (Gunawan, 2012)

8. FUROSEMID
Obat furosemid termasuk dalam golongan obat loop diuretic , . Furosemid atau asam
4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik
loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen
tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida
(Gunawan, 2012).
a. Farmakodinamik
Farmakodinamik dari obat ini yaitu menghambat sistem transpor pasangan
Na,K,dan Cl di membran luminal bagian tebal ansa Henle asendens. Dengan
menghambat pentranspor ini, diuretik tersebut menurunkan reabsorpsi NaCl dan
juga mengurangi potensial positif lumen normal yang didapat dari daur ulang
Kalium. Potensial elektrik tersebut didapat dari rebsorpsi kation divalen di ansa
Henle. Furosemide meningkatkan aliran darah ginjal dan menyebabkan
redistribusi aliran darah dalam korteks ginjal. Furosemide dan asam metakrinat
dapat juga mengurangi kongesti paru dan menurunkan tekanan ventrikel kiri pada
gagal jantung kongestif sebelum peningkatan keluaran urin dapat diukur, dan
pada penderita anefrik . (Gunawan, 2012)

Furosemid merupakan jenis golongan obat diuretik kuat.Farmakodinamik :


Furosemid bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal bagian luminal
(menghadap lumen). Furosemidbekerja dengan cara menghambat ko-transport
Natrium dan Klor dan menghambat reabsorpsi air. Sehingga terjadi penurunan curah
jantung dan tekanan darah. Efek kerja diuretik kuat lebih kuat dan cepat daripada
golongan tiazid, sehingga jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
penderita gagal ginjal. Furosemid diketahui juga meningkatkan ekskresi kalium,
kalsium dan magnesium. Selai itu diuretik kuat ini juga meningkatkan eksresi asam
yang dapat dititrasi dan amonia sehingga perlu diperhatikan risiko alkalosis metabolik
(Gunawan, 2012).
43

b. Farmakokinetik
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda.Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper 100%.
Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi
di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic
di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa
sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui
hati.sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian
kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam
bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit (Gunawan, 2012).
c. Mekanisme kerja
Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula kerja dan
lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada
Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara
menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden
ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun (Gunawan, 2012).
d. Indikasi
Furosemide tablet diindikasikan pada pasien dewasa dan anak-anak untuk
pengobatan edema yang dihubungkan dengan gagal jantung kongestif, sirosis
hati, dan penyakit ginjal, termasuk syndrome nephritic. Furosemide tablet juga
digunakan pada dewasa untuk pengobatan hipertensi (Gunawan, 2012).

e. Kontraindikasi
1) Defisiensi elektrolit
2) Anuria
3) Koma hepatik kehamilan muda
4) Hipokalemia
5) Terapi bersama litium
6) Ibu menyusui: furosemide disekresi dalam ASI. Ibu menyusui harus
menghindari menyusui saat mengambil furosemide.
44

f. Efek Samping
Setiap obat mempunyai efek samping, tetapi beberapa orang ada yang tidak
menunjukkan efek samping, ada yang sedikit yang menunjukkan efek
samping, dan ada yang menunjukkan efek samping. Furosemide menimbulkan
efek samping sebagai berikut :anemia, sensasi abnormalitas kulit, kejang
kandung kemih, penglihatan kabur, konstipasi/sembelit, kram, pusing, demam,
iritasi mulut dan lambung, kemerahan, sedikit ikterik, kejang otot, telinga
berdengung, fotosensitivitas, inflamasi vena, mual, jaundice. Biasanya
frekuensi urin maksimal sampai enam jam setelah dosis pertama, dan akan
menurun setelah mengkonsumsi furosemide dalam waktu beberapa minggu
Gunawan, 2012).
g. Cara penggunaan
Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi (IV/IM). Untuk
yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar , tetapi untuk yang
injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter. Untuk penggunaan
injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan latihan tentang cara penggunaan
injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam hal ini pasien harus benar-benar
mengerti apa yang telah diajarkan baik tentang pengaturan dosis sampai teknik
aseptic sebelum melalukan injeksi. Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan
dosis sendiri lebih dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat
tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan
tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi. Pada anak-
anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak dianjurkan. Pemakaian
dosis pertama mungkin akan meningkatkan jumlah urin atau pasien akan
sering BAK, oleh karena itu supaya tidak mengganggu kenyamanan tidur
pasien, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore
Gunawan, 2012).
h. Dosis
Dosis Dewasa
Oral:
20-80 mg/dosis awalnya meningkat dengan penambahan 20-40 mg/dosis pada
interval 6-8 jam. Untuk terapi hipertensi diberikan dalam 2 dosis terbagi.
IV, IM:
45

20-40 mg / dosis, dapat diulang dalam 1-2 jam sesuai kebutuhan dan
meningkat sebesar 20 mg / dosis. Dosis maksimum 1000 mg / hari; interval
pemberian dosis biasa: 6-12 jam.
Dosis Geriatri
Oral, IV, IM:
Dosis awal 20 mg/hari, ditingkatkan perlahan.
Dosis Bayi dan Anak
Oral:
0,5-2 mg / kg / dosis, meningkat dengan penambahan sebesar 1 mg / kg / dosis
sampai efek tercapai. Maksimal dosis 6 mg / kg / dosis tidak lebih sering dari 6
jam.
IM, IV:
1 mg / kg / dosis, pada interval 6-12 jam sampai respon yang memuaskan
tercapai. Maksimal dosis hingga 6 mg / kg / dosis (Lacy et al., 2011)
i. Peringatan
Pada pasien sirosis hepatik dan ascites, terapi Furosemide adalah yang
terbaik.Tetapi diuretik yang berlebihan dapat menyebabkan dehidrasi dan
volume darah dalam sirkulasi menurun dan mungkin juga terjadi trombosis
dan emboli, dimana khususnya pada pasien-pasien orang tua. Karena dengan
adanya efektif diuretik, deplesi elektrolit dapat terjadi selama terapi
furosemide, khususnya pada pasien yang menerima dosis tinggi. Semua pasien
yang menerima terapi furosemide harus diobservasi untuk
tanda/gejala/ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokloremik
alkalosis, hipokalemia, hipomagnesemia, hipokalemia) : mulut kering, haus,
lemah, lethargi, cepat lelah, nyeri otot, fatigue, hipotensi,dll. kenaikan gula
dalam darah juga harus diobservasi, oleh karena itu pasien dengan riwayat DM
harus mengatakan pada dokter Gunawan, 2012).

j. Interaksi obat
Obat golongan ini bekerja dengan cara mengeluarkan air dan elektrolit
(natrium, kalium dan klorida) dari dalam tubuh. Beberapa contoh obat
golongan ini adalah, Furosemid, Triamteren, Hidroklorothiazid. Interkasi
dengan Makanan: diuretik dapat menyebabkan kehilangan kalium, kalsium
46

dan magnesium. Apabila furosemid dikonsumsi setelah makan ,maka makanan


menurunkan bioavaolabilitas & efek diuretik obat (Gunawan, 2012).
9. DIGOXIN
Digoksin merupakan glikosida jantung yang berasal dari digitalis lanata yang
memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung).
Selain itu, digoksin juga mempunyai efek tak langsung terhadap aktivitas syaraf
otonom dan sensitivitas jantung terhadap neurotransmiter.
a. Farmakodinamik
Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu
meningkatkan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami gangguan
fungsi sistolik, efek inotropik positif ini akan menyebabkan peningkatan curah
jantung sehingga tekanan vena berkurang, ukuranjantung mengecil dan reflek
takikardi karena respon jantung diperlambat. Mekanisme kompleks dari efek
inotropik positif glikosida jantung terdiri atas efek langsung glikosida
jantung terhadap jantung dengan cara merubah pola kelistrikan dan aktivitas
mekanik jantung, serta efek tidak langsung yang dibangkitkan oleh perubahan
refleks aktivitas sistem saraf otonom (Gunawan, 2012).
b. Efek Langsung
Kontraktilitas Miokardium Mekanisme kerja efek inotropik positif didasarkan
atas 2 hal, yaitu (1) penghambatan enzim Na +,K+ adenotrifosfatase (Na+, K+
- ATPase) yang terikat di membran sel miokard (sarkolema) dan berperan dalam
mekanisme pompa Na+ dan (2) peningkatan arus masuk lambat (slow inward
current) Ca+ ke intrasel pada potensial aksi Gunawan, 2012).
47

Gambar 11. Aktivitas Listrik Gunawan, 2012).

Efek langsung paling banyak diselidiki pada serabut purkinye. Efek-efeknya


meliputi:

1) menurunnya potensial istiharat atau potensial diastolik maksimal


(MDP) yang akan memperlambat laju depolarisasi cepat (fase 0) dan
mengurangi kecepatan konduksi konduksi;
2) memperpendek masa potensial aksi yang menyebabkan serabut otot lebih
mudah terangsang dan
3) meningkatnya automatisitas karena meningkatnya laju depolarisasi fase 4.
Makin tinggi kadar obat, perlambatan laju depolarisasi makin nyata, dan
masa potensial aksi makin pendek (Gunawan, 2012).

Serabut khusus lain yaitu efek pada serabut yang ada di nodus
sinoatrium, nodus atrioventrikel, dan pada serabut khusus atrium. Efek
langsung pada atrium berupa penghentian pembentukan implus nodus SA,
hanya terjadi pada dosis toksik. Serabut otot atrium dan ventrikel terhadap
lama aksi potensial yang serupa dengan efek pada serabut purkinye.
Perpendekan yang terjadi tidak mencolok tapi mungkin trlihat pada EKG.
Pengaruh lain meningkatnya kecuraman fase 2 dan menurunya kecuraman fase
3 yang terlihat sebagai perubahan segmen ST dan gelombang T. Digitalis tidak
48

mempengaruhi depolarisasi fase 4 srabut otot atrium atau ventrikel Gunawan,


2012).

c. Efek Tidak Langsung

Berbagai efek digitalis terhadap jantung didasarkan atas pengaruhnya terhadap


aktivitas saraf autonom dan sensitivitas jantung terhadap
neurotransmiter saraf tersebut. Penurunan frekuensi sinus oleh digitalis
pada gagal jantung sebagian besar disebabkan oleh peningkatan efek vagal dan
sebagian lagi karena penurunan tonus simpatis secara reflek. Efek tak langsung
digitalis terutama diperantarai oleh vagus, menyebabkan perubahan aktivitas
nodus SA, atrium, dan nodus AV. Dalam kadar terapi efek tak langssung
terhadap fungsi sistem hantaran ventrikel dan otot ventrikel tidak berarti
(Gunawan, 2012).

d. Farmakokinetik
Absorpsi
Penyerapan digoksin pada pemberian per oral bervariasi dan sangat ditentukan
oleh jenis sediaan yang digunakan, adanya makan, serta wakru
pengosongan lambung. Penyerapan digoksin dihambat oleh adanya
makanan dalam saluan cerna, melambatnya pengosongan lambung dan
sindrom malabsorpsi. Pemberian bersama obat-obatan seperti
kolestiramin, kolestipol, kaolin, pektin karbon aktif juga mengurangi absorpsi.
Demikian pula pemberian neomisin, siklofosfamid, vinkristin, dan laksans.
Pada 10% penderita, digoksin diubah dalam jumlah yang cukup banyak
menjadi dihidrodigoksin oleh mikroorganisme usus dan resin pengikat
syeroid. Kadar puncak digoksin dalam plasma 2-3 jam setelah pemberian per
oral dengan efek maksimal 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam
loading dose, diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadar steady
state dalam plasma, karena waktu paruh dalam obat antara 1 sampai 2 hari.
Pada jam pertama setelah pemberian oral, digoxin dapat diserap sekitar 75%
oleh tubuh, dan konsentrasi puncaknya dalam plasma dapat tercapai dalam 1
hingga 2 jam. Pemberian digoxin secara intramuskuler (IM) dapat
menimbulkan rasa nyeri serta absorpsinya tidak bisa diperkirakan. Konsentrasi
plasma terapeutik digoxin dapat tercapai dengan cepat apabila kita
49

memberikannya secara intavena (sekitar 10 g/kg selama 30 menit), dan


efeknya dapat timbul dalam 5 hingga 30 menit. Setelah mencapai konsentrasi
plasma terapeutik digoxin, baik itu melalui rute oral ataupun intravena, maka
proses maintenance dosis oral dapat disesuaikan berdasarkan respon
individual pasien, gambaran EKG, dan konsentrasi plasma digoxin. Dosis
maintenance harus disesuaikan dengan jumlah bersihan (clearance) obat dalam
sehari (Gunawan, 2012).
Distribusi
Distribusi glikosida dalam tubuh berlangsung lambat, sebagian karena
volume distribusinya yang besar (sekitar 6 L/kg). Kira-kira 25% digoksin
terikat pada protein plasma. Digitalis disebarkan hampir semua jaringan,
termasuk ke eritrosit, otot skelet dan jantung. Pada keadaan seimbang, kadar
dalam jaringan jantung 15-30 kali lebih tinggi daripada kadar plama,
sementara kadar dalam otot skelet setengah kadar jantung. Ikatan glikosida
jantung menurun apabila kadar K+ ekstrasel meningkat. Efek maksimal baru
timbul 1 jam atau lebih setelah kadar maksimal jantung tercapai (Gunawan,
2012).
Metabolisme
Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami metabolisme, namun
tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan berakibat fatal pada beberapa
pasien. Sebagian kecil metabolisme terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat
terjadi oleh bakteri dilumen usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi
empedu pada pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan
bertahap dari gugus gula untuk membentuk digoksigenin-
bisdigitoxosida, digoksigenin-monodigitoxosida, dan digoksigenin,
metabolit tersebut bersifat menurunkan kardioaktivitas digoksin.
Digoksin juga mengalami pengurangan cincin lakton membentuk
dihidrodigoksin yang kemudian juga mengalami pembelahan bertahap pada
gugus gulanya (Gunawan, 2012).
Ekskresi
Pembersihan digoxin dari plasma lebih banyak dilakukan oleh ginjal. Sekitar
35% obat ini, dieksresikan tiap hari oleh ginjal. Pada pasien yang mengalami
disfungsi ginjal, waktu paruh eliminasi digoxin dapat mengalami
penurunan yang sesuai dengan proporsi penurunan pembersihan
50

(clearance) creatinine. Sebagai contoh, waktu paruh eliminasi digoxin pada


pasien dengan ginjal normal adalah sekitar 31 hingga 33 jam , dan
waktu paruh tersebut dapat memanjang hingga 4,4 hari pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi ginjal. Adapun aturan praktis penggunaan
digoxin adalah kita harus menurunkan dosis digoxin hingga 50% dari dosis
normal jika konsentrasi kreatinin dalam serum mencapai 3 sampai 5 mg/dl dan
kita harus menurunkan dosis digoxin hingga 75% jika pasien telah mengalami
gagal ginjal. Tempat akumulasi digoxin yang inaktif adalah pada otot rangka.
Penurunan massa otot, terutama pada orang tua, akan menyebabkan
peningkatan kadar digoxin dalam plasma sertamiokardial. Tempat akumulasi
digoxin inaktif lainnya adalah pada jaringan lemak. Sekitar 25%digoxin
berikatan dengan protein. Terkadang, pasien bisa membentuk antibodi
terhadap digoxin, sehingga hal tersebut akan mencegah timbulnya efek
terapeutik. Digoxin dimetabolisme secara minimal, beberapa pasien dapat
membentuk metabolit dihydrodigoxin yang inaktif (Gunawan, 2012).
e. Interaksi
Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol),
verapamil dan diltiazem mempunyai efek aditif pada denyut jantung.
Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan menghambat
metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh amiodaron (dosis
digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin, diltiazem, indometasin,
itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin, klaritromisin), metimazol,
nitrendipin, propafenon, propiltiourasil, kuinidin dosis digoksin diturunkan 33
% hingga 50 % pada pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine
dapat meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi
pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara
langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksin
dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia. Jarang terjadi kasus
toksisitas akut digoksin yang berhubungan dengan pemberian kalsium
secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut dihubungkan dengan
peningkatan kadar darah digoksin yang menunjukkan signifikansi klinik :
famciclovir, flecainid, ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein,
famotidin, ranitidin, omeprazoe, trimethoprim (Gunawan, 2012).
51

Menurunkan efek : Amilorid dan spironolakton dapat menurunkan respon


inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan
metoklopramid dapat menurunkan absorpsi digoksin. Levothyroxine (dan
suplemen tiroid yang lain) dapat menurunkan kadar digoksin dalam darah.
Penicillamine dihubungkan dengan penurunan kadar digoksin dalam
darah. Penggunaan Digoksin dapat menurunkan Mg intraseluler dan
meningkatkan pengeluaran Mg dari tubuh melalui urin (Gunawan, 2012).
f. Interaksi dengan Makanan
Kadar serum puncak digoksin dapt diturunkan jika digunakan bersama dengan
makanan. Makanan yang mengandung serat (fiber) atau makanan yang kaya
akan pektin menurunkan absorpsi oral digoksin. Penggunaan Digoksin dapat
menurunkan Mg intraseluler dan meningkatkan pengeluaran Mg dari tubuh
melalui urin. Pemberian suplemen Mg akan sangat menguntungkan.
Dianjurkan konsumsi Mg adalah 30-500 mg per hari. Dari makanan, juga
dapat ditingkatkan konsumsinya (tanpa melalui suplemen Mg). Sumber utama
Mg adalah sayuran hijau, serealia tumbuk, biji- bijian dan kacang-kacangan,
daging, coklat, susu dan hasil olahannya (katzung, 2014).
Digoksin mengganggu transport potassium dari darah menuju sel sehingga
Digoksin pada dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan hiperkalemia
fatal. Oleh karenanya pada saat mengkonsumsi / menggunakan Digoksin,
hindari konsumsi suplemen potassium atau makanan yang mengandung
potassium dalam jumlah besar seperti buah (pisang). Sumber utama potassium
adalah buah, sayuran dan kacang-kacangan. Namun banyak orang
mengkonsumsi digoksin menyebabkan diuretic. Pada kasus tersaebut,
peningkatan intake potassium dibutuhkan. Oleh karenanya harus
dikomunikasikan dengan tim kesehatan yang lain.
Peningkatan Ca dalam plasma dapat meningkatakan toksisitas digoksin. Oleh
karenanya, hindari konsumsi makanan tinggi Ca terutama 2 jam
sebelum/sesudah minum obat ini. Sumber utama Ca adalah susu dan hasil
olahannya seperti keju (katzung, 2014).
g. Intoksikasi dan Efek Samping
Rasio terapi digitalis sangat sempit sehingga 5-20% penderita umumnya
memperlihatkan gejala toksik sehingga sulit dibedakan dengan gejala tanda-
tanda gagal jantung. Gejala umum intoksikasi digitalis tampak pada saluran
52

cerna dan susunan saraf pusat tetapi gejala yang gejala yang paling berbahaya
adalah gangguan irama denyut dan konduksi jantung (perlambatan dari blok
AV total) (katzung, 2014).
Efek samping digoxin pada saluran cerna seperti anoreksia, mual dan muntah,
yang merupakan tanda keracunan digitalis paling dini. Dan hilang beberapa
hari bila pemberian obat dihentikan. Mual muntah karena efek langsung di
batang otak, efek langsung saluran cerna yaitu oleh pulvus folia digitalis.
Gejala neurologik seperti sakit kepala, letih, lesu dan pusing. Pada penglihatan
sering ada efek kabur, maupun keluhan gangguan warna terutama kuning dan
hijau, efek samping lain berupa ginekomastia pada pria yang diduga
mempunyai efek estrogenik karena struktur kimia mirip hormon kelamin
(katzung, 2014).

10. CEFIXIME
a. Farmakologi
Cefixime adalah sefalosforin semi-sintetik generasi ketiga yang dapat
diberikan secara oral. Selain cefixime, keluarga sefalosporin lain diantaranya
sefaleksin, cefaclor, cefuroxime, cefpodoxime, cefprozil dan lain-lain.
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram
negatif dan gram positif, seperti sefalosporin oral yang lain (katzung, 2014).
Mekanisme kerja sefalosporin yaitu dengan cara menghambat sintesa
dinding sel bakteri, sehingga tanpa dinding sel, bakteri akan mati. Cefixime tahan
terhadap hidrolisa berbagai macam enzim betalaktamase yang dihasilkan bakteri.
Beberapa bakteri yang peka terhadap cefixime yaitu Staphylococcus aureus ,
Streptococcus pneumoniae , Streptococcus pyogenes (penyebab radang
tenggorokan ), Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, E. coli ,
Klebsiella , Proteus mirabilis, Salmonella , Shigella , dan Neisseria gonorrhoeae.
Cefixime memiliki afinitas tinggi terhadap penicillin-binding-protein (PBP) 1
(1a,1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis
organismenya (katzung, 2014).
b. Farmakodinamik
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau
lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding
53

sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami
lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding
sel bakteri terhambat (katzung, 2014).
c. Farmakokinetik
Farmakokinetik cefixime, yaitu :
Konsentrasi dalam serum
Pemberian per oral dosis tunggal 50,100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada
orang dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4
jam pemberian yaitu masing-masing 0,69; 1,13; dan 1,95 mg/ml. Waktu paruh
serum adalah 2,3-2,5 jam. Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0
mg (potensi)/kg cefixime pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal normal,
kadar puncak serum dicapai setelah 3-4 jam pemberian yaitu masing-masing
1,14; 2,01; dan 3,97 mg/ml. Waktu paruh serum adalah 3,2-3,7 jam. Absorbsi
40-50% (katzung, 2014).
Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan)
Didistribusikan secara luas di dalam tubuh dan mencapai efek pada
konsentrasi terapi dalam jaringan dan cairan tubuh. Penetrasi ke
dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan
empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik. Ikatan protein 65%
(katzung, 2014).
Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam
serum atau urin (katzung, 2014).
Eliminasi
Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai
12 jam) setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa
sehat dalam keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan.
Kadar puncak urin masing-masing 42,9; 62,2 dan 82,7 g/ml dicapai
dalam 4-6 jam setelah pemberian. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam)
setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kgBB pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih 13-20%.
Waktu paruh eliminasi pada fungsi ginjal normal 3-4 jam sedangkan pada
kerusakan ginjal lebih (katzung, 2014).
54

d. Dosis
Dewasa dan anak-anak dengan berat badan >30 kg, dosis harian yang
direkomendasikan adalah 50-100 mg (potensi) cefixime diberikan per oral dua
kali sehari. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan usia penderita, berat badan dan
keadaan penderita. Untuk infeksi yang berat dosis dapat ditingkatkan sampai
200 mg (potensi) diberikan dua kali sehari. Cefixime suspensi 100mg untuk
anak-anak dosisinya adalah 1,5-3 mg/kgBB 2 kali sehari. Untuk infeksi
berat atau dapat berinteraksi, dosis dapat ditingngkatkan menjadi 6 mg dua kali
sehari. Pada anak-anak, otitis media harus diobati dengan sediaan suspensi.
Studi klinik pada otitis media menunjukkan bahwa pada pemberian dosis yang
sama, sediaan suspensi memberikan hasil kaadar puncak dalam darah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan tablet. Oleh karena itu pada
pengobatan otitis median pengobatan dengan sediaan suspensi tidak boleh
diganti dengan sediaan tablet. Demam tifoid pada anak-anak: 10-15 mg/kg
BB/hari selama 2 minggu. Sedangkan untuk kasus gonorhea diberikan
dosisi 400 mg dosis tunggal (katzung, 2014).
Pasien dengan kerusakan fungsi ginjal memerlukan modifikasi dosisi
tergantung pada tingkat kerusakan. Apabila bersihan kreatini antara 21-60
ml/min atau pasien mendapat terapi hemodialisa, dosis yaang dianjurkan adalah
75% dari dosis standar (misalnya 300mg sehari). Apabila bersihan kreatini
kurang dari 20 ml/min atau pasien mendapat terapi rawat jalan peritonial adalah
50% dari dosis standar (misalnya 200mg perhari) (katzung, 2014).
Pada kasus overdosis lakukan pengososngan lambung karena tidak ada
antidotum yang spesifik. Cefixime tidak dapat dikeluarkan dalam jumlah yang
signifikan dari sirkulasi dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal (katzung,
2014).
e. Indikasi
Cefixime diindikasikan untuk pengobatn infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan antara lain :
1) Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh
Escherichia coli dan Proteus mirabilis.
2) Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain -
laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.
55

3) Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus


pyogenes.
4) Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae (strain beta-laktamase positif dan negatif) (katzung, 2014).
f. Kontraindikasi
Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitif akibat beberapa bahan dari
sediaan ini (katzung, 2014).
g. Efek Samping
Efek samping obat cefixime yaitu :
1) Shock
Perhatian yang cukup sebaiknya dilakukan karena gejala-gejala shock
kadang-kadang bisa terjadi. Jika beberapa tanda atau gejala seperti
perasaan tidak enak, rasa tidak enak pada rongga mulut, stridor, dizziness,
defekasi yang tidak normal, tinnitus atau diaphoresis; maka pemakaian
sediaan ini harus dihentikan (katzung, 2014).
2) Hipersensitivitas
Jika tanda-tanda reaksi hipersensitivitas seperti rash, urtikaria,
eritema, pruritus atau demam maka pemakaian sediaan ini harus
dihentikan dan sebaiknya dilakukakan penanganan lain yang lebih tepat
(katzung, 2014).
3) Hematologik
Granulositopenia atau eosinophilia jarang terjadi. Kadang-kadang
thrombocytopenia dapat terjadi. Pemakaian sediaan ini sebaiknya
dihentikan bila ditemukan adanya kelainan-kelainan ini. Dilaporkan
bahwa terjadi anemia hemolitik pada penggunaan preparat cefixime
lainnya (katzung, 2014).
4) Hepatik
Jarang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase
(katzung, 2014).
5) Renal
Pemantauan fungsi ginjal secara periodik dianjurkan karena
gangguan fungsi ginjal seperti insufisiensi ginjal kadang-kadang dapat
terjadi. Bila ditemukan adanya kelainan-kelainan ini, hentikan
56

pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang lebih tepat
(katzung, 2014).
6) Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang
ditunjukkan dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare
terus menerus memerlukan penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah,
diare, nyeri lambung, rasa tidak enak dalam lambung, heartburn atau
anoreksia, nausea, rasa penuh dalam lambung atau konstipasi (katzung,
2014).
7) Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang
ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala demam, batuk, dyspnea, foto
rontgen thorax yang tidak normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan
pengobatan dengan obat ini dan lakukan penanganan lain yang tepat
seperti pemberian hormon adrenokortikal (katzung, 2014).
8) Perubahan flora bacterial
Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis (katzung, 2014).
9) Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau
kecenderungan pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti
glositis, stomatitis, anoreksia atau neuritis) (katzung, 2014).

h. Bentuk Sediaan Obat


Bentuk sediaan obat yaitu kapsul 100 mg dan 200 mg, suspensi 100ml/5ml
(katzung, 2014).
i. Interaksi
Dengan obat lain
Menigkatkan efek/toksisitas :
1) Amonoglikosida dan furosemida kemungkinan terjadi nefrotoksisitas
karena aditif
2) Probenesid dapat meningkatkan konsentrasi sefiksim
3) Sefiksim meningkatkan kadar karbamazepin
4) Sefiksim dapat meningkatkan waktu pembekuan darah jika
diberikan bersama warfarin (katzung, 2014).
57

Dengan Makanan

Dapat diberikan bersamaan atau tanpa makanan, pemberian bersamaan


makanan akan mengurangi rasa tertekan pada perut (katzung, 2014).

j. Peringatan dan Perhatian


Hati- hati terhadap reaksi hipersensitif, karena reaksi-reaksi seperti shock
dapat terjadi. Sediaan ini sebaiknya jangan diberikan kepada penderita-
penderita yang masih dapat diobati dengan antibiotik lain, jika perlu dapat
diberikan dengan hati-hati. Penderita dengan riwayat hipersensitif
terhadap bahan-bahan dalam sediana ini dengan antibiotk cefixime lainnya.
Cefixime haus diberikan dengan hati-hati kepada penderita, antara lain:
1) Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap penisilin.
2) Penderita dengan riwayat personal atau familial terhadap berbagai bentuk
alergi seperti asma bronkial, rash dan urtiakria.
3) Penderita dengan gangguan fungsi ginjal berat.
4) Penderita dengan nutrisi oral rendah, penderita yang sedang mendapatkan
nutrisi parenteral, penderita lanjut usia atau penderita yang dalam keadaan
lemah. Observasi perlu dilakukan dangan hati-hati pada penderita
inikarena dapat terjadi defisiensi vitamin K.
5) Penggunaan selama kehamilan, keamanan pemakaian cefixime
selama masa kehamilan belum terbukti. Sebaiknya sediaan ini hanya
diberikan kepada penderita yang sedang hamil atau wanita yang hendak
hamil, bila keuntungan terapetik lebih besar dibandingkan risiko yang
terjadi.
6) Penggunaan pada wanita menyususi, belum diketahuai apakah cefixime
diekskresikan melalui air susu ibu. Sebaiknya tidak menyusui
untuk sementara waktu selama pengobatan dangan obat ini.
7) Penggunaan pada bayi baru lahir ataub bayi prematur. Keamanan dan
Keefektifan penggunaan cefixime pada anak-anak dengan usia kurang dari
6 bulan belum dibuktikan (termasuk bayi baru lahir dan bayi prematur)
(katzung, 2014).
58

11. SPINOROLAKTON
a. Farmakokinetik
Preparat ini biasanya dipakai bersama diuretik lain untuk mengurangi ekskresi
kalium disamping memperbesar diuresis. Durasi kerja 2-3 hari, Ikatan protein 91-
98%.Metabolisme melalui hati untuk membentuk banyak metabolit termasuk
canrenone (metabolit aktif).T eliminasi 78-84 menit.Waktu untuk mencapai
puncak dalam serum 1-3 ham (utamanya dalam bentuk metabolit aktif).Ekskresi
melalui urin dan feses (Goodman, 2007).
b. Indikasi
Gangguan edematosa, gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik,
edema idiopatik, diagnosis & pengobatan aldosteronisme primer, hipertensi,
hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebihan pada wanita menurut pola
pertumbuhan pertumbuhan rambut laki-laki) (Goodman, 2007).
c. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap spironolakton atau komponen lain dalam sediaan, anure,
insufisiensi ginjal akut, gangguan fungsi ekskresi ginjal yang signifikan,
hiperkalemia, kehamilan (hipertensi yang diinduksi kehamilan) (Goodman,
2007).
d. Efek Samping
Edema, gangguan SSP seperti mengantuk, lethargi, sakit kepala, kebingungan,
demam, ataksia, makulopopular, erupsi eritematosus, urtikaria, hiesutism,
eosinofilia, ginekomastia, sakit payudara, hiperkalemia serius, hiponatremia,
dehidrasi, metabolik asidosis, impotensi, haid tidak teratur, amenorea,
pendarahan setelah postmenopouse, anoreksia, mual, muntah, kram perut, diare,
pendarahan lambung, ulserasi, gastritis, muntah, agranulositosis, toksisitas
hepatoselular peningkatan konsentrasi BUN (Goodman, 2007).
e. Peringatan
Hindari penggunaan suplemen, garam mengandung kalium, makanan yang
mengandung kalium, atau obat-obat lain yang mengandung kalium. Monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit. Ginecomastia berhubungan dengan dosis
dan durasi terapi.Terapi dengan diuretik harus disertai perhatian untuk pasien
yang mengalami disfungsi hati parah, perubahan elektrolit dan cairan dapat
memperparah ensefalopati.Hentikan penggunaan obat sebelum katerisasi vena
adrenal. Saat evaluasi terhadap pasien gagal jantung yang menggunakan terapi
59

spironolakton, kadar kreatinin harus < 2.5 mg/dL pada pria atau < 2 mg/mL
pada wanita dan kalium < 5 mEq/L (Goodman, 2007).
f. Mekanisme kerja
Spironolakton berkompetisi dengan aldosteron pada reseptor di tubulus ginjal
distal, meningkatkan natrium klorida dan ekskresi air selama konversi ion
kalium dan hidrogen, juga dapat memblok efek aldosteron pada otot polos
arteriolar (Goodman, 2007).
g. Interaksi obat
Penggunaan bersamaan spironolakton dengan diuretik hemat kalium lainnya,
suplemen kalium, antagonis reseptor angiotensin, kotrimoksazol (dosis besar)
dan inhibitor ACE dapat meningkatkan risiko hiperkalemia, terutama pada
pasien gangguan ginjal (Goodman, 2007).
60

D. Kesimpulan

dr. RF
Jln. Terusan Pemuda.Kota Cirebon.Telp. (0231) 27289
SIP 1667778
Cirebon, 20 Februari 2017

R/ Infus NaCl 45% 31 tpm


S Pro Infus (paraf)
R/ Inj Pantoprazol 40 mg vial No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Inj Ondansetron 8mg/4ml amp. No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Ketosteril tab 60 mg No. XII
S 3 dd tab 4 p.c (paraf)
R/ Inj Dobutamin 10,8 ml/jam vial
S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)
R/ Inj Dopamin 9 ml/jam vial
S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)
R/ furosemid 20 mg/ml vial No. I
S 1 dd (paraf)

Cirebon, 21 februari 2017


R/ Infus NaCl 45% 31 tpm
S Pro Infus (paraf)
R/ Inj Pantoprazol 40 mg vial No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Inj Ondansetron 8mg/4ml amp. No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Ketosteril tab 60 mg No. XII
S 3 dd tab 4 p.c (paraf)

R/ Inj Dobutamin 10,8 ml/jam vial


61

S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)


R/ Inj Dopamin 9 ml/jam vial
S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)
R/ furosemid 20 mg/ml vial No. I
S 1 dd (paraf)

R/ Urogetix tab 200 mg No. III


S 3 dd tab 1 p.c (paraf)
R/ cefixime ab 400 No. I
S 1 dd tab 1 p.c (paraf)

Cirebon, 22 februari 2017


R/ Infus NaCl 45% 31 tpm
S Pro Infus (paraf)
R/ Inj Pantoprazol 40 mg vial No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Inj Ondansetron 8mg/4ml amp. No. II
S 2 dd inj 1 (paraf)
R/ Ketosteril tab 60 mg No. XII
S 3 dd tab 4 p.c (paraf)
R/ Inj Dobutamin 10,8 ml/jam vial
S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)
R/ Inj Dopamin 9 ml/jam vial
S imm dalam 50 cc NaCl (paraf)
R/ furosemid 20 mg/ml vial No. I
S 1 dd (paraf)

R/ Urogetix tab 200 mg No. III


S 3 dd tab 1 p.c (paraf)
R/ cefixime ab 400 No. I
S 1 dd tab 1 p.c (paraf)
62

Pro : Tn. FN
Usia : 47 Tahun
63

Daftar Pustaka

NHS. 2012. CKD (Chronic Kidney Disease). Kidney Newyork

Goodman, Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. EGC ; Jakarta

Gunawan, S. 2012. Buku ajar Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Katzung, B. G. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinis Edisi 12. Jakarta. EGC.

Neal, M. 2006. Buku At a Glance Farmakologi Medis. Penerbit Buku Kedokteran.


Erlangga. Jakarta.

Perki, 2016. Panduan Praktis Klinis dan Klinikal Pathway Penyakit Jantung dan
Pembuluh darah.Jakarta

Price, Sylvia. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi6 .
EGC. Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Internal
Publishing. Jakarta

Giri, wayan. 2014. Infeksi Saluran Kemih Akibat pemasangan Kateter vol. 41 No.
10. Denpasar Bali : Universitas Udayana
64

LAMPIRAN

07_221CPD-Infeksi Saluran Kemih akibat Pemasangan Kateter-Diagnosis dan Penatalaksanaan.pdf

Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jantung_2015.pdf chronic-kidney-disease.pdf

You might also like