Professional Documents
Culture Documents
A. Kasus
Pasien MRS dengan keluhan lemas sejak 3 hari yang lalu muka pucat serta
kedua kaki udem. Makan minum menurun, mual muntah (+) setiap makan, demam.
BAK BAB normal. Pasien juga mengeluh sedikit sesak. Pipi kanan kiri mulai
bengkak tadi pagi.
Keluhan pasien
Tanggal
Keluhan
20/2 21/2 22/2
Lemas +++ - -
Mual Muntah + - -
Demam + - -
+++ Pagi
Sesak +
Malam hari +++
Nyeri Saat
+ +
BAK
Batuk + +
Hematuria + +
2
Pemeriksaan Fisik :
GCS = E4V5M
HASIL TANGGAL
20/2 21/2 22/2
Suhu 38C 36,7 C 37 C
Data Laboratorium
HASIL TANGGAL
20/2
HB 13,8
HCT 42,3
Leukosit 7900
Trombosit 161.000
GDS 123
Ureum 132
Creatinin 1,9
SGOT 232
SGPT 168
CKMB 3,85
CKNAC 1050
Na 127,4
K 4,3
3
Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal 22/2 : kesan dari hasil rontgen : kardiomegali dengan edema paru
Tanggal
Nama
Dosis 20/2 21/2 22/2
RL 40 ptm
IV syrunge pump
Dobutamin 16cc/jam
10cc/jam
10cc/jam dilanjut
Dopamin
5cc/jam
Pertanyaan :
1. Analisis kasus diatas dengan menggunakan metode SOAP!
2. Analisis penggunaan obat pasien dengan pedoman 4T1W!
3. Jelaskan hitungan dosis penggunaan obat live saving pada kasus diatas!
4
4. Pada tanggal 21 malam hari pasien mengeluhkan sesak nafas, bagaimana hal tersebut
bisa terjadi? Dan bagaimana penatalaksanaan terapi untuk mengurangi sesak nafas
pada pasien tersebut
B. Dasar Teori
1. CHF
a. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung (Sudoyo, 2014).
b. Etilogi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat
berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru (Sudoyo,
2014).
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan
pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau tricuspid (Sudoyo,
2014).
c. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal.
Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung
5
(CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x
Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume) (Sudoyo, 2014).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung
(Sudoyo, 2014).
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum
Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan
kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload (mengacu pada
besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah
melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole) (Sudoyo,
2014).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel
berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat,
maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung
akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada
akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini
berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat
istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik
yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang
akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik
(Sudoyo, 2014).
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan denganpenurunan tekanan
arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf
dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi
miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan
6
d. Penegakan diagnosis
Manifestasi Klinis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan
biomarker (Sudoyo, 2014).
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif Kriteria
Major :
1) Paroksismal nokturnal dispnea
2) Distensi vena leher
3) Ronki paru
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Gallop S3
7) Peninggian tekana vena jugularis
8) Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1) Edema eksremitas
2) Batuk malam hari
3) Dispnea deffort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7) Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor (Sudoyo, 2014).
8
Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan
1) Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula
darah, profil lipid (Sudoyo, 2014).
2) Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau
riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV (Sudoyo,
2014).
3) Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi
9
b. Etiologi
Sebagian besar merupakan infeksi asenden. Pada wanita, jalur yang biasa terjadi
adalah mula-mula kuman dari anal berkoloni di vulva, kemudian masuk ke
kandung kemih melalui uretra yang pendek secara spontan atau mekanik akibat
hubungan seksual. Pada pria, setelah prostat terkoloni maka akan terjadi infeksi
asenden. Mungkin juga terjadi akibat pemasangan alat, seperti kateter, terutama
pada golongan usia lanjut (Sudoyo, 2014).
Wanita lebih sering menderita ISK karena uretra yang pendek, masuknya kuman
dalam hubungan seksual, dan mungkin perubahan pH dan flora vulva dalam
siklus menstruasi. Pada beberapa wanita, frekuensi berkemih yang jarang juga
memiliki peran (Sudoyo, 2014).
Seharusnya bakteri yang masuk dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh,
namun terdapatnya kelainan anatomi dapat mengganggu mekanisme ini sehingga
terjadi stasis urin. Pada wanita, kelainan anatomi yang sering dijumpai adalah
nefropati refluks, nefropati analgesia, batu, dan kehamilan. Pada pria biasanya
akibat batu dan penyakit prostat, sedangkan pada anak-anak karena kelainan
kongenital (Sudoyo, 2014).
Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran
kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih
melalui 4 cara, yaitu :
1) Asending
2) Hematogen
3) Limfogen
4) Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen
sebagai akibat dari pemakaian instrumen (Sudoyo, 2014).
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari kedua
cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi :
1) Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang rendah karena menderita sesuatu pnyakit kronis atau pada pasien yang
mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga
timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain. Misalnya infeksi
Staphilococcus Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen
dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. Salmonella,
pseudomonas, candida, dan proteus sp termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat
menyebar secara hematogen. Walaupun jarang terjadi penyebaran hematogen ini
dapat mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal (Sudoyo, 2014).
2) Infeksi ascending
Infeksi secara ascending (naik) dpat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :
a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.
b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli buli
c) Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih .
d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.
3) Faktor Host
Kemampuan host ntuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran
kemih disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertahanan lokal dari host dan
peranan sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari imunitas selular dan humoral.
Pertahananan lokal sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme
wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman kuman
yang ada di dalam urin (Sudoyo, 2014).
14
c. Patomekanisme
d. Penegakan diagnosis
Pasien yang terkena ISK pada umumnya tidak memberikan gejala yang berarti,
namun biasanya semuanya terkait dengan tempat dan keparahan infeksi. Gejala-
gejala yang dapat timbul meliputi berikut ini, baik sendirian maupun timbulnya
bersama-sama seperti menggigil, demam, nyeri pinggang, dan sering mual sampai
muntah, disuria, sering terburu-buru kencing, nyeri suprapubik, dan hematuria
(Dipiro et al, 2005).
Untuk menetapkan diagnosa maka harus diketahui terlebih dahulu gejala apa saja
yang dialami. Gejala dan tanda ISK pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar
15
Pada pasien geriatric biasanya tidak mengalami gejala yang spesifik, tetapi mereka
menunjukkan perubahan status mental, perubahan kebiasaan makan, atau gejala
gastrointestinal. Sebagai tambahan, pasien yang menggunakan kateter atau pasien
dengan gangguan neurologic biasanya tidak mengalami gejala saluran kemih
bagian bawah, sedangkan nyeri pinggul dan demam mungkin akan ditemukan pada
geriatrik (Dipiro et al, 2005).
Untuk menegakkan diagnosa ISK, tidak hanya dengan mengetahui gejala gejala
yang dialami pasien tetapi juga harus dilakukan kultur mikroorganisme pada
spesimen urin untuk membedakan bakteri yang menyebabkan infeksi (Dipiro et al,
2005).
16
e. Penatalaksanaan ISK
Prinsip umum terapi ISK adalah:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
a. Kelainan patologik
b. Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
18
b. Etiologi
Menurut Sylvia Anderson (2015) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
1) Penyakit infeksi tubulointerstitial :
Pielonefritis kronik atau refluks nefropati Pielonefritis kronik adalah infeksi
pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya
dijumpai pada penderita batu. Gejalagejala umum seperti demam,
menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan gambaran
mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan
gagal ginjal (Price, 2015).
2) Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7
10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus
(glomerulonefritis pasca streptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi
lain. (Price, 2015).
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering
timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis
yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria ( protein
dalam urin ) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus
dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan
jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes
yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka
panjang yang kurang baik. (Price, 2015).
3) Penyakit vaskuler hipertensif :
Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah ginjal
yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil
(Price,Sylvia.2015)
Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengantekanan
darah tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil
19
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal (Price, 2015).
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah.
Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas
baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi
berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan
yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit
nefron yang ada) semakin besarperubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan
berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan
plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia (Price, 2015)
21
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik menurut Baughman (2000) dapat dilihat dari berbagai fungsi
sistem tubuh yaitu :
1) Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif,
perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi pericardial, temponade pericardial
(Sudoyo, 2014).
2) Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus), warna
kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik tidak umum
karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar (purpura) (Sudoyo, 2014).
22
e. Penatalaksanaan
SOAP
20/2 Lemas, TD: 94/70 mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
Mual muntah, RR: 40x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
demam , Sesak, HR: 90x/menit
ampl 2x1 vial
udem kaki Suhu: 38 C
SaO2: 98% Pantoprazol inj 40 mg s1dd
21/2 Sesak: pagi TD: 68/45 mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
malam hari , udem HR: 90x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
kaki , nyeri saat RR: 40x/menit
ampl 2x1 vial
BAK, batuk , Suhu :
hematuria 36, 7oC Pantoprazol inj 40 mg s1dd
Furosemid 20 mg/dl
GGK
Ketosteril 60 mg 3x4 tab
26
22/2 Sesak, udem kaki, TD: 89/63mmHg CHF ec CAD NaCl 45% Hipertonik 31 tpm
nyeri saat BAK, HR: 61x/menit
Ondansetron Inj 8 mg/ 4ml
batuk , hematuria RR: 19x/menit
ampl 2x1 vial
Suhu :
37oC Pantoprazol inj 40 mg s1dd
Pembahasan Teori
1. ONDANSETRON
a. Fisiologi Serotonin Serotonin, 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT) terdapat dalam
jumlah yang besar pada trombosit dan traktus gastrointestinal (sel
enterochromafin dan pleksus myentericus). Serotonin juga merupakan
neurotransmiter penting pada sistem saraf pusat, meliputi retina, sistem limbik,
hipotalamus, cerebelum, dan medula spinalis. Serotonin dibentuk dari proses
hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan. Fisiologi serotonin sangat kompleks
27
karena serotonin sendiri memiliki tujuh tipe reseptor dengan banyak subtipe.
Salah satu reseptornya yang berperan dalam mekanisme terjadinya mual dan
muntah adalah 5-HT3, ditemukan pada traktus gastrointestinal dan area postrema
otak. Pada traktus gastrointestinal, serotonin menginduksi pembentukan
asetilkolin pada pleksus myentericus melalui reseptor 5-HT3 yang menyebabkan
bertambahnya peristaltik, sedangkan pengaruh pada sekresi lemah (Katzung,
2014)
b. Sifat Umum Ondansetron Ondansetron merupakan obat selektif terhadap reseptor
antagonis 5-Hidroksi-Triptamin (5-HT3) di otak dan mungkin juga pada aferen
vagal saluran cerna. Di mana selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan
muntah setelah operasi dan radioterapi. Ondansetron memblok reseptor di
gastrointestinal dan area postrema di CNS (Katzung, 2014).
c. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
1) Farmakokinetik Ondansetron dapat diberikan secara oral dan parenteral. Pada
pemberian oral, dosis yang diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena
diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/BB sebelum operasi atau
bersamaan dengan induksi.
2) Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di
eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara
hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati.
Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama
fenitoin fenobarbital dan rifampin.
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih
aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar,
diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari
30 menit, lama aksi 6-12 jam (Katzung, 2014).
d. Farmakodinamik Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-
HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-
HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel
mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3
dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan
diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan xxiv mengaktifkan refleks
28
muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus
yang merangsang distensi gastrointestinal (Katzung, 2014).
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:
1) Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius
melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
2) Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat
ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus (Katzung, 2014)
e. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi pengobatan dengan ondansetron adalah pencegahan mual dan muntah
yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Kontraindikasi pengobatan dengan ondansetron adalah keadaan
hipersensitivitas dan penyakit hati (Katzung, 2014).
f. Efek Samping Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat
berupa sakit kepala, flushing, mengantuk, gangguan saluran cerna, nyeri dada,
susah bernapas, dsb (Katzung, 2014).
g. Penggunaan Klinik Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah
yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui
intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan operasi. Dan disusul
pemberian oral dengan dosis 4-8 mg/kgBB tiap 12 jam selama 5 hari. (Katzung,
2014)
2. PANTOPRAZOL
a. Farmakologi
Pantoprazol merupakan obat golongan penghambat pompa proton (PPI) yang
menghambat sekresi asam lambung. Pantoprazole adalah benzimidazole
tersubtitusi yang menghambat sekresi asam klorida di dalam lambung oleh kerja
spesifik pompa proton dari sel parietal. Pantoprazole dikonversi menjadi bentuk
aktif di lingkungan asam dalam sel-sel parietal dengan cara menghambat enzim
H+, K+ ATP-ase, yang merupakan tahap akhir pada produksi asam klorida di
dalam lambung. Penghambatan ini bersifat tergantung dosis (dose-dependent) dan
mempengaruhi kedua reseptor inhibitor. Pengobatan dengan pantoprazole
menyebabkan pengurangan keasaman di lambung dan dengan meningkatkan
29
Diare, sakit kepala. Jarang terjadi: mual, nyeri perut bagian atas, perut kembung,
ruam, pruritus atau pusing, sembelit, gangguan dalam penglihatan (kabur),
arthralgia, leukopenia, trombositopenia, tromboflebitis di tempat suntikan, edema
perifer, kerusakan hepatoseluler berat menyebabkan penyakit ikterus dengan atau
tanpa kegagalan hati, reaksi anafilaksis termasuk syok anafilaktik, myalgia,
depresi mental, nefritis interstisial, urtikaria, angioedema, reaksi kulit yang parah
seperti sindroma Steven Johnson (Gunawan, 2012).
3. KETOSTERIL
a. Indikasi
Diresepkan untuk pencegahan dan pengobatan gangguan dari protein dan
metabolisme mineral dengan disfungsi ginjal kronis pada orang dewasa dan anak
di atas 3 tahun.Ketosteril indikasi untuk digunakan adalah untuk mengurangi
filtrasi glomerulus untuk 25 mL / atau kurang min.Tapi obat juga dapat digunakan
pada tahap awal penyakit ketika laju filtrasi glomerulus hanya mulai menurun
(normal - 100-120 ml / menit) (Neal, 2006).
b. Kontra indikasi
Tidak boleh diberikan pada penderita hiperkalsemia, gangguan metabolisme asam
amino, kehamilan, anak-anak, hipersensitivitas (Neal, 2006).
c. Perhatian
Pemberian kalori pada penderita harus cukup. Periksa kadar kalsium serum secara
periodik(Neal, 2006).
d. Farmakokinetik
Farmakokinetik belum di teliti karena semua komponennya merupakan komponen
alami dari metabolisme dan belum ditemukan bagaimana proses yang terjadi
didalam tubuh (Neal, 2006).
31
e. Farmakodinamik
Ketosteril adalah obat yang terdiri dari asam amino esensial jika pada tubuh yang
tidak dapat berfungsi dengan baik. Jika terjadi kerusakan pada jaringan ginjal
maka akan meningkatkan produk metabolik toksik dalam darah terutama protein.
Sejumlah besar nitrogen sisa (produk metabolisme protein dalam plasma darah)
seperti urea, nitrogen amino, asam urat, creatine, kreatinin dan komponen-
komponennya memliki efek toksisk pada tubuh. Gangguan mtabolisme protein ini
disebabkan karena tubuh tidak mendapatkan asam amino esensial, sedangkan
dalam darah terdapat sejumlah besar produk beracun hasil dari metabolisme
protein. Untuk mengurangi beban racun dalam tubuh pasien diresepkan untukdiet
protein dan menyebabkan defisiensi protein. Ketokosteril memasok asam amino
esensial tubuh termasuk membentuk protein dalam tubuh manusia dan terdapat
keton ketosteril asam amino yang cepat diserap oleh tubuh dan membantu
pembuangan produk-produk baracun dari hasil metabolisme protein (Neal, 2006).
f. Dosis
Insufisiensi ginjal kronis : 3 kali sehari 4-8 tablet (Neal, 2006).
g. Efek samping
Efek sampingnya diantaranya ketidakseimbangan elektrolit, gangguan
metabolisme, mual, sakit kepala, kelelahan, mulas, nyeri sendi, ruam kulit, sakit
perut, muntah, diare, kehilangan selera makan, kehilangan koordinasi, pusing,
hipotensi, demam, disorientasi,agitasi emosional (Neal, 2006).
h. Interaksi obat
Obat yang mengandung Ca, Alumunium hidroksida, tetrasiklin (Neal, 2006).
4. DOPAMIN
a. Mekanisme Kerja Obat (Farmakodinamik)
Larutan infus harus disiapkan segera sebelum digunakan. Pembuatan infus dengan
cara mengencerkan satu atau beberapa vial injeksi ke dalam larutan NaCl isotonis
secara teknik aseptic sampai konsentrasi larutan 0,4 -1,6 mg/ml. Infus diberikan
secara intravena maksimal dalam waktu 24 jam setelah pembuatan, dengan
kecepatan infus 2 - 5 mcg/kg/menit. Kemudian kecepatan dinaikkan secara
bertahap sampai 5 - 10 mcg/kg/menit dan jika perlu dapat dinaikkan sampai 10 -
50 mcg/kg/menit. Jika dosis melebihi 50 mcg/kg/menit disarankan urin yang
keluar dicek sesering mungkin (Gunawan, 2012).
Apabila sesuai, volume darah sebaiknya diperbaiki dulu sebelum pemberian
dopamin. Disamping itu, beberapa perlakuan diperlukan sebelum penanganan
dengan dopamin, seperti penggantian volume darah yang memadai dan
monitoring metabolisme elektrolit. Pada pasien yang pingsan jalannya pernafasan
harus dimonitor terhadap adanya resiko aspirasi. Penggantian volume darah
sebaiknya dilakukan sebelum dimulai pengobatan dengan dopamin. Untuk pasien
dengan beban jantung yang meningkat, pemberian kombinasi dengan gliseril
trinitrat atau natrium nitroprusid dianjurkan untuk menurunkan beban jantung.
Durasi pada dewasa: Durasi dari pemberian infus tergantung dari kondisi tubuh
penderita, hasil yang baik telah dilaporkan durasi setelah pemberian infus selama
28 hari. Apabila pengobatan telah sempurna infus dihentikan secara perlahan
(Gunawan, 2012).
Pelarut yang dianjurkan: Dopamin giulini 50 dan Dopamin giulini 200 harus
diencerkan sebelum diberikan. Pelarut yang dianjurkan untuk pengenceran
meliputi:
a) Larutan NaCl 0,9%
b) Larutan glukosa 5%
c) Larutan ringer laktat
Dopamin tidak boleh diencerkan oleh larutan Natrium bikarbonat 5% atau larutan
alkali lainnya karena dapat menyebabkan inaktivasi obat. Larutan infus harus
disiapkan segera sebelum digunakan. Larutan Infus yang akan digunakan harus
jernih dan warnanya tidak berubah. Infus dopamin yang siap digunakan stabil
selama waktu pemberian infus pada umumnya (minimal 24 jam) kecuali apabila
infus dalam larutan Ringer laktat (maksimal 6 jam) (Gunawan, 2012).
34
Pembahasan kasus
Dosis:
1) 2 5 ug/kg/menit meningkatkan renal blood flow
2) 5 10 ug/kg/mnt meningkatkan kontraksi jantung
3) > 10 ug/kg/ mnt konstriksi sistemik
Perhatian:
1) Setelah target tercapai, turunkan bertahap (tapering)
2) Jangan mencampur/melarutkan dengan natrium bikarbonat, lakukan
pengenceran dengan D5%, D5 1/2 NS, D10 0,18 NS; RL
Diberikan dengan syringe pump atau infusion pump, harus selalu drip, bukan IV
bolus (Gunawan, 2012).
Dopamin (syringe pump)
1) Dopamin (Ampul 200 mg/ 5 ml 200. 000 ug/ 5 ml)
2) Berat badan pasien 60 kg,
3) Dosis yg dibutuhkan 10 ug/kgBB/menit
4) Dopamin yg dibutuhkan = 60 x 10 = 600 ug/menit
5) Kecepatan syringe pump pu dalam ml/jam
c. Indikasi
Untuk mengobati Syok kardiogenik pada infark miokard atau bedah jantung. Dan
tekanan darah rendah karena serangan jantung, trauma, infeksi, operasi dan
penyebab lainnya. (Gunawan, 2012)
Injeksi dopamin HCl diindikasikan untuk memperbaiki keseimbangan
hemodinamik pada kondisi sindrom syok terhadap infark miokardial, trauma,
septisemia (syok sepsis), operasi terbuka gagal jantung, gagal ginjal, dan serangan
jantung kronis. (Gunawan, 2012)
d. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sulfit (sediaan yang mengandung natrium bisulfit),
takiaritmia, phaeochromocytoma, fibrilasiventrikular. Hipertiroid,
faeokromositoma, takikardia atau fibrilasi ventrikel yang sulit diobati, glukoma
sudut sempjt dan adenoma prostat dengan retensi urinasi, takiaritmia atrium atau
ventrikel. Penderita hipersensitif terhadap komponen obat ini. (Gunawan, 2012)
e. Perhatian
1) Dopamin jangan dicampur dengan larutan alkali, karena dapat diinaktivasi
dalam larutan alkali.
2) Kerja dopamin dipotensiasi oleh MAO Inhibitor.
3) Dopamin sebaiknya digunakan dengan perhatian khusus pada penderita yang
diberi inhalasi siklopropan atau anestesi hidrokarbon terhalogenasi karena
beresiko aritmia ventrikular dan hipertensi.
4) Efek kardiovaskuler dari dopamin diantagonis oleh dan -bloker, dopamin
menyebabkan pemblokkan terhadap vasokontriksi perifer dan selanjutnya
mengantagonis efek jantung.
5) Hipotensi, bradikardia dan kemungkinan penahanan jantung telah dibuktikan
pada pasien yang menerima fenitoin.
6) Dopamin dapat meningkatkan efek dari diuretik.
7) Penggunaan bersama dengan digitalis glikosida dapat meningkatkan resiko
aritmia jantung.
8) Penggunaan bersama ergotamin dapat menyebabkan iskhemia pembuluh darah
perifer dan gangrene, dan tidak direkomendasikan.
36
Kliren : pada neonatus : bervariasi dan tergantung pada umur; kliren akan
menjadi panjang jika terdapat gangguan hepatik atau ginjal. (Gunawan, 2012)
h. Efek Samping
1) Sering : denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina, palpitasi, hipotensi,
vasokonstriksi, saki tkepala, mual, muntah, dispnea.
2) Jarang : bradikardia, aritmiaventrikular (dosistinggi), gangrene, hipertensi,
ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa, nekrosis jaringan (karena
ekstra vasasi dopamin), peningkatan tekanan intraokular, dilatasi pupil,
azotemia, polyuria. (Gunawan, 2012)
37
5. DOBUTAMIN
a. Farmakodinamik
1) Mekanisme kerja
Dobutamin adalah salah satu obat katekolamin sintetis yang berfungsi
merangsang reseptor beta-1 pada organ jantung. Obat ini digunakan untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung sehingga volume darah yang
dipompa meningkat, peningkatan tekanan darah dan denyut jaunting, serta
menurunkan resistensi vascular perifer (Medscape, 2017).
2) Interaksi obat
Cimetidine atau methyldopa Catechol-O-methyltransferase (COMT) inhibitors
(misal, entacapone) atau droxidopa. (Medscape, 2017)
b. Farmakokinetik
Penyerapan : onset (1-10 menit), durasi (10 menit), waktu untuk efek puncak (15
menit)
Distribusi : 0,2 l/kg
Metabolisme : Metabolisme di jaringan dan di hati oleh catechol-o-methyl
transferase
Metabolit : Konjugat glukoronida
Ekskresi : Ginjal, kliren 90 ml/kg/menit. (Medscape, 2017)
c. Dosis
Dekompensasi jantung : 0,5-1 mcg/kg/menit iv, dilanjutkan dengan 2-20
mcg/kg/menit. Dosis maksimal 40 mcg/kg/menit.
Output jantung rendah : 2-20 mcg/menit iv. Dosis maksimal 40 mcg/kg/menit
Kemasan 1 ampul = 5ml = 250mg = 250.000mcg (Medscape, 2017).
38
Pembahasan kasus
1) Dopamin (Ampul 250 mg/ 5 ml 250. 000 ug/ 5 ml)
2) Berat badan pasien 60 kg,
3) Dosis yg dibutuhkan 10 ug/kgBB/menit
4) Dopamin yg dibutuhkan = 60 x 15 = 900 ug/menit
5) Kecepatan syringe pump pu dalam ml/jam
d. Indikasi
Efek inotropik positif pada infark miocard, kardiomiopati, syok septic, syok
kardiogenik. (Medscape, 2017)
e. Efek samping
Tachyarrhythmia (~ 10%), Hipertensi (7,5%), Miokarditis eosinofilik (7%),
Kadar ventrikel prematur (5%; dosis terkait), Angina (1-3%), Dyspnea (1-3%),
Demam (1-3%), Sakit kepala (1-3%), Mual (1-3%), Palpasi (1-3%), Disritmia
jantung, Eksaserbasi arteriosklerosis koroner, Hipokalemia, Reaksi di tempat
suntikan, Syncope. Peningkatan tekanan darah sistolik 10 sampai 20 mmHg dan
peningkatan denyut jantung 5 sampai 15 denyut / menit. (Medscape, 2017)
39
f. Peringatan
1) Wanita yang sedang hamil dan menyusui tidak dianjurkan untuk mendapat
obat ini sebelum ada persetujuan dari dokter
2) Pasien bayi dan anak-anak perlu mendapat persetujuan dari dokter sebelum
diberikan obat ini
3) Pasien syok kardiogenik yang disertai hipotensi yang parah, diabetes, dan
glaukoma sudut tertutup.
4) Penderita hipertiroidisme, iskemik jantung, atau yang baru mengalami
serangan iskemik jantung.
5) Penderita yang sensitif atau memiliki alergi terhadap kandungan obat-obatan
atau makanan tertentu, bahan pengawet, bahan pewarna, dan bulu hewan.
6) Penderita yang sedang menjalani perawatan lain pada waktu yang sama,
termasuk terapi suplemen, pengobatan herba, atau pengobatan pelengkap
lainnya.
7) Segera temui dokter jika terjadi reaksi alergi atau overdosis saat menggunakan
dobutamin. (Medscape, 2017)
6. UROGETIX
a. Farmakologi
Phenazopyridine HCl mempunyai efek analgesik topikal pada mukosa saluran
kemih. Phenazopyridine HCl akan mengurangi gejala-gejala sakit, perih atau rasa
terbakar urgensi, frekuensi dan lain-lain keadaan tidak enak yang timbul karena
iritasi pada selaput lendir saluran kemih bagian bawah. Gejala-gejala ini dapat
timbul karena adanya infeksi, trauma, pembedahan,tindakan endoskopik atau
kateterisasi. (Gunawan, 2012)
b. Indikasi
Pasien yang mengalami infeksi saluran kemih direkomendasikan untuk
menggunakan Urogetix untuk mengurangi gejala-gejala seperti berikut:
1) Gejala sakit, perih, rasa terbakar pada saat ingin buang air kecil.
2) Rasa sakit yang timbul di bagian bawah perut
3) Tidak keluarnya air kencing saat hendak buang air kecil
4) Air kencing yang keluar lebih sedikit dan berwarna lebih gelap. (Gunawan,
2012)
40
c. Kontra Indikasi
Obat ini sangat tidak dianjurkan untuk digunakan pada penderita hipersensitif
terhadap phenazopyridine HCI, penderita hepatitis. (Gunawan, 2012)
d. Dosis
Urogetix dapat diberikan kepada semua umur, baik itu dewasa dan anak-anak.
Dosis obat infeksi saluran kemih ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk dewasa, dosis yang diberikan adalah 200 mg atau 2 kaplet sebanyak 3
kali sehari.
2) Untuk anak-anak usia 6-12 tahun, dosis yang diberikan adalah 100 mg atau 1
kaplet sebanyak 3 kali sehari. (Gunawan, 2012)
e. Efek Samping
Penggunaan Obat Urogetix untuk mengobati infeksi saluran kemih juga dapat
menimbulkan efek samping setelah digunakan, yang di antaranya adalah:
1) Warna air kencing menjadi sangat keruh, biasanya berwarna cokelat pekat.
2) Terkadang dapat timbul sakit kepala, vertigo, mual, renal failure, dan
hepatotoksik.
3) Penggunaan yang melebihi dosis dapat menimbulkan efek. (Gunawan, 2012)
b. Farmakokinetik
Di distribusikan ke intravaskuler dan bekerja pada kompartemen yang kelebihan
cairan dan di ekskresikan bersama urin . (Gunawan, 2012)
c. Indikasi
1. Mengurangi edema perifer dan akibat luka bakar
2. Hipovolemi yang disertai hiponatremi (Gunawan, 2012)
d. Kontraindikasi
Hipervolemi dan hipernatremi
e. Dosis
1) Initial dose : 0,3-0,6mEq/kg/jam ~ 0,35-0,7 ml/kg/jam
2) Pasien dengan kadar serum Na < 110 mEq/L : 1-2ml/kg/jam
Setelah kadar serum Na >120 mEq/L dan tidak ada gejala klinisganti dengan
infuse NaCl 0,9% . (Gunawan, 2012)
f. Efek samping
1) Hipertensi
2) Asidosis
g. Hubungan umur pasien dengan obat
Dosis yang sudah di tentukan berhungan dengan umur pasien karena dosis yang
ditentukan dosis orang dewasa
h. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan data laboratorium
Berdasarkan data klinik pasienmengeluhkan edema pada kaki pada tanggal 20/2-
22/2, maka diberikan cairan NaCl hipertonik
i. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien, penyakit dan riwayat pengobatan
Tidak ada hubungan dengan riwayat pengobatan pasien tetapi berhubungan
dengan data klinik pasien yang didapat
j. Interaksi obat-obat, makanan dan jamu
Tidak ada
k. Aturan pemakain obat
a. Larutan NaCl 45% hanya digunakan untuk penggunaan IV saja
b. Larutan NaCl 45% diberikan melalui infuse secara perlahan menggunakan
jarum kecil pada vena perifer terbesar.
c. Dosis IV maks yang seharusnya diberikan adalah 100mL/1jam. Sebelum
dilakukan penambahan jumlah dosis, konsentrasi elektrolit termasuk klorida
42
8. FUROSEMID
Obat furosemid termasuk dalam golongan obat loop diuretic , . Furosemid atau asam
4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik
loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen
tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida
(Gunawan, 2012).
a. Farmakodinamik
Farmakodinamik dari obat ini yaitu menghambat sistem transpor pasangan
Na,K,dan Cl di membran luminal bagian tebal ansa Henle asendens. Dengan
menghambat pentranspor ini, diuretik tersebut menurunkan reabsorpsi NaCl dan
juga mengurangi potensial positif lumen normal yang didapat dari daur ulang
Kalium. Potensial elektrik tersebut didapat dari rebsorpsi kation divalen di ansa
Henle. Furosemide meningkatkan aliran darah ginjal dan menyebabkan
redistribusi aliran darah dalam korteks ginjal. Furosemide dan asam metakrinat
dapat juga mengurangi kongesti paru dan menurunkan tekanan ventrikel kiri pada
gagal jantung kongestif sebelum peningkatan keluaran urin dapat diukur, dan
pada penderita anefrik . (Gunawan, 2012)
b. Farmakokinetik
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda.Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper 100%.
Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi
di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic
di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa
sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui
hati.sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian
kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam
bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit (Gunawan, 2012).
c. Mekanisme kerja
Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula kerja dan
lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada
Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara
menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden
ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun (Gunawan, 2012).
d. Indikasi
Furosemide tablet diindikasikan pada pasien dewasa dan anak-anak untuk
pengobatan edema yang dihubungkan dengan gagal jantung kongestif, sirosis
hati, dan penyakit ginjal, termasuk syndrome nephritic. Furosemide tablet juga
digunakan pada dewasa untuk pengobatan hipertensi (Gunawan, 2012).
e. Kontraindikasi
1) Defisiensi elektrolit
2) Anuria
3) Koma hepatik kehamilan muda
4) Hipokalemia
5) Terapi bersama litium
6) Ibu menyusui: furosemide disekresi dalam ASI. Ibu menyusui harus
menghindari menyusui saat mengambil furosemide.
44
f. Efek Samping
Setiap obat mempunyai efek samping, tetapi beberapa orang ada yang tidak
menunjukkan efek samping, ada yang sedikit yang menunjukkan efek
samping, dan ada yang menunjukkan efek samping. Furosemide menimbulkan
efek samping sebagai berikut :anemia, sensasi abnormalitas kulit, kejang
kandung kemih, penglihatan kabur, konstipasi/sembelit, kram, pusing, demam,
iritasi mulut dan lambung, kemerahan, sedikit ikterik, kejang otot, telinga
berdengung, fotosensitivitas, inflamasi vena, mual, jaundice. Biasanya
frekuensi urin maksimal sampai enam jam setelah dosis pertama, dan akan
menurun setelah mengkonsumsi furosemide dalam waktu beberapa minggu
Gunawan, 2012).
g. Cara penggunaan
Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi (IV/IM). Untuk
yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar , tetapi untuk yang
injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter. Untuk penggunaan
injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan latihan tentang cara penggunaan
injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam hal ini pasien harus benar-benar
mengerti apa yang telah diajarkan baik tentang pengaturan dosis sampai teknik
aseptic sebelum melalukan injeksi. Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan
dosis sendiri lebih dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat
tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan
tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi. Pada anak-
anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak dianjurkan. Pemakaian
dosis pertama mungkin akan meningkatkan jumlah urin atau pasien akan
sering BAK, oleh karena itu supaya tidak mengganggu kenyamanan tidur
pasien, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore
Gunawan, 2012).
h. Dosis
Dosis Dewasa
Oral:
20-80 mg/dosis awalnya meningkat dengan penambahan 20-40 mg/dosis pada
interval 6-8 jam. Untuk terapi hipertensi diberikan dalam 2 dosis terbagi.
IV, IM:
45
20-40 mg / dosis, dapat diulang dalam 1-2 jam sesuai kebutuhan dan
meningkat sebesar 20 mg / dosis. Dosis maksimum 1000 mg / hari; interval
pemberian dosis biasa: 6-12 jam.
Dosis Geriatri
Oral, IV, IM:
Dosis awal 20 mg/hari, ditingkatkan perlahan.
Dosis Bayi dan Anak
Oral:
0,5-2 mg / kg / dosis, meningkat dengan penambahan sebesar 1 mg / kg / dosis
sampai efek tercapai. Maksimal dosis 6 mg / kg / dosis tidak lebih sering dari 6
jam.
IM, IV:
1 mg / kg / dosis, pada interval 6-12 jam sampai respon yang memuaskan
tercapai. Maksimal dosis hingga 6 mg / kg / dosis (Lacy et al., 2011)
i. Peringatan
Pada pasien sirosis hepatik dan ascites, terapi Furosemide adalah yang
terbaik.Tetapi diuretik yang berlebihan dapat menyebabkan dehidrasi dan
volume darah dalam sirkulasi menurun dan mungkin juga terjadi trombosis
dan emboli, dimana khususnya pada pasien-pasien orang tua. Karena dengan
adanya efektif diuretik, deplesi elektrolit dapat terjadi selama terapi
furosemide, khususnya pada pasien yang menerima dosis tinggi. Semua pasien
yang menerima terapi furosemide harus diobservasi untuk
tanda/gejala/ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokloremik
alkalosis, hipokalemia, hipomagnesemia, hipokalemia) : mulut kering, haus,
lemah, lethargi, cepat lelah, nyeri otot, fatigue, hipotensi,dll. kenaikan gula
dalam darah juga harus diobservasi, oleh karena itu pasien dengan riwayat DM
harus mengatakan pada dokter Gunawan, 2012).
j. Interaksi obat
Obat golongan ini bekerja dengan cara mengeluarkan air dan elektrolit
(natrium, kalium dan klorida) dari dalam tubuh. Beberapa contoh obat
golongan ini adalah, Furosemid, Triamteren, Hidroklorothiazid. Interkasi
dengan Makanan: diuretik dapat menyebabkan kehilangan kalium, kalsium
46
Serabut khusus lain yaitu efek pada serabut yang ada di nodus
sinoatrium, nodus atrioventrikel, dan pada serabut khusus atrium. Efek
langsung pada atrium berupa penghentian pembentukan implus nodus SA,
hanya terjadi pada dosis toksik. Serabut otot atrium dan ventrikel terhadap
lama aksi potensial yang serupa dengan efek pada serabut purkinye.
Perpendekan yang terjadi tidak mencolok tapi mungkin trlihat pada EKG.
Pengaruh lain meningkatnya kecuraman fase 2 dan menurunya kecuraman fase
3 yang terlihat sebagai perubahan segmen ST dan gelombang T. Digitalis tidak
48
d. Farmakokinetik
Absorpsi
Penyerapan digoksin pada pemberian per oral bervariasi dan sangat ditentukan
oleh jenis sediaan yang digunakan, adanya makan, serta wakru
pengosongan lambung. Penyerapan digoksin dihambat oleh adanya
makanan dalam saluan cerna, melambatnya pengosongan lambung dan
sindrom malabsorpsi. Pemberian bersama obat-obatan seperti
kolestiramin, kolestipol, kaolin, pektin karbon aktif juga mengurangi absorpsi.
Demikian pula pemberian neomisin, siklofosfamid, vinkristin, dan laksans.
Pada 10% penderita, digoksin diubah dalam jumlah yang cukup banyak
menjadi dihidrodigoksin oleh mikroorganisme usus dan resin pengikat
syeroid. Kadar puncak digoksin dalam plasma 2-3 jam setelah pemberian per
oral dengan efek maksimal 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam
loading dose, diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadar steady
state dalam plasma, karena waktu paruh dalam obat antara 1 sampai 2 hari.
Pada jam pertama setelah pemberian oral, digoxin dapat diserap sekitar 75%
oleh tubuh, dan konsentrasi puncaknya dalam plasma dapat tercapai dalam 1
hingga 2 jam. Pemberian digoxin secara intramuskuler (IM) dapat
menimbulkan rasa nyeri serta absorpsinya tidak bisa diperkirakan. Konsentrasi
plasma terapeutik digoxin dapat tercapai dengan cepat apabila kita
49
cerna dan susunan saraf pusat tetapi gejala yang gejala yang paling berbahaya
adalah gangguan irama denyut dan konduksi jantung (perlambatan dari blok
AV total) (katzung, 2014).
Efek samping digoxin pada saluran cerna seperti anoreksia, mual dan muntah,
yang merupakan tanda keracunan digitalis paling dini. Dan hilang beberapa
hari bila pemberian obat dihentikan. Mual muntah karena efek langsung di
batang otak, efek langsung saluran cerna yaitu oleh pulvus folia digitalis.
Gejala neurologik seperti sakit kepala, letih, lesu dan pusing. Pada penglihatan
sering ada efek kabur, maupun keluhan gangguan warna terutama kuning dan
hijau, efek samping lain berupa ginekomastia pada pria yang diduga
mempunyai efek estrogenik karena struktur kimia mirip hormon kelamin
(katzung, 2014).
10. CEFIXIME
a. Farmakologi
Cefixime adalah sefalosforin semi-sintetik generasi ketiga yang dapat
diberikan secara oral. Selain cefixime, keluarga sefalosporin lain diantaranya
sefaleksin, cefaclor, cefuroxime, cefpodoxime, cefprozil dan lain-lain.
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram
negatif dan gram positif, seperti sefalosporin oral yang lain (katzung, 2014).
Mekanisme kerja sefalosporin yaitu dengan cara menghambat sintesa
dinding sel bakteri, sehingga tanpa dinding sel, bakteri akan mati. Cefixime tahan
terhadap hidrolisa berbagai macam enzim betalaktamase yang dihasilkan bakteri.
Beberapa bakteri yang peka terhadap cefixime yaitu Staphylococcus aureus ,
Streptococcus pneumoniae , Streptococcus pyogenes (penyebab radang
tenggorokan ), Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, E. coli ,
Klebsiella , Proteus mirabilis, Salmonella , Shigella , dan Neisseria gonorrhoeae.
Cefixime memiliki afinitas tinggi terhadap penicillin-binding-protein (PBP) 1
(1a,1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis
organismenya (katzung, 2014).
b. Farmakodinamik
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau
lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding
53
sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami
lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding
sel bakteri terhambat (katzung, 2014).
c. Farmakokinetik
Farmakokinetik cefixime, yaitu :
Konsentrasi dalam serum
Pemberian per oral dosis tunggal 50,100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada
orang dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4
jam pemberian yaitu masing-masing 0,69; 1,13; dan 1,95 mg/ml. Waktu paruh
serum adalah 2,3-2,5 jam. Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0
mg (potensi)/kg cefixime pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal normal,
kadar puncak serum dicapai setelah 3-4 jam pemberian yaitu masing-masing
1,14; 2,01; dan 3,97 mg/ml. Waktu paruh serum adalah 3,2-3,7 jam. Absorbsi
40-50% (katzung, 2014).
Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan)
Didistribusikan secara luas di dalam tubuh dan mencapai efek pada
konsentrasi terapi dalam jaringan dan cairan tubuh. Penetrasi ke
dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan
empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik. Ikatan protein 65%
(katzung, 2014).
Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam
serum atau urin (katzung, 2014).
Eliminasi
Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai
12 jam) setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa
sehat dalam keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan.
Kadar puncak urin masing-masing 42,9; 62,2 dan 82,7 g/ml dicapai
dalam 4-6 jam setelah pemberian. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam)
setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kgBB pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih 13-20%.
Waktu paruh eliminasi pada fungsi ginjal normal 3-4 jam sedangkan pada
kerusakan ginjal lebih (katzung, 2014).
54
d. Dosis
Dewasa dan anak-anak dengan berat badan >30 kg, dosis harian yang
direkomendasikan adalah 50-100 mg (potensi) cefixime diberikan per oral dua
kali sehari. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan usia penderita, berat badan dan
keadaan penderita. Untuk infeksi yang berat dosis dapat ditingkatkan sampai
200 mg (potensi) diberikan dua kali sehari. Cefixime suspensi 100mg untuk
anak-anak dosisinya adalah 1,5-3 mg/kgBB 2 kali sehari. Untuk infeksi
berat atau dapat berinteraksi, dosis dapat ditingngkatkan menjadi 6 mg dua kali
sehari. Pada anak-anak, otitis media harus diobati dengan sediaan suspensi.
Studi klinik pada otitis media menunjukkan bahwa pada pemberian dosis yang
sama, sediaan suspensi memberikan hasil kaadar puncak dalam darah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan tablet. Oleh karena itu pada
pengobatan otitis median pengobatan dengan sediaan suspensi tidak boleh
diganti dengan sediaan tablet. Demam tifoid pada anak-anak: 10-15 mg/kg
BB/hari selama 2 minggu. Sedangkan untuk kasus gonorhea diberikan
dosisi 400 mg dosis tunggal (katzung, 2014).
Pasien dengan kerusakan fungsi ginjal memerlukan modifikasi dosisi
tergantung pada tingkat kerusakan. Apabila bersihan kreatini antara 21-60
ml/min atau pasien mendapat terapi hemodialisa, dosis yaang dianjurkan adalah
75% dari dosis standar (misalnya 300mg sehari). Apabila bersihan kreatini
kurang dari 20 ml/min atau pasien mendapat terapi rawat jalan peritonial adalah
50% dari dosis standar (misalnya 200mg perhari) (katzung, 2014).
Pada kasus overdosis lakukan pengososngan lambung karena tidak ada
antidotum yang spesifik. Cefixime tidak dapat dikeluarkan dalam jumlah yang
signifikan dari sirkulasi dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal (katzung,
2014).
e. Indikasi
Cefixime diindikasikan untuk pengobatn infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan antara lain :
1) Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh
Escherichia coli dan Proteus mirabilis.
2) Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain -
laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.
55
pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang lebih tepat
(katzung, 2014).
6) Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang
ditunjukkan dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare
terus menerus memerlukan penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah,
diare, nyeri lambung, rasa tidak enak dalam lambung, heartburn atau
anoreksia, nausea, rasa penuh dalam lambung atau konstipasi (katzung,
2014).
7) Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang
ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala demam, batuk, dyspnea, foto
rontgen thorax yang tidak normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan
pengobatan dengan obat ini dan lakukan penanganan lain yang tepat
seperti pemberian hormon adrenokortikal (katzung, 2014).
8) Perubahan flora bacterial
Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis (katzung, 2014).
9) Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau
kecenderungan pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti
glositis, stomatitis, anoreksia atau neuritis) (katzung, 2014).
Dengan Makanan
11. SPINOROLAKTON
a. Farmakokinetik
Preparat ini biasanya dipakai bersama diuretik lain untuk mengurangi ekskresi
kalium disamping memperbesar diuresis. Durasi kerja 2-3 hari, Ikatan protein 91-
98%.Metabolisme melalui hati untuk membentuk banyak metabolit termasuk
canrenone (metabolit aktif).T eliminasi 78-84 menit.Waktu untuk mencapai
puncak dalam serum 1-3 ham (utamanya dalam bentuk metabolit aktif).Ekskresi
melalui urin dan feses (Goodman, 2007).
b. Indikasi
Gangguan edematosa, gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik,
edema idiopatik, diagnosis & pengobatan aldosteronisme primer, hipertensi,
hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebihan pada wanita menurut pola
pertumbuhan pertumbuhan rambut laki-laki) (Goodman, 2007).
c. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap spironolakton atau komponen lain dalam sediaan, anure,
insufisiensi ginjal akut, gangguan fungsi ekskresi ginjal yang signifikan,
hiperkalemia, kehamilan (hipertensi yang diinduksi kehamilan) (Goodman,
2007).
d. Efek Samping
Edema, gangguan SSP seperti mengantuk, lethargi, sakit kepala, kebingungan,
demam, ataksia, makulopopular, erupsi eritematosus, urtikaria, hiesutism,
eosinofilia, ginekomastia, sakit payudara, hiperkalemia serius, hiponatremia,
dehidrasi, metabolik asidosis, impotensi, haid tidak teratur, amenorea,
pendarahan setelah postmenopouse, anoreksia, mual, muntah, kram perut, diare,
pendarahan lambung, ulserasi, gastritis, muntah, agranulositosis, toksisitas
hepatoselular peningkatan konsentrasi BUN (Goodman, 2007).
e. Peringatan
Hindari penggunaan suplemen, garam mengandung kalium, makanan yang
mengandung kalium, atau obat-obat lain yang mengandung kalium. Monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit. Ginecomastia berhubungan dengan dosis
dan durasi terapi.Terapi dengan diuretik harus disertai perhatian untuk pasien
yang mengalami disfungsi hati parah, perubahan elektrolit dan cairan dapat
memperparah ensefalopati.Hentikan penggunaan obat sebelum katerisasi vena
adrenal. Saat evaluasi terhadap pasien gagal jantung yang menggunakan terapi
59
spironolakton, kadar kreatinin harus < 2.5 mg/dL pada pria atau < 2 mg/mL
pada wanita dan kalium < 5 mEq/L (Goodman, 2007).
f. Mekanisme kerja
Spironolakton berkompetisi dengan aldosteron pada reseptor di tubulus ginjal
distal, meningkatkan natrium klorida dan ekskresi air selama konversi ion
kalium dan hidrogen, juga dapat memblok efek aldosteron pada otot polos
arteriolar (Goodman, 2007).
g. Interaksi obat
Penggunaan bersamaan spironolakton dengan diuretik hemat kalium lainnya,
suplemen kalium, antagonis reseptor angiotensin, kotrimoksazol (dosis besar)
dan inhibitor ACE dapat meningkatkan risiko hiperkalemia, terutama pada
pasien gangguan ginjal (Goodman, 2007).
60
D. Kesimpulan
dr. RF
Jln. Terusan Pemuda.Kota Cirebon.Telp. (0231) 27289
SIP 1667778
Cirebon, 20 Februari 2017
Pro : Tn. FN
Usia : 47 Tahun
63
Daftar Pustaka
Goodman, Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. EGC ; Jakarta
Gunawan, S. 2012. Buku ajar Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Katzung, B. G. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinis Edisi 12. Jakarta. EGC.
Perki, 2016. Panduan Praktis Klinis dan Klinikal Pathway Penyakit Jantung dan
Pembuluh darah.Jakarta
Price, Sylvia. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi6 .
EGC. Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Internal
Publishing. Jakarta
Giri, wayan. 2014. Infeksi Saluran Kemih Akibat pemasangan Kateter vol. 41 No.
10. Denpasar Bali : Universitas Udayana
64
LAMPIRAN
Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jantung_2015.pdf chronic-kidney-disease.pdf