You are on page 1of 24

BAGIAN ILMU THT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING

Oleh:

Zulfiqar Ibrahim Muchsin


(2017-84-041)

PEMBIMBING:

dr. Rodrigo Limmon, Sp.THT-KL. MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2017
KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan sembah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa, karena atas kasih dan anugerahNya telah memperkenankan penulis

menyelesaikan penulisan referat dengan judul Gangguan Pendengaran Akibat

Bising sebagai syarat kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan THT-KL.

Penulis menyadari sungguh bahwa apa yang ditulis ini masih jauh dari

sempurna. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis bersedia menerima

kritik, usul dan saran dari semua pihak guna melengkapi dan menyempurnakan

sehingga berguna bagi setiap orang yang membaca referat ini.

Ambon, September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR....i

DAFTAR ISI......ii

BAB I PENDAHULUAN..1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4

2.1. Anatomi Telinga......3

2.2. Fisiologi Pendengaran ....4

2.3. Definisi....6

2.4. Etiologi....6

2.5. Pembagian Kebisingan....7

2.6. Patofisiologi...................8

2.7. Pengaruh Bising..10

2.8. Manifestasi aklinis......12

2.9. Derajat kerusakan telinga..12

2.10. Diagnosis.........13

2.11. Penatalaksanaan..15

2.12. Pencegahan.16

2.13. Komplikasi..16

2.14. Prognosis.....16

BAB III KESIMPULAN..........17

DAFTAR PUSTAKA....19
BAB I

PENDAHULUAN

Pendengaran merupakan salah satu indera khusus yang dimiliki oleh manusia.

Dengan adanya sistem pendengaran, maka manusia dapat menjalankan fungsinya

untuk mendengar.1 Suara yang di dengar oleh manusia dapat dibagi dalam bunyi,

nada murni, dan bising. Secara audiologik, bising adalah campuran bunyi nada murni

dengan berbagai frekuensi. Bising diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki

dan dapat menurunkan pendengaran baik secara kwantitatif dengan meningkatkan

ambang pendengaran, maupun secara kwalitatif yaitu dengan penyempitan spektrum

pendengaran.2,3

Ketulian akibat kebisingan merupakan gangguan pendengaran permanen

yang dihasilkan dari lamanya paparan oleh tingkat kebisingan yang tinggi baik secara

tiba-tiba maupun dalam jangka waktu yang cukup lama. Paparan tingkat bising yang

berlebihan adalah penyebab yang paling utama dari ketulian dan biasanya

diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Selain itu, paparan letusan senjata api baik

kaliber besar maupun kecil juga dapat menyebabkan trauma akustik. Trauma akustik

sering dipakai untuk menyatakan ketulian akibat pajanan bising, maupun tuli

mendadak akibat ledakan hebat, dentuman, tembakan pistol, serta trauma langsung

ke kepala dan telinga akibat satu atau beberapa pajanan dalam bentuk energi akustik

yang kuat dan tiba-tiba. Pajanan yang terjadi bisa sekali atau beberapa kali dan dapat

mengenai satu atau kedua telinga yang berakibat kerusakan pada sistem pendengaran

yang umumnya bersifat sensorineural.3,4,5,6


The National Institute of Safety and Health (NIOSH) memperkirakan bahwa

14% dari para pekerja terpapar suara bising lebih dari 90 dB (Kersebaum, 1998).

Berdasarkan survey Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4

negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara

lainnya yaitu Sri Langka (8,8%), Myammar (8,4%) dan India (6,3%). Ketulian akibat

bising dilaporkan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Dari segi usia,

tidak ada kejelasan pasti mengenai perbedaan antara usia tua maupun muda yang

menderita ketulian akibat bising.4,5

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang gangguan

pendengaran akibat bising, terutama mengenai faktor penyebabnya, gambaran dari

penyakitnya, penanganan dan pencegahannya sehingga dapat menambah wawasan

bagi penulis dan pembaca.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.ANATOMI TELINGA

Telinga merupakan organ pendengaran yang secara anatomi maupun fungsional

dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain telinga luar, telinga tengah dan telinga

dalam.2

Gambar 1. Anatomi Telinga6

Telinga luar merupakan bagian yang terletak di sebelah luar dari membran

timpani. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna), saluran liang telinga (meatus

acousticus externus), dan membran timpani atau gendang telinga.2,3 Daun telinga

terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk lekukan seperti

huruf S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua

pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.3 Telinga bagian luar berfungsi

sebagai microfon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membran


timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran

timpani bergetar begitu juga pula sebaliknya.4,7

Telinga tengah diawali membran timpani (sebagai batas dengan telinga luar)

sampai dengan kanalis semisirkularis dan koklea. Di dalam telinga tengah terdapat

tulang-tulang pendengaran yaitu berturut-turut (dari luar ke dalam) malleus, incus,

stapes yang berfungsi menghantarkan getaran yang dihasilkan oleh membran timpani

agar sampai ke koklea melalui foramen ovale. Pada telinga tengah juga terdapat

saluran penghubung ke nasofaring yang disebut tuba eustachius, yang berfungsi

untuk menyeimbangkan tekanan udara antara telinga tengah dengan lingkungan luar

tubuh.2,4,7,8

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berbentuk seperti rumah siput yang

berfungsi sebagai alat pendengaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 kanalis

semisirkularis yang berfungsi untuk keseimbangan. Koklea terdiri dari 3 ruang, yaitu

skala vestibuli sebelah atas, skala media (duktus koklearis) bagian tengah dan skala

timpani bagian bawah. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe sedangkan

skala media berisi endolimfe. Dasar skala vestibuli berbentuk membran yang disebut

membrana reissner, sedangkan dasar skala media disebut membrana basillaris yang

merupakan tempat melekatnya organa corti yang terdiri dari rambut-rambut halus

(inner hair cell dan outer hair cell) yang diapit oleh serabut saraf koklear (N.

VIII).4,7,8

2.2.FISIOLOGI PENDENGARAN

Getaran suara ditangkap oleh gendang telinga dan dialirkan melalui liang telinga

dan masuk mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran
yang ditimbulkan selanjutnya diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang

berhubungan satu sama lain mulai dari maleus, incus dan stapes. Getaran diteruskan

oleh stapes dan menggetarkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe

dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana reissner yang

mengandung endolimfe sehingga menimbulkan gerak relatif antara membrana

basillaris dan membrana tektoria. Proses ini menyebabkan rangsangan mekanis yang

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion

terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Hal ini

menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke

dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius (N.

Vestibularis), lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran

(area 39-40) di lobus temporalis.1,2,3,7,8

Gambar 2. Fisiologi Pendengaran6


2.3.DEFINISI

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) yang juga

disebut sebagai trauma akustik, adalah gangguan pendengaran yang disebabkan oleh

pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya

diakibatkan oleh bising lingkungan kerja maupun tuli mendadak akibat ledakan

hebat, dentuman, tembakan pistol, serta trauma langsung ke kepala dan telinga akibat

satu atau beberapa pajanan dalam bentuk energi akustik yang kuat dan tiba-tiba. Sifat

ketulian ini pada umumnya ialah tuli sensorineural yang dapat mengenai salah satu

atau kedua telinga.3,4,5

2.4.ETIOLOGI

Gangguan pendengaran akibat bising dapat disebabkan oleh bising yang keras

dan secara tiba-tiba atau secara perlahan-lahan yang dapat dikarenakan oleh suara

ledakan bom, petasan, tembakan, konser, pekerjaan, dan telepon telinga

(earphone).7,10,11 Paparan suara yang berlebihan apalagi berupa suara ledakan dapat

menyebabkan kerusakan organ korti. Terdapat berbagai cara bising dapat merusak

telinga dalam. Pemaparan bising yang sangat keras lebih dari 150 dB, seperti pada

ledakan, dapat menyebabkan tuli sensorineural ringan sampai berat.10,11,12,13

Biasanya tuli timbul pada cara pemaparan yang lebih halus dan progresif sampai

pemaparan bising keras intermitten yang kurang intensif atau pemaparan kronis

bising yang kurang intensif. Pemaparan singkat berulang ke bising keras intermitten

dalam batas 120-150 dB, seperti yang terjadi akibat pemaparan senjata api atau

mesin jet, akan merusak telinga dalam. Pemaparan kronis berupa bising keras pada

pekerja dengan intensitas bising di atas 85 dB, seperti yang terjadi akibat
mengendarai traktor atau mobil salju atau gergaji rantai, merupakan penyebab

tersering dari tuli sensorineural yang diakibatkan oleh bising. Di samping itu, pada

lingkungan yang besar, seseorang dapat terpapar bising diatas 90 dB pada waktu

mendengarkan musik dari sistem suara stereofonik atau panggung musik.5,7,12,13

2.5.PEMBAGIAN KEBISINGAN

Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi,

bising dibagi atas tiga kategori:14

a. Audible noise (bising pendengaran). Bising ini disebabkan frekuensi bunyi

antara 31,5-8000 Hz.

b. Occupational noise (bising yang berhu-bungan dengan pekerjaan).

Disebabkan bunyi mesin di tempat kerja, mesin ketik.

c. Impulse noise (bising impuls). Bising yang terjadi akibat adanya bunyi

menyentak misalnya pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil, dll.

Berdasarkan skala intensitas, tingkat kebisingan di bagi dalam beberapa kategori

antara lain sangat tenang, tenang, sedang, kuat, sangat kuat dan menulikan.14

Tabel 1. Daftar skala intensitas kebisingan14


Tingkat kebisingan Intensitas (dB) Batas dengar tertinggi
Menulikan 100-120 Mesin uap, meriam, halilintar
Peluit polisi, perusahan sangat gaduh, jalan hiruk
Sangat kuat 80-100
pikuk
Kuat 60-80 Perusahaan, radio, jalan pada umumnya, kantor gaduh
Radio perlahan, percakapan kuat, kantor umumnya,
Sedang 40-60
rumah gaduh
Percakapan, auditorium, kantor perorangan, rumah
Tenang 20-40
tenang
Sangat tenang 0-20 Batas dengar terrendah, berbisik, bunyi daun
2.6.PATOFISIOLOGI

Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi suara

yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan fisiologis telinga

dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan getaran ke organ corti.

Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga, kerusakan tulang-tulang

pendengaran, atau kerusakan langsung organ corti. Pada trauma akustik, cedera

koklea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan berupa getaran yang sangat besar

sehingga merusak sel-sel rambut. Namun pada pajanan berulang kerusakan bukan

hanya semata-mata akibat proses fisika berupa mekanik semata, namun juga proses

kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan merangsang sel-sel

tersebut.7,8,9,11

Pada proses mekanik terjadi pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras

menyebabkan robeknya membran Reissner dan terjadi percampuran cairan perilimfe

dan endolimfe sehingga menghasilkan kerusakan sel-sel rambut, pergerakan

membran basilaris yang begitu keras menyebabkan rusaknya organ korti sehingga

terjadi percampuran cairan perilimfe dan endolimfe akhimya terjadi kerusakan sel-sel

rambut. Pada proses metabolik juga dapat merusak sel-sel rarnbut melalui cara

vasikulasi dan vakuolasi pada retikulum endoplasma sel-sel rambut dan

pembengkakkan mitokondria yang akan mempercepat rusaknya membran sel dan

hilangnya sel-sel rambut.7,10,11 Selama paparan trauma akustik, jaringan di telinga

dalam memerlukan oksigen dan nutrisi lain dalam jumlah besar. Oleh sebab itu

terjadi penurunan tekanan O2 di dalam koklea, sehingga konsumsi O2 akan

meningkat. Peneliti lain mengatakan pada kondisi tersebut akan terjadi

vasokonstriksi pembuluh darah di dalam koklea. Akibat rangsangan ini dapat terjadi
disfungsi sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang pendengaran

sementara atau justru kerusakan sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan

ambang pendengaran yang permanen.9,11,13,15

Pada trauma akustik yang menyebabkan gangguan pendengaran sementara terjadi

perubahan fisiologi dari metabolisme sel yang mengakibatkan gangguan dari sel

rambut. Sel rambut menjadi edema dan mengganggu arah putaran dari stereosilia ke

membrana tektoria. Gangguan ini hanya terjadi selama beberapa jam atau hari. Pada

trauma akustik yang mengakibatkan penurunan pendengaran permanen terjadi edema

sel rambut sampai terjadi ruptur sehingga gangguan pendengaran diakibatkan karena

sel rambut akan menjadi distorsi dan arah stereosilia tidak dapat kembali ke

membrana tektoria.7,11,12,13

Apabila terjadi kerusakan yang progresif dapat terjadi degenerasi syaraf

pendengaran dan perubahan dari pusat. Apabila penurunan ambang dengar terjadi

dalam beberapa minggu, maka gangguan dengar tersebut bersifat permanen, dan bila

penurunan ambang dengar mencapai 70 dB serta mencakup pula frekuensi

percakapan, maka dipastikan telah terjadi kerusakan pada serabut saraf pendengaran

dan telinga dalam.8,10,12,15

Gambar 3. Kerusakan hair cell pada trauma akustik


Suatu trauma akustik dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan rusaknya sel

sel rambut bagian basal, sedangkan trauma akustik dengan frekuensi rendah akan

mengakibatkan rusaknya sel sel rambut bagian apex. Bila kerusakan akibat frekuensi

nada tinggi akan di dekat foramen ovale, dan frekuensi nada rendah di daerah apex.

Lokasi kerusakan terletak 10 15 mm dari foramen ovale yakni pada reseptor

frekuensi 4000 Hz.10,11,12

Gambar 4. Gambaran reseptor suara di koklea

2.7.PENGARUH BISING

Pengaruh bising secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai

berikut:

a. Pengaruh auditorial

Pengaruh auditorial dari paparan bising secara umum dapat dibagi menjadi 3:14

- Trauma akustik: Terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi suara

yang sangat besar. Cedera cochlea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan

berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Pada

pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses fisika,

tetapi juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan
merangsang sel-sel rambut sehingga terjadi disfungsi sel-sel tersebut.

Akibatnya terjadi gangguan ambang pendengaran sementara. Kerusakan sel-sel

rambut juga dapat mengakibatkan gangguan ambang pendengaran yang

permanen.

- Noise-induced temporary threshold shift: Pada keadaan ini terjadi kenaikan

ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan kembali seperti

semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan

sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang sementara ini

mula-mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi apabila pemaparan

berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang sementara akan menyebar pada

frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin

besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap

kebisingan tidak sama tergantung sensitivitas masing-masing individu.

- Noise-induced permanent threshold shift: Kenaikan terjadi setelah seseorang

cukup lama terpapar kebisingan terutama pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan

ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen. Kenaikan ambang

pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi

pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah

berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.

b. Pengaruh non-auditorial

Pengaruh non-auditorial dapat bermacam-macam seperti gangguan komunikasi,

gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah dan

sebagainya.3,4,5
2.8.MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang dapat timbul pada penderita penurunan pendengaran akibat paparan

bising adalah kurang pendengaran yang dapat disertai oleh tinitus (berdengung)

ataupun tidak. Bila lebih berat lagi maka disertai keluhan sukar menangkap

percakapan dengan volume suara yang agak keras dan bila sudah sangat berat maka

percakapan yang keras juga sukar dimengerti.3,4,5,6

2.9.DERAJAT KERUSAKAN TELINGA

Penelitian Covel dan kawan kawan (Davis et al, 1953 ; Eldrege et al, 1958 1961)

menetapkan skala derajat kerusakan di dalam telinga dalam:4,9,11,12

Derajat Kerusakan Keterangan


Telinga Dalam
Normal.
1
Masih dalam batas normal.
2
Edema ringan dan piknosis sel rambut, pergeseran ringan nukleus sel
rambut, pembentukan vakuola pada sel-sel penyangga, pergeseran
3-4
mesotelial dengan pembentukan lapisan tipis sel di atas membran basalis.

Edema makin hebat, hilangnya sebagian sel mesotelial, pembentukan


5-6 giant cilia.

Sebagian sel rambut hancur/hilang, sel mesotelial hilang, sel- sel


7 penyangga terlepas dari membran basalis.

8 Terjadi seluruh sel rambut dalam hilang, ruptur membran Reissner.

Seluruh organ corti kolaps, sehingga terpisah dari membran basalis.


9
2.10. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Pada anamnesis dapat ditanyakan hal-hal sebagai berikut: 13,15,16,17

- Jenis onset hilangnya pendengaran atau berkurangnya pendengaran, apakah

tiba-tiba atau pelan-pelan (bertahap).

- Sudah berapa lama dirasakan, Apakah hilangnya pendengaran tetap (tidak

ada perubahan) atau malah semakin memburuk.

- Apa disertai dengan nyeri, otore, tinnitus (berdenging di telinga), telinga

terasa tersumbat, vertigo, atau gangguan keseimbangan.

- Apakah kehilangan pendengarannya unilateral atau bilateral.

- Apakah mengalami kesulitan berbicara dan mendengar di lingkungan yang

bising.

- Pada orang yang menderita tuli saraf koklea sangat terganggu oleh bising,

sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan

mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan.

- Ditanyakan juga apakah pemah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan

bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya 5 tahun atau lebih.

- Pernahkah terpapar atau mendapat trauma pada kepala maupun telinga baik

itu berupa suara bising, suara ledakan, suara yang keras dalam jangka waktu

cukup lama.

- Apakah mempunyai kebiasaan mendengarkan headphone, mendengarkan

musik dengan volume yang keras. Apakah mengkonsumsi obat-obatan

ototoksis dalam jangka waktu lama.


b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis telinga tidak ditemukan adanya kelainan dari telinga luar

hingga membran timpani. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan perlu dilakukan

secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang

menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena

agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik. dan alergi. Selain itu

pemeriksaan saraf kranial (nervus vestibulocochlearis) perIu dilakukan untuk

rnenyingkirkan adanya masalah pada saraf yang (dapat) mengganggu

pendengaran.12,16,17,18

c. Pemeriksaan dengan Garpu Tala

Pada tes dengan garpu tala menunjukkan adanya tuli sensorineural. 11,12,15,16

- Tes Batas Atas & Batas Bawah : batas atas menurun

- Tes Rinne : Hasil positif

- Tes Weber : Lateralisasi ke arah telinga sehat

- Tes Schwabach : Schwabach memendek.

d. Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat audiogram hantaran udara dan

hantaran tulang. Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengukur

kepekaan seluruh mekanisme pendengaran, telinga Iuar dan tengah serta mekanisme

sensorineural koklea dan nervus auditori. Audiogram hantaran udara diperoleh

dengan memperdengarkan pulsa nada murni melalui earphone ke telinga. Kegunaan

audiometri hantaran tulang adalah untuk mengukur kepekaan mekanisme


sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan memberikan bunyi

penguji langsung ke tengkorak pasien menggunakan vibrator hantaran tulang.10,13,15,16

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi

antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang

patognomonik untuk jenis ketulian akibat taruma akustik.9,10,11,14

2.11. PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada penderita dengan tuli

akibat bising, karena tuli karena trauma akustik adalah tuli saraf koklea yang bersifat

menetap (irreversible). Apabila penderita sudah sampai pada tahap gangguan

pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi maka dapat

dipertimbangkan menggunakan ABD (alat bantu dengar) atau hearing aid. Pada

pasien yang gangguan pendengarannya lebih buruk harus dibantu dengan

penanganan psikoterapi untuk dapat menerima keadaan. Latihan pendengaran dengan

alat bantu dengar dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik, anggota gerak

badan, serta bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi.17,18,19,20

Selain itu diperlukan juga rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume,

tinggi rendah dan irama percakapan. Bila terjadi tuli bilateral berat yang tidak dapat

dibantu dengan alat bantu dengar, maka dapat dipertirnbangkan dengan memasang

implan koklea. Implan koklea ialah suatu perangkat elektronik yang mempunyai

kemampuan memperbaiki fungsi pendengaran sehingga akan meningkatkan

kemampuan berkomunikasi penderita tuli saraf berat dan tuli saraf bilateral.20,21,22
2.12. PENCEGAHAN

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari ketulian akibat bising antara

lain melindungi telinga secara langsung dengan memakai ear muff (penutup telinga)

yang dapat menurunkan kebisingan antara 25-40 dB atau penggunaan ear plugs

(sumbat telinga) yang dapat menurunkan kebisingan 18-25 dB bila bahannya terbuat

dari karet. Selain penutup dan penyumbat telinga, dapat digunakan penutup kepala.

Mengendalikan suara bising dari sumbernya dapat dilakukan dengan memasang

peredam suara dan menempatkan suara bising (mesin) dalam ruangan yang terpisah

dari pekerja. Perlu dilakukan tes pendengaran secara periodik pada pekerja serta

dilakukan analisa bising dengan menilai intensitas bising, frekuensi bising, lama dan

distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam

pengukuran bising adalah sound level meter.3,14,15

2.13. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada gangguan pendengaran akibat kebisingan

adalah ketulian secara progresif hingga tuli total.18,19,20

2.14. PROGNOSIS

Oleh karena jenis ketulian akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang

sifatnya menetap dan tidak dapat dapat diobati dengan obat maupun pembedahan,

maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan

terjadinya ketulian.3,4,5
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) yang juga

disebut sebagai trauma akustik, adalah gangguan pendengaran yang disebabkan oleh

pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Sifat

ketulian ini pada umumnya ialah tuli sensorineural yang dapat mengenai salah satu

atau kedua telinga.

Gangguan pendengaran akibat bising dapat disebabkan oleh bising yang keras

dan secara tiba-tiba atau secara perlahan-lahan yang dapat dikarenakan oleh suara

ledakan bom, petasan, tembakan, konser, pekerjaan, dan telepon telinga (earphone).

Gejala yang dapat timbul pada penderita penurunan pendengaran akibat

paparan bising adalah kurang pendengaran yang dapat disertai oleh tinitus

(berdengung) ataupun tidak. Bila lebih berat lagi maka disertai keluhan sukar

menangkap percakapan dengan volume suara yang agak keras dan bila sudah sangat

berat maka percakapan yang keras juga sukar dimengerti.

Diagnosis trauma akustik ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik (otoskop) serta pemeriksaan penunjang (audiometri). Penatalaksanaan pada

trauma akustik ini dapat diberikan secepatnya setelah trauma. Trauma akustik

sebaiknya diobati sebagai kedaruratan medis. Apabila penderita sudah sampai pada

tahap gangguan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi

maka dapat dipertimbangkan menggunakan ABD (alat bantu dengar).

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari ketulian akibat bising

antara lain melindungi telinga secara langsung dengan memakai ear muff (penutup
telinga) atau penggunaan ear plugs (sumbat telinga), mengendalikan suara bising

dari sumbernya dengan memasang peredam suara dan menempatkan suara bising

(mesin) dalam ruangan yang terpisah dari pekerja serta perlu dilakukan tes

pendengaran secara periodik pada pekerja dan dilakukan analisa bising.


DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi revisi. Jakarta:

EGC; 2012

2. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 7th ed. Brooks/Cole;

2010

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RS. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010

4. Soepardi Arsyad, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. FKUI:

Jakarta. 2012.

5. Levine S, Penyakit Telinga Dalam. Dalam: Effendi H, Santoso K. BOIES

Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2012

6. Waugh A, Grant A. Ross and Wilson Anatomy and Physiology in Health and

Illness. Edisi 9. Penerbit: Churchill Livingstone; 2001

7. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Penerbit:

Binarupa Aksara. Jakarta. 2012

8. Adeleke. Acoustic Trauma in Handout by Prof. Ogunsote. Penerbit:

Academic Press. Inggris. 2009.

9. Sedjawidada R. Trauma Akustik. Dalam: Sedjawidada R. Diktat Kuliah THT.

Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK-Unhas. 2010


10. Agung. Tuli akibat Bising dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PERHATI.

Penerbit: USU Respirator, Medan. 2009.

11. Arifiani, N. Pengaruh Kebisingan terhadap Dunia Kerja. Penerbit:

Subdepartemen Kedokteran Okupasi Departemen Ilmu Kedokteran

Komunitas FKUI. Jakarta. 2004.

12. Buchari. Kebisingan Industri dan Hearing Conversation Program. Penerbit:

USU Respiratory, Medan. 2007.

13. James F. Noise Exposure and Isssue in Hearing Conservation dalam: Jack K,

Handbook of Clinical Audiology, Edisi 7. Penerbit: Lippincott Williams

&Wilkins. Philadelphia. 2014.

14. Lintong F. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Fisika Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal Biomedik, volume 1,

nomor 2. Halaman 81-86; Juli 2009

15. Lonsbury-Martin BL, Martin GK. Noise-Induced Hearing Loss. In:

Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, et al, eds. Otolaryngology: Head &

Neck Surgery. 5th ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier. 2010

16. OHandley JG, Tobin EJ, Shah AR. Otorhinolaryngology. In: Rakel RE,

ed. Textbook of Family Medicine. 8th ed. Philadelphia, PA: Saunders

Elsevier. 2011

17. Komang. Efek Letusan Senjata Api Ringan terhadap Fungsi Pendengaran

pada Siswa Diktuba Polri dalam: Cermin Dunia Kedokteran. Penerbit: FK

Udayana. Bali. 2008.

18. Lubis H. Luka Bakar dan Trauma Akustik dengan Tuli Sementara Karena

Kecelakaan Kerja. Penerbit: USU digital library, Medan. 2004


19. Lutman. Discussion Paper on Hearing Loss. Penerbit: Veterans. Canada.

2010.

20. Sultan. Occupational Hearing Loss dalam: Saudi medical Journal. Penerbit:

Dhahran Health Center. Saudi Arabia. 2012.

21. Timothy. Hearing Loss in American Hearing Research Foundation. Penerbit:

Gen Med. Canada. 2014.

22. Andrianto P. Trauma Bising. Dalam: Andrianto P. Penyakit Telinga Hidung

dan Tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010

You might also like