Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
SIFERA PATRICIA MAITHY 166020301111003
YANTI NOVA LITA SIMORANGKIR 166020301111009
ANNISA RAHMI 166020301111035
Sudah lebih dari tiga dekade terminologi wajib pajak digunakan dalam sistem
perpajakan Indonesia. Meski ada sedikit perubahan per definisi, istilah tersebut tetap
dipertahankan dalam tiga kali revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). UU KUP pertama, yaitu UU No. 6 Tahun 1983,
mendefinisikan wajib pajak sebagai orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Sebelas tahun kemudian, melalui revisi UU KUP kedua yaitu UU No. 9 Tahun
1994, definisi tersebut meluas. Ada tambahan frasa kalimat yang intinya menyatakan
wajib pajak juga memiliki kewajiban memungut atau memotong pajak tertentu. Di
sinilah istilah pemungut pajak dan pemotong pajak lahir.
Masuk ke era reformasi, UU KUP kembali direvisi. Namun, pada revisi kedua
itu, melalui UU No. 16 Tahun 2000, praktis tidak ada perubahan definisi wajib pajak.
Baru 7 tahun berikutnya, definisi wajib pajak diubah kembali melalui UU No. 28 Tahun
2007, revisi ketiga UU KUP.
Melalui UU No. 28 Tahun 2007 itulah, untuk pertama kalinya terdapat frasa hak
dan kewajiban dalam definisi wajib pajak. Artinya, ada penekanan yuridis bahwa selain
memiliki kewajiban membayar pajak, ada hak-hak wajib pajak yang dijamin dan
dilindungi undang-undang.
Dengan berubahnya situasi perpajakan saat ini, istilah wajib pajak pun dinilai
kurang pas. Karena itu, draf revisi UU KUP yang telah diserahkan pemerintah ke DPR
di tahun ini akan mengganti istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak.
Dalam draf RUU KUP tersebut, pembayar pajak didefinisikan sebagai orang
pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri, dan/ atau
sebagai pemotong dan/ atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi dasar penggantian itu. Pertama,
terminologi wajib pajak lebih menekankan unsur kewajiban bagi masyarakat dan kurang
mencerminkan penghargaan bagi warga atas kontribusinya dalam membiayai
pembangunan melalui pajak yang mereka bayar.
Perubahan pola relasi itu berhubungan erat dengan kepatuhan dan penerimaan,
karena apabila otoritas perpajakan memperlakukan wajib pajak dengan posisi yang lebih
inferior, atau dengan perspektif polisi dan perampok (cops and robber), maka wajib
pajak akan cenderung tidak patuh.
Pendekatan ini memperlakukan wajib pajak layaknya pencuri dan otoritas pajak
dianggap sebagai polisi yang memburunya. Ini tidak hanya menimbulkan biaya tinggi
dalam pelaksanaan, tetapi juga turut berkontribusi pada terciptanya pandangan bahwa
wajib pajak adalah mangsa yang diburu.
Harus diakui, relasi seperti inilah yang antara lain turut menjelaskan rendahnya
tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2015 hanya
23,9% dari total jumlah orang pribadi pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang
mendaftar atau terdaftar sebagai wajib pajak.
Jumlah ini akan lebih kecil jika dihitung dari jumlah wajib pajak terdaftar yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), termasuk jika dinilai kebenaran SPT yang
disampaikan. Rendahnya kepatuhan inilah yang antara lain menjadi salah satu persoalan
perpajakan yang krusial di Indonesia.
Karena itu, sukar untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa draf revisi UU
KUP ini berusaha untuk mengubah pendekatan cops and robber menjadi
pendekatan service and client. Dari pendekatan inilah datang kebutuhan untuk
memberikan penghormatan penuh dan dukungan kepada wajib pajak.
Di sisi lain, perubahan pandangan baru terhadap kedudukan wajib pajak ini
sebetulnya toh juga sudah didukung dengan diterapkan kebijakan pengampunan pajak
(tax amnesty), yang menjembatani dan menghapus dosa pajak masa lalu, baik yang
dilakukan wajib pajak maupun otoritas pajak.
Tidak hanya tercermin dari adanya perubahan terminologi saja, lebih jauh lagi,
secara substansi draf revisi UU KUP harus dapat menyediakan sistem dan prosedur
pajak yang transparan, sehingga dapat membentuk kepercayaan dan atmosfer kerja
sama antara pembayar dan otoritas pajak.
Pada UU KUP yang saat ini sedang berlaku, terdiri dari 9 bab dan 44 pasal
sedangkan pada RUU KUP terdiri dari 23 bab dan 129 pasal.
b. Sistematika
Dalam RUU KUP sistematikanya lebih baik dan lebih mudah dipahami. Hal ini
administrasi perpajakan yang secara umum dilalui oleh wajib pajak. RUU KUP
terdiri dari ketentuan yang sistematis, yaitu pendaftaran, pembukuan,
c. Istilah baru
Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah bagi yang berkontribusi untuk
membayar pajak adalah Wajib Pajak sedangkan pada RUU KUP diubah
Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah Nomor Induk Wajib Pajak
Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah Direktur Jenderal Pajak diubah
- Bukti pembayaran
- Penilaian
- Penyidikan pajak
- Bahan bukti
- Lembaga
e. Dalam RUU KUP dijelaskan dengan rinci tentang Wakil Pembayar Pajak dan
f. Pada RUU KUP terdapat perubahan yang sebelumnya tidak di atur dalam UU
KUP yang berlaku yaitu: pendaftaran, pembayaran pajak dan pelaporan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dilakukan
secara online yang diberi nama e-registration, e-tax payment, dan e-filling
pada RUU KUP istilah yang digunakan adalah Sanksi Administratif. Adapun
Terlambat
bertujuan sebagai pendorong kepatuhan pada pajak dan bukan sebagai hukuman.
Pada RUU KUP tersebut Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
bunga sebesar 1% per bulan sedangkan KUP yang berlaku saat ini sebesar
2% per bulan
Pada RUU KUP dijelaskan bahwa wajib pajak melakukan keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan Dirjen Pajak, maka sanksi
Pada RUU KUP diatur ketentuan untuk Pajak Bumi dan Bangunan, jumlah
administratif sebesar 25% dari Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak atau
kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak, sedangkan pada UU KUP yang
pengadilan pajak ditolak, sanksi denda ini dihapus dalam RUU KUP dengan
argumen utang pajak telah timbul pada saat SKP terbit dan telah dilakukan
penagihan aktif.
dimana pada UU KUP yang saat ini berlaku ketentuan tersebut tidak ada
penghentian penyidikan