You are on page 1of 8

PAPER

RUU Ketentuan Umum Perpajakan

(Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Isu-Isu Terkini Perpajakan)

Dosen Pembimbing Mata Kuliah:


Bpk. Drs. Achmad Dahlan, M.S.A., Ak., BKP

Oleh:
SIFERA PATRICIA MAITHY 166020301111003
YANTI NOVA LITA SIMORANGKIR 166020301111009
ANNISA RAHMI 166020301111035

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
2017
RUU Ketentuan Umum Perpajakan

Sudah lebih dari tiga dekade terminologi wajib pajak digunakan dalam sistem
perpajakan Indonesia. Meski ada sedikit perubahan per definisi, istilah tersebut tetap
dipertahankan dalam tiga kali revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). UU KUP pertama, yaitu UU No. 6 Tahun 1983,
mendefinisikan wajib pajak sebagai orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.

Sebelas tahun kemudian, melalui revisi UU KUP kedua yaitu UU No. 9 Tahun
1994, definisi tersebut meluas. Ada tambahan frasa kalimat yang intinya menyatakan
wajib pajak juga memiliki kewajiban memungut atau memotong pajak tertentu. Di
sinilah istilah pemungut pajak dan pemotong pajak lahir.

Masuk ke era reformasi, UU KUP kembali direvisi. Namun, pada revisi kedua
itu, melalui UU No. 16 Tahun 2000, praktis tidak ada perubahan definisi wajib pajak.
Baru 7 tahun berikutnya, definisi wajib pajak diubah kembali melalui UU No. 28 Tahun
2007, revisi ketiga UU KUP.

Melalui UU No. 28 Tahun 2007 itulah, untuk pertama kalinya terdapat frasa hak
dan kewajiban dalam definisi wajib pajak. Artinya, ada penekanan yuridis bahwa selain
memiliki kewajiban membayar pajak, ada hak-hak wajib pajak yang dijamin dan
dilindungi undang-undang.

Kemudian Revisi UU KUP dinilai diperlukan karena regulasi perpajakan yang


ada saat ini masih banyak celah dan belum mencakup segala kompleksitas fenomena
perpajakan yang berkembang beberapa tahun belakangan, padahal merujuk situasi
terakhir, praktik kejahatan pajak terus terjadi dan realisasi penerimaan negara dari
sektor perpajakan tiap tahun tak bisa melampaui target. Tak heran jika misi yang
diemban pemerintah melalui revisi tersebut, mengutip naskah akademik revisi UU
KUP, adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP).

Campur tangan pemerintah dianggap cukup penting. Pasalnya, sistem self


assessment yang sudah dimplementasikan sejak tahun 1983, dipandang belum
menjamin kepatuhan wajib pajak. Keyakinan bahwa belum seluruh wajib pajak patuh
tercermin dari pernyataan sejumlah pejabat pemerintahan. Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati, misalnya, belum lama ini menyatakan bahwa dari 29,3 juta WP
yang wajib melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak, hanya 12,6 juta di
antaranya yang menyampaikan SPT atau belum sampai separuhnya WP yang
melakukan kewajibannya.

Sejumlah jurus pun disiapkan untuk mendorong kepatuhan di antaranya


memperbarui administrasi perpajakan, menyempurnakan data atau informasi untuk
pengawasan, dan perbaikan sistem penegakan hukum untuk menindak segala bentuk
pelanggaran perpajakan.

Dengan berubahnya situasi perpajakan saat ini, istilah wajib pajak pun dinilai
kurang pas. Karena itu, draf revisi UU KUP yang telah diserahkan pemerintah ke DPR
di tahun ini akan mengganti istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak.

Dalam draf RUU KUP tersebut, pembayar pajak didefinisikan sebagai orang
pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri, dan/ atau
sebagai pemotong dan/ atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi dasar penggantian itu. Pertama,
terminologi wajib pajak lebih menekankan unsur kewajiban bagi masyarakat dan kurang
mencerminkan penghargaan bagi warga atas kontribusinya dalam membiayai
pembangunan melalui pajak yang mereka bayar.

Kedua, penggunaan terminologi pembayar pajak lebih menekankan peran


kepatuhan sukarela dalam pemenuhan kewajiban perpajakan warga negara. Istilah ini
mencoba menghilangkan kesan adanya unsur pemaksaan, walaupun karakteristik pajak
itu sendiri tidak terlepas dari unsur paksaan.

Ketiga, terminologi pembayar pajak sejalan dengan best practice


internasional yang menggunakan terminologi taxpayer, yang secara harfiah diartikan
pembayar pajak. Begitu pula dalam dokumen-dokumen perpajakan internasional
seperti tax treaty, yang juga menggunakan terminologi taxpayer.
Draf ini juga mengubah identitas wajib pajak yang kini disebut Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP). Untuk kali
pertama juga, RUU KUP memperkenalkan Nomor Identitas Objek Pajak (NIOP) terkait
dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Melalui perubahan penyebutan wajib pajak menjadi pembayar pajak ini,


pemerintah terlihat ingin memperbaiki paradigma sekaligus pola relasi yang terbentuk
antara negara (fiskus) dan warga negara (pembayar pajak), dan dengan cara itu
kepatuhan dan penerimaan pajak dapat meningkat.

Perubahan pola relasi itu berhubungan erat dengan kepatuhan dan penerimaan,
karena apabila otoritas perpajakan memperlakukan wajib pajak dengan posisi yang lebih
inferior, atau dengan perspektif polisi dan perampok (cops and robber), maka wajib
pajak akan cenderung tidak patuh.

Pendekatan ini memperlakukan wajib pajak layaknya pencuri dan otoritas pajak
dianggap sebagai polisi yang memburunya. Ini tidak hanya menimbulkan biaya tinggi
dalam pelaksanaan, tetapi juga turut berkontribusi pada terciptanya pandangan bahwa
wajib pajak adalah mangsa yang diburu.

Harus diakui, relasi seperti inilah yang antara lain turut menjelaskan rendahnya
tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2015 hanya
23,9% dari total jumlah orang pribadi pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang
mendaftar atau terdaftar sebagai wajib pajak.

Jumlah ini akan lebih kecil jika dihitung dari jumlah wajib pajak terdaftar yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), termasuk jika dinilai kebenaran SPT yang
disampaikan. Rendahnya kepatuhan inilah yang antara lain menjadi salah satu persoalan
perpajakan yang krusial di Indonesia.

Karena itu, sukar untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa draf revisi UU
KUP ini berusaha untuk mengubah pendekatan cops and robber menjadi
pendekatan service and client. Dari pendekatan inilah datang kebutuhan untuk
memberikan penghormatan penuh dan dukungan kepada wajib pajak.
Di sisi lain, perubahan pandangan baru terhadap kedudukan wajib pajak ini
sebetulnya toh juga sudah didukung dengan diterapkan kebijakan pengampunan pajak
(tax amnesty), yang menjembatani dan menghapus dosa pajak masa lalu, baik yang
dilakukan wajib pajak maupun otoritas pajak.

Tidak hanya tercermin dari adanya perubahan terminologi saja, lebih jauh lagi,
secara substansi draf revisi UU KUP harus dapat menyediakan sistem dan prosedur
pajak yang transparan, sehingga dapat membentuk kepercayaan dan atmosfer kerja
sama antara pembayar dan otoritas pajak.

Beberapa poin perubahan pada RUU KUP antara lain,:

1. Sanksi bagi pihak yang tidak memberikan data


2. Penyidikan pajak yang merupakan kewenangan penyidik
3. Sanksi untuk pelanggaran pelaporan SPT
4. Definisi baru wajib pajak, sanksi, NPWP, sampai pengertian pajak
5. Kewenangan pemeriksaan Ditjen Pajak lebih luas
6. Ketentuan WP kriteria tertentu
7. Waktu kedaluwarsa penetapan SPT dan SKP (surat ketetapan pajak)
8. Transformasi kelembagaan Ditjen Pajak

Perbedaan-perbedaan mendasar antara UU Nomor 16 Tahun 2009 dan RUU KUP


tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah bab dan pasal yang jauh berbeda.

Pada UU KUP yang saat ini sedang berlaku, terdiri dari 9 bab dan 44 pasal

sedangkan pada RUU KUP terdiri dari 23 bab dan 129 pasal.

b. Sistematika

Dalam RUU KUP sistematikanya lebih baik dan lebih mudah dipahami. Hal ini

dikarenakan isi dari undang-undang tersebut disesuaikan dengan prosedur

administrasi perpajakan yang secara umum dilalui oleh wajib pajak. RUU KUP
terdiri dari ketentuan yang sistematis, yaitu pendaftaran, pembukuan,

pembayaran, pelaporan, pemeriksaan dan sengketa.

c. Istilah baru

Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah bagi yang berkontribusi untuk

membayar pajak adalah Wajib Pajak sedangkan pada RUU KUP diubah

menjadi Pembayar Pajak

Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah Nomor Induk Wajib Pajak

diubah pada RUU KUP menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak

Pada UU KUP yang sedang berlaku istilah Direktur Jenderal Pajak diubah

pada RUU KUP menjadi Lembagadan lainnya

d. Terdapat penambahan, pengurangan dan pengubahan defensi dan istilah, yaitu:

Dalam RUU terdapat beberapa penambahan defenisi yaitu :

- Bukti pembayaran

- Penilaian

- Tindak pidana pajak

- Kerugian keuangan negara di bidang perpajakan

- Penyidikan pajak

- Bahan bukti

- Lembaga

e. Dalam RUU KUP dijelaskan dengan rinci tentang Wakil Pembayar Pajak dan

Kuasa Pembayar Pajak

f. Pada RUU KUP terdapat perubahan yang sebelumnya tidak di atur dalam UU

KUP yang berlaku yaitu: pendaftaran, pembayaran pajak dan pelaporan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dilakukan

secara online yang diberi nama e-registration, e-tax payment, dan e-filling

g. Istilah Sanksi Administrasi

Pada UU KUP yang berlaku digunakan istilah Sanksi Administrasi Sedangkan

pada RUU KUP istilah yang digunakan adalah Sanksi Administratif. Adapun

besaran untuk sanksi tersebut dibedakan:

Terlambat

Tidak membayar/kurang membayar

Kemudian dalam RUU KUP tersebut ditegaskan bahwa sanksi tersebut

bertujuan sebagai pendorong kepatuhan pada pajak dan bukan sebagai hukuman.

h. Tarif Sanksi Administrtif

Pada RUU KUP tersebut Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dikenai sanksi administrasi berupa

bunga sebesar 1% per bulan sedangkan KUP yang berlaku saat ini sebesar

2% per bulan

Pada RUU KUP dijelaskan bahwa wajib pajak melakukan keberatan atas

Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan Dirjen Pajak, maka sanksi

administrasi berupa denda sebesar 50% dari Surat Ketetapan Keberatan

dihapus menjadi tidak ada.

Pada RUU KUP diatur ketentuan untuk Pajak Bumi dan Bangunan, jumlah

kekurangan pajak dalam Surat Ketetapan Pajak ditambah sanksi

administratif sebesar 25% dari Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak atau

kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak, sedangkan pada UU KUP yang

berlaku, ketentuan ini tidak diatur


Sanksi denda 100% dalam hal permohonan banding wajib pajak ke

pengadilan pajak ditolak, sanksi denda ini dihapus dalam RUU KUP dengan

argumen utang pajak telah timbul pada saat SKP terbit dan telah dilakukan

penagihan aktif.

i. Pada RUU KUP ditambahkan ketentuan sanksi administratif untuk

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 500.000.

dimana pada UU KUP yang saat ini berlaku ketentuan tersebut tidak ada

j. Peran Penegakan Hukum

Pada RUU KUP terjadi perubahan seperti:

Memperluas kewenangan mulai dari penangkapan, penyitaan, dan

penghentian penyidikan

Adapun pada sanksi administratif dibedakan dari sanksi pidana

Penegasan pada rumusan delik formal dan delik material

k. Penegasan peran data dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum

l. Dibentuknya lembaga baru sebagai transformasi kelembagaan yang memisahkan

Direktur Jenderal Pajak dari Kemenkeu

You might also like