You are on page 1of 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Tuberkulosis (TB) sudah dikenal sejak beribu-ribu tahun sebelum
Masehi.Hal ini terbukti dari adanya tulisan tentang penyakit ini dalam Pen Tsao yakni materi
medika Cina yang sudah berumur 5000 tahun.Penyakit ini dulunya bernama Consumption
atau Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit degeneratif atau penyakit turunan.Barulah
Leannec (1819) yang pertama kali menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan
Koch (1882) dapat mengidentifikasi kuman penyebabnya.Penyakit ini dinamakan
Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle.Hampir seluruh organ
tubuh dapat terserang olehnya, tetapi paling banyak adalah paru-paru. (Soeparman, 1990)
Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat
ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan
berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB
yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan
juta kasus baru setiap tahunnya. Menurut laporan WHO pada tahun 2004, jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, yaitu 625.000
orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Selain itu, menurut
laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru
sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. (Depkes RI, 2007)
Pada tahun 2002, terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis, dimana 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara
yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat
182 kasus per 100.000 penduduk. Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit
tuberkulosis di seluruh dunia :

1|Mini Project
Gambar 1.Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia

Penyakit TB tidak hanya mengenai orang dewasa, anak-anak pun sudah mulai banyak
yang terjangkit penyakit TB ini.Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6%
dari total kasus TB. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3
juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005. Pada survey nasionai di
Inggris dan Wales selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15
tahun menderita TB. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%
dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-
7%.Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa.Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.TB anak merupakan faktor penting di negara
berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh
populasi. (IDAI, 2008)
Masalah yang dihadapi saat ini adalah peningkatan kasus TB dengan pesat,
peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS, juga meningkatnya kasus multidrug resistence-TB
(MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru.(Nelson, 2004)
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak 88,2 juta
penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000
terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV. Selama

2|Mini Project
tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%),
diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan
kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang. (Depkes
RI, 2007)
Indonesia telah berkomitmen mencapai target dunia dalam penanggulangan
tuberkulosis. Strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan dan
diekspansi secara bertahap keseluruh unit pelayanan kesehatan termasuk puskesmas dan
institusi terkait. Berbagai kemajuan telah dicapai, namun tantangan program di masa depan
tidaklah lebih ringan, meningkatnya kasus HIV dan MDR serta bervariasinya komitmen akan
menjadikan program yang saat ini sedang dilakukan ekspansi akan menghadapi masalah
dalam hal pencapaian target global, sebagaimana tercantum pada Millenium Development
Goals (MDG).(Depkes RI, 2007)
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu :
(1) diagnosis tidak tepat
(2) pengobatan tidak adekuat
(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat
(4) infeksi endemik HIV
(5) migrasi penduduk
(6) mengobati sendiri (self treatment)
(7) meningkatnya kemiskinan
(8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana upaya mengurangi prevalensi
penderita penyakit TB di Puskesmas Prapat Janji.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai TBsehingga
diharapkan dapat membantumenurunkan prevalensi penyakit TByang terjadi di kecamatan
Buntu Pane pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji pada khususnya.

3|Mini Project
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit TBterutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru
lainnya.
2. Mengidentifikasi gambaran sikap masyarakat terhadap penyakit TBdalam
upaya pencegahan dan pengobatan TB di Puskesmas Prapat Janji.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Untuk Puskesmas
1. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB,
terutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru lainnya, serta
untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit TBterutama dalam
upaya pencegahan dan pengobatan sehingga dapat diketahui sejauh mana
upaya edukasi perlu diberikan.
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Prapat Janji dalam peningkatan pelayanan
kesehatan baik dalam hal pencegahandan pengobatan penyakit TB sehingga dapat
membantu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena penyakit TB.
3.
1.4.2 Untuk Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit T B,
terutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru
lainnya, serta dalam hal pencegahan dan pengobatan yang harus
diberikan.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit
TB.
4. Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal
berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit TB,baik dalam hal pencegahan
dan pengobatan penyakit.

1.4.3 Untuk Dokter Internship


1. Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan
ilmu kedokteraan terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat.
2. Meningkatkan keilmuan mengenai penyakit TB.

4|Mini Project
3. Meningkatkan keterampilan komunikasi di masyarakat juga meningkatkan
kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan.
4. Merupakan kesempatan untuk bersosialisasi di dalam masyarakat.
5. Meningkatkan kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.
6. Dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian


Karena adanya keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan yang ada, maka penelitian
ini dibatasi hanya membahas gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakatmengenai
penyakit TBdi wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji. Penelitian ini dilakukan pada saat
dengan melakukan kunjungan rumah di desa Mekar Sari dengan penemuan kasus TB
terbanyak pada tahun 2015. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan kegiatan.

5|Mini Project
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil
aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M.
bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula
menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria,
tulang, persendian, bahkan kulit.

2.2 Epidemiologi
TB merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia
dan Afrika. Sekitar 55% dari seluruh kasus global TB terdapat pada negara-negara di benua
Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara
di benua lainnya.2 Secara global, pada tahun 2008 tercatat 9,4 juta kasus baru TB, dengan
prevalensi 11,1 juta, dan angka kematian berkisar 1,3 juta pada kasus TB dengan HIV negatif
dan 0,52 juta pada kasus TB dengan HIV positif. Sementara itu, hingga tahun 2007,
Indonesia berada di urutan ketiga penyumbang kasus tuberkulosis di dunia, dan termasuk ke
dalam 22 high-burden countries dalam penanggulangan TB.1 Tabel 2.1 berikut ini
menunjukkan kedudukan Indonesia dalam beban TB yang ditanggung di antara 22 negara
lainnya di tahun 2007.

2.3 Anatomi Paru Manusia


Paruparu adalah organ berbentuk spons yang terdapat di dada.Paru-paru kanan
memiliki 3 lobus, sedangkan paruparu kiri memiliki 2 lobus.Paruparu kiri lebih kecil,
karena jantung membutuhkan ruang yang lebih pada sisi tubuh ini.Paruparu membawa udara
masuk dan keluar dari tubuh, mengambil oksigen dan menyingkirkan gas karbon dioksida
(zat residu pernafasan). (Sherwood, 2001)

6|Mini Project
Gambar 2. Anatomi Paru

2.4 Fisiologi Paru


Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.Seperti yang telah diketahui,
dinding toraks berfungsi sebagai penembus.Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan
gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru.Pada waktu otot interkostalis
eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga
toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.Pengurangan volume toraks ini meningkatkan
tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan
atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan
tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tahap kedua dari proses
pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis
(tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas.Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada
permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.

7|Mini Project
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur
dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan Tahap kedua dari proses
pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis
(tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas.Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada
permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur
dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air.Perbedaan
tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan
karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke
atmosfir. Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler
darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama
0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi.Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi
melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga
dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya
hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama. (Sherwood, 2001)

2.5 Etiologi
Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
Berikut ini adalah taksonomi dari M. tuberculosis:

Sumber: National Center for Biotechnology Information(NCBI)12

8|Mini Project
M. tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x
2-10 m, dan termasuk gram positif. Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus
dan filamen. Identifikasi terhadap bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam
metode ziehl-neelsen maupun tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di
bawah mikroskop.

Gambar 2.1 Basil tuberkel (merah) di bawah mikroskop dengan pewarnaan


tahan asam

Pada umumnya, genus mycobacterium kaya akan lipid, mencakup asam mikolat
(asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfatida. Lipid dalam batas-batas tertentu
bertanggung jawab terhadap sifat tahan-asam bakteri. Selain lipid, mycobacterium juga
mengandung beberapa protein yang dapat memicu reaksi tuberkulin, dan mengandung
berbagai polisakarida.Mycobacterium tidak menghasilkan toksin, tetapi termasuk organisme
yang virulen sehingga bila masuk dan menetap dalam jaringan tubuh manusia dapat
menimbulkan penyakit. Bakteri ini terutama akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel
retikuloendotelial, dan sel-sel raksasa.

2.6 Faktor Resiko


Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang
rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious TB),
dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena itufaktor risiko untuk
infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. (Lienhardt, 2003) Terdapat beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak.
Faktor risiko tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi
menjadi penyakit (resiko penyakit).(Supriyatno, 2007)
a. Resiko infeksi TB

9|Mini Project
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik),
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang
dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA
sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat
terutama sirkulasi udara yang kurang baik. (Behrman, 2002)
Penularan M. tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir berinti
(droplet nuclei) di udara.Penularan jarang terjadi dari barang-barang yang
terkontaminasi kuman TB.Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk,
memperbesar peluang penularan.

2.7 Patogenesis / Patologi


Terdapat 4 stadium infeksi TB saat mikroba tersebut mulai masuk ke dalam alveolus.
Stadium 1
Makrofag akan memfagosit basil tuberkel dan membawanya ke kelenjar limfe regional
(hilus dan mediastinum). Basil ini kemudian akan berkembang biak, dihambat atau
dihancurkan, tergantung tingkat virulensi organisme dan pertahanan alamiah dalam hal
ini kemampuan mikrobisidal makrofag.Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan
komplemen C5a, yang memanggil monosit ke area infeksi. Makrofag yang mengandung
basil yang bermultiplikasi dapat mati dan memanggil lebih banyak monosit.

Stadium 2
Terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-21, basil tetap akan memperbanyak diri sementara
sistem imun spesifik belum teraktivasi dan monosit masih terus bermigrasi ke area
infeksi.
Stadium 3
Terjadi setelah 3 minggu, ditandai oleh permulaan imunitas selular dan respon Tdth.
Makrofag alveolar, yang pada saat itu telah menjadi limfokin yang diaktivasi oleh
limfosit T, menunjukkan peningkatan kemampuan untuk membunuh basil tuberkel

10 | M i n i P r o j e c t
intraselular. Proses ini menghasilkan kompleks ghon dan nekrosis kaseosa yang dapat
terbentuk.15
Stadium 4
Menunjukkan reaktivasi (sekunder atau post primer) stadium TB. Pada stadium terakhir
ini, basil akan lebih memperbanyak diri secara ekstraselular. Basil tuberkel akan
menyebar ke peredaran darah secara hematogen. Basil tuberkel biasanya tetap dalam
kondisi stabil sebagai dorman, sepanjang sistem imun penjamu masih intak.
Sekitar 10% individu yang terinfeksi berkembang menjadi penyakit TB pada waktu
tertentu dalam hidupnya, tetapi risiko ini lebih tinggi pada individu dengan penyakit
defisiensi imun seperti HIV/AIDS, sering mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan usia
lanjut. Faktor lainnya seperti kurang gizi, kemiskinan, individu alkoholik, juga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB.

Gambar 4. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Gambar 5. Gambaran Paru yang Terinfeksi Kuman TB

11 | M i n i P r o j e c t
2.8.1 Klasifikasi
A. Berdasarkan Organ yang Terkena
1.Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus
2.Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Gejala dan
keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang
kuat dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-
alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain.(Depkes RI, 2007)
B. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau
kultur)
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya

12 | M i n i P r o j e c t
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007)

2.9 Diagnosis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman
bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada
usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.
(Supriyatno, 2007)
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan
gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan, sedangkan pada kelompok
dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.(Zar HJ, 2001)
A. GejalaSistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada
pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
6. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).(Zar HJ, 2001)
B. GejalaLokal Paru
1. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
dihubungkan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CTscan dapat dilihat pembesaran nodus
limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang,
demam subfebris ditemukan pada onset penyakit.Sekiranya anak berkontak dengan
13 | M i n i P r o j e c t
individu dengan TB yang tes tuberkulinnya positif, diagnosis TB asimptomatis harus
segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang
teliti.(Madhi, 2000)
2. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen, yaitu fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan
dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling
terinfeksi.Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila
nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi
dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip
penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi
hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.(Supriyatno, 2007)
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perubahan diameter
saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Gejala yang paling sering adalah
batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus
dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.(Jeena,
2006)
3. TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosio-ekonomi yang rendah, serta pada anak dengan diagnosis
TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding
anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat
pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam,
anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri
dada dan hemoptisis.(Zar HJ, 20001)
4. Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir
tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari efusi pleuraberlangsung
cepat dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan
bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa
minggu.(Nelson, 2004)
14 | M i n i P r o j e c t
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, nilai keberhasilan
pengobatan, dan menetukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam 2 hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
Pemeksiaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
- Pemeriksaan mikroskopik biasa dimana pewarnaannya dilakukan dengan zehl
Nielson
- Pemeriksaan mikroskopik Flouresense dimana pewarnaannya dilakukan dengan
Auramin Rhodamin.
3 kali + atau 2 kali +, 1 kali - BTA +

1 kali +, 2 kali - Ulangi BTA 3 kali

Bila 1 kali +, 2 kali - BTA +

Bila 3 kali -, BTA -

Tabel interpretasi halis pemeriksaan TB paru

2. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan ini adlah metode radiometrik. Mikobakterium Tuberculosa
memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan di deteksi
groindeksnya oleh mesin ini. Bentuk lain teknih ini adlah memakai mikobakteria
groindikator tube (NGIT).
3. Pemriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk TB
paru. Laju endap darah jam pertama dan kedua dibutuhkan demikian pula kadar
limfosit mengambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah Foto Thoraks PA. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS + , Foto Thoraks tidak dibutuhkan lagi. Pada beberapa kasus dengan
hapusan + perlu dilakukan Foto Thoraks bila :
- Curiga adanya komplikasi
- Hemoptisis berulang atau berat
- Di dapatkannya 1 spesimen BTA +

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB aktif :

- Gambaran berawan / nodular di segmen apikal atau posterior lobus atas dan
segmenb superior lobus bawah paru.
- Kapitas terutama lebih dari 1, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier

15 | M i n i P r o j e c t
2.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding TB antara lain pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).
Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara
mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit pada
anak usia <2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.
(Behrman, 2002)
Pneumonia bakterial biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi
disertai menggigil dan sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul
perlahan, pasien tidak tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak
bertambah secara bertahap, melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok
usus). (Behraman, 2002)
Pada pemeriksaan laboratorium, pada pemeriksaan darah lengkap, didapatkan :
Pneumomia bakteri : leukositosis ( 15.000 40.000/mm3), dengan predominan
PMN.
Pneumonia virus dan pneumonia mikoiplasma : leukosit dalam batas normal
atau meningkat sedikit.
Kadang kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED )
menigkat (Behrman, 2002)
Pemeriksaan mikrobiologis dilakukan pada pneumonia berat. Spesimen yang diambil
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, fungsi pleura atau

16 | M i n i P r o j e c t
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila ditemukan kuman dari spesimen tersebut.
(Behrman, 2002)
Pemeriksaan yang dilakukan hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Secara
umum gambaran foto toraks terdiri dari :
a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler, dan
hiperaerasi
b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
penigkatan corakan peribronkial (Behrman, 2002)
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Lesi pneumonia anak terbanyak berada di
paru kanan, terutama di lobus atas. Jika ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah
itu merupakan predictor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.

2.11 Medikamentosa
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan
obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Minum Obat (PMO).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1) Komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana
kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan (Depkes RI, 2007)

17 | M i n i P r o j e c t
2.11.1 Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin,
gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR.(Chintu, 2002)
1. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam (dormant). Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.(Supriyatno, 2007)
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan
300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui proses
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa, sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi dari pada dewasa.
Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus
sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak
membahayakan.(Supriyatno, 2007)
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
18 | M i n i P r o j e c t
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali
bila ada gejala dan tanda klinis.(Supriyatno, 2007)
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10
mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.(Zar HJ, 2001)
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan
dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin,
digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450
mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran
BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa,
tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena
dapat menimbulkan malabsorpsi. (Supriyatno, 2007)
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam,
dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral
sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar
19 | M i n i P r o j e c t
serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan
pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid
tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan.(Supriyatno, 2007)
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25
gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa pada
pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.(Chintu, 2002)
Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna
merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang
belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir
mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada
anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan. (Supriyatno, 2007)
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
20 | M i n i P r o j e c t
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam. (Chintu, 2002)
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi
baik pada jaringan dan cairan pleura dan dieksresikan melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing.
Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat.(Supriyatno, 2007)

Tabel 2. Obat Anti Tuberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya


Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin* 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
* trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

Keterangan :
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

21 | M i n i P r o j e c t
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan). (Supriyatno,
2007)

2.11.2 Panduan Obat TB


Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip
dasar pengobatan TB pada anak adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan (2RHZ/ 4RH). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
(IDAI, 2008)
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M. tuberculosis (kuman tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh,
dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan
lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang
tidak berbeda makna dengan pengobatan 6 bulan. (Chintu, 2002)

2.11.3 Evaluasi hasil pengobatan


Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah
2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan
tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting
adalah evaluasi klinis, yaitu menghilangnya atau membaiknya kelainan klinis yang
sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.(Zar HJ, 2001)
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata atau luas seperti TB milier,
efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu
diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB
pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat

22 | M i n i P r o j e c t
digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.(Chintu,
2002)
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan
paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis
OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit atau penyerta,
serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak
perlu dilakukan secara rutin.(Chintu, 2002)

2.11.4 Evaluasi efek samping pengobatan


Seperti telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek
samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, gatal, serta demam.
Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. (Supriyatno,
2007)
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT) dan serum glutamic-pyruvictransaminse (SGPT) hingga 5 kali
tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan
bilirubin total lebih dari 1,5mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun
yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah. (Supriyatno, 2007)
Masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai pemantauan dan
penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa
pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit
yang berat seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang
memerlukan dosis isoniazid dan rifampisin lebih besar daripada dosis yang dianjurkan.
Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan.
Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya tiap 2 minggu)
selama 2 bulan pertama, selanjutnya dapat lebih jarang. (Supriyatno, 2007)
23 | M i n i P r o j e c t
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian
terapi, sedangkan peningkatan 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal disertai
gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin.
Akan tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif,
perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan
bahwa paduan pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman diberikan dengan
dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. Apabila
peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal
disertai gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase
diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai
laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dengan cara memberikan isoniazid dan
rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan
klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung penuh (full dose) dan
pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. (Supriyatno, 2007)

2.11.5 Putus obat


Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat
pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat
telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.(Supriyatno,
2007)

2.11.6 Multi Drug Resistance (MDR) TB


Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua
atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan
adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan.
Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa
dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat
tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang

24 | M i n i P r o j e c t
tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan meminum obat.(Supriyatno,
2007)
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalensi TB yang tinggi. Akan tetapi
diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan
MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-
TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak
benar, prevalensi MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar
yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka
prevalensi MDR-TB hanya 1,6% saja. Bila terjadi MDR, maka digunakan OAT lini
kedua seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Daftar OAT Lini Kedua untuk MDR-TB


Nama Obat Dosis Harian Dosis Efek Samping
(mg/kgBB/hari) Maksimal
(mg per
hari)
Ethionamide atau 15- 20 1000 muntah, gangguan
Prothionamide gastrointestinal,
sakit sendi

Fluoroquinolones
Ofloxacin 15-20 800
Levofloxacin 7,5-10
Mexifloxacin 7,5-10
Gentifloxacin 7,5-10
Ciprofloxacin 20-30 1500

Aminoglycosides ototoksisitas,
kanamycin 15-30 1000 toksisitas hati
amikacin 15-22,5 1000
capreomycin 15-30 1000

25 | M i n i P r o j e c t
Cycloserine 10-20 1000 gangguan psikis,
terizidone gangguan
neurologis

150 12 000 muntah, gangguan


Para-aminosalycylic gastrointestinal
Acid

2.12 Non-medikamentosa
2.12.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan
obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam
menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).Directly
observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi.(Supriyatno, 2007)
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu
sebagai berikut :
Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB. (Supriyatno, 2007)

2.12.2 Sumber penularan dan case finding


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

26 | M i n i P r o j e c t
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.(Supriyatno, 2007)
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau
yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin.(Chintu, 2002)

2.12.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang
baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan
gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang
optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai
TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak
menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,
kecuali pada TB berat.(Chintu, 2002)

2.12.4 Pencegahan
a. Imunisasi BCG
Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M. bovis
yang dibiak berulang selama 1-3 tahun, sehingga didapatkan kuman yang tidak virulen
tetapi masih mempunyai imunogenisitas. Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk neonates adalah 0,05 ml dan untuk bayi dan anak adalah 0,10 ml,
diberikan secara intradermal (intrakutan) di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu
struktur otot dan sebagai tanda baku, dan bila terjadi limfeadenitis BCG akan lebih muda
terdeteksi). Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (superfisial)
sehingga terbentuk suatu benjolan berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan
tampak gambaran pori-pori. (Supriyatno, 2007)
Cara pemberian vaksin BCG adalah sebagai berikut :

27 | M i n i P r o j e c t
1. Sebelum disuntikkan, vaksin BCG harus dilarutkan dengan 4 ml pelarut NaCl
0,9%. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril dengan jarum panjang.
2. Dosis pemberian 0,05 ml, sebanyak 1 kali, untuk bayi.

Gambar 12. Vaksin BCG

Petugas Imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi 2 bulan.


Pemberian BCG setelah usia 1 bulan lebih baik. Bayi yang diduga mempunyai kontak
erat dengan pasien TB aktif, atau yang akan diimunisasi pada usia 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG tidak perlu diulang sebagai booster,
demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulangan BCG
memberikan proteksi tambahan. (Supriyatno, 2007)
Bila kita melakukan vaksinasi BCG, akan timbul reaksi bengkak dan merah,
biasanya dalam waktu 4-6 minggu setelah penyuntikan. Akan tetapi, bila reaksi ini sudah
timbul dalam kurun waktu 1 minggu, maka disebut reaksi cepat BCG. Hal ini dapat
menjadi penanda kecurigaan adanya infeksi TB pada bayi tersebut, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan uji tuberkulin dan pemeriksaan lain. Akan
tetapi, melakukan vaksinasi BCG sebagai sarana diagnostik sebagai pengganti tuberkulin
tidak dibenarkan. Pada vaksinasi BCG rutin, perlu diinformasikan pada orang tua pasien
bahwa bila ada reaksi cepat setelah penyuntikan harus segera dilaporkan untuk evaluasi
lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB

28 | M i n i P r o j e c t
milier, meningits TB, TB sistem skeletal, dan kavitas. Imunisasi BCG relatif aman, jarang
menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping yang serius ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfeadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi
imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda
hingga bayi mencapai berat-badan optimal. (Supriyatno, 2007)
Limfadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi
BCG. Pembesaran kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar,
bahkan dapat timbul pus (supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG, akan terjadi
multiplikasi secara cepat, dan melalui sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe
regional. Reaksi pada sisi yang sama dengan vaksinasi dan kelenjar, bersama-sama
membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan komples primer akibat infeksi
TB alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan, dan
pembesaran pada kelenjar limfe regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan
penyakit (TB). Tidak ada patokan baku untuk pembesaran kelenjar itu normal atau
abnormal. Beberapa ahli sepakat menyatakan abnormal apabila ukurannya besar, dalam
arti mudah untuk diraba dan orang tua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar
limfe regional yang terlibat sebagian besar adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti
oleh kelenjar supraklavikula dan servikal. Limfadenitis BCG terjadi setelah 2 minggu
atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan. Umumnya kelenjar yang membesar soliter
meskipun ada yang multipel. (Supriyatno, 2007)
Ada dua jenis limfadenitis BCG, yaitu non-supuratif dan supuratif. Bentuk yang
non-supuratif biasanya muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan
menghilang dalam beberapa minggu tanpa ada sekuele yang berarti. Sedangkan pada jenis
supuratif timbul dalam beberapa bulan kemudian, pembesaran kelenjar dapat bersifat
progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat membentuk sinus pada
tempat penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan intensif terhadap luka yang
timbul, dan diperlukan beberapa bulan untuk dapat hilang secara spontan. Jenis supuratif
ini terjadi pada 30-80% kasus limfadenitis BCG. (Supriyatno, 2007)
Limfadenitis BCG biasanya tidak disertai demam, tidak nyeri pada tempat edema,
dan tidak didapatkan tanda-tanda yang menyokong ke arah TB seperti penurunan berat
badan, demam lama, dan nafsu makan yang berkurang. Pemeriksaan laboratorium, uji
tuberkulin, dan foto toraks kurang membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan

29 | M i n i P r o j e c t
hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari biopsi kelenjar kadang-kadang justru
membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan TB. (Supriyatno, 2007)
Tatalaksana limfadenitis BCG masih kontroversial. Pada limfadenitis tipe non-
supuratif biasanya tidak menjadi masalah, karena dengan penjelasan yang baik orang tua
akan dapat menerima. Akan tetapi, pada limfadenitis tipe supuratif terdapat beberapa
perbedaan dalam penanganannya. Pemberian antibiotik eritromisin dan OAT (isoniazid
dan rifampisin) pernah dilaporkan penggunaannya, tetapi hasilnya tidak memuaskan.
Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan dengan OAT tidak diperlukan karena tidak
efektif. Obat-obat lain yang digunakan biasanya berhubungan dengan komplikasi yang
timbul, misalnya perawatan luka. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfadenitis BCG, melainkan
hanya melakukan pemantauan. (Supriyatno, 2007)

2.13 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis
sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada
akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
immunocompromise. Contoh anak-anak dengan immunocompromise adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12

30 | M i n i P r o j e c t
bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan
untuk menilai respon dan efek samping obat.(Supriyatno, 2007)

2.14 Prognosis dan Komplikasi


2.14.1 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang baik, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen obat, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi
multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena
para dokter meresepkan regimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien
dalam menjalanin pengobatan.(Supriyatno, 2007)
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.(Kartasasmita, 2001)

Dikatakan hasil pengobatan pada pasien TB BTA positif :


Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal

31 | M i n i P r o j e c t
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (Dinkes, 2007)

2.14.2 Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran
ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua
yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan
pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah
hilus.(Supriyatno, 2007)

2.15 Pengetahuan
2.15.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan
atau suatu perubahan tingkah laku. (Notoatmodjo, 1993)
2.15.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan, yakni :
1. Tahu (Know)
Tahu merupakan pengetahuan hapalan yang meminta responden untuk
mengenal dan mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa
harus mengerti atau dapat menilai ataudapat menggunakan, hanya menuntut
untuk menyebutkan kembali atau menghapal saja.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan
meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
32 | M i n i P r o j e c t
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu komponen untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru, atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian-penilaian itu didasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

33 | M i n i P r o j e c t
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan rancangan
untuk mengetahui atau melihat gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji tahun 2015.
Serta mengadakan analisa tentang gambaran tersebut dengan pengamatan lisan dengan alat
bantu penelitian berupa kuesioner dan check list, dimana data dan informasi yang
menyangkut variable bebas dan variable terikat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan, ekonomis dan efektif dari
segi biaya dan waktu, sedangkan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji yang
memiliki presentase kejadian kasus Tuberkulosis Paru terbanyak pada tahun 2015,
yaitu Desa Mekar Sari kecamatan Buntu .

3.2.2 Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan pada 3 mei 2016 24 mei 2016

3.3 Metode Pengambilan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang
menjadi objek penelitian, atau populasi merupakan objek atau subjek yang berada
pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan
masalah penelitian (Riduwan, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah para orang
yang dicurigai menderita TB di kecamatan Buntu Pane. yaitu sebanyak 85orang.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan
dianggap dapat mewakili seluruh populasi. (Notoatmojo, 2002). Dalam hal ini sampel
diambil berdasarkan Rumus Taro Yamane atauSlovin, yaitu :
34 | M i n i P r o j e c t
n = N/ (N(d)2 + 1)

Keterangan rumus:
n= Jumlah Sampel
N= Jumlah Populasi yang diketahui
d= Presisi (ditetapkan 10 % dengan tingkat kepercayaan 95 %)
(Riduwan, 2009).

Jadi,besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebesar :


n = N / (N(d)2 + 1)
= 85 / (85 (0,1) 2+ 1)
n = 45,94 46sampel

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara Simple
Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak
tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut.
Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti dengan
melakukan kunjungan rumah pada responden sampai besar sampel terpenuhi untuk
mendapatkan data primer.

3.4Variabel Penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini dengan menggunakan variabel Independen/
Bebas dan variabel Dependen / Terikat. Dimana variabel bebas dalam penelitian ini adalah
tingkat pengetahuan dan sikapmasyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis Paru.Sedangkan,
variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi penyakit Tuberkulosis Paru di wilayah
kerja Puskesmas Prapat Janji.

35 | M i n i P r o j e c t
3.5 Definisi Operasional
Alat Cara Skala
No. Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur
Ukur Ukur Ukur
Variabel Independen
1. Tingkat Semua hal yang Data Wawan Kategori : Ordinal
Pengetahuan diketahui orang Subjekt cara 1. Kurang jika jawaban <70
Masyarakat mengenai penyakit if % dari total nilai
Tuberkulosis Paru 2. Tinggi jika jawaban 70
% dari total nilai
2. Sikap Suatu sikap dan Data Wawan Kategori : Ordinal
Masyarakat tindakan yang Subjekt cara 1. Kurang jika jawaban <50
dilakukan orang agar if % dari total nilai
terhindar dari 2. Tinggi jika jawaban 50
penularan penyakit % dari total nilai
Tuberkulosis Paru
Variabel Dependen
Prevalensi responden pernah Check Wawan 1. Ya Nominal
Tuberkulosis mengalami gejala list cara Bila pernah mengalami
Paru klinis penyakit batuk berdahak lebih dari 2
Tuberkulosis Paru. minggu, demam selama
{Batuk berdahak lebih dari 2 minggu tanpa
lebih dari 2 minggu, sebab yang jelas, BB yang
demam selama lebih semakin berkurang, tidak
dari 2 minggu tanpa ada nafsu makan, serta
sebab yang jelas, BB badan terasa lemah
yang semakin sehingga aktivitas fisik
berkurang, tidak ada anak berkurang
nafsu makan, serta 2. Tidak
badan terasa lemah Bilatidak pernah mengalami
sehingga aktivitas batuk berdahak lebih dari 2
fisik berkurang minggu, demam selama
lebih dari 2 minggu tanpa
sebab yang jelas, BB yang

36 | M i n i P r o j e c t
semakin berkurang, tidak
ada nafsu makan, serta
badan terasa lemah
sehingga aktivitas fisik
berkurang

3.6.1 Instrumen Penelitian


3.6.1 Instrumen yang digunakan
Instrumen dalam penelitian ini berupa pencarian duta TB (seseorang yang
pernah menderita TB sampai selesai masa pengobatan)di wilayah kerja puskesmas
Prapat Janji, dengan menggunakan pertanyaan dan wawancara dengan variasi
Dichotomous Choice dimana pertanyaan yang disediakan hanya memberikan 2
jawaban alternatif dan responden hanya memilih satu diantaranya. (Notoatmodjo,
2002)

3.6.2 Teknik Scoring


Untuk pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui wawancara langsung
tentang isi materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden berdasarkan
teori yang ada di tinjauan pustaka. Dengan metode skoring diberikan :
- Bila salah nilai = 0
- Bila benar nilai = 1
Dengan cara penilaian =
Nilai yang diberi x 100%
Jumlah item pertanyaan
Dengan kategori rendah jika jawaban <70% dari total nilai, dan kategori tinggi
70% dari total nilai (Riduwan, 2009)

3.7 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada masyarakat yang
tinggal di kecamatan Buntu Pane. Peneliti akan melakukan kunjungan rumah pada responden
untuk mendapatkan data penelitian. Data penelitian berupa :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan
37 | M i n i P r o j e c t
publikasi yang dilakukan sendiri. (Machfoedz, 2006). Data primer ini berupa data
identitas responden dan hasil wawancara (mengenai tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan sikap orang terhadap kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi),
serta wawancara langsung dengan masyarakat yang tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Prapat Janji.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang
lain atau studi kepustakaan. (Machfoedz, 2006). Data sekunder ini berupa
diperoleh dari Profil Puskesmas, laporan petugas Surveilans dan petugas P2M
Tuberkulosis Puskesmas Prapat Janji, serta data lainnya yang berasal dari studi
kepustakaan. Data sekunder ini berupa data jumlah penduduk, data ketenagaan dan
sarana kesehatan, mata pencaharian penduduk, data demografi Puskesmas Prapat
Janji, data penderita TB paru, serta tinjauan kepustakaan mengenai penyakit
Tuberkulosis Paru.

3.8 Pengolahan Data


3.8.1 Pengolahan Data
a. Penyuntingan Data (Editing Data)
Dilakukan penyuntingan data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh
adalah bersih yaitu data tersebut semua telah terisi, konsisten, relevan,
dan dapat dibaca dengan baik. Hal ini dikerjakan dengan meneliti setiap
hasil wawancara pada waktu penerimaan dari pengumpulan data.
b. Pengkodean Data (Coding Data)
Pengkodean data dilakukan dengan cara memberikan angka pada setiap
jawaban dengan maksud untuk mempermudah pengolahan data.
Pengkodean data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan seteliti mungkin
untuk menghindari kesalahan.
c. Tabulasi Data (Tabulating Data)
Setelah dilakukan editing dan coding data, maka selanjutnya dilakukan
pengelompokan data tersebut ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-
sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan.

38 | M i n i P r o j e c t
3.8.2 Teknik Analisa Data (Analysis Data)
Semua hasil data penelitian terlebih dahulu ditampilkan melalui tabel
distribusi frekuensi, kemudian analisa data dilakukan secara bertahap dari analisa
univariat dan bivariat. Pada penelitian ini analisa yang dipergunakan adalah analisa
univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dimana pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap
variabel. (Notoatmodjo, 2002)

3.9 Sarana Penelitian


Sarana yang digunakan pada penelitian ini antara lain :
1. biodata responden
2. Alat tulis dan perlengkapan kerja
3. Komputer
4. Buku referensi / sumber
5. Alat tulis dan alat hitung

39 | M i n i P r o j e c t
BAB IV.
HASIL MINI PROJECT

4.1 Profil Komunitas Umum Wilayah Penelitian


4.1.1 Letak Geografis
Kondisi geografis

Puskesmas Prapat Janjimerupakan salah satu dari 25 Kecamatan dan 18 puskesmas


yang ada di wilayah KabupatenAsahan, berjarak 19 km dari kota kisaran. Dengan luas
15.719 Ha, terdiri Dari 9 desa dan 73 dusun dengan keadaan alam terdiri dari dataran rendan
dan sedikit berbukitan

Batas administrasi KecamatanBuntu Pane terletak di antara beberapa


Kecamatanadalah :

- Sebelah Utara : KecamatanSetia Janji


- Sebelah Timur : KecamatanTinggi Raja dan kecamatan Pulo Bandring
- Sebelah Sel;atan : KecamatanTinggi Raja
- Sebelah Barat : KecamatanBandar Pasir Mandoge

Secara topografi, KecamatanBuntu Pane berada di wilayah Asahan bagian utara


berbatasan dengan KecamatanSetia Janji sampai daerah selatan mempunyai dataran rendah
yang berbatasan dengan Kecamatan tinggi Raja.

Berdasarkan luas wilayah KecamatanPrapat Janji yang terdiri dari 9 desa adalah
15.719 Km2 . dari luas daerah tersebut, desa yang paling luas wilayahnya adalah desa Buntu
Pane dengan luas 3315 km2 , 21 % dari luas wilayah KecamatanBuntu Pane . sedangkanluas
wilayah yang paling kecil adalah desa Mekar Sari dengan luas wilayah 481 Km2.

40 | M i n i P r o j e c t
4.1.2 Data Demografik / Kependudukan
Puskesmas Prapat Janji memiliki jumlah penduduk 22.985 jiwa yang tersebar
hampir merata diseluruh Desa yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas.

Tabel . Jumlah Penduduk per Kelurahan Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin
No. Kelurahan Laki-laki Perempuan
0 - 4 tahun 1.255 1.300
5 - 9 tahun 1.192 1.186
10 - 14 tahun 1.118 1.111
15 - 19 tahun 1.066 1.082
20-24 tahun 997 891
25 - 29 tahun 1.038 1.003
30 - 34 tahun 817 788
35 - 39 tahun 721 781
40 - 44 tahun 731 790
45 - 49 tahun 751 733
50 - 54 tahun 680 672
55 - 59 tahun 450 382
60 - 64 tahun 220 240
65- 69 tahun 127 184
70 - 74 tahun 117 178
75+ 180 204
Jumlah 22.985
Sumber : PKM, 2013

Masyarakat yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji sudah


sangat mengerti pentingnya manfaat pendiddikan. Adapun tingkat pendidikan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji.

41 | M i n i P r o j e c t
Tabel . Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Persentase ( % )

1. Tidak memiliki ijazah SD 2557 14,47


2. SD / MI 6065 34,32
3. SLTP / MTs 4528 25,62
4. SLTA / MA 3974 22,49
5. D III 267 1,51
6. D IV 284 1,61
7. 13,21
Sumber : kantor statistik kabupaten/kota

Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji mayoritas


memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Petani , hal tersebut juga
kemungkinan didukung masih luasnya areal yang kosong yang berada diwilayah kerja
Puskesmas Prapat Janji.

Grafik 2.1.Persentase Luas Wilayah Desa KecamatanPrapat Janji Tahun 2013

Sales
Buntu Pane
Prapat Janji
Mekar Sari
Sei Silau Timur
Perkebunan Sei Silau
Ambalutu
Karya Ambalutu
Lestari
Sionggang

Sumber: Balai Pusat Statistik Kabupaten Asahan

42 | M i n i P r o j e c t
2.2 Keadaan Penduduk

Berdasarkan data dari balai pusat statistik KabupatenAsahan , jumlah penduduk


Kecamatan Buntu Pane sebesar 22.985 orang , yang terdiri dari 11.460 laki-laki dan 11.525
wanita , secara Kecamatan rasio jenis kelamin penduduk KecamatanBuntu Pane tahun 2013
sebesar 99,44 yang artinya jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan jumlah
penduduk Laki laki. Jumlah penduduk terbesar berdasarkan umur adalah usia 0-4 tahun
sebanyak 2.477 orang dan yang paling sedikit umur 70 74 tahun sebanyak 297 0rang.

Grafik 2.2 estimasi pendudukmenurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2013

70 - 74

60 - 64

50 - 54

40 - 44 Perempuan
Laki Laki
30 - 34

20 - 24

10 -14

0-4

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Sumber: Balai Pusat Statistik Kabupaten Asahan

2.3 keadaan Ekonomi

Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam menentukan
keberhasilan pembangunan suatu wilayah, pembangunan ekonomi di upayahkan mampu
mendorong kemajuan baik fisik, sosial, mental dan spiritual. Untuk mengetahui tingkat
pengangguran, dilakuakn Surve Angkatan Kerja Nasional ( SAKAERNAS), dinilai tiap
daerah masing masing sampai tinggakt Kecamatan.

43 | M i n i P r o j e c t
Kemiskinan menjadi isu yang cukup menyita perhatian berbagai kalangan termasuk
kesehatan. Kemiskinan juga menjadi hambatan besar dalam memenuhi kebutuhan makanan
yang sehat sehingga dapat melemahkan daya tahan tubuh yang berdampak pada kerentanan
untuk terserang penyakit.

2.4 Keadaan Pendidikan

Kondisi pendidikaan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam
mengukur tingkat pembangunan suatu wilayah. Melalui tingakat pengetahuan dan
pendidikan berkontribusi terhadap perubahan kesehatan lingkungan

2.5 kesehatan Lingkungan

Lingkungna merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus
dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat bersama dengan faktor prilaku, pelayanan
kesehatan dan genetik menetukan baik buruknya status kesehatan masyarakat, untuk
mengambarkan kesehatan lingkungan sebagai indikator seperti akses terhadap air bersih dan
air minum yang aman, akses terhadap sanitasi dasar, tempat umum dan pengelolahan makana
sehat, institusi dibina kesehatan lingkungannya, rumah sehat yang diperiksa bebas dari jentik
nyamuk

Dari gambaran data-data yang terdapat diatas, dapat dikatakan bahwa dalam rentang
waktu yang relatif singkat, pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kabupaten Asahan
khususnya di Wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji telah menunjukan hasil yang cukup
berarti, hal ini tidak terlepas dari kinerja semua unsur/elemen Pemerintah Daerah khususnya,
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji.

44 | M i n i P r o j e c t
Tabel 9. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Prapat Janji
Kasus
No Jenis Penyakit Jumlah

1 Penyakit Saluran Pernafasan Atas (ISPA) 1643


2 Hipertensi 434
3 Gangguan gigi Penyangga 300
4 Penyakit Kulit Alergi 292
5 Penyakit pada otot dan jaringan ikat 199
6 Diare 144
7 Penyakit Mata 115
8 Gangguan Saluran pernafasan bawah 45
9 Infeksi Usus dan Saluran Cerna 31
10 Diabetes Melitus 24

Sumber : PKM, 2015

Berikut ini adalah tabel penemuan kasus baru penyakit Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji pada tahun 2015 :

Tabel 10. Jumlah Kasus Baru Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Prapat Janji Tahun 2015-2016
No. Kelurahan Laki-laki Perempuan
1. Buntu Pane 1 0
2. Prapat Janji 1 0
3. Mekar Sari 3 0
4. Sei Silau Timur 1 0
5. Perkebunan Sei Silau 0 0
6. Ambalutu 0 0
7. Karya Ambalutu 0 2
8. Lestari 1 0
9. Sionggang 0 1
Jumlah 7 3
Sumber : PKM, 2015-2016

45 | M i n i P r o j e c t
Dari data tabel 10. diketahui penemuan kasus baru Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji pada tahun 2015-2016 adalah sebanyak 10
kasus baru, dengan kasus terbanyak yaitu di kelurahan Mekar Sari (sebanyak 3 kasus
baru) dan Karya Ambalutu (sebanyak 2 kasus baru).

4.1.3Sarana dan Prasarana


Puskesmas Prapat Janji memiliki 3 pustu yaitu Pustu Mandoge, Ambalutu dan
Sei Silau Timur yang posisi tempatnya telah terjangkau ke seluruh desa yang jauh dari
Puskesmas Induk.
Di Puskesmas Prapat Janji saat ini telah memiliki laboraturium sederhana yang
dapat dipergunakan untuk pelayanan pemeriksaan sederhana seperti Pemeriksaan Hb,
Golongan Darah, Pemeriksaan Gula Darah, Kolesterol, dan Asam Urat.

4.1.4 Ketenagaan
Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Prapat Janji saat ini adalah
sebagai berikut:
Dokter Umum PNS dan PTT : 2 orang
Dokter Gigi : 0 orang
S1. Keperawatan : 2 orang
S1. Kesehatan Masyarakat : 2 orang
D3 Keperawatan : 2 orang
D3 Perawat : 2 orang
D3 Kebidanan : 1 orang
D4 Bidan : 0 orang
D1 Bidan : 2 orang
Perawat Gigi : 0 orang
Assisten Apoteker : 1 orang
D3 Analis Kesehatan : 1 orang
Sanitarian : 1 orang
Nutrisimis : 1 orang
Tenaga Sukarela (TKS) : 3 orang

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Puskesmas Prapat Janji masih
membutuhkan seorang tenaga Dokter Gigi untuk menunjang program dan kegiatan
46 | M i n i P r o j e c t
lainnya. Untuk pelayanan dapat berjalan dengan baik dengan koordinasi yang baik
dengan Dinas Kesehatan. Sementara di pelayanan kesehatan di desa sudah dapat
dilayani dan ditanggulangi oleh Petugas Pustu dan Bidan Desa.

4.2 Analisa Univariat


4.2.1 Pembagian Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan kelompok umur responden penelitian dapat dilihat pada tabel.
berikut ini :

Tabel . Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Responden di


Puskes Prapat Janji Tahun
No. Umur (Th) Jumlah Presentase (%)
1. 15 sampai 30 tahun 17 20%
2. 31 sampai 40 tahun 10 11,76%
3. 41 sampai 50 tahun 24 28,24%
4. Lebih dari 50 tahun 34 40%
Jumlah 85 100%

Sales

20 %
40 %

11,76%
15-30
31-40
28,24%
41-50
>50

Dari tabel dan diagram di atas,diketahui bahwa dari 85 orang responden,


sebagian besar responden berumur>50 tahun yaitu sebanyak 34 orang (40%).

47 | M i n i P r o j e c t
4.2.2 Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden penelitian dapat dilihat pada tabel
13. berikut ini :

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden


di Kecamatan Prapat Janji
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)
1. Tidak Memiliki Ijazah 6 7,05%
2. Tamat SD 32 37,64%
3. Tamat SMP 18 21,18%
4. Tamat SMA 22 25,89%
5. Tamat Akademi / Perguruan Tinggi 7 8,23%
Jumlah 85 100%

8,23%
7,05%

25,89%
Tidak Memiliki Ijazah
37,64%
Tamat SD
Tamat SMP
21,18%
Tamat SMA
Tamat Akademik

Dari tabel dan diagram di atas,diketahui bahwa dari 85 orang responden,


sebagian besar responden merupakan tamatan SD yaitu sebanyak 32 orang responden
(37,64).

48 | M i n i P r o j e c t
4.2.3Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat :

Tabel .Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Responden


di Kecamatan Prapat Janji
No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)
1. Rendah 40 47,06%
2. Tinggi 45 52,94 %
Jumlah 85 100%

Sales

52,94%

Rendah
Tinggi

47,06%

Dari tabel dan diagram di atas,diketahui bahwa dari 85 orang responden,


sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai penyakit TB,
yaitu sekitar 45 orang (52,94%), sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah sebanyak 45 orang (47,06%).

49 | M i n i P r o j e c t
4.2.4Pembagian Responden Berdasarkan Sikap
Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat pada tabel
berikut ini :

Tabel . Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Responden di Kecamatan


Prapat Janji
No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)
1. Kurang Baik 35 41,17%
2. Baik 50 58,83%
Jumlah 85 100%

Sales
58,83%

Kurang Baik
Baik
41,17%

Dari tabel dan diagram di atas,diketahui bahwa dari 85 orang responden,


sebagian besar yaitu sekitar 50 orang responden (58,83%) memiliki sikap yang baik
dalam hal menyikapi permasalahan TB, sedangkan 35 orang responden (41,17%)
memiliki sikap yang kurang baik.

50 | M i n i P r o j e c t
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan mengambil responden (sampel) dari masyarakat yang
tinggal di wilayah tinggi kasus TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji, yaitu di Desa
Mekar Sari. Sebanyak 46 orang responden terlibat dalam penelitian ini.
Responden pada penelitian ini sebagian besar berusia > 50 tahun, yaitu sebanyak 34
orang, kemudian usia terbanyak kedua adalah usia 31 sampai 40 tahun, yaitu sekitar 10
orang, berusia 41 sampai 50 tahun, yaitu sekitar 24 orang dan sisanya usia 15-30 tahun 17
Orang.
Karena penelitian ini menggunakan teknik random sampling, maka jenis kelamin dan
tingkat pendidikan dari responden beragam. Pada penelitian ini, sebagian besar responden
merupakan tamatanSD yaitu sebanyak 32 orang responden, responden yang merupakan
tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sebanyak 18 orang responden, yang merupakan
tamatan akademi atau perguruan tinggi sebanyak 7 orang responden, serta yang tidak
memiliki ijazah 6 orang.

5.2Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakatmengenai TB


Penelitian ini bersifat deskriptif untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap penyakit TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji. Meskipun
saat ini hanya ditemukan 10 kasus TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji, namun bukan
berarti penyakit ini tidak berbahaya. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pengendalian
yang melibatkan seluruh sektor, baik dari petugas Puskesmas, pemerintah setempat, maupun
seluruh elemen masyarakat agar penanggulangan TB dapat segera ditingkatkan sehingga
morbiditas dan mortalitas dapat berkurang.
Dalam penelitian ini, baik tingkat pengetahuan masyarakat maupun sikap masyarakat
itu sendiri mengenai TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji dikategorikan baik,
sehingga masih sedikit yang menderita TB.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,wawancara dengan masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Prapat janji, didapatkan gambaran tingkat pengetahuan masyarakat
mengenai TB yaitu dari 85 orang responden, sekitar 40 orang memiliki tingkat pengetahuan

51 | M i n i P r o j e c t
rendah mengenai penyakit TB dan sisanya sekitar 45 orangmemiliki tingkat pengetahuan
tinggi mengenai penyakit TB.
Selain itu, pengetahuan mengenai penatalaksanaan TB pada baik dari segi pencegahan
ataupun pengobatan juga sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat agar morbiditas dan
mortalitas karena TB dapat berkurang. Selain tingkat pengetahuan, sikap masyarakat dalam
menyikapi permasalahan TB ini juga tidak kalah pentingnya
Sikap masyarakat dalam menghadapi problema TB ini sangatlah penting. Masyarakat
harus semakin tanggap dan waspada dalam menyikapi permasalahan TB, terutama dalam hal
pencegahan dan pemantauan minum obat terhadap penderita TB. Peran serta masyarakat
sangatlah penting untuk menyikapi permasalahan TB ini, dan diharapkan masyarakat mau
membantu menanggulangi permasalahan TB, di lingkungan sekitarnya.

52 | M i n i P r o j e c t
BAB VI.
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat
Janji dikategorikan baik, sehingga sedikit sekali yang menderita TB. Namun,
pengetahuan masyarakat tetap harus ditingkatkan agar morbiditas dan mortalitas
karena penyakit TB dapat berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
b. Sikap masyarakat mengenai TB di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji
dikategorikan baik. Namun, masyarakat harus semakin tanggap dan waspada dalam
menyikapi permasalahan TB, terutama dalam hal pencegahan dan pemantauan minum
obat terhadap anak penderita TB. Peran serta masyarakat sangatlah penting untuk
menyikapi permasalahan TB ini, dan diharapkan masyarakat mau membantu
menanggulangi permasalahan TB, di lingkungan sekitarnya.

3.7 Saran
1. Untuk Masyarakat
- Masyarakat dalam hal ini terutama bidan desa dan kader di Posyandu diharapkan
untuk lebih berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menanggulangi permasalahan TB.
- Masyarakat diharapkan agar lebih cepat membawa keluarga ke fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat bila keluarga mengalami gejala-gejala TB seperti demam lebih
dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 2 minggu, nafsu makan
berkurang, berat badan berkurang dalam 1 bulan, dan lainnya. Selain itu,
diharapkan kepada masyarakat agar turut memeriksakan ke pelayanan kesehatan
terdekat bila berkontak langsung dengan penderita TB,

2. Untuk Puskesmas
- Lebih menggalakkan penyuluhan mengenai TB, mulai dari apa itu TB, gejala
klinis, hingga penatalaksanaannya, baik mengenai pencegahan maupun
pengobatannya, serta komplikasi yang dapat ditimbulkan dari TB itu sendiri, agar
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap TB meningkat.
53 | M i n i P r o j e c t
- Tetap mengedukasi kepada setiap pasien dewasa penderita TB yang berobat ke
Puskesmas Prapat Janji tentang pencegahan penyakitnya karena orang dewasa
yang menderita TB merupakan sumber penularan kepada anak-anak di sekitarnya.
3. Untuk Dinas Kesehatan
- Diharapkan dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang
sesuai untuk menyikapi permasalahan TB di Kabupaten Asahan agar prevalensi
TB dapat berkurang.

54 | M i n i P r o j e c t
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, et al. 2010.Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.Surabaya : Ilmu Penyakit Paru


Universitas Airlangga
2. Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
3. Chintu C, Mudenda V, Lucas S. 2002. Lung Diseases at Necropsy in African Children
Dying from Respiratory Illnesses : a Descriptive Necropsy Study. Berlin : Lancet
4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
pertama edisi ke 2. Jakarta : Depkes RI
5. Donald PR. 2004. Chilhood Tuberculosis. Berlin: Springer
6. Hassan, et al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Infomedika.
7. Jeena PM, et al. 2002. Impact of HIV-1 Co-infection on Presentation and Hospital-
related Mortality in Children with Culture Proven Pulmonary Tuberculosis in Durban,
South Africa. Berlin : Spinger
8. Kartasasmita CB, et al. 2001.Penapisan dan Pengobatan Tuberkulosis pada Anak
Sekolah Dasar di Majalaya.Bandung : MKB
9. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Jakarta : IDAI
10. Lienhardt C, et al. 2003. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Sub-Sahara
Africa. Berlin : Springer
11. Madhi SA, et al. 2000. Increased Disease Burden and Antibiotic Resistance of
Bacteria Causing Severe Community-aquired Lower Respiratory Tract Infections in
Human Immunodeficiency Virus type I Infected Children. Berlin : Springer
12. Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
13. Nelson LJ, et al. 2004. Global Epidemiology of Childhood Tuberculosis. Berlin :
Springer
14. Notoatmodjo S. 1993.Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Arti
Pendidikan.Yogyakarta : PT. Andi Offset
15. Riduwan. 2009. Pengantar Statistika. Bandung : Alfabeta
16. Rikesdas.2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta : Depkes RI
17. Soeparman. 1990.Ilmu Penyakit Dalam - FKUI. Jakarta : Fakultas Kediokteran
Universitas Indonesia

55 | M i n i P r o j e c t
18. Supriyatno B, et al. 2007. Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak Edisi ke-2. Jakarta :
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
19. Kandun, I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit TB. Jakarta : EGC
20. Zar HJ, et al. 2001. Etiology and Outcome of Pneumonia in Children Hospitalized in
South Africa. Berlin : Springer

56 | M i n i P r o j e c t
LAMPIRAN I
Foto Kegiatan

57 | M i n i P r o j e c t

You might also like