You are on page 1of 17

EBN

EFEKTIFITAS LATIHAN ROM DENGAN LATIHAN ROM + SEFT TERHADAP


KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE DI V RSUD TASIKMALAYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas :

Mata Ajar : Sistem Saraf

Pembimbing/Koordinatr :

Ns. Wasijati

Disusun Oleh :

Al Zalfa Madliyah S ( 11151004 )

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian terapi ROM atau latihan gerakkan sendi merupakan tindakan yang
dilakukan perawat untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot. Latihan Range of Motion adalah suatu latihan yang
dilakukan untuk menilai dan meningkatkan fungsi sistem muskuloskeletal dan juga
merupakan salah satu terapi lanjutan pada pasien stroke yang bertujuan untuk
meningkatkan aliran darah otak, meminimalkan kecacatan yang ditimbulkan,
sehingga dapat memperbaiki fungsi sensorimotorik. Tujuan untuk mengetahui
kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah dan
mencegah kelainan bentuk pada pasien stroke. Rentang gerak pasif ini berguna untuk
menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain
secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi
yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada
ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

Kekuatan otot adalah sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban
eksternal (external force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot
sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan
sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi.

Pasien penderita stroke dapat mengalami gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam
beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda
sesuai dengan daerah yang terganggu. Tindakan ini sebagai pencegah terjadinya
kelumpuhan atau kelemahan pada otot.

Dengan gambaran tersebut maka pentingnya bagi perawat untuk dapat melakukan
tindakan terapi ROM atau latihan gerakkan sendi sehingga dapat membantu pasien
untuk menjaga kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Dengan penyusunan makalah jurnal dengan tema EFEKTIFITAS LATIHAN
ROM DENGAN LATIHAN ROM + SEFT TERHADAP KEKUATAN OTOT
PASIEN STROKE DI V RSUD TASIKMALAYA menambah referensi tindakan
mandiri perawat berdasarkan ilmu dan fakta yang dapat di lakukan di lahan
praktek untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan STROKE
NON HEMORAGIK.

2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami manfaat pemberian terapi ROM untuk menjaga
kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah
dan mencegah kelainan bentuk.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan peran perawat spesialis dalam melakuan
pemberian terapi ROM dalam menajaga kekuatan otot, memeliharan mobilitas
persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk.
c. Mahasiswa mampu menilai aplikabilitasi penatalaksaan pemberian terapi
ROM untuk menjaga kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk.
d. Mahasiswa mampu membuat rencana penatalaksaan pemberian terapi ROM
untuk menajaga kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk.

C. Manfaat
Setelah menyelesaikan jurnal EFEKTIFITAS LATIHAN ROM DENGAN
LATIHAN ROM + SEFT TERHADAP KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE DI
V RSUD TASIKMALAYA mahasiswa/perawat dapat :

1. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan perawat dalam memberikan


asuhan kepada stroke.
2. Didapatkan suatu panduan aplikasi untuk melakukan pemberian terapi ROM
menajaga kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian, merangsang sirkulasi
darah dan mencegah kelainan bentuk.

D. Sistematika
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang tujuan dan sistematika
penulisan, bab II konsep dasar , bab III hasil analisis jurnal, dan bab VI penutup.
BAB II

KONSEP DASAR

A. ROM ( Latihan Gerak Sendi )


Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan
perawat pada setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa
atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien
dengan paralisis ekstermitas total. Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan
pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. Tujuan untuk
mengetahui mempertahankan kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk pada pasien stroke.
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian
dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.
Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot, dan konstruksi
sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan. Pada potongan
sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari tangan dan siku) dan
hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan
adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan transversal,
gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan eksternal (lutut),
dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki). Ketika mengkaji rentang gerak, perawat
menanyakan pertanyaan dan mengobservasi dalam mengumpulkan data tentang
kekakuan sendi, pembengkakan, nyeri, keterbatasan gerak, dan gerakan yang tidak
sama. Klien yang memiliki keterbatasan mobilisasi sendi karena penyakit,
ketidakmampuan, atau trauma membutuhkan latihan sendi untuk mengurangi bahaya
imobilisasi. Latihan tersebut dilakukan oleh perawat yaitu latihan rentang gerak pasif.
Perawat menggunakan setiap sendi yang sakit melalui rentang gerak penuh. Gerakan
dapat dilihat sebagai tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya eksternal lain
dalam ruang geraknya melalui persendian. Bila terjadi gerakan, maka seluruh struktur
yang terdapat pada persendian tersebut akan terpengaruh, yaitu: otot, permukaan
sendi, kapsul sendi, fasia, pembuluh darah dan saraf.

1. ROM Aktif
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien)
dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri
sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75
%. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan
cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada
ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari
kaki oleh klien sendri secara aktif.
2. ROM Pasif
ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari
orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan
persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klienpasif).
Kekuatanotot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total
(suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain
secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh
atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri.

B. Kekuatan Otot
Kekuatan otot ialah kemampuan otot atau kelompok otot untuk melakukan kerja
dengan menahan beban yang diangkatnya. Otot yang kuat akan membuat kerja otot
sehari-hari efisien dan akan membuat bentuk tubuh menjadi lebih baik. Otot-otot yang
tidak terlatih karena sesuatu sebab, misalnya kecelakaan, akan menjadi lemah oleh
karena serat-seratnya mengecil (atrofi); dan bila hal ini dibiarkan maka kondisi
tersebut dapat mengakibatkan kelumpuhan otot.

1. M. Triceps adalah otot yang terletak di sepanjang lengan atas. Berfungsi


meluruskan lengan atas di siku dan meluruskan lengan.
2. M. Biceps adalah otot lengan atas. Berfungsi untuk menekuk lengan.
3. M. Brachialis adalah otot kecil yang terletak disebelah luar biceps.
Berfungsi Sendi Siku (Fleksi).
4. M. Brakiorodialis adalah otot lengan bawah. Berfungsi : bertindak untuk
melenturkan lengan bawah pada siku.
5. M. Anconeus adalah otot kecil pada aspek posterior dari sendi siku.
Berfungsi meluruskan siku dengan lemah dan memutar ulna untuk
menghadapkan telapak tangan ke bawah.
6. M. Deltoideus adalah otot yang membentuk struktur bulat pada bahu
manusia, biasanya digunakan untuk melakukan suntikan indra mskular.
Berfungsi mengangkat lengan menjauhi tubuh ke depan, samping dan
belakang.
7. M. Biceps brachi adalah terletak didekat dengan permukaan kulit sehingga
mudah terlihat. Berfungsi untuk menekuk lengan atas ke siku dan
memutar telapak tangan ke atas.
8. M. Teres minor adalah otot tebal dan bulat kecil ada belikat. Berfungsi
untuk memtar lengan ke luar.
9. M. Teres major adalah otot yang tebal dan bulat. Berfungsi untuk
melekatkan, melonggarkan dan memutarkan lengan ke arah medial.
10. M Abdector Polsis brevis adalah otot ditangan yang berfungsi menarik ibu
jari kedala menuju telapak tangan.
11. M Aponeurosis Palmar adalah otot yang menjadi titik pelekatan bagi kulit
dan melindungi tendon dibawahnya.
12. M Fleksor karpi ulnaris adalah otot lengan bawah manusia. Berfungsi
melenturkan tangan, ataupun menekuk dan menarik pergelangan tangan
kedalam.

C. Persiapan Pasien
Tindakan ROM ini guna meningkatkan mobilisasi sendi. Hal ini merupakan tindakan
yang aman untuk orang dewasa atau lansia. Kontra indikasi untuk dilakukannya
tindakan ini adalah apabila terdapat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan A-AROM (Active-Assistive ROM,
adalah jenis ROM Aktif yang mana bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah
secara manual atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan bantuan
untuk menyelesaikan gerakan). Dan untuk pengaturn posisinya dapat diatur sesuai
dengan area mana yang mengalami kelemahan otot dan persendian yang tidak dapat
digerakan. Yang perlu diperhatikan pada saat pelaksanaan kegiatan ini antara lain :
Status tanda-tanda vital pasien dalam batas normal.
Pastikan juga riwayat kesehatan pasien tidak berisiko untuk melakukan tindakan
ROM ini, seperti mengalami TIK, atau fraktur tulang.
Pastikan fungsi kognisi pasien dapat berfungsi dengan baik, sebab dalam
pelaksanaan partisipasi dan pemahaman pasien terhadap teknik dan prosedur
yang diajarkan harus dapat diterima dengan baik.

D. Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak, biasanya merupakan kulminasi penyakit serebrovaskuler
selama beberapa tahun (Smeltzer, 2001). Stroke merupakan sindrom klinis yang
timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global
yang berlangsung 24 jam atau lebih, bisa juga langsung menimbulkan kematian yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak n on traumatik (Mansjoer, 2000).
Stroke digunakan untuk menamakan sindrom hemiparesis atau hemiparalis akibat lesi
vaskular yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai hari, tergantung pada jenis
penyakit yang menjadi kausanya.
Manifestasi klinis CVA atau stroke adalah kehilangan motorik disfungsi
motorik yang paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada otak yang berlawanan,
hemparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada awal stroke biasanya paralisis
menurunnya reflek tendon dalam, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi,
kerusakan kognitif dan efek psikologis, disfungsi kandung kemih. Gambaran
terjadinya stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian yaitu :
1. Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala
adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami
pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan
yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau
embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan
tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia
pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada
beberapa jam atau hari.
2. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
3. Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
4. Haemorrhagi serebral
- Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawata n segera. Keadaan ini
biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah
arteri meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam
cedera untuk mempertahankan hidup.
- Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi
epidural, kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena
robek. Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda
atau gejala.
- Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran
aneurisme pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena
kongenital pada otak.
- Haemorrhagi intracerebral adalah perdar ahan di substansi dalam
otak paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis
serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila ha emorrhagi membesar, makin jelas
defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran
dan abnormalitas pada tanda vital.

E. Hemiparesis
Hemiparesis berarti kelemahan pada satu sisi tubuh. Contohnya, pasien dapat
mengeluhkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang mengarah pada lesi hemisfer
serebri kontralateral. Dalam mendiagnosis, harus dilakukan pertanyaan lebih lanjut
dan mendetil mengenai waktu terjadinya gejala sehingga dapat mengklarifikasikan
perjalanan patologis dari lesi ini. Hubungan antara waktu dengan penyebab
neuropatologis spesifik, dengan mengambil contoh lesi hemisfer serebri dengan gejala
kelemahan tubuh kontralateral:
Onset yang cepat dan kejadian ikutan yang statis member kesan suatu kejadian
vascular (stroke), yaitu perdarahan atau infark.
Suatu kejadian dengan progresi lambat lebih mengarah ke lesi berupa massa,
yaitu tumor.
Kejadian yang berulang dengan pola remisi umumnya mengarah pada proses
inflamasi atau demielinisasi kronik, contohnya: sklerosis multiple.
Pada gangguan aliran darah otak (stroke), gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang
terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan
pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot dan
spastisitas kontralateral serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi ocular
(deviation conjugee akibat kerusakan area motorik penglihatan), hemianopsia (
radiasi optikus), gangguan bicara motorik dan sensorik (area bicara broca dan
wernicke dari hemisfer dominan), gangguan persepsi spasial, apraksia, hemineglect
(lobus parietalis).
BAB III

PEMECAHAN MASALAH MELALUI ANALISIS JURNAL

A. Analisa PICO

1. Problem
Berat ringannya stroke tergantung dari bagian mana yang
mengalami kerusakan akibat pengumpulan darah atau perdarahan, besar atau
luasnya kerusakan dan seberapa banyak yang mampu ditanggulangi atau diatasi.
Stroke umumnya mengenai extremitas yang berlawanan, biasanya kelumpuhan
pada ekstremitas kanan disertai dengan gangguan bicara, kecuali pada orang kidal.
Tingkat kerusakan di daerah korteks serebri selalu diikuti dengan perbedaan
derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai, hal ini dikarenakan area ini
dialirkan oleh dua arteri yaitu arteri serebri anterior dan arteri medial. Sedangkan
pada tingkat kapsula interna derajat kelumpuhan relatif sama antara lengan dan
tungkai oleh karena area ini hanya dilalui oleh satu arteri yang sama yaitu arter
lentikulostriana.
Problematik penderita paska stroke sangat kompleks dan individual, namun
ada problem dasar yang sama meskipun dalam derajat yang berbeda. Problematik
tersebut timbul akibat hilangnya atau terganggunya kontrol (inhibisi)terhadap
mekanisme refleks postural normal serta beberapa refleks primitif yang lain.
Mekanisme refleks yang normal terdiri dari reaksi-reaksi tegak (righting
reactions) dan reaksi keseimbangan (equilibrium reactions).
Reaksi tegak (righting reactions) ini memungkinkan terjadinya pengaturan
posisi kepala terhadap tubuh dan ruang, posisi normal ekstremitas terhadap tubuh
dan memungkinkan terjadinya gerakan rotasi tubuh pada sumbunya dalam
aktivitas sehari-hari, misalnya; berguling, berdiri, berjalan dan sebagainya, dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa reaksi tegak merupakan pola dasar
gerakan. Sedangkan reaksi keseimbangan (equilibrium reactions) berfungsi untuk
mempertahankan atau mendapatkan kembali keseimbangan tubuh. Reaksi ini
sangat kompleks dan dapat berupa kontraksi otot (tanpa adanya gerakan) atau
berupa gerakan-gerakan reflektoris.

2. Intervention
Tindakan pemberian ROM merupakan salah satu tindakan mandiri perawat yang
sangat memungkinkan untuk dilaksanakan secara mandiri dan terbukti efektif
didalam membantu untuk memelihara mobilitas dan melancarkan sirkulasi darah,
mencegah terjadinya kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur. Terapi ROM
didasarkan pada prinsip memelihara mobilitas dengan mempergunakan gaya dan
dilakukan secara hati-hati sehingga pasien tidak kelelahan. Tujuan melakukan
terapi ROM untuk mengetahui kekuatan otot, memeliharan mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk pada pasien stroke.
Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan, siku,
bahu,tumit kaki dan pergelangan kaki. ROM dapat di lakukan pada semua
persendian atau hanya pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses
penyakit.

3. Comparison
Berbagai strategi yang dilakukan untuk membantu memelihara mobilitas
persendian adalah dengan latihan menggenggam bola, berdasarkan hasil penelitian
ternyata terapi ROM merupakan tindakan yang lebih efektif untuk membantu
menjaga mobilitas persendian.

4. Outcome
setelah dilakukan terapi ROM diharapkan dapat memelihara mobilitas persendian
dan menjaga kekuatan otot pasien.

B. Analisa Jurnal/EBN
1. Jurnal Pendukung
a. PENGARUH LATIHAN ROM (RANGE OF MOTION) PASIF
TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT PADA PASIEN
STROKE DENGAN HEMIPARASE Penelitian ini dilakukan oleh Herin
Mawartidan Farid di beberapa rumah sakit.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa hasil dari kekuatan otot sebelum dan
sesudah dilakukan latihan ROM pasif 2x sehari pada pasien stroke dengan
hemiparase, dengan nilai sig.= 0.000. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini ada pengaruh latihan ROM pasif 2x sehari terhadap peningkatan
kekuatan otot pada pasien stroke dengan hemiparase. Artinya bahwa ada
perbedaan sangat bermakna rata-rata kekuatan otot sebelum dengan sesudah
latihan menggenggam bola diukur dengan handgrip dinamometer.

Namun review penelitian tersebut jika dibandingkan dengan terapi ROM lebih
efektif dari pada menggenggam bola.
1. Pembahasan
a. Validity
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Rohimah didapatkan
bahwa tindakan terapi ROM lebih efektif untuk membantu memelihara
mobilitas persendian.

Penelitian yang dilakukan oleh Winona Prok dan kawan-kawan tentang kepuasan
menunjukan perbedaan yang signifikan dalam kepuasan pasien selama latihan
menggenggam bola dengan 43%. Pasien menunjukan pergerakan dan
perkembangan mobilitas setelah dilakukan terapi ROM..

b. Importance
Mempertahankan kekuatan otot merupakan prioritas utama pada pasien
dengan gangguan pada system saraf. Berbagai usaha dilakukan untuk
membantu pasien dalam mempertahankan kekuatan otot dan mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut (mencegah kelainan bentuk pada pasien
stroke). Otot adalah

c. Applicability
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk membantu memelihara
mobilitas persendian dan kekuatan otot. Tindakan ini terbukti lebih efektif
disbanding dengan alternative tindakan-tindakan yang lain melalui berbagai
penelitian (EBN).
Tindakan ROM merupakan salah satu tindakan mandiri perawat yang amat
sangat memungkin untuk dilakakukan oleh perawat tanpa harus menunggu
intruksi dari profesi lain. Tindakan ini relative mudah untuk dilakukan prawat
dengan segala pendidikan, karena pada dasarnya tindakan ROM merupakan
salah satu tindakan dasar yang harus diajarkan dalam kurikulum pendididkan
keperawatan.

C. Rencana Penerapan

Setelah seluruh hasil studi dan literature yang mendukung dianalisis dan disintesis,
tahap selanjutnya adalah melakukan uji coba intervensi/prosedur baru. Berikut ini beberapa
kegiatan dalam tahap uji coba EBN:
1. Menentukan tujuan
2. Mengumpulkan data dasar
3. Membuat design/petunjuk penerapan EBN
4. Mengimplementasikan EBN pada unit percontohan
5. Melakukan evaluasi proses dan evaluasi hasil
6. Memodifikasi pedoman yang ada dilahan praktik
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Aplikasi Di Klinik

Teknik terapi ROM yang dilakukan oleh beberapa perawat seperti yang umumnya
dilakukan dirumah sakit-dirumah sakit lainnya, yaitu hanya sekedar melakukan terapi
ROM dibagian yang dicurigai mengalami proses penyakit. Dimulai dengan
pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot
secara manual ( manual muscle testing, MMT ). Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mengetahui kemampuan mengontraksikan kelompok otot secara volunteer. Lansia
yang tidak mampu mengontraksiakan ototnya secara aktif dan volunteer, tidak tepat
apabila diberikan MMT standar. Proses pelaksanaan MMT :
1. Lansia diposisikan sedemikian rupa sehingga otot mudah berkontraksi sesuai
dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus memungkinkan kontraksi otot
dan gerakan mudah diobservasi.
2. Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian yang menghambat.
3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4. Lansia mengontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen
proksimal.
5. Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada
tendon atau perut otot.
6. Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan luas gerakan sendi
penuh dan dengan melawan gravitasi.
7. Melakuakan pencatatan hasil MMT

Cocokkan hasil dengan nilai kriteria tersebut. ROM harus dilaksanakan secara
berulang, perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien. Dalam
merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda
vital dan lamanya tirah baring. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan
ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki. ROM
dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang di
curigai mengalami proses penyakit serta harus sesuai waktunya.

B. Peran Perawat Spesialis


Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan tahun1989 terdiri dari peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik, koordinator,
konsultan, dan peneliti yang dapat digambarkan sebagai berikut (Hidayat, 2008).
BAB V
KESIMPULAN

1. Pada pelaksanaan tindakan ROM, yang pertama kali harus dipastikan kondisi pasien
tidak mengalami kondisi yang merupakan kontra indikasi untuk dilakukannya ROM.
2. Kemudian posisikan pasien senyaman mungkin.
3. Lakukan gerakkan ROM pada pasien secara perlahan.
4. Pastikan pasien tidak merasa kelelahan saat melakukan ROM.
5. Langkah selanjutnya adalah libatkan pasien dan keluarga pasien akan tindakan yang
dilakukan.
6. Berikan jeda waktu pada pasien untuk melemaskan otot-otot dan berikan pasien
minum.
7. Kemudian atur posisi pasien sesuai tindakan yang akan dilakukan (tirah baring kanan
atau tirah baring kiri).
8. Minta pasien untuk melakukan tindakan ROM dengan mandiri.
9. Setelah tindakan, observasi lokasi yang dilakukan ROM (leher, jari, lengan, siku,
bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki) dengan sebelum tindakan dan sesudah
tindakan.
10.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart association. (2010). Heart deases and stroke statistic: our
guide to current statistics and the suplement to our heart and stroke fact- 2010
update.http://www.americanheart. org. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
Anonim. (2003).
2. Complications stroke during hospitalization. http://www.strokecenter.org.
Diakses tanggal 24 Desember 2011 Ariawan, I. (1998).
3. Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Jakarta : Jurusan
Biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. Arikunto, S. (2010).
4. Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rhineka Cipta.
Astrid. (2008). Tesis : Pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap
kekuatan otot, luas gerak sendi dan kemampuan fungsional pasien stroke di
RS Sint Carolus Jakarta. Depok : Program Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak
dipublikasikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2008).
5. Laporan nasional riskesda 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Diakses dari
http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 20 Desember 2010
Bagg, S., Pombo, A.P. & Hopman, W. (2002).
6. Effect of age functional outcomeafter stroke rehabilitation. American Stroke
Association, 33 ; 179-185 Bethesda Stroke Centre. (2007).
7. Faktor resiko stroke usia muda. Black,J.M., & Hawks,J.H., (2009)
8. Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes, 8th
Edition. St Louis Missouri : Elsevier Saunders. Broadley, S.A. & Thompson,
P.D., Time to hospital admission for acute stroke. The Medical Journal of
Australia 2003 178 (7): 329-331. Castledine, G. (2002).
9. The important aspects of nurse specialist role. British Journal of Nursing, 11(
5), 350

You might also like