You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya
atau sulit. Stress membuat tubuh memproduksi hormon adrennaline yang
berfungsi untuk mempertahankan diri, karena stress merupkan bagian dari
hidup manusia. Tidak jarang pula bahwa stress adalah dampak dari suatu
penyakit yang diderita seseorang, dan penyakit yang sering kambuh, seperti
kejang, epilepsi.
Sistem saraf adalah sistem organ pada manusia yang terdiri atas
serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan
esensial untuk persepsi sensori indrawi, aktivitas motorik volunter dan
involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologi tubuh. Sistem saraf mrupakan jaringan paling rumit dan paling
penting karena terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung
dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Kelainan pada
sistem saraf sangat banyak, dan yang sering terjadi dan dikenal masyarakat
adalah epilepsi.
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di Dunia (2000
tahun SM) dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah
gangguan peredaran darah otak (Harsono, 1996). Dengan tatalaksana yang
baik sebagian besar penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun
masih ditemukan banyak kendala, di Indonesia diantaranya kurangnya
dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter dan tim medis dalam
menangani dan menanggulangi penyakit ini. Walaupun penyakit ini telah
dikenal lama oleh masyarakat, namun masih saja banyak istilah-istilah
untuk penyakit ini karena beragamnya kebudayaan, seperti sawan, ayan,
sekalor, dll. Akan tetapi pengertian penyakit ini masih kurang bahkan salah
sehingga penderita masih saja digolongkan dalam penyakit gila, kutukan,
dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan disembunyikan.
Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak terdiagnosis dan mendapat

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 1


pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia belum ada data epidermiologis yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000- 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam sistem kesehatan Nasional.
Oleh karena pentingnya pengetahuan untuk mengobati dan mencegah
terjadinya penyakit ini sejak dini serta masih melekatnya faktor kebudayaan
yang salah pada penderita epilepsi, maka perlu dibahas asuhan keperawatan
pada kasus epilepsi lebih dalam. Gangguan ini sangat penting untuk dibahas
karena sangat dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Gangguan ini tentu
bisa merusak aspek psikologi dan psikososial penderita dan diperlukan
asuhan keperawatan yang holistik sebagai sarana promotif, prevetif dan
kuratif yang efektif sehingga dapat menurunkan risiko gangguan sistem
saraf.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari Epilepsi?
2. Apakah penyebab terjadinya Epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya Epilepsi?
4. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan penyakit Epilepsi?

1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan gangguan pada saraf
Epilepsi.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui definisi dan klasifikasi tentang epilepsi
2. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi epilepsi.
3. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi epilepsi.
4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis epilepsi.
5. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis epilepsi

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 2


6. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada epilepsi

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada
ganguan sistem saraf Epilepsi serta dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada ganguan sistem saraf Epilepsi, khususnya
untuk mahasiswa keperawatan.
2. Dosen
Makalah ini dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana mahasiswa
mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai
bahan pertimbangan dosen dalam menilai mahasiswa.

3. Masyarakat umum
Masyarakat umum dapat mengambil manfaat dengan mengetahui
definisi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis
dan asuhan keperawatan pada ganguan sistem saraf Epilepsi.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 3


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem
saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur.

Gambar 1. Sistem saraf

Dalam hal ini diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama:
1. Input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui
reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik)
maupun internal (reseptor viseral).
2. Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik
yang menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis,
yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus,
sehingga respons terhadap informasi bisa terjadi.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 4


3. Output motorik. Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh
respins yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai
efektor.

Sistem saraf berfungsi untuk mengumpulkan dan memproses


informasi, memberikan reaksi terhadap berbagai rangsangan, dan
mengatur kerja berbagai sel. Sistem saraf terdiri dari sistem saraf pusat
dan sistem saraf perifer.

2.2 Sistem saraf Pusat


Sistem saraf pusat atau central nervous system (CNS) berfungsi
untuk menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menyimpan
informasi sensoris yang datang, seperti informasi mengenai rasa, suara,
bau, warna, tekanan pada kulit, kondisi organ internal, dan lain-lain.
Sistem saraf pusat juga mengirimkan pesan untuk otot, kelenjar, dan organ
internal. Secara konseptual, sistem saraf pusat dapat dikatakan memiliki
dua komponen, yaitu otak dan saraf tulang belakan (spinal cord). Saraf
tulang belakang bermula dari dasar otak, kemudian menjulur di sepanjang
bagian tengah punggung dan dilindungi oleh tulang punggung. Saraf
tulang belakang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan otak
dengan bagian-bagian lain dari tubuh yang terletak di bawah leher.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 5


Gambar 2. Sistem saraf pusat

2.3 Sistem Saraf Perifer


Sistem saraf prifer atau PNS berfungsi menangani pesan informasi
yang masuk dan keluar dari sistem saraf pusat. Sistem saraf perifer
meliputi semua bagian dari sistem sarf yang terletak di luar otak dan saraf
tulang belakng, sampai saraf-saraf ujung jari tangan dan jari kaki.
Sistem sarat tepi adalah sistem saraf yang berada pada paling ujung
sistem saraf. Sistem saraf tepi langsung berhubungan reseptor saraf.
Sistem saraf tepi biasa juga disebut dengan sistem saraf perifer. Kerja
sistem saraf tepi ada dua macam, ada yang bekerja dalam sistem sadar, dan
ada pula diluar kesadaran otonom. Sistem saraf tepi berada diluar sistem
saraf pusat, dan tidak dilindungi oleh rangka khusus, sehingga mudah
mengalami kerusakan, seperti terpapar racun, luka akibat benturan dan
lani-lain. Tetapi kerusakan sistem saraf tepi biasanya mudah mengalami
regenerasi dan tidak terlalu berefek negatif dalam skala besar, mengingat
jumlah sel dalam sistem saraf tepi sangat banyak.
Sistem saraf tepi, berdasarkan tipenya dibedakan menjadi dua,
yaitu:

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 6


1. Saraf Sensorik/Aferen
Berfungsi menghantarkan informasi dari reseptor sensorik menuju
sistem saraf pusat (penerimaan stimulus).

2. Saraf Motorik/Eferen

Berfungsi menghantarkan informasi dari sistem saraf pusat menuju


otot/kelenjar (dari sinilah terjadi gerak respon).

Dilihat dari letaknya, sistem saraf tepi bisa dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu:

1. Saraf Kranial (sistem saraf yang berada dikepala, terdiri dari 12 pasang
saraf)
2. Saraf spinalis/ sumsum tulang belakang (terdiri dari 31 pasang saraf, yang
dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang).

Gambar 3. Sistem saraf perifer

Sedangkan, jika dilihat dari cara kerjanya, sistem saraf tepi dibedakan
menjadi:

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 7


1. Saraf Simpatis (bekerja untuk merangsang/memacu kerja organ-organ
tubuh)
2. Saraf parasimpatis (bekerja menstabilkan kembali aktivitas organ-organ
tubuh).

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 8


BAB III
EPILEPSI

3.1 Definisi

Epilepsy adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih
bangkitan. Sebagai besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal
primer diotak dan bukan sekunder oleh sebab sistemik. Penyakit epilepsi
telah dikenal lama di masyarakat (terbukti dengan adanya istilah-istilah
bahasa daerah untuk penyakit tersebut seperti sawam, ayan, sekalor, dan
celengan), tapi pengertian akan penyakit tersebut masih kurang bahkan
salah sehingga penderita digolongkan dalam penyakit gila, kutukan dan
turunan akibatnya penderita tidak diobati atau bahkan disembunyikan.
Harsono (2007) menambahkan bahwa hal tersebut mengakibatnya banyak
penderita epilepsi tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak
tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan
baik bagi penderita maupun keluarganya.

Harsono (2004) memaparkan bahwa masyarakat awam menganggap


epilepsi atau ayan merupakan penyakit akibat adanya gangguan di otak atau
disebabkan oleh kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan dikaitkan
dengan nama roh atau setan sehingga terapinya juga didasarkan atas
kekuatan spriritual. Masyarakat juga menganggap epilepsi sebagai penyakit
yang memalukan atau menakutkan karena dianggap menular melalui buih
yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan. Sedangkan
menurut (kumala et al,1998) Epilepsi adalah kelompok sindrom yang
ditandai dengan gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal yang
dimanefestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang
episodic, fenomena motorik yang opnormal, gangguan psikis, sensorik, dan
system otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh aktifitas listrik otak.
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 9


sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran,
gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif),
gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).
Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang
epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi

Banyaknya masalah psikologis bagi penderita epilepsi yang


disebabkan karena tekanan internal maupun tekanan eksternal akan beresiko
mengalami gangguan keberfungsian dalam hidup, baik di sekolah, di tempat
kerja maupun di tempat umum lainnya. Hal ini disebabkan karena penderita
epilepsi selalu merasa cemas kalau serangan epilepsinya akan kumat
ditambah lagi persepsi masyarakat yang negatif terhadap penyakit epilepsi.

Terdapat dua klasifikasi epilepsi yaitu:

1. Epilepsi serangan parsial atau fokal


Epilepsi parsial sederhana
Pada epilepsi ini hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau
mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu akan berbicara
yang tidak dapat dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi,
atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
Epilepsi parsial kompleks
Pada epilepsi jenis ini melibatkan gangguan fungsional serebral
pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses
berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara
otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau
mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau
peka rangsang.
2. Epilepsi umum
Kejang umum atau sawan tonik-klonik primer yang dulu dikenal
sebagai epilepsi grand-mal, awalnya dimulai dengan kehilangan
kesadaran dan disusul dengan gejala motorik secara bilateral, ini dapat
berupa ekstensi tonik dari semua ekstremitas selama beberapa menit,
disusul oleh gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot tersebut.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 10


Beberapa penderita dapat menunjukkan komponen tonik saja atau klonik
saja atau klonik-tonik-klonik. Segera sesudah sawan berhenti kesadaran
belum pulih dan penderita tertidur. Kadang-kadang sebelum sawan ada
gejala prodromal berupa kecemasan yang tidak menentu atau rasa tidak
nyaman.
Serangan tonik-klonik umum dapat terjadi pada segala usia, namun
paling sering terjadi pada umur 0-20 tahun. Serangan berlangsung
selama 2-5 menit. Pascaserangan, penderita tampak mengantuk sekali
selama beberapa menit sampai beberapa jam. Setelah sadar pernapasan
kembali normal secara berangsur-angsur, penderita mengalami amnesia
parsial dan kadang-kadang ada keluhan nyeri kepala. Penderita serangan
tonik-klonik umum primer maka serangan epilepsi biasanya muncul
pada saat tidak tidur (Harsono, 2001).

3.2 Etiologi

Terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan epilepsy, yaitu

1. Factor fisiologis
2. Factor biokimiawi
3. Factor anatomis
4. Gabungan factor-faktor diatas
5. Penyakit yang pernah diterima (trauma lahir, trauma kapitis, radang
otak, tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly
kongenital otak, degenerasi susunan saraf pusat, gangguan
metabolism, gangguan elektrolit, keracunan obat atau zat kimia,
jaringan parut factor herediter).

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit


di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya
dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui
sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma
kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 11


otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West
syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi
(epilepsyi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan
bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan
epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon
progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di
dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan
epilepsi.

Tabel Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) 1. Hipoksia dan iskemia
paranatal
2. Cedera lahir intrakranial
3. Infeksi akut
4. Gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
5. Malformasi kongenital
6. Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) 1. Idiopatik


2. Infeksi akut
3. Trauma
4. Kejang demam
Remaja (12- 18 th) 1. Idiopatik

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 12


2. Trauma
3. Gejala putus obat dan alcohol
4. Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) 1. Trauma
2. Alkoholisme
3. Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) 1. Tumor otak
2. Penyakit serebrovaskular
3. Gangguan metabolik (uremia,
gagal hepatik, dll )
4. Alkoholisme

3.3 Patofisiologi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem
listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-
sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara
berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi
dapat terjadi sesudah gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh
derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesenfalon, talamus, dan korteks
serebri kemungkinan besar bersifat epiloptogenik, sedangkan lesi pada
serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran
sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif
dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan
terangsang secara berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol,
pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju
ke arah epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
mmemberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai
gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 13


Status epilepsi menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat
mempengaruhi pernapasan.. terdapat beberapa kejadian henti napas pada
puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak.
Episode berulng anoksia dan pembengkakan serebral dapat menimbulkan
kerusakan otak janin yang tak reversibel dan fatal. Faktor-faktor pencetus
epilepsi meliputi gejala putus obat antikonvulsan, demam, dan infeksi
penyerta.
Secara patologi, fenomena biokimia sel saraf yang menandai
epilepsi:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf.
2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3. Polarisasi abnormal.
4. Ketidakseimbangan ion.

3.4 Manifestasi klinis

Sebelum membicarakan gejala-gajala yang berhubungan dengan


epilepsi, perlu dibedakan anatara sawan epilepsi dan sindrom epileptik
atau penyakit epilepsi. Sawan epileptik menurut klasifikasi yang dirancang
oleh international league against epilepsy ( ILAE) 1981, dibagi atas tiga
tipe :

1. Sawan parsial, yang berasal dari daerah tertentu dalam otak. Sawan
ini dibagi menjadi:
Sawan parsial sederhana
Sawan parsial kompleks
Sawan umum sekunder
2. Sawan umum primer, yang sejak awal seluruh otak terlibat secara
bersamaan. Sawan ini dibagi menjadi :
Sawan tonik-klonik
Sawan lena
Sawan mioklinik
Sawan tonik saja

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 14


Sawan klonik saja
Sawan atonik.
3. Sawan yang tidak terklaisfikasikan.
Sawan parsial sederhana ditandai dengan kesadaran yang tetap baik
dan dapat berupa:
a. motorik fokal yang menjalar atau tapa menajalar
b. grakan versif, dengan kepala dan leher menengok ke satu sisi, atau
c. dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menlar atau sensorik
khusus berupa halusinasi sederhana.
Pada sawan parsial kompleks didapat adanya gangguan kesadaran
dan gejala psikis atau gangguan fungsi lpuhur, umpamanya disfasia, deja-
vu, jarnalis-vu, keadaan seperti mimpi. Ilusi, halusinasi, sederhana atau
kompleks. Otomatisme bukan manifestasi khusus pada sawan parsial
kompleks. Tapi dapat terjadi karena sawan lena, dan pada pasca sawan
tonik klonik. Penderita sering menjadi bingung, disorientasi, selama
beberapa menit pasca sawan parsial kompleks ini.
Sawan parsial dapat beubah menjadi sawan jenis lain melalui beberapa
tingkatan, hal ini menunjukkan adanya penyebaran lepasan listrik ke
berbagai bagian otak. Suatu sawan parsial dapat dimulai sebagai sawan
parsial sederhana beruba menjadi sawan parsial kompleks dulu disusul
oleh sawan umum tonik-klonik sekuder. Sawan parsial merupakan yang
paling sering gijumpai, dan lebih dari 60% sawan kategori ini. Sawan ini
dikenal sebagai epileps psikomotor.
Sawan umum tonik klonik primer yang dulu dikenal sebagai epilepsi
grand-mal. Awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul
dengan gejala motorik secara bilateral, ini dapat berupa ekstensi tonik dari
semua ekstremitas selama beberapa menit. Disusul oleh gerakan-gerakan
klonik

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 15


3.5 Penatalaksanaan

Prinsip terapi epilepsi

Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interna


atas-OAE (obat anti epilepsi), dan harga obat.
Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai
dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat
hasil yag optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal.
Jika bangkitan tidak teratasi, secara bertahap ganti ke OAE lini kedua
sebelum pemberian politerapi.
Konseling. Beritahukan pada keluarga dan pasien bahwa penggunaan
OAE jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen
(meskipun penyebab dasara kejang dapat menimbulkan keadaan demikian)
dan pencegahan kejang 1-2 tahun dapat menurunkan kemungkinan
bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus sepengetahuan
dokter.
Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas
OAE. Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara
periodik pada beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang
fungsi neurologis secara rutin.
Penangan jangka panjag. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekura ng-kurangnya 1-2 tahun.
Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian
pengobatan dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan
ketat karena dapat mencetuskan bangkitanatau bahkan status epileptikus.
Jika bangkitan timbul selama atau sesudah penghentian pengobatan, OAE
harus diberikan lagi sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

Untuk keberhasilan pengobata epilepsi, disamping etepatan diagnosa dan


jenis OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita
menghadapi penyakit epilepsi.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 16


Memulai pengobatan.
Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi kedua kali bangkitan dalam
selang waktu yang tidak lama (maksimum 1 tahun)
Pada umumnya bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali
bila terdapat kemungkinan berulang yang tinggi.
Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu
OAE, kecuali mengganggu penderita.

Obat-obat anti epilepsi.


1. Karbamezepin. Efektif untuk epilepsi parsial terutama epilepsi parsial
kompleks, epilepsi umum tonik-klonik, maupun kombinasi kedua jenis
epilepsi ini. Karbamazepin tidak efektif untuk epilepsi absens, epilepsi
atonik.
Mekanisme kerja : inhibisi kanal Na+ dan inhibisi Ca+ tipe L.
Dosis dan pemberian : untuk menghindari efek samping,
titrasi untuk mencapai
kadar terapeutik harus dilakukan perlahan.
a. Dewasa: dimulai dari dosis 100-200 mg pada malam hari
atau 2 dd 100 mg, kemudian setelah 3-7 hari ditingkatkan
menjadi 2 dd 200 mg. setelah 1 minggu, kadar karmazepin
darah diperiksa dan dosis dapat dinaikkan setiap interval 3-
7 hari untuk mencapai kadar 4-12 g/L. kadar dalam darah
sebaiknya diperiksa setiap 4-6 minggu karena terdapat
kemungkinan terjadiautoinduksi metabolisme, sehingga
dosis perlu ditingkatkan.
Dosis: rumatan untuk dewasa: 600-1600 mg/hari, maksimal
2400 mg/hari.
b. Anak-anak: dosis awal 5-10 mg/kg/hari. Pemberian: 2 kali
sehari. Kadar terapeutik : 4-12 g/L
Efek samping

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 17


a. Berkaitan dengan dosis : pusng, diplopia, mual, muntah,
sedasi, leukopenia ringan, hiponatremia, dan bradiaritmia
(pada oang tua)
b. Idosinkratk : ruam (termasuk sindrom steven-john-son),
agranulositis, gagal hati, pankreatitis, dan lupus-like
syndrome.
c. Kronis : ostopnia (mungkin dapat dicegah dengan
pemberian vitamin D dan kalsium).
d. Teratogenik
Interaksi
a. Karbamezepin mengurangi efektifitas klonazepam,
etosuksimid, primidon, valproat, topiromat, fenitonin,
fenobarbitalkontraseps oral, disopyramide, rifampin,
ketoconozale, meperidine, warfarin, tacrolimus, proteas
inhibitor, trazodone, and quinidine.
b. Kadar karmazepin diturunkka oleh fermobital dan
fenitonin.
c. Kadar karmazepin ditingkatkan oleh eritromisin dan
propoxyphne hydrochloride
2. Fenitonin. Efektif untuk epilepsi parsial dan tonik klonik tidak efektif
untuk absens dan epilepsi mioklonik. Mekanisme kerjanya mirip
dengna karbamazepin.
Dosis pemberian :
a. Dewasa : loading dose oral 2 dd 500 mg atau 3 dd 300 mg.
Rumatan : 300-400 mg/hari dibagi 2.
b. Anak-anak. 4-5 mg/kg/hari, makslam 8 mg/kg.
Pemberian : biasanya 2 kali sehari, tetapi dapat juga 1 kali
sehari.
Kadar terapeutik : 10-20 g
Efek samping :
Berkaitan dengan dosis : pusing, ataksia, diplopia, dan mual.
Idionsinkratik

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 18


Kronis : hiperplasi gusi, hisrutisme, ostpnea, dan
pseudolimfoma.
Teratogenik.
3. Benzodiazepin:
a. Diazepam. jarang digunakan per oral, tetapi sering diguanakan
secara intravena atau per rektal untuk pengobatan status
epileptikus. Apabila diberikan secara intravena, onset kerjanya
seitar 1-2 menit, tetapi masa kerjanya hanya 15-20 menit.
Dosis dan pemberian :
Dewasa : 5-20 mg/hari
Anak-anak : 0,3-0,5 mg/kg/hari.
Efek samping : mengantuk kelemahan otot, depresi pernafasan,
konfusi, konstipasi, depresi, diplopia, disartria, nyeri kepala,
hipotensi, mual, inkontinensia, vertigo, dan pandangan kabur.
4. Klonazepam : merupakan terapi tambahan untuk epilepsi mioklonik
atau atonik. Dan kadang-kadang untuk epilepsi parsial. Waktu
paruhnya 20-40 jam, mungkin lebih ;pendek apabila diberikan bersama
penginduksi enzim.
5. Fenorbital : fenorbital dapat diberikan pada epilepsi umu, tetapi
bukan merupakan obat pilihan pertama sebab efek sampingnya berupa
penurunan fungsi kognitif.
6. Valporat : dikenal dengan OAE spektrum luas, efektif untuk epilepsi
tipe lena, epilepsi mioklinik, epilepsi umum tonik maupun tonik-
klonik.
Efek samping : berkaitan dengan dosis gangguan pencernaan,
anoreksa, tremor, dan trombositopeni. Idiosinkiratik. Kenaikan berat
badan, kerontoka rambut dan perubahan struktur kulit. Teratogenik.

3.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 19


degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan. Gambaran EEG menunjukkan cetusan polyspike-wave dan
fotosensitivitas

Typical recording of spike-wave type (generalized seizure)

3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.


Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
Menilai fungsi hati dan ginjal
Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal untuk mengetahui apakah terjadi infeksi otak

3.7 Komplikasi

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 20


1. Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang berulang ulang.
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
3. Komplikasi utama yang berkaitan dengan kejang umum.
4. Kejang disebabkan oleh kontak neuro serebral yang beraturan, cepat
dan tiba-tiba.

3.8 Prognosis
1. Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami epilepsy
akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat

2. 20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis


pengobatan semakin sulit 5 % di antaranya akan tergantung pada
orang lain dalam kehidupan sehari-hari

3. Pasien dg lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental,


dan gangguan psikiatri dan neurologik prognosis jelek

4. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada


populasi umum.

3.9 Status Epileptikus


Pada keadaan status epileptikus, penderita mengalami serangan
sawan yang berkepanjangan tanpa diselingi oleh pulihnya kesadaran.
Sawan tonik-klonik adalah sawan yang paling sering mengalami status.
Penyebab status ini karena penderita tidak minum obat dengan teratur atau
adanya kelainan sistemik misalnya hipoglikemia. Bahaya status ini ialah
terjadinya aritmia kordis, kegagalan respirasi, edema paru, asidosis
metabolik, dan hiperpireksia.
Urutan penatalaksanaan penderita dewasa denganstatus epileptikus
sebagai berikut:
1. 0-5 menit

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 21


Evaluasi fungsi kardiorespiratorik, anamnesis, pemeriksaan fisik dan
neurologik, periksa kadar glukosa, BUN, elektrolit, PaO2, beri
oksigen.
2. 6-9 menit
Pasang infus dengan dekstrosa 5%, beri 50 ml glukosa 40% intravena
3. 10-30 menit
Diazepam 10 mg intravena dan dapat diulang -1 jam kemudian bila
masih ada sawan, atau difenilhidantoin 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg/menit intravena. Selama pemberian
difenilhidantoin dilakukan pemantauan EKG dan tekanan darah.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 22


BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
4.1.1 Anamnesa
Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering
kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya
epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcoho
(alcoholic)
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau
keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan
karena klien yang mengalami penurunan kesadaran
secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang
klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak
baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering
berhenti mendadak bila diajak bicara.
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan
tidak sadarkan diri.
Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum, cedera kepala,
infeksi system saraf, gangguan metabolik, tumor otak,
dll.
4.1.2 Pemeriksaan Fisik (ROS)
1. B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat
terjadi apnea, aspirasi
2. B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3. B3 (brain): penurunan kesadaran

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 23


4. B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine.
Pada pemeriksaan sistem kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini brhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi. Pemenuhan nutrisi pada pasien epilepsi
menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
6. B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang. Pada fase
akut saat kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan
otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
aktivitas perawatan diri.

4.1.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,
bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkn timbulnya
kejang ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hiprnatremia,
uremia dll. Penting juga diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin pula disertai kejang.

2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto rontgen kepala dapat dilihat adanya kelainan-
kelainan pada tengkorak. Klasifikasi abnormal dapat dijumpai
pada toksoplasmosis, penyakit inklusi sitomegalik, sklerosis
tuberosa, kraniofaringeoma, meningeoma, oligodendroglioma.

3. Pemeriksaan Psikologis atau Psikiatris


Untuk diagnostik bila diperlukan dilakukan uji coba yang dapat
menunjukkan naik turunnya kesadaran, misalnya test Bourdon-
Wiersma.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 24


4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang,
serta penurunan tingkat kesadaran.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

3. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder


respons pascakejang (postikal).
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kebingungan, malas
bangun sekunder respons pascakejang.
5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan terhadap
penyakit.
6. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat
epilepsi.

4.3 Intervensi dan Rasional


Diagnosa 1 : Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang
berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat
kejang, serta penurunan tingkat kesadaran.

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam perawatan, klien bebas dari cedera
yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.

Kriteria Hasil : klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang,


menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk
menurunkan intensitas kejang.
- Tidak ada cedera fisik
- Pasien dalam kondisi aman
- Tidak ada memar dan tidak jatuh

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 25


Intervensi dan Rasional
1. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi
pasien.
2. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang
pasien.
3. Kaji karakteristik kejang.
4. Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan
5. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus
dilakukan selama pasien kejang.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang (diazepam,
lorazepam dll).

Diagnosa 2: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan


dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1x24 jam,


jalan nafas menjadi efektif

Kriteria hasil :
- TTV normal ( TD: 110 /70 -120/80 ,RR : 16- 20 x/mnt, N : 60 -
100x/mnt , S : 36,5 -37,50 C )
- Tidak ada sianosis
- Pasien tidak sesak nafas

Intervensi dan Rasional


1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat
tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala
awal.
1. Observasi TTV

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 26


2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan
kepala selama serangan kejang.
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan
indiksi.
5. Kolaborasi : pemberian O2

4.4 Evaluasi

Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar


Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan
aspirasi
Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar,
pasien tidak menarik diri (minder)
Pola napas normal, TTV dalam batas normal
Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan
aktifitas sehari- hari secara normal
Organ sensori dapat menerima stimulus dan
menginterpretasikan dengan normal.
Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
Status kesadaran pasien membaik

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 27


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah kelompok sindrom yang ditandai dengan
gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal yang
dimanefestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran
yang episodic, fenomena motorik yang opnormal, gangguan psikis,
sensorik, dan system otonom, gejala-gejalanya disebabkan oleh
aktifitas listrik otak. Epilepsi dapat disebabkan oleh:
1. Factor fisiologis
2. Factor biokimiawi
3. Factor anatomis
4. Gabungan factor-faktor diatas
5. Penyakit yang pernah diterima

5.2 Saran
setelah disusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dan
masyarakat mengetahui apa itu penyakit epilepsi dan bagaiman
asuhan keperawatannya, karena melihat bahwa penyakit epilepsi
adalah penyakit yang dipandang sebelah mata di masyarakat
sehingga berdampak buruk bagi penderitanya. Dengan mengetahui
tentang konsep keperawatn pada penyakit epilepsi, diharapkan
dapat meningkatkan kehidupan sosial bagi penderita.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 28


DAFTAR PUSTAKA

Sloane, ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula: Jakarta. EGC

Wade, Carole dan Travis carol. 2001. Psikologi edisi 9: Jakarta. Erlangga

Dewanto, George & Budi, Riyanto dkk. 2007. Diagnosis & Tata laksana penyakit
saraf: Jakarta. EGC

Harsono. 2007. Neurologi Edisi ke 2: Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Markam, Soemarmo. 2009. Penuntun Neurologi: Tangerang. Binarupa Aksara

Battica, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan System


Persarafan: Jakarta. Salemba Medika

Lynda Juall C. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Marilyn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 3.


Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Jual-Moyet. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta : EGC.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A.C. 2000. Rencana asuhan
keperawatan. (Edisi 3). Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Asuhan Keperawatan Klien dengan Epilepsy 29

You might also like