You are on page 1of 11

SARAH QONITAH

04011381419145
GAMMA

Asthma

I. Definisi

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronis saluran
napas.

Asma memiliki dua fitur utama:


1. Riwayat gejala pernapasan seperti mengi, napas pendek, dada sesak dan batuk, yang
bervariasi sepanjang waktu dan variasi dalam intensitas
2. Expiratory airflow limitation yang bervariasi

II. Epidemiologi

Data dari seluruh dunia menurut WHO tahun (2006), sebanyak 300 juta orang menderita
asma dan 225 ribu penderita meninggal di seluruh dunia. Angka kematian yang
disebabkan oleh penyakit asma di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat 20 %
untuk sepuluh tahun mendatang, jika tidak terkontrol dengan baik. Di Indonesia,
prevalensi asma menunjukkan angka sekitar 4,0% (Riskesdas,2007), dan meningkat
menjadi 4,5% Riset kesehatan dasar (2013).

III. Etiologi dan Faktor Risiko

Penting bagi penderita asma untuk mengenali gejala dan faktor pencetus asma sehingga
dapat dilakukan pencegahan. Faktor pencetus asma dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Faktor internal penderita


Meliputi :

Riwayat keluarga asma


Alergi
Jenis kelamin
Ras / etnik

2. Faktor lingkungan
Meliputi:

Alergen
Asap rokok
Polusi
Infeksi pernafasan (virus)
Obesitas
Makanan
Obat tertentu
IV. Patofisiologi

Penurunan aliran udara pada asma bersifat berulang dan disebabkan oleh perubahan
dalam struktur jalan napas.

Asthma eksaserbasi akut akibat alergi

Terdapat 2 mekanisme patologis pada saluran pernapasan asma, inflamasi dan


hiperresponsif.

Inflamasi pada saluran napas menyebabkan peningkatan sekresi mukus, edema


dinding pernapasan, infiltrasi sel inflamasi, kerusakan sel epithel, hipertrofi otot polos,
dan fibrosis submukosa.

Sel-sel yang menginfiltrasi saluran napas terdiri dari eosinofil, neutrofil, sel mast,
limfosit, basofil dan makrofag.

Secara keseluruhan, asma dapat dibagi berdasarkan dominan sel yang menginfiltrasi
saluran napas yaitu fenotip eosinofilik, neutrofilik, dan pauci-granulosit.

Fenotip eosinofil
dikarakterisktikan dengan infiltrasi eosinofil dominan pada saluran napas. Hal ini terjadi
pada pasien alergi yang terpapar oleh alergen dan memberikan respon yang baik setelah
pemberian glukokortikoid.

Fenotip neutrofil
Infiltrasi neutrofil dominan pada saluran napas. Pada keadaan ini asma pasien lebih
berat, dan lebih agresif, serta asma tidak terkontrol dengan baik, keadaan ini biasanya
disebabkan oleh infeksi vrius, fenotip neutrofil tidak memberikan respon yang baik
setelah pemberian glukokortikoid.

Allergen protein allergenik diambil oleh APC (sel dendritik) didalam saluran napas
presentasi sel Th (Th1 dan Th2) sel Th2 mensekresi sitokin IL-4 dan IL-13
menginduksi pelepasan IgE dari sel B dan kerusakan epitel sekresi mukus dan
hiperresponsif saluran napas

Sel Th2 mensekersi sitokin IL-5 terjadi stimulasi pembentukan eosinofil infiltrasi
eosinofil pada saluran napas (bronkus). Molekul IgE berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel mast menyebabkan degranulasi dan pelepasan histamin dan triptase
reaksi hipersensitivitas tipe III. Aktivasi sel mast dan eosinofil akan menstimulasi
sintesis dan pelepasan prostaglandin dan sisteinil leukotrien sangat pontent tehadap
bronkokonstriktor bronkokonstriksi

Aktivasi neutrofil pelepasan mediator protein kataionik eosinofilik dan major basic
protein menyebabkan kerusakan sel epitel dan fibrosis submukosal

Th1 berperan dalam perubahan saluran pernnapasan kronik termasuk kekrusakan sel
dan aktivasi sel otot polos

Virus dapat menyerang penderita asma lebih tinggi 80% pada anak-anak dan 50-75%
pada dewasa. Banyak virus dapat menyebabkan asma eksaserbasi akut, yang paling
sering adalah rhinovirus, RSV dan influenza.

Infeksi virus sekresi kemokin IL-8, CCL5 respon inflamasi infiltrasi sel neitrofil,
limfosit dan inflamasi alergi.

Infeksi Rhinovirus dan asma eksaserbasi akut


Infesi virus (rhinovirus) pada pasien asma dengan alergi kegagalan respon INF dan
pelepasan sel Th2 replikasi virus tidak terkontrol dan adanya infiltasi eosinofil
respon inflamsi saluran napas nekrosis sel epithel asthma eksaserbasi akut

V. Manifestasi Klinik

Mekanisme:

Shortness of Breath
- Allergen protein allergenik diambil oleh APC (sel dendritik) didalam saluran
napas presentasi sel Th (Th1 dan Th2) sel Th2 mensekresi sitokin IL-4 dan
IL-13 menginduksi pelepasan IgE dari sel B dan kerusakan epitel sekresi
mukus dan hiperresponsif saluran napas
- Th1 berperan dalam perubahan saluran pernnapasan kronik termasuk
kekrusakan sel dan aktivasi sel otot polos
- Sel Th2 mensekersi sitokin IL-5 terjadi stimulasi pembentukan eosinofil
infiltrasi eosinofil pada saluran napas (bronkus). Molekul IgE berikatan dengan
reseptor pada permukaan sel mast menyebabkan degranulasi dan pelepasan
histamin dan triptase reaksi hipersensitivitas tipe III. Aktivasi sel mast dan
eosinofil akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin dan
sisteinil leukotrien sangat pontent tehadap bronkokonstriktor
bronkokonstriksi
Wheezing:
Penyempitan (vasokonstriksi) bronkus pada saluran napas bawah penurunan
diameter lumen bronkus, inflamasi dan edema, sel epithel cilliated pada mukosa
bronkus kaku wheezing
Batuk:
Imbalance Th1 dan Th2 Th2 degranulasi dan pelepasan histamin
reseptor H1 Ca2+ meragsang reseptor batuk pada N. Vagus pada bagian
carina batuk
Anxietas
Bronkokonstriksi dan edema pada bronkus VEP1 kadar PCO2 dan PO2
asidosis metabolik anxietas
Retraksi dinding dada:
Peningkaktan kebutuhan kadar O2 sistemik usaha pengambilan O2 meningkat
retaksi dinding dada
Takikardi:
Pemenuhan kebutuhan O2 jaringan perifer tekikardi
VI. Diagnosis

Alur diagnosis asthma berdasarkan GINA 2017

Adapun kriteria diagnostik asthma berdasarkan GINA 2012

1. Terdapat riwayat gejala respiratori:

Gejala tipikal adalah mengi, SOB, retrakksi dinding dada, batuk


Pasien dengan asma secara umum memiliki lebih dari 1 gejala tersebut
Waktu dan intensitas gejala bervariasi
Gejala memburuk pada mamlam hari atau saat bangun
Gejala dipicu oleh olahrga, tertawa, alergi dan udara yang dingin
Gejala dapat terjadi bahkan lebih buruk pada pasien dengan infeksi virus

2. Bukti keterbatasan Expiratory Airflow


Setidaknya terdapat satu bukti bahwa FEV1 redah pada saat diagnostik dan
FEV1/FVC rendah. Nilai normal ratio FEV1/FVC adalah 0,75-0,80 pada dewasa
o Peningkatan FEV1 > 12% dan 200 mL (pada anak > 12%) setelah pemberian
bronkodilator. Yang disebut sebagai reversibilitas bronkodilator
o Rata-rata diurnal PEF > 10% (pada anak-anak >13%)
o Peningkatan FEV1 > 12% dan 200 mL (pada anak > 12%) setelah 4 minggu
pemberian anti-inflamasi (infeksi respiratorius luar)
Pemeriksaan diulang, pada pagi hari, atau setelah pemberian bronkodilator
Reversibilitas bronkodilator tidak ada pada pasien dengan infeksi virus. Jika tidak
dapat diberikan bronkodilator pada pemberian pertama, step selanjutya
tergangtung pada hasil pemeriksaan penunjang

Berikut penilaian Asma terkontrol dan faktor risiko

VII. Pemeriksaan

pemeriksaan spirometri

paru. Pemeriksaan fungsi paru dapat dilakukan dengan menggunakan alat spirometri
atau Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter). Dengan menggunakan spirometri, akan
diketahui nilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama
(VEP1). Jika nilai VEP1 < 80% dan atau rasio VEP1 / KVP < 75%, maka pasien dikatakan
mengalami sumbatan jalan nafas. Untuk PEF meter, yang diukur adalah arus puncak
respirasi (APE). Sumbatan jalan nafas diketahui jika APE<80%.

Pada dasarnya spirometer terdiri dari drum/tong terisi udara yang mengapung dalam
ruang berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara dari dan ke
dalam drum melalui suatu selang yang menghubungkan mulut dengan wadah udara,
drum naik turun dalam wadah air. Naik-turunnya drum ini dapat direkam sebagai
spirogram, yang dikalibrasikan terhadap perubahan volume. Pena merekam inspirasi
sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah.

1. Volume alun napas (tidal volume, TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru
selama satu kali bernapas. Nilai rerata pada kondisi istirahat = 500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, IRV). Volume udara
tambahan yang dapat secara maksimal dihirup di atas volume alun napas istirahat.
IRV dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot interkostal eksternal, dan otot
inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.
3. Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity, IC). Volume udara maksimal yang dapat
dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal (IC = IRV + TV). Nilai rerara = 3500 ml
4. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, ERV). Volume udara
tambahan yang dapat secara aktif di- keluarkan dengan mengontraksikan secara
maksimal otot- otot ekspirasi melebihi udara yang secara normal dihembus- kan
secara pasif pada akhir volume alun napas istirahat. Nilai ferata = 1000 ml.
5. Volume residual (residual volume, RV). Volume udara minimal yang tertinggal di paru
bahkan setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200 ml. Volume residual tidak
dapat diukur secara langsung dengan spirometer, karena volume udara ini tidak
keluar dan masuk paru. Namun, volume ini dapat ditentukan secara tak langsung
melalui teknik pengenceran gas yang melibatkan inspirasi sejumlah tertentu gas
penjejak tak berbahaya misalnya helium.
6. Kapasitas residual fungsional (functional residual capacity, FRC). Volume udara di
paru pada akhir ekspirasi pasif normal (FRC = ERV + RV). Nilai rerata = 2200 ml
7. Kapasitas vital (vital capacity,VC). Volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan
dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Subyek pertama-tama
melakukan inspirasi maksimal lalu ekspirasi maksimal (VC = IRV + TV + ERV). VC
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi pada paru. Hal ini
jarang digunakan, karena kontraksi otot maksimal yang terlibat melelahkan, tetapi
berguna untuk memastikan kapasitas fungsional paru. Nilai rerata = 4500 ml.
8. Kapasitas paru total (total lung capacity, TLC). Volume udara maksimal yang dapat
ditampung oleh paru (TLC = VC + RV). Nilai rerara = 5700 ml
9. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume in one second,
FEV). Volume udara yang dapat dihembuskan selama detik pertama ekspirasi dalam
suatu penentuan VC. Biasaya FEV, adalah sekitar 80% dari VC; yaitu, dalam keadaan
normal 80% udara yang dapat dihembuskan secara paksa dari paru yang telah
mengembang maksimal dapat dihembuskan dalam satu detik. Pengukuran ini
menunjukkan laju aliran udara paru maksimal yang dapat dicapai.

Selain spirometri dan tes kadar arus ekspirasi puncak, beberapa tes lainnya mungkin
dibutuhkan pasien untuk memperkuat dugaan asma atau membantu mendeteksi
penyakit-penyakit selain asma. Contoh-contoh tes tersebut adalah:
Tes untuk melihat adanya peradangan pada saluran napas. Dalam tes ini, dokter
akan mengukur kadar oksida nitrat dalam napas ketika pasien bernapas. Jika kadar
zat tersebut tinggi, maka bisa jadi merupakan tanda-tanda peradangan pada saluran
pernapasan. Selain oksida nitrat, dokter juga akan mengambil sampel dahak untuk
mengecek apakah paru-paru pasien mengalami radang.
Tes responsivitas saluran napas (uji provokasi bronkus). Tes ini digunakan untuk
memastikan bagaimana saluran pernapasan pasien bereaksi ketika terpapar salah
satu pemicu asma. Dalam tes ini, pasien biasanya akan diminta menghirup serbuk
kering (mannitol). Setelah itu pasien akan diminta untuk menghembuskan napas ke
dalam spirometer untuk mengukur seberapa tinggi tingkat perubahan FEV1 dan FVC
setelah terkena pemicu. Jika hasilnya turun drastis, maka dapat diperkirakan pasien
mengidap asma. Pada anak-anak, selain mannitol, media yang bisa dipakai untuk
memicu asma adalah olah raga.
Pemeriksaan status alergi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah
gejala-gejala asma yang dirasakan oleh pasien disebabkan oleh alergi. Misalnya
alergi pada makanan, tungau, debu, serbuk sari, atau gigitan serangga.
CT Scan. Pemeriksaan ini bisa dilakukan oleh dokter apabila mencurigai bahwa gejala
sesak napas pada diri pasien bukan disebabkan oleh asma, melainkan infeksi di
dalam paru-paru atau kelainan struktur rongga hidung.
Pemeriksaan rontgen. Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini sama seperti
pemeriksaan CT Scan, yaitu untuk melihat apakah gangguan pernapasandisebabkan
oleh kondisi lain.

VIII. Tatalaksana
Berikut tatalaksana asma GINA 2017
Berikut tatalaksana dan klasifikasi asma eksaserbasi akut GINA 2017

You might also like